Monday, July 2, 2007

Agama dan Perdamaian

Beberapa waktu yang lalu, selama empat hari (28-31/8/2000) para pemimpin agama dan spiritual se-‎dunia berkumpul di New York untuk mengadakan suatu kegiatan yang disebut Millenium World Peace ‎Summit of Religious and Spiritual Leaders. Pada pertemuan akbar yang baru pertama kali diadakan dalam ‎sejarah umat manusia ini, kurang lebih 1000 pemimpin agama dan spiritual dunia berkumpul di New ‎York untuk mendiskusikan bagaimana membangun kerjasama dalam mewujudkan perdamaian dunia. ‎Para pemimpin agama dan spiritual yang ikut KTT Milenium untuk perdamaian ini terdiri dari wakil-‎wakil Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Shinto, Taoisme, Zoroaster, Sikh, Bahai; bahkan juga ‎wakil-wakil dari Jainisme, kelompok tradisional Afrika, Korea, penduduk asli Amerika, suku Aborigin ‎Australia, kelompok Yoruba, dan lain-lain.‎
Tiga agenda penting yang dibicarakan dalam KTT tersebut, yaitu masalah perdamaian, ‎kemiskinan, dan lingkungan hidup; adalah juga isu-isu yang paling banyak menjadi bahan diskusi para ‎pakar dan pemimpin-pemimpin dunia, sekaligus tiga problem paling serius yang dihadapi umat manusia ‎pada masa kini dan mendatang.‎
Gagasan penyelenggaraan KTT Milenium para pemimpin agama dan spiritual dunia ini di ‎antaranya dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pluralisme agama dan spiritual tidak jarang ‎menimbulkan berbagai konflik keagamaan dan sosial. Konflik-konflik sosial keagamaan di Balkan, ‎Irlandia Utara, Sierre, Filipina dan bahkan juga Indonesia adalah beberapa contoh benturan dan konflik ‎antara penganut suatu agama dengan penganut agama lain. ‎
Dengan mencermati berbagai fenomena sosial keagamaan, setidaknya kita bisa mengajukan satu ‎pertanyaan pokok, prakarsa dan peran apa yang dapat diambil oleh para pemimpin agama dan spiritual ‎dalam mewujudkan tata kehidupan dunia yang damai?‎
Terhadap pertanyaan tersebut, sejatinya kita baru bisa menjawab secara lebih objektif apabila ‎kita dapat melakukan eksplorasi mendalam terhadap peran kepemimpinan agama dan spiritual, ‎keseluruhan aspek agama dan situasi sosial-politik di mana agama lahir, tumbuh dan berkembang. ‎Sayangnya segi-segi metodologis dan teoretis dalam kajian dan studi agama ini amat terbatas, ditambah ‎lagi sulitnya mencari informasi faktual mengenai hal tersebut. Namun demikian, dengan memanfaatkan ‎metode analisis yang ada, tulisan ini mecoba melakukan tinjauan tentang agama, perdamaian dan peran ‎para pemimpinnya.‎
•••
Hampir dapat dipastikan bahwa inti dari semua agama tidak ada yang mengajarkan apalagi ‎mendorong tindak kekerasan. Semua agama memuat ajaran-ajaran luhur tentang perdamaian, rahmat ‎dan cinta kasih. Pada setiap agama kita temukan esensi dan semangat luhur mengenai kebersamaan, ‎hidup berdampingan secara aman dan damai, serta saling hormat-menghormati dan tolong-menolong. ‎
Tetapi, perjalanan sejarah umat beragama sering menunjukkan hal yang sebaliknya. Konflik, ‎pertentangan dan perang antarumat beragama sering terjadi ketika agama-agama mengalami perjumpaan ‎satu sama lain. Sejarah Perang Salib yang panjang atau kekerasan-kekerasan lain yang terjadi di berbagai ‎belahan bumi dapat dijadikan bukti, bahwa inti dan esensi keberagamaan yang memihak pada ‎perdamaian, rahmat dan cinta kasih tidak selalu membumi pada dataran historis-empiris. Inti, esensi dan ‎semangat keberagamaan yang sering dikalim secara universal oleh para pendiri dan tokoh agama-agama ‎adalah sesuatu hal, sementara konflik, kekerasan dan peperangan seolah-olah menjadi hal lain. ‎
Konflik antarumat beragama pun tidak hanya terjadi di kalangan awwam, melainkan juga sering ‎terinspirasi oleh gagasan, ajakan, bahkan hasutan para pemimpinnya. Tidak sedikit pemimpin ‎keagamaan yang secara ekslusif meyakini dan mengklaim keyakinan dan agama dirinyalah yang paling ‎benar (truth claim), sementara keyakinan dan agama lain dipandang sebagai keliru, salah, bid’ah dan oleh ‎karenanya menjadi tugas suci dan mulia untuk memeranginya, dan bila perlu dengan mengangkat ‎senjata. Klaim kebenaran (truth claim) terhadap keyakinan dan agamanya sendiri tersebut, tidak akan ‎menjadi problem sosial serius apabila sebatas pada “keyakinan” dan tidak menimbulkan sikap dan ‎perilaku agresif yang dapat melahirkan konflik, pertentangan dan peperangan. Karena memang klaim ‎kebenaran atas kepercayaan dan agamanya sendiri menjadi hak dan kewajiban para penganut suatu ‎agama, dan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu makna dari keberagamaan seseorang. Keragu-‎raguan terhadap agama dan kepercayaan sendiri pada akhirnya hanya akan mengaburkan, kalau tidak ‎mereduksi makna kehadiran agama bagi umat manusia. ‎
Pendeknya, klaim kebenaran mutlak diperlukan agar kehadiran agama memiliki makna, asal ‎klaim tersebut tidak disertai sikap dan perilaku agresif-destruktif terhadap penganut agama lain. Konsep ‎agree in disagreemnet atau setuju dalam perbedaan, tampaknya dapat dijadikan pilihan untuk mengatasi ‎problem truth claim di atas. Orang percaya bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar dan ‎paling baik; dan ia menyadari bahwa di antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, kepercayaan ‎yang satu dengan kepercayaan yang lain, selain terdapat perbedaan juga memiliki persamaan. ‎
Dengan keyakinan yang demikian, para penganut agama akan memiliki gairah untuk berusaha ‎supaya tingkah laku keseharaiannya sesuai dengan keyakinannya, yang merupakan dorongan dari agama ‎yang dipeluknya. Tetapi, ia juga menyadari bahwa di samping perbedaan-perebedaan yang terdapat ‎dalam setiap agama, terdapat pula persamaan-persamaan di antara satu agama dengan agama yang lain. ‎
Berdasarkan konsep agree in disagreement ini, kita tidak perlu menggunakan pola dan corak ‎sinkretisme, yang memandang semua agama pada hakikatnya sama, yang berbeda hanyalah faktor ‎historis dan geografisnya saja. Sebab, pandangan sinkretisme ini selain sangat tidak realistik, juga pasti ‎akan ditolak oleh kebanyakan penganut agama. ‎
•••
Membangun masa depan kehidupan agama yang toleran dan saling pengertian, sehingga agama ‎berperan secara signifikan dalam menciptakan dunia yang damai, adalah amat penting dan strategis. ‎Upaya ini hanya akan tercapai apabila para pemimpin agama memiliki prakarsa dan inisitaif untuk itu. ‎Sebab, para pemimpin agamalah yang secara dominan dapat mewarnai kehidupan beragama umatnya. ‎Gagasan penyelenggaraan Millenium World Peace Summit of Religious and Spiritual Leaders perlu disambut ‎dengan penuh optimisme. Pertemuan tersebut setidaknya akan membukakan mata segenap pemimpin ‎agama se-dunia, bahwa agama, baik secara langsung atau tidak, memiliki hubungan dengan upaya ‎mewujudkan atau merusak perdamaian.‎
Lebih dari itu, para pemimpin agama perlu melakukan dialog dan perjumpaan yang konstruktif. ‎Dialog dan perjumpaan konstruktif antarpemimpin agama ini sejatinya merupakan tugas kemanusiaan ‎yang perennial, yang abadi, tanpa henti-hentinya. Perjumpaan dan dialog ini beranjak dari anggapan ‎bahwa tiap-tiap agama mempunyai tuntutan mutlak yang tidak dapat dinisbikan. Penisbian terhadap ‎tuntutan mutlak jelas tidak akan diterima. Tetapi, tuntutan mutlak setiap agama juga tidak bisa dibiarkan ‎menyembul ke permukaan dan mengakibatkan sikap dan perilaku agresif yang destruktif. Untuk itulah ‎diperlukan dialog. Dengan dialog, kita akan semakin jujur dan lebih memperdalam kehidupan rohani ‎kita. ‎
Prasyarat dialog bukannya penyelarasan semua keyakinan dan agama sebagaimana pandangan ‎kaum sinkretis, melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh ‎dan mutlak, dan bahwa keyakinan-keyakinan ini berbeda. Orang Islam terikat pada al-Qur’an dan ‎Sunnah Rasul-Nya, orang Kristen merasa terikat pada Allah melalui Kristus, penganut agama Hindu ‎pada gagasan menganai banyak jalan menuju Satu Brahman (pemutlakan suatu relativisme) dan ‎setersunya. Yang dibutuhkan bagi terlaksananya dialog konstruktif ini adalah kematangan ego yang ‎memadai, sehingga setiap pemeluk agama bersedia membiarkan lawan dialog untuk hidup ‎berdampingan tenpa merasa bahwa mereka dapat disesuaikan.‎
Pentingnya dialog dan perjumpaan konstruktif ini tidak hanya bertujuan untuk menumbuhkan ‎sikap saling pengertian dan toleransi antarumat beragama, melainkan juga dalam kerangka pencarian ‎solusi atas permasalahan-permasalahan kemanusiaan secara universal. Problem-problem kemanusiaan ‎seperti konflik sosial dan politik di berbagai belahan bumi, kemiskinan, hak asasi manusia, lingkungan ‎hidup dan lain-lain, harus menjadi masalah bersama dan problem semua penganut agama. Agama-‎agama, dalam hal ini para pemimpinnya, harus menyadari disertai komitmen bahwa problem ‎kemanusiaan universal tersebut membutuhkan peran dan prakarsa keagamaan untuk memecahkannya. ‎Agama-agama tidak bisa membiarkan problem bersama tersebut, dan semata-mata hanya ‎menyerahkannya kepada pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau pihak-pihak lainnya. ‎
Intinya, dialog dan perjumpaan konstruktif para pemimpin agama diperlukan untuk ‎memecahkan problem-problem internal dan antarumat beragama, serta problem-problem eksternal ‎yang dihadapi oleh umat manusia secara universal. ‎

No comments: