Pendahuluan
Ketika Samuel W. Huntington, salah seorang pakar politik termasyhur dari Amerika Serikat, membuat tesis tentang pertentangan peradaban (clash of civilization), hampir secara keseluruhan para cendekiawan muslim di berbagai belahan dunia menyanggah dan menolaknya. Menurut Huntington, berakhirnya Perang Dingin antara AS dengan Negara-negara Eropa Timur, khususnya Uni Soviet (sekarang Rusia), maka pertentangan tidak lagi berkisar pada perbedaan ideologis (Kapitalisme dan Komunisme) juga bukan pada perbedaan wilayah geografis dan batas-batas negara; melainkan pertentangan antarperadaban, terutama yang diwakili oleh Peradaban Barat (Kristen) dengan Peradaban Timur (khususnya Islam). Dengan tesisnya itu, Huntington telah menempatkan peradaban Islam sebagai musuh masa depan peradaban Barat, yang oleh karenanya Islam harus diwaspadai dan dicurigai.
Dengan menggunakan tesis Huntington sebagai contoh yang paling aktual, setidaknya kita dapat menerka betapa selama ini telah terjadi kesalahpahaman yang serius di kalangan masyarakat non-muslim, khususnya masyarakat Barat terhadap Islam. Betapa selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad masyarakat Barat masih tetap menyimpan suatu gambaran, citra atau image yang teramat negatif terhadap Islam. Betapa tokoh-tokoh orientalis di kalangan mereka telah sangat berhasil menanamkan citra negatif yang berlebihan terhadap Islam. Bahkan tokoh sekaliber Gustav Le Bon, Annemarie Schimel, Maurice Bucaille, Frijtop Schoun dan tokoh-tokoh lain yang secara objektif selalu membela Islam di kalangan masyarakat Barat belum mampu merubah secara signifikan pandangan dan image masyarakat Barat terhadap Islam.
Gambaran negatif dan kecurigaan yang berlebihan terhadap Islam dan umatnya, sebetulnya juga tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Barat. Bahkan dengan melihat berbagai kecenderungan yang ada, kita dapat pula mengatakan bahwa di kalangan non-muslim di negara kita, juga banyak yang memiliki pandangan negatif dan kecurigaan yang berlebihan terhadap Islam. Lebih-lebih apabila kita mencermati peta politik dan konfigurasinya menjelang dan saat Sidang Umum MPR 1999 ini, terlihat dengan jelas betapa tokoh-tokoh politik non-muslim dan kalangan nasionalis-sekuler telah mampu mengentalkan dan memantapkan citra negatif terhadap Islam dan umatnya. Dengan memanfaatkan tema dan isu-isu di seputar gerakan reformasi, secara sistematis mereka berhasil menarik simpati dan dukungan luas dari masyarakat untuk menyerang tokoh-tokoh politik yang memiliki keberpihakan tinggi terhadap Islam dan umatnya. Amatlah wajar apabila ada analis politik yang berpendapat bahwa konfigurasi elite politik sekarang ini bukan lagi didasarkan pada polarisasi kubu reformis versus kubu pro status quo; melainkan polarisasi antara muslim versus non muslim serta muslim versus nasionalis-sekuler.
Padahal dengan melihat sumber-sumber utama ajaran Islam, sebetulnya kalangan non-muslim tidak perlu curiga apalagi takut terhadap Islam. Sebab ajaran Islam secara jelas dan nyata tidak pernah memandang non muslim sebagai musuh yang perlu dicurigai.
Hak-hak Non Muslim Dalam Pandangan Islam
Landasan utama yang menjadi dasar bagi hubungan antara umat Islam dengan non-muslim dapat kita jumpai dalam firman Allah swt dalam surat al-Mumtahanah ayat 8-9 sebagai berikut:
لاينهكم الله عن الذين لم يقاتلونكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطوا اليهم ان الله يحب المقسطين انما ينهكم الله عن الذين قاتلوكم فى الدين واخرجوكم من دياركم وظاهروا على اخراجكم ان تولوهم ومن يتولهم فاولئك هم الظلمون
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9).
Ayat di atas dengan jelas memerintahkan agar setiap muslim selalu memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan, walaupun mereka tidak mengakui agama Islam, selama mereka tidak memerangi dan menindas umat Islam.
Landasan lain yang juga menjadi dasar bagi setiap muslim dalam hubungannya dengan non muslim adalah larangan yang tegas dari Allah swt agar umat Islam tidak memaksa seseorang atau sekelompok orang untuk memeluk Islam. Firman Allah swt:
لااكره فى الدين قد تبين الرشد من الغي
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat” (Q.S. Al-Baqarah : 256).
افأنت تكره الناس حتى يكونوا مومنين
“Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus : 99)
Dalam sejarah peradaban Islam, terutama pada masa Nabi saw dan para Khalifah sesudah beliau, hubungan harmonis antara umat Islam dengan non muslim selalu rukun dan harmonis. Mereka saling menjaga dan melindungi, saling kerja sama dan bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang menyerang mereka. Tidak satu dokumen pun yang menyebutkan adanya perlakuan tidak wajar umat Islam terhadap non-muslim. Hal ini berbeda sekali dengan sejarah yang terjadi di negara-negara Barat di mana umat Islam yang minoritas selalu mengalami nasib yang menyedihkan, tertindas dan sama sekali tidak memiliki kemerdekaan dalam beragama. Kejadian mutakhir di Bosnia Herzegovina, Kosovo, Checnia, dan lain-lain menunjukkan bahwa minoritas umat Islam yang berada di tengah-tengah mayoritas non muslim selalu terbelenggu dan tertindas.
Rasulullah saw serta para Khalifah sesudah beliau telah mengembangkan suatu pola hubungan yang harmonis antara umat Islam dan non muslim, dengan memberikan hak-hak kepada setiap non muslim atau disebut pula ahlu al-dzimmah yang memadai. Hak-hak tersebut, di antaranya adalah:
Pertama, hak perlindungan terhadap setiap non muslim. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap segala macam pelanggaran (serangan) yang berasal dari luar negeri, maupun terhadap segala macam kezaliman yang berasal dari dalam negeri.
Dalam hal perlindungan terhadap pelanggaran dari luar negeri, hak yang diberikan kepada non muslim sama dengan hak yang diterima oleh muslim. Dalam kitab “Mathâlib Ulin Nuha”, salah satu kitab dalam mazhab Hanbali, menyebutkan bahwa “Seorang imam (pemimpin) wajib menjaga keselamatan ahlu al-dzimmah dan mencegah siapa saja yang mengganggu mereka, melepaskan mereka dari tindakan penawanan dan menolak kejahatan siapa saja yang ditujukan kepada mereka”. Imam Qarafi al-Maliki dalam kitabnya “Al-Furûq”, yang mengutip ucapan Imam Ibn Hazm juga menyatakan “Apabila kaum kafir datang ke negeri kita karena hendak mengganggu orang yang berada dalam perlindungan akad dzimmah, maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah swt dan dzimmmah Rasul-Nya.”.
Dari dua kutipan di atas, maka jelaslah bahwa hubungan baik dan tindakan adil yang harus dilakukan umat Islam terhadap non muslim tidak hanya tertulis dalam sumber-sumber Islam, tetapi juga secara hiostoris telah dilakukan oleh para pemimpin dan khalifah Islam.
Perlindungan terhadap non muslim dari kezaliman yang berasal dari dalam negeri juga ditunjukkan oleh Rasulullah saw, para khalifah dan pemimpin Islam lainnya. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw menyatakan: “Barangsispa mengganggu seorang dzimmah, sungguh ia telah menggangguku, dan barangsiapa yang menggangguku sungguh ia telah mengganggu Allah”.
Para kahlifah sesudah Rasulullah juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadp non muslim. Umar ibn al-Khaththab r.a. selalu menanyai orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan ahlu al-dzimmah karena khawatir ada di antara kaum muslimin yang menimbulkan suatu gangguan terhadap mereka. Bahkan dalam kitab “Ahkâm al-Dzimmiyyîn wa al-Mustakmanîn” disebutkan bahwa Ali ibn Abi Thalib pernah berkata: “Ahlu al-dzimmah membayar jizyah agar harta mereka sama dengan harta kita dan nyawa mereka sama seperti nyawa kita”.
Kedua, perlindungan nyawa dan badan. Hak perlindungan yang diterapkan bagi non muslim yang berada di tengah-tengah masyarakat Islam juga mencakup perlindungan keselamatan nyawa dan badan mereka sebagaimana mencakup pula harta dan kehormatan mereka. Darah dan nyawa non muslim sepenuhnya dijamin keselamatannya dengan kesepakatan kaum muslimin. Pembunuhan atas mereka haram berdasarkan ketetapan ijma. Rasulullah saw juga bersabda: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahad (yakni yang terikat perjanjian keselamatan dengan kaum muslimin) tidak akan mencium bau harum surga, sedangkan harusmnya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun”.
Ketiga, perlindungan terhadap harta benda. Perlindungan terhadap harta benda non muslim yang hidup di lingkungan masyarakat Islam ini telah disepakati oleh seluruh madzhab di seluruh negeri. Dalam kitab “Al-Kharaj”, Abu Yusuf meriwayatkan sebagian perjanjian nabi saw dengan orang-orang Nasrani Najran: “....Bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya, atas harta benda mereka, tempat-tempat peribadatan mereka serta apa saja yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik yang sedikit ataupun yang banyak.....”.
Umar ibn al-Khaththab juga pernah memberikan pesan kepada Abu Ubaidah, yakni: “Cegahlah kaum muslimin dari bertindak zalim terhadap ahlu al-dzimmah, mengganggu ataupun memakan harta mereka kecuali dengan cara-cara yang menghalalkannya”.
Tentu saja hak-hak yang diberikan kepada non muslim yang hidup di lingkungan masyarakat Islam tidak hanya terbatas pada tiga jenis yang disebutkan di atas. Insya Allah dalam tulisan selanjutnya akan diteruskan kepada pembahasan mengenai hak-hak yang lain, yang mencakup perlindungan terhadap kehormatan, jaminan hari tua dan kemiskinan, kebebasan beragama, kebebasan bekerja dan berusaha, jabatan dalam pemerintahan, dan lain-lainnya.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment