Monday, July 2, 2007

Agama dan Pembangunan

A. Pendahuluan
Kajian tentang peranan agama dalam pembangunan, sesungguhnya merupakan ‎suatu wacana atau diskursus yang sudah lama menjadi bahan pemikiran dan polemik ‎para cendekiawan. Kendati demikian, selalu saja terdapat aspek-aspek yang menarik ‎setiap kali berbicara tentang peranan agama dalam pembangunan. Hal ini tidak saja ‎dikarenakan adanya nuansa-nuansa baru mengenai hubungan antara agama dan ‎pembangunan, tetapi juga karena selalu muncul masalah-masalah yang aktual, baik ‎dalam hal fungsi dan peranan agama dalam pembangunan maupun dampak ‎pembangunan atau modernisasi terhadap kehidupan beragama.‎
Oleh karena itulah saya menyambut baik Panitia Rapat Kerja Dewan Pimpinan ‎Daerah Pengajian Al-Hidayah Kabupaten Ciamis, yang meminta saya untuk ‎menyampaikan materi tentang peranan agama dalam pembangunan.‎
Dalam konteks pembangunan atau yang oleh para pakar sering disebut sebagai ‎proses modernisasi, agama setidaknya memiliki dua peran dan fungsi utama, yaitu (1) ‎memberikan landasan-landasan etik dan moral pembangunan atau modernisasi, dan ‎‎(2) memberikan motivasi yang bersifat teologis kepada setiap subjek pembangunan.‎
Peranan Agama sebagai pemberi landasan etik dan moral pembangunan ‎dilandasai oleh suatu argumen bahwa, pembangunan sebagai sebuah usaha menuju ‎perbaikan-perbaikan kehidupan yang dilakukan oleh manusia, jangan sampai ‎mengarah kepada: (a) lahirnya suatu kondisi yang menjauhkan manusia dari ‎Tuhannya; (b) lahirnya sikap dan perilaku yang dapat merendahkan martabat ‎kemanusiaan; (c) terjadinya degradasi dan dekadensi akhlak, etika dan moralitas; (d) ‎berkembangnya budaya konsumtif, konsumenristik dan materialistik; (e) terjadinya ‎perbudakan atas manusia oleh mesin-mesin industri dan alat-alat teknologi; (f) ‎terpinggirkan dan teralienasinya manusia dari nilai-nilai dan norma-norma yang diakui ‎kebenaran dan kebaikannya oleh masyarakat; dan (g) terjadinya ketidakseimbangan ‎antara kehidupan material dan spiritual.‎
Sedangkan peranan agama sebagai pemberi motivasi yang bersifat teologis ‎kepada setiap subjek pembangunan ditujukan agar manusia memiliki kesanggupan ‎untuk mandiri dan terhindar dari sikap dan perilaku yang malas, fatalistik dan ‎deterministik. ‎

B. Agama Sebagai Landasan Etik dan Moral Pembangunan
Kita menyadari bahwa pembangunan atau modernisasi telah menghasilkan ‎kehidupan dan peradaban yang mengantarkan manusia kepada kemajuan luar biasa ‎dan telah memberikan berbagai kemudahan, kenikmatan dan kenyamanan. Berbagai ‎kemudahan, kenikmatan dan kenyamanan hidup sudah dapat diperoleh oleh manusia ‎berkat pembangunan atau modernisasi. Manusia telah dapat bepergian secara cepat ‎dengan menggunakan alat transportasi darat, laut maupun udara. Manusia juga dapat ‎melakukan komunikasi dan hubungan jarak jauh tanpa memakan waktu yang lama ‎berkat teknologi telepon, faksimil, internet dan teknologi komunikasi lainnya. Bahkan ‎manusia pun dapat menikmati berbagai hasil pembangunan atau modernisasi, baik di ‎bidang kesenian, kebudayaan, fashion, makanan dan minuman, teknologi kedokteran ‎dan lain sebagainya.‎
Sayangnya, hasil-hasil pembangunan dan modernisasi yang begitu mempesona ‎dan menawan setiap orang, membawa dampak yang amat memprihatinkan. Ia tidak ‎hanya membuat manusia sebagai individu menjadi kehilangan keutuhannya (baca: ‎jiwanya); sendi-sendi sosialnya pun semakin hancur; bahkan eksploitasi alam yang ‎berlebihan telah membawa dampak krisis ekologis yang sangat mengkhawatirkan. ‎Dalam kondisi yang demikian itu, tidak segan-segan manusia mereduksi segala sesuatu ‎yang berada di luar jangkauan logikanya. Manusia hanya mempercayai sesuatu yang ‎dapat diterima oleh akal. Segala sesuatu yang tidak rasional dipandang sebagai ‎takhayul dan hanya pantas dimiliki oleh manusia primitif.‎
Apa yang digambarkan oleh Paul Kleer, ketika mendeskripsikan ‎kecenderungan-kecenderungan negatif sebagai akibat dari pembangunan dan ‎modernisasi, khususnya di negara-negara Barat jelas sekali memperlihatkan penyakit-‎penyakit akibat pembangunan dan modernisasi:‎
Manusia Barat bersifat sangat picik dan hampir tidak mampu sama sekali mengadakan ‎hubungan dengan budaya dan kalangan rakyat lain yang ditemuinya. Dia harus memandang ‎dirinya sendiri dalam konteks dunia yang lebih luas dan mengurangi keangkuhannya. Dia ‎membayangkan dirinya bebas dan menyeru seluruh dunia, ‘Bebaskan diri kalian sendiri. ‎Putuskan hubungan dengan tradisi. Jadilah seperti kami. Jadilah manusia modern.’ Dongeng ‎ini harus ditantang --bahwa kita, sebagai manusia modern, tidak dapat berhasil tanpa adanya ‎pengetahuan para leluhur kita dan tidak dapat bertindak dengan cara yang sepenuhnya ‎berbeda, menuruti hukum-hukum yang sama sekali lain.‎
Kini manusia Barat telah merasa kurang aman. Harapan terlalu tinggi yang digantungkan ‎pada ilmu dan teknologi terbukti salah. Peradaban Barat telah mencapai titik kritis yang ‎tampak jelas sekali dari krisis ekologi yang mempengaruhi masyarakat Barat pada tingkat ‎spiritual, tingkat emosional dan tingkat kehidupan batinnya.‎

Di lingkungan masyarakat Barat --sejalan dengan perkembangan industri ‎modern-- perkembangan penyakit masyarakat juga mengalami peningkatan sangat ‎drastis. ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Presiden Bosnia Herzegovina, mengungkapkan bahwa ‎angka kejahatan dan kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1965 meningkat ‎‎178% lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk sebesar 13%. Belum lagi yang ‎terjadi pada peningkatan alkoholisme, pornografi, kecanduan obat, dan perjudian, ‎yang menggerogoti sendi-sendi sosial mereka.‎
Bahkan di negeri kita pun peningkatan alkoholisme, kecanduan obat, ‎narkotika, ekstasi, perjudian, pornografi dan lain-lain kini sudah mencapai tahap yang ‎kronis dan sangat mengkahatirkan.‎
Melihat perkembangan masyarakat modern yang semakin mengkhawatirkan ‎itu, bangsa Indonesia, khususnya kita yang hadir di sini, tidak bisa tidak kecuali ‎berpaling kepada agama. Kita harus yakin bahwa hanya agamalah yang dapat ‎menyelamatkan manusia dari kehancuran dirinya, kehancuran moralnya, kehancuran ‎masyarakatnya, kehancuran bangsanya dan kehancuran ekologi dan lingkungan ‎hidupnya. ‎
Penyelamatan berbagai dampak pembangunan hanya dapat dilakukan jika ‎manusia kembali kepada agama, kembali kepada Tuhannya, taat dan patuh pada ‎aturan-Nya, bersujud dan beribadah kepada-Nya.‎
فَاسْجُدُوا لِلّهِ وَاعْبُدُوا
‎“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (Q.S. An-Najm : 62).‎
Manusia hanya bisa keluar dari kegelapan kehidupannya apabila ia kembali ‎kepada ajaran yang benar, yaitu agama (baca: Islam).‎
اَللهُ وَلِىُّ الَّذِيْنَ امَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمتِ اِلَى النُّوْرِ
‎“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada ‎cahaya…”. (Q.S. Al-Baqarah : 257).‎

C. Peranan Wanita
Lalu apa yang harus dilakukan oleh kaum wanita? Kita memang harus ‎mensyukuri perubahan cara pandang masyarakat terhadap peran dan fungsi kaum ‎wanita. Dalam masalah gender ini, masyarakat sudah menggunakan cara pandang ‎yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan “kesejajaran” di berbagai lapangan ‎kehidupan. Wanita tidak lagi dikungkung dan terbelenggu oleh dominasi dan ‎kekuasaan kaum pria. Wanita tidak lagi dibatasi langkahnya oleh dinding dan tembok ‎rumah. Mereka dengan cukup leluasa telah memasuki wilayah kehidupan yang ‎sebelumnya hanya menjadi monopoli kaum pria.‎
Namun demikian, betatapun prinsip kesetaraan dan “kesejajaran” telah ‎dimiliki oleh kaum wanita, secara proporsional wanita tetap diharapkan berperan ‎secara lebih optimal dalam bidang pendidikan anak, terutama pendidikan di rumah. ‎Mengasuh dan mendidik anak di lingkungan rumah bukanlah suatu pekerjaan yang ‎hina, memalukan dan kampungan. Apalah artinya suatu aktifitas di luar rumah, jika ‎ternyata anak-anak secara psikologis dan edukatif terlantar di dalam rumahnya sendiri.‎
Apalagi, sementara ini masyarakat menduduh bahwa lemahnya perhatian orang ‎tua (khususnya sang Ibu) kepada anak dan hilangnya kasih sayang orang tua yang ‎amat dibutuhkan oleh anak, sebagai penyebab utama mudahnya anak-anak kita ‎terjerumus ke dalam penyalahgunaan obat-oabatan, narkotika, perzinahan dan lain ‎sebagainya.‎
Dengan demikian, peran wanita dalam pembangunan bukanlah berarti harus ‎aktif di lingkungan politik, sosial, bisnis dan aktifitas lain di luar rumah. Penegasan ini ‎tidak berarti wanita tidak boleh memiliki aktifitas di luar rumah. Aktifitas di luar tetap ‎boleh dan bahkan sangat penting, tetapi secara proporsional kaum wanita harus dapat ‎menyeimbangkan antara kehidupan rumah tangga dengan aktifitas di luar rumah.‎
Para pakar pendidikan hampir sepakat, bahwa perilaku dan masa depan anak ‎amat ditentukan oleh faktor pendidikan di rumah. Faktor pendidikan di rumah inilah ‎yang akan mendorong motivasi, kepercayaan, disiplin, dan perilaku anak dalam ‎menggapai prestasi di bidang pendidikan dan keterampilan.‎
Anak-anak kita yang akan menjadi taruhan masa depan pembangunan negeri ‎ini perlu dibekali dengan semangat dan nilai-nilai keagamaan, sehingga berbagai faktor ‎dan dampak negatif dari pembangunan dapat ditangkal secara internal oleh anak-anak ‎kita.‎
Upaya apa yang dapat dilakukan oleh kita, terutama kaum wanita dalam ‎mendidik anak dalam menyongsong masa depan? Kita dapat merujuk pada firman ‎Allah SWT yang berbunyi:‎
كَمَااَرْسَلْنَافِيْكُمْ رَسُولاً مِنُكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ايتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتبَ ‏وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
‎“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-‎ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan ‎hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah : ‎‎151).‎
Dari ayat di atas, setidaknya ada 5 (lima) macam aktifitas yang dapat dilakukan ‎kaum wanita di dalam rumah:‎
‎1.‎ Membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada anak-anak yang belum mampu ‎membacanya sendiri.‎
‎2.‎ Menyucikan pikiran dan akhlak anak-anak melalui pendidikan, kasih sayang, ‎nasihat-nasihat dan larangan-larangan yang arif.‎
‎3.‎ Mengajarkan Kitab Allah kepada anak-anak, baik membaca, menerjemah, ‎memahami dan menerangkan maksud-maksud yang terkandung di dalam al-‎Qur’an.‎
‎4.‎ Mengajarkan hikmah dan kebijaksanaan kepada anak-anak. Hal ini dapat ‎dilakukan dengan memberikan cerita-cerita menarik yang mengandung hikmah ‎dan kebijaksanaan, baik yang berasal dari cerita-cerita al-Qur’an, cerita para nabi, ‎sahabat, pemimpin-pemimpin Idlam dan dunia, maupun cerita-cerita lokal.‎
‎5.‎ Mengajarkan pengethuan kepada anak-anak. Hal ini dapat dilakukan melalui ‎usaha pembimbingan anak-anak dalam membaca, mengerjakan tugas sekolah, ‎mencarikan buku-buku menarik dan relevan, mendampingi anak-anak ketika ‎menonoton TV dan lain-lain.‎
Lima hal di atas, jika dilakukan secara teratur dan menjadi kebiasaan di dalam ‎rumah, insya Allah anak-anak kita akan terhindar dari berbagai dampak modernisasi. ‎

D. Penutup
Dalam proses pembangunan, agama memiliki peran yang amat penting dan ‎strategis. Agar agama dapat benar-benar berperan dalam pembangunan, upaya yang ‎harus dimulai adalah dengan memberikan pendidikan keagamaan, baik di rumah, di ‎sekolah maupun di masyarakat kepada setiap manusia, terutama anak-anak.‎
Kaum wanita dapat berperan secara maksimal dalam pembangunan, baik ‎melalui aktifitas di dalam rumah maupun di luar rumah. Bagi kaum wanita yang ‎memiliki aktifitas di rumah dan di luar rumah, dia harus dapat menyeimbangkan ‎antara dua aktifitas tersebut, sehingga prinisp kesetaraan dan “kesejajaran” tidak ‎mencerabut akar kaum wanita sebagai benteng pendidikan anak di dalam rumah.‎

No comments: