Monday, July 2, 2007

Kepemimpinan dan Aklak al-Karimah

Dalam masyarakat tradisional yang cenderung tribal dan budaya politik ‎massa, produk politik melalui proses sesuai aturan yang ada, bisa dimentahkan ‎tirani massa jika merugikan patronnya (pelindung atau penyokong). Sang ‎patron sendiri dengan gagah mencari dasar pembenar kliennya itu dari nilai ‎primordial yang hanya bisa dipahami logikanya sendiri. Dinamika politik di ‎negeri ini, termasuk di daerah kita, bagai potret pertengkaran anak-anak kecil di ‎pinggir jalan yang berebut benar sendiri tanpa kepastian etik-rasional. Pihak ‎yang kepentingannya tak terakomodasi, mengartikannya sebagai kesalahan ‎pihak lain. Politik menjadi cermin kalah-menang dan kuat-lemah, bukan suatu ‎‎"permainan kompromi" yang bersumber dari akhlak dan tindakan rasional. ‎
Gejala itu muncul di tengah kekerasan dan konflik horizontal, dan klaim-‎klaim sepihak elite politik di tingkat nasional atau di tingkat daerah tentang ‎fungsi dan hak-haknya. Debat politik seperti tak pernah habis ketika dilakukan ‎tanpa agenda yang jelas dan tujuan terukur. Dinamika politik, konflik dan ‎kekerasan bagai terperangkap dalam suatu lingkaran setan seperti debat anak ‎kecil tentang apa yang paling tinggi di antara langit dan rembulan, apa yang ‎paling dulu ada di antara ayam dan telur. Perilaku politik menjadi sebuah ‎tontonan menarik bagaikan sebuah fragmen ketoprak atau ludruk humor yang ‎sebenarnya berbahaya bagi para penontonnya. ‎
Kelemahan kita yang religius dengan mayoritas penduduk Muslim ini ialah ‎ketidaksediaan melakukan kritik terhadap diri sendiri. Hal ini mungkin berkaitan ‎dengan citra diri dalam kebenaran teologis yang mutlak yang secara otomatis ‎disandang seseorang saat menyatakan diri bertindak atas nama Islam dan atas ‎nama Tuhan. Banyak pihak lalu menjadikan massa sebagai pembenar tindakan ‎dan pengesah kedudukannya yang tak bisa dikritik dan diperdebatkan terbuka. ‎Hal ini menyebabkan kita ini sulit memahami akar penyebab berbagai krisis ‎yang melanda kita sejak beberapa tahun lalu. ‎
Sesudah beberapa tahun reformasi, politik nasional dan keagamaan, ‎memasuki babak baru yang enak ditonton dan diberitakan, namun amat ‎melelahkan. Filsuf bahasa terkemuka, Ludwig Witgenstein menyatakan, ilmu tak ‎lebih sebagai permainan bahasa (language game). Jika permainan bahasa ‎dilakukan dengan aturan dan kriteria jelas, politik di negeri ini sekadar "debat ‎kusir" pembenar diri dan sejumlah konsesi politik (juga ekonomi) yang diklaim ‎sebagai hak sepihak. ‎
Masyarakat pun seperti terpola ke dalam belahan politik yang tak jelas. ‎
Politik yang seharusnya menjadi permainan cantik tentang usaha ‎mencapai kompromi untuk tujuan bersama, berubah menjadi politik adu ‎kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan meyakinkan banyak ‎pihak, berubah menjadi permainan melakukan tirani hukum dan tirani massa. ‎Tanpa keyakinan, politik adalah seni kegagalan mencapai tujuan di suatu ruang ‎waktu, dan seni membuka ruang baru bagi keberhasilan di saat lain, politik akan ‎berubah menjadi adu tinju dan kekerasan atas nama kebenaran sepihak. ‎
Akibatnya sangat mudah ditebak. Perang kekuatan massa menjadi suatu ‎trend tersendiri dalam rangka mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Lalu, ‎dalam menghadapi situasi yang demikian itu, apa yang harus kita kedepankan? ‎
Jawaban terhadap pertanyaan itu sebetulnya mudah, apalagi sebagai ‎Muslim kita memiliki sumber acuan yang mumpuni dan adiluhung. Mengapa kita ‎tidak kembali kepada sumber utama kita yang agung, yakni Al-Qur’an dan As-‎Sunnah?‎
Pertama-tama kita seharusnya seharusnya menjadikan orientasi hidup dan ‎objek pengabdian kita hanyalah kepada Allah SWT semata. Kita telah meyakini ‎dan sepakat bahwa kepada Allah SWT-lah orientasi hidup dan tujuan final dari ‎pengabdian kita semua. Oleh karena itu, politik mesti kita jadikan "sarana" atau ‎‎"instrumen" untuk mencapai tujuan akhir dari hidup ini, yakni Allah SWT.‎

‎"Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali ‎kepada-Nya," begitu bunyi firman Tuhan. Maka, Allah SWT adalah asal dan ‎tujuan hidup dan kehidupan kita, bahkan seluruh makhluk. ‎
Oleh karenanya, kesadaran akan politik yang tiada lain adalah sarana ‎atau instrumen untuk mengabdi kepada Allah, jelas mengandung arti bahwa, ‎politik yang diekspresikan para politisi, lebih-lebih politisi muslim, mesti ‎berangkat dari komitmennya pada tauhid, kepada Allah. Maka, tujuan yang ‎ingin dicapai pun bukanlah “kekuasaan demi kekuasaan”, atau pencapaian ‎target politik tertentu, melainkan sekadar sarana untuk mencapai tujuan politik ‎yang sebenarnya, yakni pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, politik ‎harus ditegakkan di atas prinsip-prinsip tauhid, takwa dan landasan al-‎khuluq al-karim. Karena, politik tiada lain adalah instrumen untuk ‎mengembangkan ketakwaan kepada Allah. ‎
Dari sini, tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim menjadi kata kunci utama ‎dalam aktivitas politik Muslim. Jadi, kalau seseorang (politisi) betul-betul ‎mengikuti etika politik yang bersumber dari ketakwaan kepada Allah SWT ‎‎(takwa), bertauhid tauhid (sikap pasrah akan keesaan Tuhan dalam keseluruhan ‎hidup), dan berlandaskan al-khuluq al-karim, maka akan menghasilkan sikap-‎sikap luhur dalam berperilaku dan dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, ‎dengan menjadikan paradigma agama (tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim) ‎sebagai bekal politik, maka akan lahir tipe-tipe politisi yang demokratis, yang ‎selalu menghargai tidak saja kawan tetapi juga lawan, yang selalu toleran, yang ‎selalu mengedepankan etika, yang selalu menjunjung tinggi semangat ‎inklusivisme di tengah pluralitas SARA. ‎
Dalam perjuangan menegakkan demokrasi (sosial, ekonomi, maupun ‎politik) misalnya, politisi ini akan berpijak pada kesadaran diri-spiritual yang ‎transenden (Islam, Allah SWT). Ketika demokrasi di Barat kering dari cahaya ‎spiritual-keagamaan, maka model demokrasi yang hendak dikonstruksi oleh ‎politisi semacam ini, mungkin identik apa yang oleh Sir Muhammad Iqbal ‎dinamakan "demokrasi-spiritual," yakni demokrasi yang dijiwai oleh ‎kesadaran spiritual-transenden manusia.‎
Oleh karena itu, takwa memegang kunci pokok dalam aktivitas ‎politikseorang Muslim. Lalu, bagaimana jiwa dan spirit takwa ini inheren dalam ‎aktivitas politik dan kekuasaan manusia? Prof Dr Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, ‎mengatakan bahwa takwa jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan ‎oleh orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil arti takwa. Maka, ‎Hamka pun menggambarkan aspek yang lebih positif dalam melihat arti takwa. ‎Yakni, dalam takwa itu terkandung sikap-sikap dan perasaan-perasaan positif ‎‎(seperti cinta, kasih, harap-harap cemas, ridla, sabar dan sebagainya) kepada ‎Allah SWT; di mana kita merasakan kehadiran Allah dalam batin kita, sehingga ‎kita pun selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Tuhan terasa begitu dekat dan ‎ada bersama kita, sebagaimana terefleksikan dalam firman-Nya yang sangat ‎populer: ‎ان الله معنا‎ (sesungguhnya Allah bersama kita). ‎
Itu sebabnya, perasaan takwa itu mempunyai efek yang sangat ‎mendalam, baik secara politik, yaitu pengawasan melekat dalam aktivitas politik ‎kita sehari-hari, maupun efek secara psikologis yang membuat kita menyatu, ‎dan menyelami keterkaitan psikologis kita secara langsung dengan Allah SWT ‎melalui hati, jiwa. ‎
Karenanya, dalam aktivitas politik manusia, takwa bisa dimaknai sebagai ‎God's Consciousness (sebagaimana rumusan Muhammad Asad dalam ‎tafsirnya The Message of the Qur'an), yaitu "kesadaran ketuhanan," yang ‎dalam bahasa Arab, sinonim dengan kesadaran rabbaniyyah. Artinya, segala ‎aktivitas individu -termasuk aktivitas politik- disadari sepenuh hati berada dalam ‎bingkai "kesadaran ketuhanan," di mana Tuhan senantiasa mengawasi segala ‎gerak-gerik kita, di mana pun kita berada. Karena, pada dasarnya "Tuhan ‎adalah Maha Hadir" (omnipresent) dalam keseharian hidup kita, termasuk ‎tentu saja "Maha Hadir" dalam aktivitas politik kita. ‎
Maka, tentu kita (lebih-lebih politisi) dituntut untuk berserah diri secara ‎total di bawah cahaya "kesadaran ketuhanan" itu. Sebagaimana terefleksikan ‎dalam firman Tuhan bahwa, ‎
فاينما تولوا فثم وجه الله
‎"... Ke mana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah..." (Q.S. ‎Al-Baqarah:115). ‎
Pada surat lain, Allah SWT juga berfirman, ‎
وهو معكم اينما كنتم والله بما تعملون بصير
‎"Dia (Allah) itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu ‎Maha Periksa akan apa pun yang kamu kerjakan" (Q.S. Al-Hadid:4). ‎
Karenanya, takwa merupakan puncak pengalaman keberagaman, yakni ‎seseorang yang telah menjelma dalam keseharian hidup. Dengan takwa, ‎manusia menyadari bahwa jiwanya perlu dihidupkan kembali dengan ‎pengalaman kehadiran Tuhan. ‎
Dalam Islam, ada yang disebut pesan dasar agama (risalah asasiyah), ‎sebagaimana bunyi Hadits Nabi, al-din al-nashihah. Yakni, agama itu adalah ‎nasihat atau pesan. Pesan dasar agama adalah untuk bertakwa, yakni pesan ‎untuk menghadirkan (kembali) Allah dalam jiwa manusia, yang realisasi ‎konkretnya menjelma dalam aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga, perilaku ‎manusia merupakan refleksi dari cerminan sifat-sifat kebaikan Tuhan, seperti ‎pengampun, pemurah, pengasih, penyayang, pemaaf, dan seterusnya. ‎Masalahnya, bagaimana sifat-sifat kebaikan Tuhan itu bisa kita realisasikan ‎dalam hidup kita sehari-hari, terutama dalam aktivitas politik. ‎
Al-Quran sudah menegaskan bahwa takwa merupakan kriteria paling ‎objektif untuk dasar hubungan antar individu, suku, bangsa, ras, dan agama. ‎Takwa mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan:‎
فاستبقوا الخيرت
‎(Q.S. Al-Baqarah:148). ‎
Ini berarti, politik yang dibekali dan dilandasi "semangat ketuhanan" ‎‎(takwa, tauhid, dan al-khuluq al-karim), akan mendorong politisi untuk ‎berlomba-lomba berbuat keadilan, kebenaran, dan lebih berorientasi kepada ‎kebaikan dan kesejahteraan rakyat luas. ‎
Dalam kehidupan politik sehari-hari, takwa dapat diimplementasikan dan ‎direalisasikan dengan bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan ‎norma-norma akhlak yang baik (al-khuluq al-karim), dengan cara meniru ‎perilaku Rasulullah SAW, para sahabat dan tokoh-tokoh teladan lainnya. Dengan ‎al-khuluq al-karim, kehidupan politik di tingkat nasional maupun di daerah ‎tidak akan centang-perenang, karena masing-masing dari kita terikat dengan ‎norma-norma kebaikan, kesopanan, dan kesantunan; baik yang bersumber dari ‎Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun dari tradisi dan budaya kita.‎

No comments: