Monday, July 2, 2007

Tradisi dalam Perpsktif Islam

Sejak kelahiran dan perkembangannya, Islam selalu berhadapan dengan tradisi-‎tradisi, baik Arab, Mesir, Persia, Romawi, India, maupun Hindu-Budha di Indonesia. ‎Islam juga selalu dihadapkan dengan tradisi-tradisi tinggi (high traditions) dan tradisi-‎tradisi rendah (low traditions). Dalam menghadapi tradisi-tradisi ini, Islam dengan ‎Muhammad saw sebagai tokohnya selalu bersikap arif dan bijaksana. Beliau tidak serta-‎merta menentang apalagi menghancurkan tradisi-tradisi tersebut, malah dengan sangat ‎arifnya melarang para pengikutnya mengganggu dan memerangi para penganut suatu ‎tradisi; tetapi juga tidak terhanyut mengikuti tradisi-tradisi, karena beliau sendiri merasa ‎yakin akan kebenaran dan keagungan ajaran dan tradisi (sunnah)-nya sendiri.‎
Perkembangan ajaran Islam, terutama yang menyangkut segi hukum Islam, pada ‎dasarnya selalu merujuk pada dua sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah ‎Rasul.Tetapi beberapa segi dari perkembangan legislasi Islam juga menunjukkan adanya ‎pengakuan terhadap tradisi-tradisi tertentu dan dijadikan sebagai bagian dari legislasi ‎Islam. Itulah sebabnya dalam Ushul Fiqh dikenal adanya kaidah yang berbunyi “ adat itu ‎dihukumkan” (‎العادة محكمة‎) atau “ adat adalah syari’ah yang dihukumkan (‎العادة شريعة محكمة‎).‎
Kedatangan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, memang tidak pernah ‎mengklaim bahwa seluruh tradisi yang hidup di bumi harus dihancur-leburkan dan ‎diganti dengan ajaran-ajaran Islam. Islam tetap mengakui adanya kebenaran-kebenaran ‎dan keagungan-keagungan tertentu dari tradisi bangsa-bangsa. Tak ada suatu petunjuk ‎pun yang mengharuskan umat Islam untuk menghancurkan keseluruhan tradisi. ‎
Bahkan untuk sebagian, seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat unsur-‎unsur dari berbagai tradisi untuk diakui sebagai bagian dari legislasi Islam, sejauh ‎tradisi-tradisi tersebut tidak bertentang dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebaliknya, ‎unsur-unsur dari tradisi atau budaya suatu masyarakat yang bertentangan dengan prinsip-‎prinsip ajaran Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah ‎sesungguhnya yang menjadi makna kehadiran Islam di suatu tempat atau masyarakat. ‎
Islam memandang bahwa setiap tempat, setiap masyarakat, setiap bangsa, dan ‎setiap negeri memiliki masa jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh ‎masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Masa jahiliyah adalah masa dimana Islam ‎belum datang di suatu tempat, yang di dalamnya berkembang praktek-praktek yang ‎bertentangan dengan tauhid, serta berlawanan dengan prinsip-prinsip universal ajaran ‎Islam yang lain, seperti perilaku syirik, khurafat, takhayul, mitologi, feodalisme, tatanan ‎sosial tanpa hukum (anarkisme), kesewenang-wenangan, krtidakadilan, pengingkaran ‎terhadap prinsip persamaan manusia dan lain sebagainya.‎
Setiap masyarakat yang masih memiliki tradisi-tradisi tersebut di atas adalah ‎masyarakat jahiliyah, yang membawa konsekuensi kewajiban bagi umat Islam untuk ‎meluruskan, menghilangkan dan menggantinya dengan ajaran Islam. Inilah makna dari ‎dakwah Islam yang sesungguhnya. Di sini, Islam tidak berarti anti tradisi dan anti ‎budaya lokal. Islam juga tidak memiliki presenden untuk menghancurkan tradisi-tradisi. ‎Melalui doktrin dakwah-nya, Islam sejatinya bercita-cita untuk melakukan transformasi ‎budaya dan tradisi, dari tradisi yang penuh dengan praktek dan perilaku musyrik, ‎khurafat dan takhayul menuju kepada tradisi tauhid, pengakuan bahwa tiada Tuhan ‎selain Allah, tradisi yang tidak lagi mengakui supremasi dan kekuatan alam lain kecuali ‎Allah SWT. Islam bercita-cita untuk merombak masyarakat feodal, masyarakat tanpa ‎hukum, masyarakat tanpa keadilan menuju kepada terwujudnya sistem sosial yang ‎egaliter, tertib hukum dan berkeadilan.‎
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kehadiran Islam akan selalu membawa ‎konsekuensi adanya perombakan masyarakat atau transformasi sosial menuju kepada ‎kondisi yang lebih baik, tanpa mengacaukan, memotong atau mencerabut masyarakat ‎dari akar tradisinya, melainkan mendorong adanya pemeliharaan terhadap tradisi yang ‎baik dan benar.‎
Lalu bagaimana kita membedakan tradisi baik dan benar dari tradisi yang tidak ‎baik dan salah? Dengan menggunakan prinsip tauhid sebagai pijakan, sesungguhnya ‎bagi kita amat mudah membedakan mana tradisi yang mengandung unsur-unsur syirk ‎dan mana tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. ‎
يُرِيْدُ اللهَ اَنْ يُحِقَّ اْلحَقَّ بِكَلِمتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ اْلكفِرِيْنَ
‎“… dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan ‎memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan ‎membatalkan yang batil (syirk) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak ‎menyukainya”. (QS Al-Anfal:7-8).‎
Menghadapi berbagai tradisi, umat Islam diminta dan diharuskan untuk bersikap ‎kritis, dan tidak dibenarkan hanya bersikap membenarkan semata. Patutlah direnungkan ‎firman Allah berikut:‎
وَكَذلِكَ مَااَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ اِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا اِنَّاوَجَدْنَا ابَاءَنَا عَلَى ‏اُمَّةٍ وَاِنَّا عَلَى اثرِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ اَوَلَوْجِئْتُكُمْ بِاَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ابَاءَكُمْ قَالُوا ‏اِنَّابِمَااُرْسِلْتُمْ بِهِ كفِرِيْنَ
‎“Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) ‎seorang pun memberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup ‎berlebihan (kaya-raya) di negeri itu tentu akan berkata: ‘Sesungguhnya kami telah ‎mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti ‎jejak mereka’. Dia (Rasul) itu berkata, ‘Apakah sekalipun aku datang kepadamu semua ‎dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?!’ ‎Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu” (QS ‎Az-Zukhruf: 23-24).‎
Dari ayat di atas terlihat betapa orang-orang jahiliyah selalu bersikap tanpa ‎reserve dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhurnya, suatu sikap a priori yang selalu ‎memandang tradisinya sendiri paling benar dan baik yang oleh karenanya harus ‎dipertahankan. Padahal Allah SWT melarang umat islam memiliki sikap a priori seperti ‎ini.‎
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَكُلٌّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً
‎“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengerti. Sesungguhnya ‎pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta ‎pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra:36).‎
Memelihara tradisi, apalagi jika tradisi itu benar dan baik adalah suatu kearifan. ‎Tetapi kita tidak perlu bersikap a priori dan menjadi penganut faham tradisionalisme ‎dalam arti enggan mengkritisi tradisi dan budayanya sendiri. ‎
Saat ini, pada saat corak berpikir manusia sudah relatif rasional dan kritis, kita ‎sering dibuat bingung ketika sebagian anggota masyarakat kita malah kembali atau ‎mengalami kemunduran (setback) kepada tradisi-tradisi yang sesungguhnya sulit diakui ‎oleh akal sehat dan sama sekali tidak memiliki landasan teologis (tauhid). Kebingungan ‎tersebut semakin bertambah ketika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin kita ‎memelopori tindakan-tindakan irasional, berindikasi syirk, khurafat dan takahyul dengan ‎mengatasnamakan jargon “supremasi budaya”, dan atas nama “sikap akomodatif ‎terhadap keyakinan sebagian massa”.‎
Akankah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin menjauh dari rahmat ‎Allah, karena kemundurannya kepada kehidupan para leluhur dan masa lalunya? ‎Wallahu A’lam:‎
عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يَرْحَمَكُمْ وَاِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكفِرِيْنَ حَصِيْرًا
‎“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(nya) kepadamu, sekiranya kamu ‎kembali kepada (kemusyrikan), niscaya kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan ‎neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS Al-Isra:8).‎
‎ Kita yang sadar dan tetap dikaruniai nikmat untuk selalu menggunakan akal sehat ‎harus berani menegur dan memperingatkan setiap orang yang entah lupa atau disengaja ‎bermain-main dengan doktrin tauhidullah.‎
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوااِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْلهَمُْ مَاقَدْ سَلَفَ وَاِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ اْلاَوَّلِيْنَ
‎“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), ‎niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan ‎jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah ‎terhadap) orang-orang terdahulu” (QS Al-Anfal:38).‎
Akhirnya, kita berharap semoga kita terjauh dari segala bentuk perilaku dan ‎praktek-praktek yang berindikasikan kemusyrikan, khurafat dan takahayul, sebagaimana ‎banyak kita jumpai dalam tradisi leluhur kita.‎
رَبَّنَا اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظلِمُوْنَ
‎“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya, maka jika kami kembali (kepada ‎kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim” (QS Al-Mu’minun:107).‎

No comments: