Inferensi Yang Berkaitan Dengan
Koefisien Korelasi
(Inferences Involving Correlation Coefficients)
A. Pengantar
Dalam statistik, Koefisien Korelasi merupakan gambaran atau indikasi tingkat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ketika seorang peneliti ingin mengetahui keterkaitan antara, misalnya, skor atau nilai kemampuan membaca dengan skor atau nilai matematika siswa, ia dapat melakukannya dengan menghitung koefisien korelasi antara kedua kelompok skor itu, sehingga ditemukan tingkat keterkaitannya; sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi, positif atau negatif.
Dalam penelitian bidang pendidikan, koefisien korelasi antara dua atau beberapa variabel adalah jenis uji statistik yang banyak dilakukan, bahkan mungkin termasuk jenis uji statistik yang paling populer digunakan. Beberapa waktu yang lalu, salah seorang senior kita yang meraih gelar Doktor pertama pada Program Studi Pendidikan Islam kita, juga menggunakan jenis uji ini, sehingga ia dapat menentukan pengaruh kepemimpinan kepala, supervisi akademik, dan budaya organisasi (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama; langsung maupun tidak langsung) terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah di Jawa Barat.
Meskipun temuan-temuan penelitian yang digambarkan melalui koefisien korelasi memiliki banyak kekurangan, terutama apabila variabel-variabel yang diuji jumlahnya terbatas, sehingga tidak mampu menggambarkan hubungan antarvariabel secara lebih komprehensif; namun karena berbagai keunggulan yang dimiliki oleh jenis uji ini, khususnya karena waktu yang dibutuhkannya yang relatif tidak terlalu lama, maka jenis uji ini menjadi favorit di kalangan para peneliti dan evaluator pendidikan.
Pada bab 11 yang berjudul “Inferences Involving Correlation Coefficients” dari buku “Statistics: A Spectator Sport” karya Richard M. Jaeger ini, penulis buku memberikan contoh bagaimana memahami hasil-hasil kesimpulan penelitian yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi. Dengan menganalisis dua laporan hasil penelitian, Jaeger menyajikan tinjauan kritis terhadap kedua laporan hasil penelitian tersebut.
Sebelum mencoba mendeskripsikan perspektif kritis Jaeger terhadap kedua penelitian tersebut, pertama-tama perlu dipahami terlebih dahulu beberapa kata kunci (keywords) yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi. Pertama, inferensi, secara sederhana dapat dimaknai sebagai menaksir atau menyimpulkan (to infer) tentang parameter populasi dengan menggunakan statistik sampel. Kedua, koefisien korelasi (correlation coefficient) adalah statistik yang menggambarkan derajat hubungan (degree of relationship) antara dua variabel. Ketiga, pengujian hipotesis (hypothesis testing) dimaksudkan sebagai pengujian terhadap hipotesis nol. Keempat, Kekeliruan Tipe I (Type I Error) terjadi ketika peneliti menolak hipotesis nol yang benar. Kelima, Kekeliruan Tipe II (Type II Error) adalah kekeliruan yang terjadi ketika peneliti tidak menolak hipotsis nol yang salah. Keenam, validitas eksternal (external validity) adalah melakukan generalisasi dari suatu kesimpulan yang didasarkan pada sampel tertentu kepada populasi dan konteks yang berbeda dari sampel penelitian.
B. Memahami Inferensi yang Berkaitan dengan Koefisien Korelasi
Dalam bab ini Jaeger menggunakan dua contoh penelitian untuk memahami inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi. Kedua penelitian tersebut adalah: Pertama, Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) dengan Faktor-faktor Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah (School Factors). Kedua, Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di Kelas.
1. Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) dengan Faktor-faktor Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah (School Factors)
Penelitian yang dilakukan oleh Wrabel (1985) ini berjudul Ego Identity, Cognitive Ability, and Academic Achievement: Variances, Relationships, and Gender Differences Among High School Sophomores. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan derajat hubungan antara identitas ego siswa kelas II SMA dengan sejumlah faktor-faktor kognitif dan sekolah, yang mencakup Cognitive Verbal Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point Average (GPA), dan Normed Test Achievement (NTA). Melalui penelitian ini, Wrabel juga ingin menemukan konstrak atau konsep yang lebih baik yang dapat digunakan untuk memprediksi identitas ego siswa, yang menurut peneliti penting bagi para guru BP (counselor) dan tenaga kependidikan lainnya.
Data penelitian dikumpulkan dari sampel yang berjumlah 202 siswa SMA yang berasal dari SMA di pinggiran kota Cleveland, Ohio, yang berpenduduk 31,000 orang. Sebetulnya responden yang ditetapkan berjumlah 240 siswa dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang seimbang. Tetapi karena berbagai alasan (ketidakhadiran pada saat data dikumpulkan dan ketiadaan izin orang tua), responden yang berhasil dijaring hanya 202 (84%).
Instrumen pengumpul data untuk variabel-variabel CVA, CQA, dan NTA menggunakan “3-R’s Verbal Abilities, Quantitative Abilities, and Achievement Test: Ohio Version, Form A, Level 15/16”. Instrumen pengukuran variabel Identitas Ego menggunakan “Rasmussen Ego Identity Scale: Revised Short Form”. Sedangkan data untuk variabel GPA berasal dari rata-rata data prestasi siswa.
Setelah data terkumpul, Wrabel melakukan pengujian tiap-tiap pasangan variabel dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment Pearson. Analisis data dilakukan dengan memisahkan dan menggabungkan jenis kelamin responden sebagai variabel moderatornya.
Hasil pengujian dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment Pearson dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1: Interkorelasi antara Variabel-variabel Identitas Ego, Cognitive Verbal Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point Average (GPA), dan Normed Test Achievement (NTA) untuk Laki-laki, Perempuan, dan Keseluruhan Subjek
Variabel Identitas Ego Cognitive Verbal Ability Cognitive Quantita-tive Ability Normed Test Achieve-ment Grade Point Average
Laki-laki
Ego Identity 1,00
Cognitive Verbal Ability 0,19 1,00
Cognitive Quantitative Ability 0,20* 0,72*** 1,00
Normed Test Achievement 0,14 0,82*** 0,80*** 1,00
Grade Point Average 0,19 0,38*** 0,46*** 0,46*** 1,00
Perempuan
Ego Identity 1,00
Cognitive Verbal Ability 0,16 1,00
Cognitive Quantitative Ability 0,03 0,66*** 1,00
Normed Test Achievement 0,13 0,84*** 0,78*** 1,00
Grade Point Average 0,22 0,51*** 0,49*** 0,57*** 1,00
Semua Subjek
Ego Identity 1,00
Cognitive Verbal Ability 0,18** 1,00
Cognitive Quantitative Ability 0,12 0,69*** 1,00
Normed Test Achievement 0,15* 0,83*** 0,82*** 1,00
Grade Point Average 0,21** 0,44*** 0,46*** 0,51*** 1,00
*** < 0,001
** < 0,01
* < 0,05
Berdasarkan tabel di atas, Wrabel menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara NTA dengan CQA, antara NTA dengan CVA, antara CQA dengan CVA, antara GPA dengan CQA, antara GPA dengan NTA, dan antara GPA dengan CVA bagi kedua kelompok siswa laki-laki dan perempuan. Temuan ini menurut Wrabel sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cross dan Allen (1970). Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecakapan kognitif dengan prestasi akademik apabila siswa laki-laki dan perempuan dihitung secara terpisah.
Wrabel juga menyimpulkan bahwa antara EI dan CQA berkorelasi secara positif (0,20, < 0,05) untuk siswa laki-laki, meskipun kekuatan hubungannya lemah. Sebaliknya korelasi positif signifikan terjadi antara EI dengan GPA untuk siswa perempuan (0,22, < 0,05). Temuan ini menurut Wrabel juga sesuai dengan temuan Hummel dan Roselli (1983).
Kesimpulan Wrabel berikutnya berdasarkan tabel data di atas adalah bahwa ketika siswa laki-laki dan perempuan diuji secara bersama-sama, terdapat korelasi yang signifikan antara NTA dengan CVA, NTA dengan CQA, CQA dengan CVA, GPA dengan NTA, GPA dengan CQA, dan GPA dengan CVA. Temuan ini sejalan dengan temuan Chang (1982). Berdasarkan temuan ini, Wrabel menyimpulkan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecakapan kognitif dengan prestasi akademik ketika subjek laki-laki dan perempuan dikaji secara bersama-sama.
Dengan mencermati tabel di atas, kita menemukan bahwa beberapa koefisien korelasi ada yang tanpa ditandai tanda bintang, ada yang ditandai dengan satu bintang, dua bintang, dan tiga bintang; yang berarti bahwa peneliti melakukan pengujian signfikansi atau probabilitas statistik korelasional. Dengan begitu, untuk setiap koefisien korelasi pada tabel tersebut, Wrabel menguji Hipotesis Nol—dalam hubungannya dengan populasi yang akan digeneralisasikannya—sama dengan nol (H0: =0); sebaliknya Hipotesis Alternatif yang berkaitan dengan koefisien korelasi populasi tidak sama dengan nol (H1: ≠0).
Tanda bintang pada masing-masing koefisien korelasi juga dapat dimaknai bahwa:
• Tiadanya tanda bintang berarti koefisien korelasi tidak signifikan pada tingkat signifikansi 0,05.
• Tanda bintang satu menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak pada tingkat signifikansi 0,05.
• Tanda bintang dua menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak pada tingkat signifikansi 0,01.
• Tanda bintang tiga menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak pada tingkat signifikansi 0,001.
Dengan demikian, melalui pengujian terhadap sampel sebanyak 202 siswa, Wrabel sekaligus berusaha melakukan inferensi terhadap populasi, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari pengujian terhadap sampel statistik ia gunakan untuk menyimpulkan (to infer) koefisien korelasi populasi.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan itu, Jaeger membuat catatan-catatan kritis sebagai berikut:
Pertama, kesimpulan Wrabel bahwa penelitiannya menghasilkan temuan tentang adanya korelasi antara identitas ego dengan berbagai kecakapan kognitif siswa (cognitive ability, achievement test score dan grade point average), sesungguhnya akan lebih tepat bila dikatakan bahwa tingkat korelasinya rendah.
Kedua, meskipun beberapa koefisien korelasi secara statistik signifikan, tetapi satu-satunya kesimpulan yang mendukung dari temuannya adalah bahwa dalam suatu populasi (kelas II SMA) di mana sampel diambil, angka yang berkaitan dengan korelasi akan selalu berbeda dari nol. Pendeknya, uji korelasi jarang sekali yang menghasilkkan koefisien korelasi sama dengan nol. Dengan demikian, temuan Wrabel sama sekali tidak mendukung suatu keyakinan bahwa identitas ego siswa berkaitan dengan kecakapan kognitif mereka.
Ketiga, seperti juga pada penelitian-penelitian lainnya, inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi juga berhadapan dengan problem validitas eksternal. Dengan sampel yang diambil dari SMA di pinggiran kota, tentunya belum bisa dikatakan mewakili populasi yang luas, dan dengan demikian kesimpulannya tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi seluruh populasi kelas II SMA.
2. Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di Kelas
Penelitian ini berjudul Relations between Teacher Attitudes and Teacher Behavior in Ninth-Grade Algebra Classes yang dilakukan oleh McConnel pada tahun 1978. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap guru dan perilaku mereka di dalam kelas.
McConnel menetapkan 47 guru aljabar tingkat sembilan sebagai sampel yang diambil secara purposive. Data-data yang berkenaan dengan variabel sikap guru diambil dengan menggunakan kuesioner (self-reported). Sedangkan data tentang perilaku guru dikumpulkan melalui pengamatan yang dilakukan oleh dua orang pengamat dewasa dan juga berasal dari penilaian para siswa terhadap perilaku guru di kelas.
Karena laporan penelitian yang dilakukan oleh McConnel memuat banyak data beserta tabelnya, Jaeger hanya fokus pada dua hal penting yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi dari hasil penelitian McConnel ini. Pertama, selain untuk mengetahui hubungan antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas, McConnel juga menguji reliabilitas instrumen pengukuran perilaku guru antara skor-skor hasil pengamatan pada kunjungan ketiga dan keempat. Dengan upaya ini McConnel ingin mengetahui apakah instrumen atau pengamatan satu dengan yang lainnya reliabel atau tidak. Kedua, fokus Jaeger pada inti penelitian McConnel, yakni inferensinya terhadap koefisien korelasi antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas.
a. Koefisien Reliabilitas Pengukuran
Berkenaan dengan fokus pertama, McConnel menyajikan data tentang korelasi rata-rata skor dua penilai (rater) antara kunjungan ketiga dan keempat ketika melakukan pengukuran/penilaian terhadap perilaku guru di kelas, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2: Korelasi antara Skor-skor dalam Lembar Penilaian Kunjungan Kelas Ketiga dan Keempat dalam 43 Kelas
Item r
PR1 Clarity 0,382*
PR2 Variability 0,375*
PR3 Enthusiasm 0,636**
PR4 Business-like 0,533**
PR5 Uses Student Ideas 0,398**
PR6 Critism 0,565**
PR7 Structures Lesson 0,347*
PR8 Higher Cognitive Questions 0,595**
PR9 Probing Questions 0,332*
PR10 Difficulty of Lesson -0,147
* < 0,05
** < 0,01
Dengan koefisien korelasi itu, McConnel menyimpulkan bahwa instrumen (proses penilaian oleh pengamat) untuk aspek Difficulty of Lesson tidak reliabel antara pengamatan pada kunjungan ketiga dengan kunjungan keempat (-0,147), sedangkan penilaian perilaku untuk aspek-aspek lainnya reliabel.
McConnel juga menguji Hipotesis Nol (H0) yang berbunyi: “penilaian pengamat terhadap perilaku guru di kelas antara penilaian pada kunjungan ketiga tidak berkorelasi dengan penialaian pada kunjungan keempat”. Jika H0 benar untuk skala tertentu (misalnya aspek “Clarity”), berarti skala penilaian observer terhadap perilaku guru pada kunjungan ketiga dan keempat tidak reliabel.
Pada tabel 2 di atas, McConnel tidak menetapkan tingkat Kekeliruan Tipe I (Type I Error level), tetapi ia hanya melaporkan tingkat signifikansi tiap koefisien korelasi ketika membandingkannya dengan nilai kritis yang sesuai dengan dua tingkat signifikansi ( = 0,05 dan = 0,01). Dengan begitu, dapat dikatakan bila koefisien korelasi disertai dengan satu tanda bintang, berarti koefisien korelasi itu siginifikan pada taraf signifikansi = 0,05; jika koefisien korelasi disertai dengan dua lambang bintang, berarti Hipotesis Nol ditolak pada taraf signifikansi = 0,01.
Bagi Jaeger, uji signifikansi seperti yang dilaporkan McConnel pada tabel 2 di atas adalah sesuatu yang sangat tidak biasa. Korelasi yang menggambarkan reliabilitas pengukuran (koefisien reliabilitas) biasanya dilakukan hanya untuk sampel dan jarang sekali digunakan untuk menguji Hipotesis Nol yang berkaitan dengan parameter populasi. Dengan kata lain, inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi jarang sekali digunakan dalam pengujian reliabilitas instrumen. Sebab idealnya, sebuah instrumen dikatakan reliabel bila koefisien korelasi antara pengukuran satu dengan lainnya mendekati angka 1; sebaliknya jika koefisien korelasi mendekati angka 0, berarti instrumen atau pengukuran itu kurang atau tidak reliabel.
b. Korelasi antara Sikap Guru dengan Perilaku Mereka di Kelas
Hasil penelitian McConnel tentang korelasi antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas ditampilkan dalam sebuah tabel yang panjang, sehingga dalam chapter report ini tidak ditampilkan. Berdasarkan hasil penelitiannya, McConnel menyimpulkan bahwa penelitiannya itu berhasil membuktikan bahwa sikap guru berkaitan dengan pola perilaku mereka yang dapat diamati oleh observer. Guru yang lebih menikmati pekerjaannya sebagai profesi dan lebih menyukai mata pelajarannya (dalam hal ini matematika) dinilai lebih “jelas” (clearer) dalam penyajiannya, lebih bervariasi dalam penyampaian, lebih antusias, lebih berorientasi pada tugas, lebih dapat menangkap gagasan siswa, lebih tepat dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, dan jarang mendapat kritik dari siswa. Sebaliknya dari itu, guru menjadi kurang jelas dalam penyampaian, kurang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk pembelajaran aljabar, dan kurang menekankan pada logika dan analisis.
Meskipun penelitian terbatas pada guru aljabar, tetapi McConnel memperluasnya menjadi guru matematik. Ia juga menggeneralisasikannya pada aspek yang lebih luas, bahwa kesuksesan belajar pada mata pelajaran aljabar juga analog dengan kesuksesan pada mata pelajaran yang lain.
Dalam tabel-tabel laporan penelitian tentang korelasi antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas, McConnel menyajikan nilai koefisien korelasi (r) sekaligus dengan tingkat probabilitasnya masing-masing. Misalnya, koefisien korelasi antara “Clarity” dengan “Theoretical Orientation” adalah sebesar 0,26, yang kemudian di sebelah kanannya ada kolom “Sig.” sebesar 0,047. Ini dapat diartikan bahwa Hipotesis Nol (H0) yang menyatakan bahwa: Korelasi populasi antara pengamatan observer terhadap aspek “Clarity” guru dengan orientasi teoretis guru sama dengan 0 (H0: =0) ditolak pada tingkat signifikansi = 0,047. Sebaliknya, koefisien korelasi 0,44 antara aspek “Clarity” dengan aspek “Involvement in Teaching” signifikan pada level 0,001. Hal ini berarti bahwa H0 yang berkaitan dengan korelasi populasi sama dengan 0 (H0: =0) ditolak, meskipun peneliti hanya menetapkan resiko kekeliruan tipe I-nya sebesar 0,001.
Bagi Jaeger, meskipun scara statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05, namun koefisien-koefisien korelasi antara aspek-aspek dalam variabel sikap guru dengan aspek-aspek dalam variabel perilaku mereka di kelas adalah termasuk korelasi sedang. Oleh karena itu, Jaeger memberikan dua catatan kritis kalau ingin menggeneralisasikan temuan McConnel tersebut. Pertama, karena sampel yang digunakan McConnel adalah guru-guru aljabar tingkat sembilan yang berasal dari SMA di 13 pinggiran kota, sehingga untuk membuat generalisasi atau inferensi terhadap populasi yang lebih luas menjadi kurang bermakna.
Kedua, fakta bahwa hanya guru-guru aljabar yang dijadikan sebagai sampel, lalu kemudian digeneralisasikan kepada guru-guru lain, mestilah didukung oleh instrumen pengukuran yang reliabel.
C. Kesimpulan
Melakukan inferensi tentang koefisien korelasi terhadap populasi yang luas memang akan sangat membantu dalam menemukan kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang memiliki cakupan luas. Namun demikian, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti dalam melakukan inferensi suatu penelitian tentang sampel statistik bila akan digeneralisasikan terhadap poulasi.
Pertama, sampel yang ditetapkan dalam penelitian mestilah benar-benar representatif, dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak, dengan mempertimbangkan tingkat sampling error sekecil-kecilnya.
Kedua, besar kecilnya koefisien korelasi yang diperoleh juga patut dipertimbangkan. Koefisien korelasi yang mendekati angka 1, mungkin akan lebih kuat untuk melakukan inferensi dibandingkan dengan koefisien korelasi yang mendekati angka 0.
Ketiga, peneliti juga perlu memperkirakan Tingkat Kekeliruan I dalam menyimpulkan penerimaan atau penolakan hipotesis nol. Tingkat signifikansi 0,05 memang umum digunakan dalam penelitian bidang pendidikan. Namun dengan tingkat signifikansi sebesar itu, resiko untuk keliru (Type I Error) relatif lebih besar dibandingkan dengan menggunakan tingkat keberartian 0,001.
Keempat, inferensi untuk mencapai generalisasi pada populasi yang lebih luas, juga perlu mempertimbangkan validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran, baik alat ukurnya, prosesnya, maupun pengolahannya. Betapapun besar dan kuatnya keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dan betatapun kecilnya tingkat Kekeliruan Tipe I yang ditetapkan; kalau instrumen penelitiannya tidak valid dan reliabel, maka hasil analisisnya hanya akan berupa sampah.
Kelima, peneliti juag perlu mempertimbangkan untuk membangun kerangka berpikir yang benar-benar dibangun dan didasarkan pada teori-teori yang kuat, sehingga hubungan antarvariabel yang akan diteliti benar-benar menggambarkan hubungan yang logis. Hubungan antara identitas ego dengan kecakapan kognitif, misalnya, mungkin termasuk salah satu jenis hubungan yang secara teoretik kurang logis.
Buku Sumber
Jaeger, Richard M. (1991). Statistics: A Spectator Sport. California: Sage Publication, Inc.
Thursday, June 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment