Sebentar lagi kita menghadapi Hari Raya Kurban Tahun 1421 H. Pada hari agung yang ditunggu-tunggu oleh para jemaah haji itu, umat Islam ditantang untuk berkorban dengan cara menyembelih hewan tertentu demi menjunjung tinggi solidaritas kepada sesama, terutama kepada mereka yang miskin, papa dan tertindas. Penyembelihan hewan tertentu sesungguhnya merupakan simbol dari pengorbanan yang lebih hakiki, yaitu kesediaan berkorban dalam membela kebenaran; membela dan membantu kaum yang tertindas, miskin dan papa; membela agama Allah dan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul-Nya; dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba membahas tentang pentingnya berbuat baik kepada sesama, yang di dalamnya juga mengandung hakikat kurban, yaitu berkorban demi “kebaikan”.
Kebaikan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan sosial, kini ibarat barang langka yang sulit ditemukan di tengah kita. Yang justru ditemukan adalah kecenderungan semakin kuatnya sifat-sifat egoistik, angkuh, sombong, merasa diri paling benar, perusakan dan kerusuhan. Manusia kita ibarat serigala bagi manusia yang lain, sehingga tega mengorbankan hidup sesamanya (homo homini lupus). Kecenderungan manusia untuk menghancurkan hidup sesamanya melalui ancaman, teror, perusakan, pembunuhan dan lain-lain adalah bukti lemahnya komitmen dan keberpihakan kita pada kebaikan.
Lalu, kemana fitrah kemanusiaan yang sejatinya selalu cenderung kepada yang baik dan mencintai kebaikan? Bukankah Tuhan telah menganugerahi manusia sebagai makhluk hanief yang pada dasarnya menolak kebencian, permusuhan, keburukan, dan kejahatan? Manusia memang memiliki fitrah suci dan watak dasar yang hanief. Fitrah suci dan hanief sesungguhnya tidak pernah hilang dari diri manusia. Hanya saja, manusia tidak selamnya setia kepada fitranya, di samping juga kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, ketidaksetiaan manusia pada fitrahnya serta kelemahan yang dimilikinya kemudian menjadi pintu bagi masuknya kejahatan pada manusia. Meskipun kejahatan lebih disebabkan oleh faktor yang datang dari luar, tetapi karena ia masuk ke dalam diri manusia melalui suatu kualitas yang inheren pada dirinya, yakni kelemahan, maka kejahatan pun bisa jadi menjadi hakikat manusia. Dengan kelemahannya itu, manusia terkadang tidak mampu mengendalikan dirinya. Ia bisa marah, benci, memusuhi, merusak atau membunuh sesamanya. Fitrah suci manusia dan kelemahannya menyebabkan manusia menjadi makhluk unik, yang tidak selamanya benar dan tidak selamanaya salah.
Oleh karena itu, meskipun asal kejadian manusia bersifat fitrah, cenderung untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, tetapi karena manusia juga memiliki kelemahan yang berpotensi melahirkan kejahatan, maka manusia tetap memerlukan petunjuk (huda) dan bimbingan yang datang dari Allah melalui para nabi-Nya. Ketika potensi kejahatan memasuki jiwa manusia dan masyarakat, dan manusia melalui fitrahnya tidak dapat mengusir potensi kejahatan itu, maka manusia harus mencari petunjuk yang bersifat Ilahiyyah. Dalam koteks inilah, kita perlu menggali dan menelusuri petunjuk-petunjuk Ilahi untuk dijadikan sebagai landasan etik-spiritual, sehingga mampu memotivasi setiap manusia untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan serta mengurangi kecenderungan egosentrisnya.
Agama selalu mendorong para pemeluknya untuk selalu bersikap dan berperilaku baik dan mencintai kebaikan. Karena kebaikan adalah salah satu sifat Tuhan:
هُوَ الَّذِى لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ المَلِكُ الْقُدُّوسُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحنَ اللهِ عَمَّايُشْرِكُوْنَ
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allahdari apa yang mereka sekutukan” (Q.S. Al-Hasyr:23).
Karena kebaikan merupakan salah satu sifat Tuhan, maka olah karenanya menjadi tugas setiap manusia untuk selalu berpihak dan mencintai kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَاِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
“Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah:158).
Berbuat baik dan mencintai kebaikan adalah manifestasi dari persaksian kita atas Keesaan Allah. Lebih dari itu, dengan selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan berarti manusia telah membuktikan dirinya sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Bukankah Allah selalu berbuat baik kepada kita dan semua makhluk-Nya dan selalu mencintai orang-orang yang berbuat baik?
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ
“… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Q.S. Luqman:77);
وَاَحْسِنُوا اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلُمحْسِنِيْنَ
“… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah:195).
Petunjuk-petunjuk tersebut idealnya mampu memotivasi dan mendorong manusia pada kebaikan, dan menyingkapkan kembali fitrahnya yang hanief. Sebab hati orang yang beriman akan selalu bergetar dan bertambah keimanannya setiap kali mendengar, membaca dan menelaah petunjuk-etunjuk Ilahi,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيتُهُ زَادَتْهُمْ اِيْمنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (Q.S. Al-Anfal:2).
Bagi yang beriman, ayat-ayat Allah adalah pendorong dan menjadi landasan etik-spiritual untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang beriman, tiada yang lebih penting bagi mereka kecuali (1) menyegerakan berbuat baik:
يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسرِعُوْنَ فِى اْلخَيْرَاتِ وَاُولَئِكَ مِنَ الصّلِحِيْنَ
“Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ali Imran:114);
(2) berlomba-lomba dalam kebajikan:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“… dan berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebajikan....” (Q.S. Al-Baqarah:148);
Dan (3) menolak segala kejahatan dan permusuhan:
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِىَ اَحْسَنُ فَاِذَالَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِىٌّ حَمِيْمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. 41:34).
Sebelum kebencian dan permusuhan pada sebagian masyarakat kita berubah menjadi penyakit menular dan menjangkiti semua orang, kita perlu memperbaiki dan menyempurnakan kualitas keimanan kita kepada Allah. Sebab seseorang dengan kualitas iman yang baik akan kebal atau imun dari penyakit-penyakit sosial, semacam kebencian dan permusuhan. Dan hanya dengan kualitas iman yang baik, seseorang akan selalu mencintai dan berpihak pada kebaikan.
Kita seharusnya mengambil hikmah dari pengorbanan luar biasa besar yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, ketika keduanya memperoleh titah untuk berkorban. Nabi Ibrahim telah merelakan kehilangan anak yang amat dicintainya. Begitu juga Nabi Ismail, beliau telah rela dirinya di korbankan (disembelih) sebagai bukti kepathuhannya kepada Allah SWT.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ قَالَ يبُنَىَّ اِنِّى اَرى فِى المْنَاَمِ اَنِّى اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرى قَالَ يابَتِ اِفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصّبِرِيْنَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash-Shafat : 102).
Begitulah Ismail, seorang anak muda yang sedari dini telah memiliki ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhannya dan orang tuanya. Waktu itu sesungguhnya Ismail tak lebih hanya sebagai anak manusia yang tentu saja memiliki sifat-sifat layaknya seorang manusia. Ia bisa takut, menangis, ingin tetap hidup dan tentu saja tidak mau disembelih, apalagi oleh orang tuanya sendiri. Kalau bukan karena patuh dan taat kepada Allah SWT dan orang tuanya, tentu saja Ismail akan serta-merta menolak dirinya disembelih. Kepatuhan, ketaatan, pasrah kepada Rab-nya, dan ridla akan takdir-Nya telah menjadikan Ibrahim dan Ismail sebagai sosok manusia yang lulus mengikuti ujian-Nya. Suatu ujian yang tidak hanya harus mengorbankan harta dan kekayaan; melainkan nyawa dan anak tercinta.
Berdasarkan kisah sejarah yang melatari disyari’atkannya kurban, yaitu pada masa Ibrahim dan Ismail, maka dapat dikatakan bahwa kurban pada hakikatnya adalah untuk membuktikan kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Allah Rabbul Alamin. Ia juga merupakan ujian atas hamba-Nya. Dengan kurban manusia diuji kesabaran, kerelaan untuk menyisihkan sebagian hartanya, kesediaannya untuk solider terhadap sesama hamba Allah, serta berkorban demi kebaikan, karena kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT adalah suatu kebaikan yang tiada tara.
Dengan demikian di dalam pelaksanaan ibadah kurban terkandung dua dimensi penting, yaitu dimensi Ilahiyah dan insaniyah. Dimensi Ilahiyah erat kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Kesediaan untuk menyediakan hewan ternak tertentu untuk disembelih pada waktu yang telah ditentukan, mengindikasikan hubungan manusia dengan Tuhannya atas dasar kepatuhan, ketaatan, kerelaan (keridlaan), dan kesabaran. Manusia yang telah memiliki kesadaran hubungan Ilahiyah (hablun minallah) yang seperti itu sekaligus juga memiliki kesadaran bahwa harta kekayaan yang dimilikinya semata-mata hanyalah titipan dan amanah dari Rabnya. Ia menyadari bahwa pada hakikatnya kedatangan atau kelahiran dirinya ke dunia tidak membawa dan tidak memiliki apa pun, selain dari titipan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Dimensi insaniyah erat kaitannya dengan hubungan horizontal (hablun minannas) antar sesama manusia, masyarakat dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan kurban, yang dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, menunjukkan bahwa solidaritas sosial perlu dibangun untuk memperkuat dan memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan. Dengan penyembelihan hewan kurban, seseorang menyadari bahwa sikap egois, serakah dan ingin untung sendiri tiada lain hanyalah sifat-sifat yang akan dapat meruntuhkan sendi-sendi bangunan sosial.
Ia pun menyadari bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota masyarakat. Dalam hal ini kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq hanyalah simbol dan cerminan dari betapa pentingnya stiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan bagi terwujudnya kehidupan sosial yang tangguh. Dengan kata lain, kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan selama hari tasyriq, harus pula diikuti dengan kesedian untuk berkorban demi kebaikan, seperti tenggang rasa, tolong-menolong, saling membantu, menghargai perbedaan, toleransi dan lain-lain.
Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat dalam berbagai bentuk pengorbanan, maka ibadah kurban tidak akan memiliki hikmah dan atsar yang sempurna bagi seseorang. Ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak tertentu baru akan memiliki hikmah bagi seseorang dan bagi masyarakat, jika ia diikuti dengan kesediaan berkorban kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua tauladan pembela kebaikan, yang telah membela dan berkorban demi kebaikan, yang dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Bagi kita yang hidup di negeri yang sedang dilanda berbagai pergolakan, seperti konflik etnik-keagamaan dan konflik kepentingan di tingkat elit dan massa, kesediaan untuk berkorban demi kebaikan bersama adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berkorban demi kebaikan, semoga!!
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment