A. Pendahuluan
Kajian tentang peranan agama dalam pembangunan, sesungguhnya merupakan suatu wacana atau diskursus yang sudah lama menjadi bahan pemikiran dan polemik para cendekiawan. Kendati demikian, selalu saja terdapat aspek-aspek yang menarik setiap kali berbicara tentang peranan agama dalam pembangunan. Hal ini tidak saja dikarenakan adanya nuansa-nuansa baru mengenai hubungan antara agama dan pembangunan, tetapi juga karena selalu muncul masalah-masalah yang aktual, baik dalam hal fungsi dan peranan agama dalam pembangunan maupun dampak pembangunan atau modernisasi terhadap kehidupan beragama.
Oleh karena itulah saya menyambut baik Panitia Rapat Kerja Dewan Pimpinan Daerah Pengajian Al-Hidayah Kabupaten Ciamis, yang meminta saya untuk menyampaikan materi tentang peranan agama dalam pembangunan.
Dalam konteks pembangunan atau yang oleh para pakar sering disebut sebagai proses modernisasi, agama setidaknya memiliki dua peran dan fungsi utama, yaitu (1) memberikan landasan-landasan etik dan moral pembangunan atau modernisasi, dan (2) memberikan motivasi yang bersifat teologis kepada setiap subjek pembangunan.
Peranan Agama sebagai pemberi landasan etik dan moral pembangunan dilandasai oleh suatu argumen bahwa, pembangunan sebagai sebuah usaha menuju perbaikan-perbaikan kehidupan yang dilakukan oleh manusia, jangan sampai mengarah kepada: (a) lahirnya suatu kondisi yang menjauhkan manusia dari Tuhannya; (b) lahirnya sikap dan perilaku yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan; (c) terjadinya degradasi dan dekadensi akhlak, etika dan moralitas; (d) berkembangnya budaya konsumtif, konsumenristik dan materialistik; (e) terjadinya perbudakan atas manusia oleh mesin-mesin industri dan alat-alat teknologi; (f) terpinggirkan dan teralienasinya manusia dari nilai-nilai dan norma-norma yang diakui kebenaran dan kebaikannya oleh masyarakat; dan (g) terjadinya ketidakseimbangan antara kehidupan material dan spiritual.
Sedangkan peranan agama sebagai pemberi motivasi yang bersifat teologis kepada setiap subjek pembangunan ditujukan agar manusia memiliki kesanggupan untuk mandiri dan terhindar dari sikap dan perilaku yang malas, fatalistik dan deterministik.
B. Agama Sebagai Landasan Etik dan Moral Pembangunan
Kita menyadari bahwa pembangunan atau modernisasi telah menghasilkan kehidupan dan peradaban yang mengantarkan manusia kepada kemajuan luar biasa dan telah memberikan berbagai kemudahan, kenikmatan dan kenyamanan. Berbagai kemudahan, kenikmatan dan kenyamanan hidup sudah dapat diperoleh oleh manusia berkat pembangunan atau modernisasi. Manusia telah dapat bepergian secara cepat dengan menggunakan alat transportasi darat, laut maupun udara. Manusia juga dapat melakukan komunikasi dan hubungan jarak jauh tanpa memakan waktu yang lama berkat teknologi telepon, faksimil, internet dan teknologi komunikasi lainnya. Bahkan manusia pun dapat menikmati berbagai hasil pembangunan atau modernisasi, baik di bidang kesenian, kebudayaan, fashion, makanan dan minuman, teknologi kedokteran dan lain sebagainya.
Sayangnya, hasil-hasil pembangunan dan modernisasi yang begitu mempesona dan menawan setiap orang, membawa dampak yang amat memprihatinkan. Ia tidak hanya membuat manusia sebagai individu menjadi kehilangan keutuhannya (baca: jiwanya); sendi-sendi sosialnya pun semakin hancur; bahkan eksploitasi alam yang berlebihan telah membawa dampak krisis ekologis yang sangat mengkhawatirkan. Dalam kondisi yang demikian itu, tidak segan-segan manusia mereduksi segala sesuatu yang berada di luar jangkauan logikanya. Manusia hanya mempercayai sesuatu yang dapat diterima oleh akal. Segala sesuatu yang tidak rasional dipandang sebagai takhayul dan hanya pantas dimiliki oleh manusia primitif.
Apa yang digambarkan oleh Paul Kleer, ketika mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan negatif sebagai akibat dari pembangunan dan modernisasi, khususnya di negara-negara Barat jelas sekali memperlihatkan penyakit-penyakit akibat pembangunan dan modernisasi:
Manusia Barat bersifat sangat picik dan hampir tidak mampu sama sekali mengadakan hubungan dengan budaya dan kalangan rakyat lain yang ditemuinya. Dia harus memandang dirinya sendiri dalam konteks dunia yang lebih luas dan mengurangi keangkuhannya. Dia membayangkan dirinya bebas dan menyeru seluruh dunia, ‘Bebaskan diri kalian sendiri. Putuskan hubungan dengan tradisi. Jadilah seperti kami. Jadilah manusia modern.’ Dongeng ini harus ditantang --bahwa kita, sebagai manusia modern, tidak dapat berhasil tanpa adanya pengetahuan para leluhur kita dan tidak dapat bertindak dengan cara yang sepenuhnya berbeda, menuruti hukum-hukum yang sama sekali lain.
Kini manusia Barat telah merasa kurang aman. Harapan terlalu tinggi yang digantungkan pada ilmu dan teknologi terbukti salah. Peradaban Barat telah mencapai titik kritis yang tampak jelas sekali dari krisis ekologi yang mempengaruhi masyarakat Barat pada tingkat spiritual, tingkat emosional dan tingkat kehidupan batinnya.
Di lingkungan masyarakat Barat --sejalan dengan perkembangan industri modern-- perkembangan penyakit masyarakat juga mengalami peningkatan sangat drastis. ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Presiden Bosnia Herzegovina, mengungkapkan bahwa angka kejahatan dan kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1965 meningkat 178% lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk sebesar 13%. Belum lagi yang terjadi pada peningkatan alkoholisme, pornografi, kecanduan obat, dan perjudian, yang menggerogoti sendi-sendi sosial mereka.
Bahkan di negeri kita pun peningkatan alkoholisme, kecanduan obat, narkotika, ekstasi, perjudian, pornografi dan lain-lain kini sudah mencapai tahap yang kronis dan sangat mengkahatirkan.
Melihat perkembangan masyarakat modern yang semakin mengkhawatirkan itu, bangsa Indonesia, khususnya kita yang hadir di sini, tidak bisa tidak kecuali berpaling kepada agama. Kita harus yakin bahwa hanya agamalah yang dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran dirinya, kehancuran moralnya, kehancuran masyarakatnya, kehancuran bangsanya dan kehancuran ekologi dan lingkungan hidupnya.
Penyelamatan berbagai dampak pembangunan hanya dapat dilakukan jika manusia kembali kepada agama, kembali kepada Tuhannya, taat dan patuh pada aturan-Nya, bersujud dan beribadah kepada-Nya.
فَاسْجُدُوا لِلّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (Q.S. An-Najm : 62).
Manusia hanya bisa keluar dari kegelapan kehidupannya apabila ia kembali kepada ajaran yang benar, yaitu agama (baca: Islam).
اَللهُ وَلِىُّ الَّذِيْنَ امَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمتِ اِلَى النُّوْرِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya…”. (Q.S. Al-Baqarah : 257).
C. Peranan Wanita
Lalu apa yang harus dilakukan oleh kaum wanita? Kita memang harus mensyukuri perubahan cara pandang masyarakat terhadap peran dan fungsi kaum wanita. Dalam masalah gender ini, masyarakat sudah menggunakan cara pandang yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan “kesejajaran” di berbagai lapangan kehidupan. Wanita tidak lagi dikungkung dan terbelenggu oleh dominasi dan kekuasaan kaum pria. Wanita tidak lagi dibatasi langkahnya oleh dinding dan tembok rumah. Mereka dengan cukup leluasa telah memasuki wilayah kehidupan yang sebelumnya hanya menjadi monopoli kaum pria.
Namun demikian, betatapun prinsip kesetaraan dan “kesejajaran” telah dimiliki oleh kaum wanita, secara proporsional wanita tetap diharapkan berperan secara lebih optimal dalam bidang pendidikan anak, terutama pendidikan di rumah. Mengasuh dan mendidik anak di lingkungan rumah bukanlah suatu pekerjaan yang hina, memalukan dan kampungan. Apalah artinya suatu aktifitas di luar rumah, jika ternyata anak-anak secara psikologis dan edukatif terlantar di dalam rumahnya sendiri.
Apalagi, sementara ini masyarakat menduduh bahwa lemahnya perhatian orang tua (khususnya sang Ibu) kepada anak dan hilangnya kasih sayang orang tua yang amat dibutuhkan oleh anak, sebagai penyebab utama mudahnya anak-anak kita terjerumus ke dalam penyalahgunaan obat-oabatan, narkotika, perzinahan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, peran wanita dalam pembangunan bukanlah berarti harus aktif di lingkungan politik, sosial, bisnis dan aktifitas lain di luar rumah. Penegasan ini tidak berarti wanita tidak boleh memiliki aktifitas di luar rumah. Aktifitas di luar tetap boleh dan bahkan sangat penting, tetapi secara proporsional kaum wanita harus dapat menyeimbangkan antara kehidupan rumah tangga dengan aktifitas di luar rumah.
Para pakar pendidikan hampir sepakat, bahwa perilaku dan masa depan anak amat ditentukan oleh faktor pendidikan di rumah. Faktor pendidikan di rumah inilah yang akan mendorong motivasi, kepercayaan, disiplin, dan perilaku anak dalam menggapai prestasi di bidang pendidikan dan keterampilan.
Anak-anak kita yang akan menjadi taruhan masa depan pembangunan negeri ini perlu dibekali dengan semangat dan nilai-nilai keagamaan, sehingga berbagai faktor dan dampak negatif dari pembangunan dapat ditangkal secara internal oleh anak-anak kita.
Upaya apa yang dapat dilakukan oleh kita, terutama kaum wanita dalam mendidik anak dalam menyongsong masa depan? Kita dapat merujuk pada firman Allah SWT yang berbunyi:
كَمَااَرْسَلْنَافِيْكُمْ رَسُولاً مِنُكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ايتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah : 151).
Dari ayat di atas, setidaknya ada 5 (lima) macam aktifitas yang dapat dilakukan kaum wanita di dalam rumah:
1. Membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada anak-anak yang belum mampu membacanya sendiri.
2. Menyucikan pikiran dan akhlak anak-anak melalui pendidikan, kasih sayang, nasihat-nasihat dan larangan-larangan yang arif.
3. Mengajarkan Kitab Allah kepada anak-anak, baik membaca, menerjemah, memahami dan menerangkan maksud-maksud yang terkandung di dalam al-Qur’an.
4. Mengajarkan hikmah dan kebijaksanaan kepada anak-anak. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan cerita-cerita menarik yang mengandung hikmah dan kebijaksanaan, baik yang berasal dari cerita-cerita al-Qur’an, cerita para nabi, sahabat, pemimpin-pemimpin Idlam dan dunia, maupun cerita-cerita lokal.
5. Mengajarkan pengethuan kepada anak-anak. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha pembimbingan anak-anak dalam membaca, mengerjakan tugas sekolah, mencarikan buku-buku menarik dan relevan, mendampingi anak-anak ketika menonoton TV dan lain-lain.
Lima hal di atas, jika dilakukan secara teratur dan menjadi kebiasaan di dalam rumah, insya Allah anak-anak kita akan terhindar dari berbagai dampak modernisasi.
D. Penutup
Dalam proses pembangunan, agama memiliki peran yang amat penting dan strategis. Agar agama dapat benar-benar berperan dalam pembangunan, upaya yang harus dimulai adalah dengan memberikan pendidikan keagamaan, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat kepada setiap manusia, terutama anak-anak.
Kaum wanita dapat berperan secara maksimal dalam pembangunan, baik melalui aktifitas di dalam rumah maupun di luar rumah. Bagi kaum wanita yang memiliki aktifitas di rumah dan di luar rumah, dia harus dapat menyeimbangkan antara dua aktifitas tersebut, sehingga prinisp kesetaraan dan “kesejajaran” tidak mencerabut akar kaum wanita sebagai benteng pendidikan anak di dalam rumah.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment