Beberapa waktu yang lalu, selama empat hari (28-31/8/2000) para pemimpin agama dan spiritual se-dunia berkumpul di New York untuk mengadakan suatu kegiatan yang disebut Millenium World Peace Summit of Religious and Spiritual Leaders. Pada pertemuan akbar yang baru pertama kali diadakan dalam sejarah umat manusia ini, kurang lebih 1000 pemimpin agama dan spiritual dunia berkumpul di New York untuk mendiskusikan bagaimana membangun kerjasama dalam mewujudkan perdamaian dunia. Para pemimpin agama dan spiritual yang ikut KTT Milenium untuk perdamaian ini terdiri dari wakil-wakil Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Shinto, Taoisme, Zoroaster, Sikh, Bahai; bahkan juga wakil-wakil dari Jainisme, kelompok tradisional Afrika, Korea, penduduk asli Amerika, suku Aborigin Australia, kelompok Yoruba, dan lain-lain.
Tiga agenda penting yang dibicarakan dalam KTT tersebut, yaitu masalah perdamaian, kemiskinan, dan lingkungan hidup; adalah juga isu-isu yang paling banyak menjadi bahan diskusi para pakar dan pemimpin-pemimpin dunia, sekaligus tiga problem paling serius yang dihadapi umat manusia pada masa kini dan mendatang.
Gagasan penyelenggaraan KTT Milenium para pemimpin agama dan spiritual dunia ini di antaranya dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pluralisme agama dan spiritual tidak jarang menimbulkan berbagai konflik keagamaan dan sosial. Konflik-konflik sosial keagamaan di Balkan, Irlandia Utara, Sierre, Filipina dan bahkan juga Indonesia adalah beberapa contoh benturan dan konflik antara penganut suatu agama dengan penganut agama lain.
Dengan mencermati berbagai fenomena sosial keagamaan, setidaknya kita bisa mengajukan satu pertanyaan pokok, prakarsa dan peran apa yang dapat diambil oleh para pemimpin agama dan spiritual dalam mewujudkan tata kehidupan dunia yang damai?
Terhadap pertanyaan tersebut, sejatinya kita baru bisa menjawab secara lebih objektif apabila kita dapat melakukan eksplorasi mendalam terhadap peran kepemimpinan agama dan spiritual, keseluruhan aspek agama dan situasi sosial-politik di mana agama lahir, tumbuh dan berkembang. Sayangnya segi-segi metodologis dan teoretis dalam kajian dan studi agama ini amat terbatas, ditambah lagi sulitnya mencari informasi faktual mengenai hal tersebut. Namun demikian, dengan memanfaatkan metode analisis yang ada, tulisan ini mecoba melakukan tinjauan tentang agama, perdamaian dan peran para pemimpinnya.
•••
Hampir dapat dipastikan bahwa inti dari semua agama tidak ada yang mengajarkan apalagi mendorong tindak kekerasan. Semua agama memuat ajaran-ajaran luhur tentang perdamaian, rahmat dan cinta kasih. Pada setiap agama kita temukan esensi dan semangat luhur mengenai kebersamaan, hidup berdampingan secara aman dan damai, serta saling hormat-menghormati dan tolong-menolong.
Tetapi, perjalanan sejarah umat beragama sering menunjukkan hal yang sebaliknya. Konflik, pertentangan dan perang antarumat beragama sering terjadi ketika agama-agama mengalami perjumpaan satu sama lain. Sejarah Perang Salib yang panjang atau kekerasan-kekerasan lain yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat dijadikan bukti, bahwa inti dan esensi keberagamaan yang memihak pada perdamaian, rahmat dan cinta kasih tidak selalu membumi pada dataran historis-empiris. Inti, esensi dan semangat keberagamaan yang sering dikalim secara universal oleh para pendiri dan tokoh agama-agama adalah sesuatu hal, sementara konflik, kekerasan dan peperangan seolah-olah menjadi hal lain.
Konflik antarumat beragama pun tidak hanya terjadi di kalangan awwam, melainkan juga sering terinspirasi oleh gagasan, ajakan, bahkan hasutan para pemimpinnya. Tidak sedikit pemimpin keagamaan yang secara ekslusif meyakini dan mengklaim keyakinan dan agama dirinyalah yang paling benar (truth claim), sementara keyakinan dan agama lain dipandang sebagai keliru, salah, bid’ah dan oleh karenanya menjadi tugas suci dan mulia untuk memeranginya, dan bila perlu dengan mengangkat senjata. Klaim kebenaran (truth claim) terhadap keyakinan dan agamanya sendiri tersebut, tidak akan menjadi problem sosial serius apabila sebatas pada “keyakinan” dan tidak menimbulkan sikap dan perilaku agresif yang dapat melahirkan konflik, pertentangan dan peperangan. Karena memang klaim kebenaran atas kepercayaan dan agamanya sendiri menjadi hak dan kewajiban para penganut suatu agama, dan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu makna dari keberagamaan seseorang. Keragu-raguan terhadap agama dan kepercayaan sendiri pada akhirnya hanya akan mengaburkan, kalau tidak mereduksi makna kehadiran agama bagi umat manusia.
Pendeknya, klaim kebenaran mutlak diperlukan agar kehadiran agama memiliki makna, asal klaim tersebut tidak disertai sikap dan perilaku agresif-destruktif terhadap penganut agama lain. Konsep agree in disagreemnet atau setuju dalam perbedaan, tampaknya dapat dijadikan pilihan untuk mengatasi problem truth claim di atas. Orang percaya bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar dan paling baik; dan ia menyadari bahwa di antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain, selain terdapat perbedaan juga memiliki persamaan.
Dengan keyakinan yang demikian, para penganut agama akan memiliki gairah untuk berusaha supaya tingkah laku keseharaiannya sesuai dengan keyakinannya, yang merupakan dorongan dari agama yang dipeluknya. Tetapi, ia juga menyadari bahwa di samping perbedaan-perebedaan yang terdapat dalam setiap agama, terdapat pula persamaan-persamaan di antara satu agama dengan agama yang lain.
Berdasarkan konsep agree in disagreement ini, kita tidak perlu menggunakan pola dan corak sinkretisme, yang memandang semua agama pada hakikatnya sama, yang berbeda hanyalah faktor historis dan geografisnya saja. Sebab, pandangan sinkretisme ini selain sangat tidak realistik, juga pasti akan ditolak oleh kebanyakan penganut agama.
•••
Membangun masa depan kehidupan agama yang toleran dan saling pengertian, sehingga agama berperan secara signifikan dalam menciptakan dunia yang damai, adalah amat penting dan strategis. Upaya ini hanya akan tercapai apabila para pemimpin agama memiliki prakarsa dan inisitaif untuk itu. Sebab, para pemimpin agamalah yang secara dominan dapat mewarnai kehidupan beragama umatnya. Gagasan penyelenggaraan Millenium World Peace Summit of Religious and Spiritual Leaders perlu disambut dengan penuh optimisme. Pertemuan tersebut setidaknya akan membukakan mata segenap pemimpin agama se-dunia, bahwa agama, baik secara langsung atau tidak, memiliki hubungan dengan upaya mewujudkan atau merusak perdamaian.
Lebih dari itu, para pemimpin agama perlu melakukan dialog dan perjumpaan yang konstruktif. Dialog dan perjumpaan konstruktif antarpemimpin agama ini sejatinya merupakan tugas kemanusiaan yang perennial, yang abadi, tanpa henti-hentinya. Perjumpaan dan dialog ini beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai tuntutan mutlak yang tidak dapat dinisbikan. Penisbian terhadap tuntutan mutlak jelas tidak akan diterima. Tetapi, tuntutan mutlak setiap agama juga tidak bisa dibiarkan menyembul ke permukaan dan mengakibatkan sikap dan perilaku agresif yang destruktif. Untuk itulah diperlukan dialog. Dengan dialog, kita akan semakin jujur dan lebih memperdalam kehidupan rohani kita.
Prasyarat dialog bukannya penyelarasan semua keyakinan dan agama sebagaimana pandangan kaum sinkretis, melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak, dan bahwa keyakinan-keyakinan ini berbeda. Orang Islam terikat pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya, orang Kristen merasa terikat pada Allah melalui Kristus, penganut agama Hindu pada gagasan menganai banyak jalan menuju Satu Brahman (pemutlakan suatu relativisme) dan setersunya. Yang dibutuhkan bagi terlaksananya dialog konstruktif ini adalah kematangan ego yang memadai, sehingga setiap pemeluk agama bersedia membiarkan lawan dialog untuk hidup berdampingan tenpa merasa bahwa mereka dapat disesuaikan.
Pentingnya dialog dan perjumpaan konstruktif ini tidak hanya bertujuan untuk menumbuhkan sikap saling pengertian dan toleransi antarumat beragama, melainkan juga dalam kerangka pencarian solusi atas permasalahan-permasalahan kemanusiaan secara universal. Problem-problem kemanusiaan seperti konflik sosial dan politik di berbagai belahan bumi, kemiskinan, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan lain-lain, harus menjadi masalah bersama dan problem semua penganut agama. Agama-agama, dalam hal ini para pemimpinnya, harus menyadari disertai komitmen bahwa problem kemanusiaan universal tersebut membutuhkan peran dan prakarsa keagamaan untuk memecahkannya. Agama-agama tidak bisa membiarkan problem bersama tersebut, dan semata-mata hanya menyerahkannya kepada pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau pihak-pihak lainnya.
Intinya, dialog dan perjumpaan konstruktif para pemimpin agama diperlukan untuk memecahkan problem-problem internal dan antarumat beragama, serta problem-problem eksternal yang dihadapi oleh umat manusia secara universal.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment