Thursday, June 28, 2007

Inferensi terhadap Koefisien Korelasi

Inferensi Yang Berkaitan Dengan
Koefisien Korelasi
‎(Inferences Involving Correlation Coefficients)‎


A. Pengantar
Dalam statistik, Koefisien Korelasi merupakan gambaran atau indikasi ‎tingkat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ketika seorang ‎peneliti ingin mengetahui keterkaitan antara, misalnya, skor atau nilai ‎kemampuan membaca dengan skor atau nilai matematika siswa, ia dapat ‎melakukannya dengan menghitung koefisien korelasi antara kedua kelompok ‎skor itu, sehingga ditemukan tingkat keterkaitannya; sangat rendah, rendah, ‎sedang, tinggi, sangat tinggi, positif atau negatif.‎
Dalam penelitian bidang pendidikan, koefisien korelasi antara dua atau ‎beberapa variabel adalah jenis uji statistik yang banyak dilakukan, bahkan ‎mungkin termasuk jenis uji statistik yang paling populer digunakan. Beberapa ‎waktu yang lalu, salah seorang senior kita yang meraih gelar Doktor pertama ‎pada Program Studi Pendidikan Islam kita, juga menggunakan jenis uji ini, ‎sehingga ia dapat menentukan pengaruh kepemimpinan kepala, supervisi ‎akademik, dan budaya organisasi (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-‎sama; langsung maupun tidak langsung) terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah ‎di Jawa Barat.‎
Meskipun temuan-temuan penelitian yang digambarkan melalui koefisien ‎korelasi memiliki banyak kekurangan, terutama apabila variabel-variabel yang ‎diuji jumlahnya terbatas, sehingga tidak mampu menggambarkan hubungan ‎antarvariabel secara lebih komprehensif; namun karena berbagai keunggulan ‎yang dimiliki oleh jenis uji ini, khususnya karena waktu yang dibutuhkannya ‎yang relatif tidak terlalu lama, maka jenis uji ini menjadi favorit di kalangan para ‎peneliti dan evaluator pendidikan.‎
Pada bab 11 yang berjudul “Inferences Involving Correlation Coefficients” ‎dari buku “Statistics: A Spectator Sport” karya Richard M. Jaeger ini, penulis ‎buku memberikan contoh bagaimana memahami hasil-hasil kesimpulan ‎penelitian yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi. Dengan ‎menganalisis dua laporan hasil penelitian, Jaeger menyajikan tinjauan kritis ‎terhadap kedua laporan hasil penelitian tersebut.‎
Sebelum mencoba mendeskripsikan perspektif kritis Jaeger terhadap ‎kedua penelitian tersebut, pertama-tama perlu dipahami terlebih dahulu beberapa ‎kata kunci (keywords) yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien ‎korelasi. Pertama, inferensi, secara sederhana dapat dimaknai sebagai menaksir ‎atau menyimpulkan (to infer) tentang parameter populasi dengan menggunakan ‎statistik sampel. Kedua, koefisien korelasi (correlation coefficient) adalah statistik ‎yang menggambarkan derajat hubungan (degree of relationship) antara dua ‎variabel. Ketiga, pengujian hipotesis (hypothesis testing) dimaksudkan sebagai ‎pengujian terhadap hipotesis nol. Keempat, Kekeliruan Tipe I (Type I Error) ‎terjadi ketika peneliti menolak hipotesis nol yang benar. Kelima, Kekeliruan Tipe ‎II (Type II Error) adalah kekeliruan yang terjadi ketika peneliti tidak menolak ‎hipotsis nol yang salah. Keenam, validitas eksternal (external validity) adalah ‎melakukan generalisasi dari suatu kesimpulan yang didasarkan pada sampel ‎tertentu kepada populasi dan konteks yang berbeda dari sampel penelitian.‎
B. Memahami Inferensi yang Berkaitan dengan Koefisien Korelasi
Dalam bab ini Jaeger menggunakan dua contoh penelitian untuk ‎memahami inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi. Kedua penelitian ‎tersebut adalah: Pertama, Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) ‎dengan Faktor-faktor Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah ‎‎(School Factors). Kedua, Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di ‎Kelas.‎
‎1.‎ Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) dengan Faktor-faktor ‎Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah (School Factors)‎
Penelitian yang dilakukan oleh Wrabel (1985) ini berjudul Ego Identity, ‎Cognitive Ability, and Academic Achievement: Variances, Relationships, and ‎Gender Differences Among High School Sophomores. Tujuan penelitian ini adalah ‎untuk menentukan derajat hubungan antara identitas ego siswa kelas II SMA ‎dengan sejumlah faktor-faktor kognitif dan sekolah, yang mencakup Cognitive ‎Verbal Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point ‎Average (GPA), dan Normed Test Achievement (NTA). Melalui penelitian ini, ‎Wrabel juga ingin menemukan konstrak atau konsep yang lebih baik yang dapat ‎digunakan untuk memprediksi identitas ego siswa, yang menurut peneliti ‎penting bagi para guru BP (counselor) dan tenaga kependidikan lainnya.‎
Data penelitian dikumpulkan dari sampel yang berjumlah 202 siswa SMA ‎yang berasal dari SMA di pinggiran kota Cleveland, Ohio, yang berpenduduk ‎‎31,000 orang. Sebetulnya responden yang ditetapkan berjumlah 240 siswa dengan ‎jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang seimbang. Tetapi karena berbagai ‎alasan (ketidakhadiran pada saat data dikumpulkan dan ketiadaan izin orang tua), ‎responden yang berhasil dijaring hanya 202 (84%). ‎
Instrumen pengumpul data untuk variabel-variabel CVA, CQA, dan ‎NTA menggunakan “3-R’s Verbal Abilities, Quantitative Abilities, and ‎Achievement Test: Ohio Version, Form A, Level 15/16”. Instrumen pengukuran ‎variabel Identitas Ego menggunakan “Rasmussen Ego Identity Scale: Revised ‎Short Form”. Sedangkan data untuk variabel GPA berasal dari rata-rata data ‎prestasi siswa. ‎
Setelah data terkumpul, Wrabel melakukan pengujian tiap-tiap pasangan ‎variabel dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment Pearson. ‎Analisis data dilakukan dengan memisahkan dan menggabungkan jenis kelamin ‎responden sebagai variabel moderatornya.‎
Hasil pengujian dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment ‎Pearson dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: ‎
Tabel 1: Interkorelasi antara Variabel-variabel Identitas Ego, Cognitive Verbal ‎Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point Average ‎‎(GPA), dan Normed Test Achievement (NTA) untuk Laki-laki, Perempuan, dan ‎Keseluruhan Subjek
Variabel Identitas ‎Ego Cognitive ‎Verbal ‎Ability Cognitive ‎Quantita-‎tive Ability Normed ‎Test ‎Achieve-‎ment Grade ‎Point ‎Average
Laki-laki
Ego Identity ‎1,00‎
Cognitive Verbal Ability ‎0,19‎ ‎1,00‎
Cognitive Quantitative ‎Ability ‎0,20*‎ ‎0,72***‎ ‎1,00‎
Normed Test ‎Achievement ‎0,14‎ ‎0,82***‎ ‎0,80***‎ ‎1,00‎
Grade Point Average ‎0,19‎ ‎0,38***‎ ‎0,46***‎ ‎0,46***‎ ‎1,00‎
Perempuan
Ego Identity ‎1,00‎
Cognitive Verbal Ability ‎0,16‎ ‎1,00‎
Cognitive Quantitative ‎Ability ‎0,03‎ ‎0,66***‎ ‎1,00‎
Normed Test ‎Achievement ‎0,13‎ ‎0,84***‎ ‎0,78***‎ ‎1,00‎
Grade Point Average ‎0,22‎ ‎0,51***‎ ‎0,49***‎ ‎0,57***‎ ‎1,00‎
Semua Subjek
Ego Identity ‎1,00‎
Cognitive Verbal Ability ‎0,18**‎ ‎1,00‎
Cognitive Quantitative ‎Ability ‎0,12‎ ‎0,69***‎ ‎1,00‎
Normed Test ‎Achievement ‎0,15*‎ ‎0,83***‎ ‎0,82***‎ ‎1,00‎
Grade Point Average ‎0,21**‎ ‎0,44***‎ ‎0,46***‎ ‎0,51***‎ ‎1,00‎
‎***  < 0,001‎
‎ **  < 0,01‎
‎ *  < 0,05‎
Berdasarkan tabel di atas, Wrabel menyimpulkan bahwa terdapat korelasi ‎yang signifikan antara NTA dengan CQA, antara NTA dengan CVA, antara ‎CQA dengan CVA, antara GPA dengan CQA, antara GPA dengan NTA, dan ‎antara GPA dengan CVA bagi kedua kelompok siswa laki-laki dan perempuan. ‎Temuan ini menurut Wrabel sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang ‎dilakukan oleh Cross dan Allen (1970). Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa ‎terdapat hubungan yang bermakna antara kecakapan kognitif dengan prestasi ‎akademik apabila siswa laki-laki dan perempuan dihitung secara terpisah. ‎
Wrabel juga menyimpulkan bahwa antara EI dan CQA berkorelasi secara ‎positif (0,20,  < 0,05) untuk siswa laki-laki, meskipun kekuatan hubungannya ‎lemah. Sebaliknya korelasi positif signifikan terjadi antara EI dengan GPA untuk ‎siswa perempuan (0,22,  < 0,05). Temuan ini menurut Wrabel juga sesuai ‎dengan temuan Hummel dan Roselli (1983).‎
Kesimpulan Wrabel berikutnya berdasarkan tabel data di atas adalah ‎bahwa ketika siswa laki-laki dan perempuan diuji secara bersama-sama, terdapat ‎korelasi yang signifikan antara NTA dengan CVA, NTA dengan CQA, CQA ‎dengan CVA, GPA dengan NTA, GPA dengan CQA, dan GPA dengan CVA. ‎Temuan ini sejalan dengan temuan Chang (1982). Berdasarkan temuan ini, ‎Wrabel menyimpulkan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ‎kecakapan kognitif dengan prestasi akademik ketika subjek laki-laki dan ‎perempuan dikaji secara bersama-sama. ‎
Dengan mencermati tabel di atas, kita menemukan bahwa beberapa ‎koefisien korelasi ada yang tanpa ditandai tanda bintang, ada yang ditandai ‎dengan satu bintang, dua bintang, dan tiga bintang; yang berarti bahwa peneliti ‎melakukan pengujian signfikansi atau probabilitas statistik korelasional. Dengan ‎begitu, untuk setiap koefisien korelasi pada tabel tersebut, Wrabel menguji ‎Hipotesis Nol—dalam hubungannya dengan populasi yang akan ‎digeneralisasikannya—sama dengan nol (H0: =0); sebaliknya Hipotesis ‎Alternatif yang berkaitan dengan koefisien korelasi populasi tidak sama dengan ‎nol (H1: ≠0). ‎
Tanda bintang pada masing-masing koefisien korelasi juga dapat dimaknai ‎bahwa:‎
• Tiadanya tanda bintang berarti koefisien korelasi tidak signifikan pada ‎tingkat signifikansi 0,05.‎
• Tanda bintang satu menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak ‎pada tingkat signifikansi 0,05.‎
• Tanda bintang dua menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak ‎pada tingkat signifikansi 0,01.‎
• Tanda bintang tiga menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak ‎pada tingkat signifikansi 0,001.‎
Dengan demikian, melalui pengujian terhadap sampel sebanyak 202 siswa, ‎Wrabel sekaligus berusaha melakukan inferensi terhadap populasi, sehingga ‎kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari pengujian terhadap sampel statistik ia ‎gunakan untuk menyimpulkan (to infer) koefisien korelasi populasi.‎
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan itu, Jaeger membuat catatan-catatan ‎kritis sebagai berikut:‎
Pertama, kesimpulan Wrabel bahwa penelitiannya menghasilkan temuan ‎tentang adanya korelasi antara identitas ego dengan berbagai kecakapan kognitif ‎siswa (cognitive ability, achievement test score dan grade point average), ‎sesungguhnya akan lebih tepat bila dikatakan bahwa tingkat korelasinya rendah.‎
Kedua, meskipun beberapa koefisien korelasi secara statistik signifikan, ‎tetapi satu-satunya kesimpulan yang mendukung dari temuannya adalah bahwa ‎dalam suatu populasi (kelas II SMA) di mana sampel diambil, angka yang ‎berkaitan dengan korelasi akan selalu berbeda dari nol. Pendeknya, uji korelasi ‎jarang sekali yang menghasilkkan koefisien korelasi sama dengan nol. Dengan ‎demikian, temuan Wrabel sama sekali tidak mendukung suatu keyakinan bahwa ‎identitas ego siswa berkaitan dengan kecakapan kognitif mereka. ‎
Ketiga, seperti juga pada penelitian-penelitian lainnya, inferensi yang ‎berkaitan dengan koefisien korelasi juga berhadapan dengan problem validitas ‎eksternal. Dengan sampel yang diambil dari SMA di pinggiran kota, tentunya ‎belum bisa dikatakan mewakili populasi yang luas, dan dengan demikian ‎kesimpulannya tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi seluruh populasi ‎kelas II SMA.‎
‎2.‎ Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di Kelas
Penelitian ini berjudul Relations between Teacher Attitudes and Teacher ‎Behavior in Ninth-Grade Algebra Classes yang dilakukan oleh McConnel pada ‎tahun 1978. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap ‎guru dan perilaku mereka di dalam kelas.‎
McConnel menetapkan 47 guru aljabar tingkat sembilan sebagai sampel ‎yang diambil secara purposive. Data-data yang berkenaan dengan variabel sikap ‎guru diambil dengan menggunakan kuesioner (self-reported). Sedangkan data ‎tentang perilaku guru dikumpulkan melalui pengamatan yang dilakukan oleh dua ‎orang pengamat dewasa dan juga berasal dari penilaian para siswa terhadap ‎perilaku guru di kelas.‎
Karena laporan penelitian yang dilakukan oleh McConnel memuat banyak ‎data beserta tabelnya, Jaeger hanya fokus pada dua hal penting yang berkenaan ‎dengan inferensi terhadap koefisien korelasi dari hasil penelitian McConnel ini. ‎Pertama, selain untuk mengetahui hubungan antara sikap guru dengan perilaku ‎mereka di kelas, McConnel juga menguji reliabilitas instrumen pengukuran ‎perilaku guru antara skor-skor hasil pengamatan pada kunjungan ketiga dan ‎keempat. Dengan upaya ini McConnel ingin mengetahui apakah instrumen atau ‎pengamatan satu dengan yang lainnya reliabel atau tidak. Kedua, fokus Jaeger ‎pada inti penelitian McConnel, yakni inferensinya terhadap koefisien korelasi ‎antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas. ‎
a. Koefisien Reliabilitas Pengukuran
Berkenaan dengan fokus pertama, McConnel menyajikan data tentang ‎korelasi rata-rata skor dua penilai (rater) antara kunjungan ketiga dan keempat ‎ketika melakukan pengukuran/penilaian terhadap perilaku guru di kelas, ‎sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:‎
Tabel 2: Korelasi antara Skor-skor dalam Lembar Penilaian Kunjungan Kelas ‎Ketiga dan Keempat dalam 43 Kelas
Item r
PR1‎ Clarity ‎0,382*‎
PR2‎ Variability ‎0,375*‎
PR3‎ Enthusiasm ‎0,636**‎
PR4‎ Business-like ‎0,533**‎
PR5‎ Uses Student Ideas ‎0,398**‎
PR6‎ Critism ‎0,565**‎
PR7‎ Structures Lesson ‎0,347*‎
PR8‎ Higher Cognitive Questions ‎0,595**‎
PR9‎ Probing Questions ‎0,332*‎
PR10‎ Difficulty of Lesson ‎-0,147‎
‎ *  < 0,05‎
‎**  < 0,01‎

Dengan koefisien korelasi itu, McConnel menyimpulkan bahwa ‎instrumen (proses penilaian oleh pengamat) untuk aspek Difficulty of Lesson ‎tidak reliabel antara pengamatan pada kunjungan ketiga dengan kunjungan ‎keempat (-0,147), sedangkan penilaian perilaku untuk aspek-aspek lainnya ‎reliabel.‎
McConnel juga menguji Hipotesis Nol (H0) yang berbunyi: “penilaian ‎pengamat terhadap perilaku guru di kelas antara penilaian pada kunjungan ketiga ‎tidak berkorelasi dengan penialaian pada kunjungan keempat”. Jika H0 benar ‎untuk skala tertentu (misalnya aspek “Clarity”), berarti skala penilaian observer ‎terhadap perilaku guru pada kunjungan ketiga dan keempat tidak reliabel. ‎
Pada tabel 2 di atas, McConnel tidak menetapkan tingkat Kekeliruan Tipe ‎I (Type I Error level), tetapi ia hanya melaporkan tingkat signifikansi tiap ‎koefisien korelasi ketika membandingkannya dengan nilai kritis yang sesuai ‎dengan dua tingkat signifikansi ( = 0,05 dan  = 0,01). Dengan begitu, dapat ‎dikatakan bila koefisien korelasi disertai dengan satu tanda bintang, berarti ‎koefisien korelasi itu siginifikan pada taraf signifikansi  = 0,05; jika koefisien ‎korelasi disertai dengan dua lambang bintang, berarti Hipotesis Nol ditolak pada ‎taraf signifikansi  = 0,01.‎
Bagi Jaeger, uji signifikansi seperti yang dilaporkan McConnel pada tabel ‎‎2 di atas adalah sesuatu yang sangat tidak biasa. Korelasi yang menggambarkan ‎reliabilitas pengukuran (koefisien reliabilitas) biasanya dilakukan hanya untuk ‎sampel dan jarang sekali digunakan untuk menguji Hipotesis Nol yang berkaitan ‎dengan parameter populasi. Dengan kata lain, inferensi yang berkaitan dengan ‎koefisien korelasi jarang sekali digunakan dalam pengujian reliabilitas instrumen. ‎Sebab idealnya, sebuah instrumen dikatakan reliabel bila koefisien korelasi antara ‎pengukuran satu dengan lainnya mendekati angka 1; sebaliknya jika koefisien ‎korelasi mendekati angka 0, berarti instrumen atau pengukuran itu kurang atau ‎tidak reliabel.‎
b. Korelasi antara Sikap Guru dengan Perilaku Mereka di Kelas‎
Hasil penelitian McConnel tentang korelasi antara sikap guru dengan ‎perilaku mereka di kelas ditampilkan dalam sebuah tabel yang panjang, sehingga ‎dalam chapter report ini tidak ditampilkan. Berdasarkan hasil penelitiannya, ‎McConnel menyimpulkan bahwa penelitiannya itu berhasil membuktikan bahwa ‎sikap guru berkaitan dengan pola perilaku mereka yang dapat diamati oleh ‎observer. Guru yang lebih menikmati pekerjaannya sebagai profesi dan lebih ‎menyukai mata pelajarannya (dalam hal ini matematika) dinilai lebih “jelas” ‎‎(clearer) dalam penyajiannya, lebih bervariasi dalam penyampaian, lebih antusias, ‎lebih berorientasi pada tugas, lebih dapat menangkap gagasan siswa, lebih tepat ‎dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, dan jarang mendapat ‎kritik dari siswa. Sebaliknya dari itu, guru menjadi kurang jelas dalam ‎penyampaian, kurang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk ‎pembelajaran aljabar, dan kurang menekankan pada logika dan analisis.‎
Meskipun penelitian terbatas pada guru aljabar, tetapi McConnel ‎memperluasnya menjadi guru matematik. Ia juga menggeneralisasikannya pada ‎aspek yang lebih luas, bahwa kesuksesan belajar pada mata pelajaran aljabar juga ‎analog dengan kesuksesan pada mata pelajaran yang lain. ‎
Dalam tabel-tabel laporan penelitian tentang korelasi antara sikap guru ‎dengan perilaku mereka di kelas, McConnel menyajikan nilai koefisien korelasi ‎‎(r) sekaligus dengan tingkat probabilitasnya masing-masing. Misalnya, koefisien ‎korelasi antara “Clarity” dengan “Theoretical Orientation” adalah sebesar 0,26, ‎yang kemudian di sebelah kanannya ada kolom “Sig.” sebesar 0,047. Ini dapat ‎diartikan bahwa Hipotesis Nol (H0) yang menyatakan bahwa: Korelasi populasi ‎antara pengamatan observer terhadap aspek “Clarity” guru dengan orientasi ‎teoretis guru sama dengan 0 (H0: =0) ditolak pada tingkat signifikansi  = ‎‎0,047. Sebaliknya, koefisien korelasi 0,44 antara aspek “Clarity” dengan aspek ‎‎“Involvement in Teaching” signifikan pada level 0,001. Hal ini berarti bahwa H0 ‎yang berkaitan dengan korelasi populasi sama dengan 0 (H0: =0) ditolak, ‎meskipun peneliti hanya menetapkan resiko kekeliruan tipe I-nya sebesar 0,001.‎
Bagi Jaeger, meskipun scara statistik signifikan pada tingkat kepercayaan ‎‎0,05, namun koefisien-koefisien korelasi antara aspek-aspek dalam variabel sikap ‎guru dengan aspek-aspek dalam variabel perilaku mereka di kelas adalah ‎termasuk korelasi sedang. Oleh karena itu, Jaeger memberikan dua catatan kritis ‎kalau ingin menggeneralisasikan temuan McConnel tersebut. Pertama, karena ‎sampel yang digunakan McConnel adalah guru-guru aljabar tingkat sembilan ‎yang berasal dari SMA di 13 pinggiran kota, sehingga untuk membuat ‎generalisasi atau inferensi terhadap populasi yang lebih luas menjadi kurang ‎bermakna.‎
Kedua, fakta bahwa hanya guru-guru aljabar yang dijadikan sebagai ‎sampel, lalu kemudian digeneralisasikan kepada guru-guru lain, mestilah ‎didukung oleh instrumen pengukuran yang reliabel.‎
C. Kesimpulan
Melakukan inferensi tentang koefisien korelasi terhadap populasi yang ‎luas memang akan sangat membantu dalam menemukan kesimpulan-kesimpulan ‎ilmiah yang memiliki cakupan luas. Namun demikian, ada beberapa faktor yang ‎perlu dipertimbangkan oleh peneliti dalam melakukan inferensi suatu penelitian ‎tentang sampel statistik bila akan digeneralisasikan terhadap poulasi.‎
Pertama, sampel yang ditetapkan dalam penelitian mestilah benar-benar ‎representatif, dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak, ‎dengan mempertimbangkan tingkat sampling error sekecil-kecilnya.‎
Kedua, besar kecilnya koefisien korelasi yang diperoleh juga patut ‎dipertimbangkan. Koefisien korelasi yang mendekati angka 1, mungkin akan ‎lebih kuat untuk melakukan inferensi dibandingkan dengan koefisien korelasi ‎yang mendekati angka 0.‎
Ketiga, peneliti juga perlu memperkirakan Tingkat Kekeliruan I dalam ‎menyimpulkan penerimaan atau penolakan hipotesis nol. Tingkat signifikansi ‎‎0,05 memang umum digunakan dalam penelitian bidang pendidikan. Namun ‎dengan tingkat signifikansi sebesar itu, resiko untuk keliru (Type I Error) relatif ‎lebih besar dibandingkan dengan menggunakan tingkat keberartian 0,001.‎
Keempat, inferensi untuk mencapai generalisasi pada populasi yang lebih ‎luas, juga perlu mempertimbangkan validitas dan reliabilitas instrumen ‎pengukuran, baik alat ukurnya, prosesnya, maupun pengolahannya. Betapapun ‎besar dan kuatnya keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dan ‎betatapun kecilnya tingkat Kekeliruan Tipe I yang ditetapkan; kalau instrumen ‎penelitiannya tidak valid dan reliabel, maka hasil analisisnya hanya akan berupa ‎sampah.‎
Kelima, peneliti juag perlu mempertimbangkan untuk membangun ‎kerangka berpikir yang benar-benar dibangun dan didasarkan pada teori-teori ‎yang kuat, sehingga hubungan antarvariabel yang akan diteliti benar-benar ‎menggambarkan hubungan yang logis. Hubungan antara identitas ego dengan ‎kecakapan kognitif, misalnya, mungkin termasuk salah satu jenis hubungan yang ‎secara teoretik kurang logis.‎

Buku Sumber
Jaeger, Richard M. (1991). Statistics: A Spectator Sport. California: Sage ‎Publication, Inc.‎

No comments: