Dalam masyarakat tradisional yang cenderung tribal dan budaya politik massa, produk politik melalui proses sesuai aturan yang ada, bisa dimentahkan tirani massa jika merugikan patronnya (pelindung atau penyokong). Sang patron sendiri dengan gagah mencari dasar pembenar kliennya itu dari nilai primordial yang hanya bisa dipahami logikanya sendiri. Dinamika politik di negeri ini, termasuk di daerah kita, bagai potret pertengkaran anak-anak kecil di pinggir jalan yang berebut benar sendiri tanpa kepastian etik-rasional. Pihak yang kepentingannya tak terakomodasi, mengartikannya sebagai kesalahan pihak lain. Politik menjadi cermin kalah-menang dan kuat-lemah, bukan suatu "permainan kompromi" yang bersumber dari akhlak dan tindakan rasional.
Gejala itu muncul di tengah kekerasan dan konflik horizontal, dan klaim-klaim sepihak elite politik di tingkat nasional atau di tingkat daerah tentang fungsi dan hak-haknya. Debat politik seperti tak pernah habis ketika dilakukan tanpa agenda yang jelas dan tujuan terukur. Dinamika politik, konflik dan kekerasan bagai terperangkap dalam suatu lingkaran setan seperti debat anak kecil tentang apa yang paling tinggi di antara langit dan rembulan, apa yang paling dulu ada di antara ayam dan telur. Perilaku politik menjadi sebuah tontonan menarik bagaikan sebuah fragmen ketoprak atau ludruk humor yang sebenarnya berbahaya bagi para penontonnya.
Kelemahan kita yang religius dengan mayoritas penduduk Muslim ini ialah ketidaksediaan melakukan kritik terhadap diri sendiri. Hal ini mungkin berkaitan dengan citra diri dalam kebenaran teologis yang mutlak yang secara otomatis disandang seseorang saat menyatakan diri bertindak atas nama Islam dan atas nama Tuhan. Banyak pihak lalu menjadikan massa sebagai pembenar tindakan dan pengesah kedudukannya yang tak bisa dikritik dan diperdebatkan terbuka. Hal ini menyebabkan kita ini sulit memahami akar penyebab berbagai krisis yang melanda kita sejak beberapa tahun lalu.
Sesudah beberapa tahun reformasi, politik nasional dan keagamaan, memasuki babak baru yang enak ditonton dan diberitakan, namun amat melelahkan. Filsuf bahasa terkemuka, Ludwig Witgenstein menyatakan, ilmu tak lebih sebagai permainan bahasa (language game). Jika permainan bahasa dilakukan dengan aturan dan kriteria jelas, politik di negeri ini sekadar "debat kusir" pembenar diri dan sejumlah konsesi politik (juga ekonomi) yang diklaim sebagai hak sepihak.
Masyarakat pun seperti terpola ke dalam belahan politik yang tak jelas.
Politik yang seharusnya menjadi permainan cantik tentang usaha mencapai kompromi untuk tujuan bersama, berubah menjadi politik adu kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan meyakinkan banyak pihak, berubah menjadi permainan melakukan tirani hukum dan tirani massa. Tanpa keyakinan, politik adalah seni kegagalan mencapai tujuan di suatu ruang waktu, dan seni membuka ruang baru bagi keberhasilan di saat lain, politik akan berubah menjadi adu tinju dan kekerasan atas nama kebenaran sepihak.
Akibatnya sangat mudah ditebak. Perang kekuatan massa menjadi suatu trend tersendiri dalam rangka mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Lalu, dalam menghadapi situasi yang demikian itu, apa yang harus kita kedepankan?
Jawaban terhadap pertanyaan itu sebetulnya mudah, apalagi sebagai Muslim kita memiliki sumber acuan yang mumpuni dan adiluhung. Mengapa kita tidak kembali kepada sumber utama kita yang agung, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Pertama-tama kita seharusnya seharusnya menjadikan orientasi hidup dan objek pengabdian kita hanyalah kepada Allah SWT semata. Kita telah meyakini dan sepakat bahwa kepada Allah SWT-lah orientasi hidup dan tujuan final dari pengabdian kita semua. Oleh karena itu, politik mesti kita jadikan "sarana" atau "instrumen" untuk mencapai tujuan akhir dari hidup ini, yakni Allah SWT.
"Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya," begitu bunyi firman Tuhan. Maka, Allah SWT adalah asal dan tujuan hidup dan kehidupan kita, bahkan seluruh makhluk.
Oleh karenanya, kesadaran akan politik yang tiada lain adalah sarana atau instrumen untuk mengabdi kepada Allah, jelas mengandung arti bahwa, politik yang diekspresikan para politisi, lebih-lebih politisi muslim, mesti berangkat dari komitmennya pada tauhid, kepada Allah. Maka, tujuan yang ingin dicapai pun bukanlah “kekuasaan demi kekuasaan”, atau pencapaian target politik tertentu, melainkan sekadar sarana untuk mencapai tujuan politik yang sebenarnya, yakni pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, politik harus ditegakkan di atas prinsip-prinsip tauhid, takwa dan landasan al-khuluq al-karim. Karena, politik tiada lain adalah instrumen untuk mengembangkan ketakwaan kepada Allah.
Dari sini, tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim menjadi kata kunci utama dalam aktivitas politik Muslim. Jadi, kalau seseorang (politisi) betul-betul mengikuti etika politik yang bersumber dari ketakwaan kepada Allah SWT (takwa), bertauhid tauhid (sikap pasrah akan keesaan Tuhan dalam keseluruhan hidup), dan berlandaskan al-khuluq al-karim, maka akan menghasilkan sikap-sikap luhur dalam berperilaku dan dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, dengan menjadikan paradigma agama (tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim) sebagai bekal politik, maka akan lahir tipe-tipe politisi yang demokratis, yang selalu menghargai tidak saja kawan tetapi juga lawan, yang selalu toleran, yang selalu mengedepankan etika, yang selalu menjunjung tinggi semangat inklusivisme di tengah pluralitas SARA.
Dalam perjuangan menegakkan demokrasi (sosial, ekonomi, maupun politik) misalnya, politisi ini akan berpijak pada kesadaran diri-spiritual yang transenden (Islam, Allah SWT). Ketika demokrasi di Barat kering dari cahaya spiritual-keagamaan, maka model demokrasi yang hendak dikonstruksi oleh politisi semacam ini, mungkin identik apa yang oleh Sir Muhammad Iqbal dinamakan "demokrasi-spiritual," yakni demokrasi yang dijiwai oleh kesadaran spiritual-transenden manusia.
Oleh karena itu, takwa memegang kunci pokok dalam aktivitas politikseorang Muslim. Lalu, bagaimana jiwa dan spirit takwa ini inheren dalam aktivitas politik dan kekuasaan manusia? Prof Dr Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, mengatakan bahwa takwa jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan oleh orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil arti takwa. Maka, Hamka pun menggambarkan aspek yang lebih positif dalam melihat arti takwa. Yakni, dalam takwa itu terkandung sikap-sikap dan perasaan-perasaan positif (seperti cinta, kasih, harap-harap cemas, ridla, sabar dan sebagainya) kepada Allah SWT; di mana kita merasakan kehadiran Allah dalam batin kita, sehingga kita pun selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Tuhan terasa begitu dekat dan ada bersama kita, sebagaimana terefleksikan dalam firman-Nya yang sangat populer: ان الله معنا (sesungguhnya Allah bersama kita).
Itu sebabnya, perasaan takwa itu mempunyai efek yang sangat mendalam, baik secara politik, yaitu pengawasan melekat dalam aktivitas politik kita sehari-hari, maupun efek secara psikologis yang membuat kita menyatu, dan menyelami keterkaitan psikologis kita secara langsung dengan Allah SWT melalui hati, jiwa.
Karenanya, dalam aktivitas politik manusia, takwa bisa dimaknai sebagai God's Consciousness (sebagaimana rumusan Muhammad Asad dalam tafsirnya The Message of the Qur'an), yaitu "kesadaran ketuhanan," yang dalam bahasa Arab, sinonim dengan kesadaran rabbaniyyah. Artinya, segala aktivitas individu -termasuk aktivitas politik- disadari sepenuh hati berada dalam bingkai "kesadaran ketuhanan," di mana Tuhan senantiasa mengawasi segala gerak-gerik kita, di mana pun kita berada. Karena, pada dasarnya "Tuhan adalah Maha Hadir" (omnipresent) dalam keseharian hidup kita, termasuk tentu saja "Maha Hadir" dalam aktivitas politik kita.
Maka, tentu kita (lebih-lebih politisi) dituntut untuk berserah diri secara total di bawah cahaya "kesadaran ketuhanan" itu. Sebagaimana terefleksikan dalam firman Tuhan bahwa,
فاينما تولوا فثم وجه الله
"... Ke mana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah..." (Q.S. Al-Baqarah:115).
Pada surat lain, Allah SWT juga berfirman,
وهو معكم اينما كنتم والله بما تعملون بصير
"Dia (Allah) itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan apa pun yang kamu kerjakan" (Q.S. Al-Hadid:4).
Karenanya, takwa merupakan puncak pengalaman keberagaman, yakni seseorang yang telah menjelma dalam keseharian hidup. Dengan takwa, manusia menyadari bahwa jiwanya perlu dihidupkan kembali dengan pengalaman kehadiran Tuhan.
Dalam Islam, ada yang disebut pesan dasar agama (risalah asasiyah), sebagaimana bunyi Hadits Nabi, al-din al-nashihah. Yakni, agama itu adalah nasihat atau pesan. Pesan dasar agama adalah untuk bertakwa, yakni pesan untuk menghadirkan (kembali) Allah dalam jiwa manusia, yang realisasi konkretnya menjelma dalam aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga, perilaku manusia merupakan refleksi dari cerminan sifat-sifat kebaikan Tuhan, seperti pengampun, pemurah, pengasih, penyayang, pemaaf, dan seterusnya. Masalahnya, bagaimana sifat-sifat kebaikan Tuhan itu bisa kita realisasikan dalam hidup kita sehari-hari, terutama dalam aktivitas politik.
Al-Quran sudah menegaskan bahwa takwa merupakan kriteria paling objektif untuk dasar hubungan antar individu, suku, bangsa, ras, dan agama. Takwa mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan:
فاستبقوا الخيرت
(Q.S. Al-Baqarah:148).
Ini berarti, politik yang dibekali dan dilandasi "semangat ketuhanan" (takwa, tauhid, dan al-khuluq al-karim), akan mendorong politisi untuk berlomba-lomba berbuat keadilan, kebenaran, dan lebih berorientasi kepada kebaikan dan kesejahteraan rakyat luas.
Dalam kehidupan politik sehari-hari, takwa dapat diimplementasikan dan direalisasikan dengan bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan norma-norma akhlak yang baik (al-khuluq al-karim), dengan cara meniru perilaku Rasulullah SAW, para sahabat dan tokoh-tokoh teladan lainnya. Dengan al-khuluq al-karim, kehidupan politik di tingkat nasional maupun di daerah tidak akan centang-perenang, karena masing-masing dari kita terikat dengan norma-norma kebaikan, kesopanan, dan kesantunan; baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun dari tradisi dan budaya kita.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment