Sejak kelahiran dan perkembangannya, Islam selalu berhadapan dengan tradisi-tradisi, baik Arab, Mesir, Persia, Romawi, India, maupun Hindu-Budha di Indonesia. Islam juga selalu dihadapkan dengan tradisi-tradisi tinggi (high traditions) dan tradisi-tradisi rendah (low traditions). Dalam menghadapi tradisi-tradisi ini, Islam dengan Muhammad saw sebagai tokohnya selalu bersikap arif dan bijaksana. Beliau tidak serta-merta menentang apalagi menghancurkan tradisi-tradisi tersebut, malah dengan sangat arifnya melarang para pengikutnya mengganggu dan memerangi para penganut suatu tradisi; tetapi juga tidak terhanyut mengikuti tradisi-tradisi, karena beliau sendiri merasa yakin akan kebenaran dan keagungan ajaran dan tradisi (sunnah)-nya sendiri.
Perkembangan ajaran Islam, terutama yang menyangkut segi hukum Islam, pada dasarnya selalu merujuk pada dua sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.Tetapi beberapa segi dari perkembangan legislasi Islam juga menunjukkan adanya pengakuan terhadap tradisi-tradisi tertentu dan dijadikan sebagai bagian dari legislasi Islam. Itulah sebabnya dalam Ushul Fiqh dikenal adanya kaidah yang berbunyi “ adat itu dihukumkan” (العادة محكمة) atau “ adat adalah syari’ah yang dihukumkan (العادة شريعة محكمة).
Kedatangan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, memang tidak pernah mengklaim bahwa seluruh tradisi yang hidup di bumi harus dihancur-leburkan dan diganti dengan ajaran-ajaran Islam. Islam tetap mengakui adanya kebenaran-kebenaran dan keagungan-keagungan tertentu dari tradisi bangsa-bangsa. Tak ada suatu petunjuk pun yang mengharuskan umat Islam untuk menghancurkan keseluruhan tradisi.
Bahkan untuk sebagian, seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur dari berbagai tradisi untuk diakui sebagai bagian dari legislasi Islam, sejauh tradisi-tradisi tersebut tidak bertentang dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebaliknya, unsur-unsur dari tradisi atau budaya suatu masyarakat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah sesungguhnya yang menjadi makna kehadiran Islam di suatu tempat atau masyarakat.
Islam memandang bahwa setiap tempat, setiap masyarakat, setiap bangsa, dan setiap negeri memiliki masa jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Masa jahiliyah adalah masa dimana Islam belum datang di suatu tempat, yang di dalamnya berkembang praktek-praktek yang bertentangan dengan tauhid, serta berlawanan dengan prinsip-prinsip universal ajaran Islam yang lain, seperti perilaku syirik, khurafat, takhayul, mitologi, feodalisme, tatanan sosial tanpa hukum (anarkisme), kesewenang-wenangan, krtidakadilan, pengingkaran terhadap prinsip persamaan manusia dan lain sebagainya.
Setiap masyarakat yang masih memiliki tradisi-tradisi tersebut di atas adalah masyarakat jahiliyah, yang membawa konsekuensi kewajiban bagi umat Islam untuk meluruskan, menghilangkan dan menggantinya dengan ajaran Islam. Inilah makna dari dakwah Islam yang sesungguhnya. Di sini, Islam tidak berarti anti tradisi dan anti budaya lokal. Islam juga tidak memiliki presenden untuk menghancurkan tradisi-tradisi. Melalui doktrin dakwah-nya, Islam sejatinya bercita-cita untuk melakukan transformasi budaya dan tradisi, dari tradisi yang penuh dengan praktek dan perilaku musyrik, khurafat dan takhayul menuju kepada tradisi tauhid, pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, tradisi yang tidak lagi mengakui supremasi dan kekuatan alam lain kecuali Allah SWT. Islam bercita-cita untuk merombak masyarakat feodal, masyarakat tanpa hukum, masyarakat tanpa keadilan menuju kepada terwujudnya sistem sosial yang egaliter, tertib hukum dan berkeadilan.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kehadiran Islam akan selalu membawa konsekuensi adanya perombakan masyarakat atau transformasi sosial menuju kepada kondisi yang lebih baik, tanpa mengacaukan, memotong atau mencerabut masyarakat dari akar tradisinya, melainkan mendorong adanya pemeliharaan terhadap tradisi yang baik dan benar.
Lalu bagaimana kita membedakan tradisi baik dan benar dari tradisi yang tidak baik dan salah? Dengan menggunakan prinsip tauhid sebagai pijakan, sesungguhnya bagi kita amat mudah membedakan mana tradisi yang mengandung unsur-unsur syirk dan mana tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
يُرِيْدُ اللهَ اَنْ يُحِقَّ اْلحَقَّ بِكَلِمتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ اْلكفِرِيْنَ
“… dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirk) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”. (QS Al-Anfal:7-8).
Menghadapi berbagai tradisi, umat Islam diminta dan diharuskan untuk bersikap kritis, dan tidak dibenarkan hanya bersikap membenarkan semata. Patutlah direnungkan firman Allah berikut:
وَكَذلِكَ مَااَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ اِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا اِنَّاوَجَدْنَا ابَاءَنَا عَلَى اُمَّةٍ وَاِنَّا عَلَى اثرِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ اَوَلَوْجِئْتُكُمْ بِاَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ابَاءَكُمْ قَالُوا اِنَّابِمَااُرْسِلْتُمْ بِهِ كفِرِيْنَ
“Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pun memberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup berlebihan (kaya-raya) di negeri itu tentu akan berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka’. Dia (Rasul) itu berkata, ‘Apakah sekalipun aku datang kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu” (QS Az-Zukhruf: 23-24).
Dari ayat di atas terlihat betapa orang-orang jahiliyah selalu bersikap tanpa reserve dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhurnya, suatu sikap a priori yang selalu memandang tradisinya sendiri paling benar dan baik yang oleh karenanya harus dipertahankan. Padahal Allah SWT melarang umat islam memiliki sikap a priori seperti ini.
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَكُلٌّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengerti. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra:36).
Memelihara tradisi, apalagi jika tradisi itu benar dan baik adalah suatu kearifan. Tetapi kita tidak perlu bersikap a priori dan menjadi penganut faham tradisionalisme dalam arti enggan mengkritisi tradisi dan budayanya sendiri.
Saat ini, pada saat corak berpikir manusia sudah relatif rasional dan kritis, kita sering dibuat bingung ketika sebagian anggota masyarakat kita malah kembali atau mengalami kemunduran (setback) kepada tradisi-tradisi yang sesungguhnya sulit diakui oleh akal sehat dan sama sekali tidak memiliki landasan teologis (tauhid). Kebingungan tersebut semakin bertambah ketika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin kita memelopori tindakan-tindakan irasional, berindikasi syirk, khurafat dan takahyul dengan mengatasnamakan jargon “supremasi budaya”, dan atas nama “sikap akomodatif terhadap keyakinan sebagian massa”.
Akankah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin menjauh dari rahmat Allah, karena kemundurannya kepada kehidupan para leluhur dan masa lalunya? Wallahu A’lam:
عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يَرْحَمَكُمْ وَاِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكفِرِيْنَ حَصِيْرًا
“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(nya) kepadamu, sekiranya kamu kembali kepada (kemusyrikan), niscaya kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS Al-Isra:8).
Kita yang sadar dan tetap dikaruniai nikmat untuk selalu menggunakan akal sehat harus berani menegur dan memperingatkan setiap orang yang entah lupa atau disengaja bermain-main dengan doktrin tauhidullah.
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوااِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْلهَمُْ مَاقَدْ سَلَفَ وَاِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ اْلاَوَّلِيْنَ
“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang terdahulu” (QS Al-Anfal:38).
Akhirnya, kita berharap semoga kita terjauh dari segala bentuk perilaku dan praktek-praktek yang berindikasikan kemusyrikan, khurafat dan takahayul, sebagaimana banyak kita jumpai dalam tradisi leluhur kita.
رَبَّنَا اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظلِمُوْنَ
“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya, maka jika kami kembali (kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim” (QS Al-Mu’minun:107).
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment