Monday, July 2, 2007

Berkorbanlah untuk Kebaikan

Sebentar lagi kita menghadapi Hari Raya Kurban Tahun 1421 H. Pada hari agung ‎yang ditunggu-tunggu oleh para jemaah haji itu, umat Islam ditantang untuk ‎berkorban dengan cara menyembelih hewan tertentu demi menjunjung tinggi solidaritas ‎kepada sesama, terutama kepada mereka yang miskin, papa dan tertindas. ‎Penyembelihan hewan tertentu sesungguhnya merupakan simbol dari pengorbanan yang ‎lebih hakiki, yaitu kesediaan berkorban dalam membela kebenaran; membela dan ‎membantu kaum yang tertindas, miskin dan papa; membela agama Allah dan ajaran-‎ajaran yang dibawa Rasul-Nya; dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba membahas ‎tentang pentingnya berbuat baik kepada sesama, yang di dalamnya juga mengandung ‎hakikat kurban, yaitu berkorban demi “kebaikan”.‎
Kebaikan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan sosial, kini ibarat barang ‎langka yang sulit ditemukan di tengah kita. Yang justru ditemukan adalah ‎kecenderungan semakin kuatnya sifat-sifat egoistik, angkuh, sombong, merasa diri ‎paling benar, perusakan dan kerusuhan. Manusia kita ibarat serigala bagi manusia ‎yang lain, sehingga tega mengorbankan hidup sesamanya (homo homini lupus). ‎Kecenderungan manusia untuk menghancurkan hidup sesamanya melalui ancaman, teror, ‎perusakan, pembunuhan dan lain-lain adalah bukti lemahnya komitmen dan keberpihakan ‎kita pada kebaikan. ‎
Lalu, kemana fitrah kemanusiaan yang sejatinya selalu cenderung kepada yang ‎baik dan mencintai kebaikan? Bukankah Tuhan telah menganugerahi manusia sebagai ‎makhluk hanief yang pada dasarnya menolak kebencian, permusuhan, keburukan, dan ‎kejahatan? Manusia memang memiliki fitrah suci dan watak dasar yang hanief. Fitrah ‎suci dan hanief sesungguhnya tidak pernah hilang dari diri manusia. Hanya saja, ‎manusia tidak selamnya setia kepada fitranya, di samping juga kelemahan yang ‎dimiliki oleh manusia. Karena itu, ketidaksetiaan manusia pada fitrahnya serta ‎kelemahan yang dimilikinya kemudian menjadi pintu bagi masuknya kejahatan pada ‎manusia. Meskipun kejahatan lebih disebabkan oleh faktor yang datang dari luar, ‎tetapi karena ia masuk ke dalam diri manusia melalui suatu kualitas yang inheren ‎pada dirinya, yakni kelemahan, maka kejahatan pun bisa jadi menjadi hakikat ‎manusia. Dengan kelemahannya itu, manusia terkadang tidak mampu mengendalikan ‎dirinya. Ia bisa marah, benci, memusuhi, merusak atau membunuh sesamanya. Fitrah ‎suci manusia dan kelemahannya menyebabkan manusia menjadi makhluk unik, yang tidak ‎selamanya benar dan tidak selamanaya salah.‎
Oleh karena itu, meskipun asal kejadian manusia bersifat fitrah, cenderung ‎untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, tetapi karena manusia juga memiliki ‎kelemahan yang berpotensi melahirkan kejahatan, maka manusia tetap memerlukan ‎petunjuk (huda) dan bimbingan yang datang dari Allah melalui para nabi-Nya. Ketika ‎potensi kejahatan memasuki jiwa manusia dan masyarakat, dan manusia melalui ‎fitrahnya tidak dapat mengusir potensi kejahatan itu, maka manusia harus mencari ‎petunjuk yang bersifat Ilahiyyah. Dalam koteks inilah, kita perlu menggali dan ‎menelusuri petunjuk-petunjuk Ilahi untuk dijadikan sebagai landasan etik-spiritual, ‎sehingga mampu memotivasi setiap manusia untuk selalu berbuat baik dan mencintai ‎kebaikan serta mengurangi kecenderungan egosentrisnya.‎
Agama selalu mendorong para pemeluknya untuk selalu bersikap dan berperilaku ‎baik dan mencintai kebaikan. Karena kebaikan adalah salah satu sifat Tuhan:‎
هُوَ الَّذِى لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ المَلِكُ الْقُدُّوسُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ‏سُبْحنَ اللهِ عَمَّايُشْرِكُوْنَ
‎“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha ‎Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, ‎Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allahdari apa yang ‎mereka sekutukan” (Q.S. Al-Hasyr:23).‎
Karena kebaikan merupakan salah satu sifat Tuhan, maka olah karenanya menjadi ‎tugas setiap manusia untuk selalu berpihak dan mencintai kebaikan, sebagaimana ‎firman Allah SWT: ‎
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَاِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
‎“Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka ‎sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-‎Baqarah:158). ‎
Berbuat baik dan mencintai kebaikan adalah manifestasi dari persaksian kita ‎atas Keesaan Allah. Lebih dari itu, dengan selalu berbuat baik dan mencintai ‎kebaikan berarti manusia telah membuktikan dirinya sebagai khalifah atau wakil ‎Allah di muka bumi. Bukankah Allah selalu berbuat baik kepada kita dan semua ‎makhluk-Nya dan selalu mencintai orang-orang yang berbuat baik? ‎
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ
‎“… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ‎baik kepadamu…” (Q.S. Luqman:77); ‎
وَاَحْسِنُوا اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلُمحْسِنِيْنَ
‎“… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ‎berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah:195).‎
Petunjuk-petunjuk tersebut idealnya mampu memotivasi dan mendorong manusia ‎pada kebaikan, dan menyingkapkan kembali fitrahnya yang hanief. Sebab hati orang ‎yang beriman akan selalu bergetar dan bertambah keimanannya setiap kali mendengar, ‎membaca dan menelaah petunjuk-etunjuk Ilahi, ‎
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيتُهُ ‏زَادَتْهُمْ اِيْمنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
‎“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut ‎Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ‎bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (Q.S. Al-‎Anfal:2). ‎
Bagi yang beriman, ayat-ayat Allah adalah pendorong dan menjadi landasan ‎etik-spiritual untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan. Dalam kehidupan ‎sehari-hari orang yang beriman, tiada yang lebih penting bagi mereka kecuali (1) ‎menyegerakan berbuat baik: ‎
يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ‏وَيُسرِعُوْنَ فِى اْلخَيْرَاتِ وَاُولَئِكَ مِنَ الصّلِحِيْنَ
‎“Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang ‎ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai ‎kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ali Imran:114); ‎
‎(2) berlomba-lomba dalam kebajikan: ‎
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
‎“… dan berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebajikan....” (Q.S. Al-‎Baqarah:148); ‎
Dan (3) menolak segala kejahatan dan permusuhan: ‎
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِىَ اَحْسَنُ فَاِذَالَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَوَةٌ ‏كَأَنَّهُ وَلِىٌّ حَمِيْمٌ
‎“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan ‎cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada ‎permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. 41:34).‎
Sebelum kebencian dan permusuhan pada sebagian masyarakat kita berubah ‎menjadi penyakit menular dan menjangkiti semua orang, kita perlu memperbaiki dan ‎menyempurnakan kualitas keimanan kita kepada Allah. Sebab seseorang dengan kualitas ‎iman yang baik akan kebal atau imun dari penyakit-penyakit sosial, semacam ‎kebencian dan permusuhan. Dan hanya dengan kualitas iman yang baik, seseorang akan ‎selalu mencintai dan berpihak pada kebaikan.‎
Kita seharusnya mengambil hikmah dari pengorbanan luar biasa besar yang ‎dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, ketika keduanya memperoleh titah untuk ‎berkorban. Nabi Ibrahim telah merelakan kehilangan anak yang amat dicintainya. ‎Begitu juga Nabi Ismail, beliau telah rela dirinya di korbankan (disembelih) ‎sebagai bukti kepathuhannya kepada Allah SWT. ‎
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ قَالَ يبُنَىَّ اِنِّى اَرى فِى المْنَاَمِ اَنِّى اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرى قَالَ ‏يابَتِ اِفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصّبِرِيْنَ
‎“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama ‎Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa ‎aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, ‎kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku ‎termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash-Shafat : 102).‎
Begitulah Ismail, seorang anak muda yang sedari dini telah memiliki ketaatan ‎dan kepatuhan kepada Tuhannya dan orang tuanya. Waktu itu sesungguhnya Ismail tak ‎lebih hanya sebagai anak manusia yang tentu saja memiliki sifat-sifat layaknya ‎seorang manusia. Ia bisa takut, menangis, ingin tetap hidup dan tentu saja tidak ‎mau disembelih, apalagi oleh orang tuanya sendiri. Kalau bukan karena patuh dan ‎taat kepada Allah SWT dan orang tuanya, tentu saja Ismail akan serta-merta menolak ‎dirinya disembelih. Kepatuhan, ketaatan, pasrah kepada Rab-nya, dan ridla akan ‎takdir-Nya telah menjadikan Ibrahim dan Ismail sebagai sosok manusia yang lulus ‎mengikuti ujian-Nya. Suatu ujian yang tidak hanya harus mengorbankan harta dan ‎kekayaan; melainkan nyawa dan anak tercinta.‎
Berdasarkan kisah sejarah yang melatari disyari’atkannya kurban, yaitu pada ‎masa Ibrahim dan Ismail, maka dapat dikatakan bahwa kurban pada hakikatnya adalah ‎untuk membuktikan kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Allah Rabbul Alamin. Ia ‎juga merupakan ujian atas hamba-Nya. Dengan kurban manusia diuji kesabaran, ‎kerelaan untuk menyisihkan sebagian hartanya, kesediaannya untuk solider terhadap ‎sesama hamba Allah, serta berkorban demi kebaikan, karena kepatuhan dan ketaatan ‎kepada Allah SWT adalah suatu kebaikan yang tiada tara.‎
Dengan demikian di dalam pelaksanaan ibadah kurban terkandung dua dimensi ‎penting, yaitu dimensi Ilahiyah dan insaniyah. Dimensi Ilahiyah erat kaitannya ‎dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Kesediaan untuk ‎menyediakan hewan ternak tertentu untuk disembelih pada waktu yang telah ‎ditentukan, mengindikasikan hubungan manusia dengan Tuhannya atas dasar kepatuhan, ‎ketaatan, kerelaan (keridlaan), dan kesabaran. Manusia yang telah memiliki ‎kesadaran hubungan Ilahiyah (hablun minallah) yang seperti itu sekaligus juga ‎memiliki kesadaran bahwa harta kekayaan yang dimilikinya semata-mata hanyalah ‎titipan dan amanah dari Rabnya. Ia menyadari bahwa pada hakikatnya kedatangan atau ‎kelahiran dirinya ke dunia tidak membawa dan tidak memiliki apa pun, selain dari ‎titipan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.‎
Dimensi insaniyah erat kaitannya dengan hubungan horizontal (hablun minannas) ‎antar sesama manusia, masyarakat dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan ‎kurban, yang dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, ‎menunjukkan bahwa solidaritas sosial perlu dibangun untuk memperkuat dan ‎memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan. Dengan penyembelihan hewan kurban, ‎seseorang menyadari bahwa sikap egois, serakah dan ingin untung sendiri tiada lain ‎hanyalah sifat-sifat yang akan dapat meruntuhkan sendi-sendi bangunan sosial. ‎
Ia pun menyadari bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan ‎pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota ‎masyarakat. Dalam hal ini kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya ‎Idul Adha dan hari-hari tasyriq hanyalah simbol dan cerminan dari betapa pentingnya ‎stiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan bagi terwujudnya kehidupan sosial ‎yang tangguh. Dengan kata lain, kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari ‎raya Idul Adha dan selama hari tasyriq, harus pula diikuti dengan kesedian untuk ‎berkorban demi kebaikan, seperti tenggang rasa, tolong-menolong, saling membantu, ‎menghargai perbedaan, toleransi dan lain-lain.‎
Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat dalam berbagai ‎bentuk pengorbanan, maka ibadah kurban tidak akan memiliki hikmah dan atsar yang ‎sempurna bagi seseorang. Ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak tertentu ‎baru akan memiliki hikmah bagi seseorang dan bagi masyarakat, jika ia diikuti ‎dengan kesediaan berkorban kepada masyarakat, bangsa dan negara.‎
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua tauladan pembela kebaikan, yang telah ‎membela dan berkorban demi kebaikan, yang dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhan ‎kepada Allah SWT. Bagi kita yang hidup di negeri yang sedang dilanda berbagai ‎pergolakan, seperti konflik etnik-keagamaan dan konflik kepentingan di tingkat elit ‎dan massa, kesediaan untuk berkorban demi kebaikan bersama adalah sesuatu yang ‎tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berkorban demi kebaikan, semoga!!‎

No comments: