Monday, July 2, 2007

Menepati Jani I

Mukaddimah
Berbicara tentang “menepati janji” terutama jika ditinjau dari ajaran Islam, maka ‎akan banyak sekali aspek-aspek yang terkait di dalamnya. Di antara aspek-aspek tersebut, ‎dapat disebutkan beberapa diantaranya, yaitu: perintah menepati janji (‎وفاء العهد‎) itu ‎sendiri, konsep syahadah atau persaksian, amanah, al-shidq, dan konsep-konsep lainnya. ‎Selain itu, masih ada lagi konsep-konsep yang merupakan kebalikan dari menepati janji, ‎yaitu: inkar janji, khianat, dusta dan lain-lainnya.‎
Aspek-aspek yang disebutkan di atas memiliki hubungan yang sangat erat dengan ‎perintah menepati janji. Kalau kita membaca kitab-kitab atau buku-buku tentang akhlaq ‎al-karimah atau etika Islam, para penulis biasa membahasnya dalam suatu bab yang saling ‎berhubungan. Karena pembahasan tentang menepati janji tidak akan bisa dilepaskan dari ‎pembahasan tentang syahadah (yang merupakan akad perjanjian antara manusia dengan ‎Tuhannya); aspek amanah, al-shidq dan aspek-aspek lain yang telah disebutkan. ‎
Setiap kitab yang mengkaji tentang akhlaq al-karimah hampir dapat dipastikan selalu ‎membahas dan tidak melewatkan pembahasan tentang menepati janji. Hal ini ‎menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menekankan betapa pentingnya menepati suatu ‎janji. Bahkan para ulama telah sepakat bahwa menepati janji hukumnya wajib, yang jika ‎diingkari maka seseorang akan berdosa. ‎
Dalam khazanah intelektual Islam, kajian tentang hukum menepati janji sebetulnya ‎tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab tentang akhlaq al-karimah atau etika menurut ‎Islam. Dalam kitab-kitab fiqh, terutama dalam bab-bab tentang mu’amalah, para ulama ‎juga selalu membahas tentang hukum menepati janji, terutama yang berkaitan dengan ‎akad-akad mu’amalah. Dengan demikian, “menepati janji” tidak hanya terdapat dalam ‎wilayah kajian akhlaq al-karimah, tetapi juga termasuk dalam wilayah kajian fiqh atau ‎hukum Islam. Jadi, menepati janji tidak hanya merupakan sikap dan perilaku yang terpuji ‎‎(mahmudah), melainkan juga merupakan pelaksanaan dari hukum wajib, yang oleh ‎karenanya akan mendapat pahala dari Allah SWT.‎
Dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, banyak sekali ditegaskan tentang ‎keharusan atau kewajiban menepati janji. Beberapa di antaranya :‎
واوفوا بالعهد ان العهد كان مسؤلا
‎“.... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” ‎
‎(Q.S. Al-Isra : 34)‎

واوفوا بعهد الله اذا عاهدتم ولا تنقضوا الايمان بعد توكيد ها وقد جعلتم الله ‏عليكم كفيلا ان الله يعلم ماتفعلون ‏
‎“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji. Dan janganlah kamu ‎membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah ‎menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah ‎mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S. Al-Nahl : 91)‎

Rasulullah SAW bersabda:‎
الوأى مثل الدين اوافضل
‎“Janji (al-wa’yu) adalah seperti hutang atau lebih utama” (H.R. Ibnu Abi Dunya)‎
Selain kedua ayat di atas, perintah Allah untuk menepati janji juga ditegaskan dalam ‎perintahnya untuk menepati sumpah yang telah diucapkan. Karena pada hakikatnya ‎sumpah adalah janji juga. Allah SWT berfirman:‎
ولاتجعلوا الله عرضة لا يمنكم ان تبرؤا وتتقوا وتصلحوا بين الناس والله ‏سميع عليم لايؤاخذكم الله باللغوفى ايمانكم ولكن يؤاخذكم بما كسبت قلوبكم ‏والله غفور حليم

‎“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat ‎kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar ‎lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak ‎dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang ‎disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang” ‎‎(Q.S. Al-Baqarah : 224-225).‎

Dalam bidang mu’amalah, istilah janji lebih dikenal dengan sebutan akad. Oleh ‎karenanya pembahasan tentang jual beli (al-bai’u), Perserikatan (syirkah), kerjasama ‎‎(mudlarahab) dan bentuk-bentuk mu’amalah lainnya selalu dibahas tentang akad, yang ‎selalu menjadi salah satu rukunnya. Allah memerintahkan setiap orang yang beriman agar ‎memenuhi dan menepati akad-akad yang telah dibuatnya.‎
يايها الذين امنوا اوفوا بالعقود
‎“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akadmu itu...” (Q.S. Al-Maidah : 1).‎
‎ ‎ Perintah untuk menepati juga disertai dengan larangan mengingkarinya. Firman ‎Allah SWT :‎
ان شر الدواب عند الله الذين كفروا فهم لايؤمنون الذين عاهدت منهم ثم ‏ينقضون عهدهم فى كل مرة وهم لايتقون

‎“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, ‎karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian ‎dengan mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janji pada setiap kalinya, dan mereka tidak ‎takut (akibat-akibatnya).” (Q.S. Al-Anfal : 55-56)‎
يايها الذين امنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون
‎“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) ‎dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang ‎kamu mengetahui” (Q.S. Al-Anfal : 27).‎
ثلاث من كن فيه فهو منافق وان صام وصلى وزغم انه مسلم اذا حدث ‏كذب واذا وعد اخلف واذاائتمن خان
‎“Tiga perkara yang jika ketiganya itu ada pada seseorang, niscaya ia seorang munafik meskipun ‎ia berpuasa, mengerjakan shalat dan ia menduga bahwa dirinya seorang muslim, yaitu apabila ‎berbicara ia dusta, apabila ia berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia berkhianat” (H.R. ‎Bukhari dan Muslim).‎

Sebuah atsar sahabat menyebutkan bahwa ketika Abdullah ibn Umar hampir wafat, ‎maka ia berkata, “Sesungguhnya seseorang Quraisy telah melamar anak perempuanku dan ‎saya telah mengadakan sesuatu yang mirip dengan janji, maka demi Allah, saya tidak akan ‎menjumpai Allah dengan sepertiga sifat munafik, Saksikanlah bahwa saya telah ‎mengawinkannya dengan anak perempuanku”.‎
Perintah menepati janji dan larangan mengingkarinya baik yang terdapat dalam al-‎Qur’an maupun dalam hadits Nabi SAW sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ‎sesungguhnya masihlah bersifat umum. Sebab pembahasan tentang “janji” masih ‎memiliki nuansa yang lebih luas, karena suatu perjanjian bisa terjadi antara seorang ‎makhluk dengan Khaliqnya, antara makhluk dengan makhluk sejenisnya, atau antara ‎makhluk dengan jenis makhluk lainnya.‎
Persaksian manusia dengan kalimah syahadah adalah salah satu bentuk perjanjian ‎antara makhluk (manusia) dengan Khaliqnya. Dengan mengucapkan syahadat, maka ‎seseorang telah melakukan suatu ikrar dan perjanjian tertinggi antara dirinya dengan ‎Tuhannya. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah ‎utusan-Nya. Pengikraran kalimah syahadah membawa konsekuensi kepada orang yang ‎mengikrarkannya. Dengan ikrarnya itu berarti ia terikat dengan segala ketentuan Allah ‎SWT. Ia tidak boleh lagi keluatr dari ikatan tersebut. Ia harus patuh dan taat terhadap ‎segala titah-Nya dan ia pun harus siap menjauhi segala cegahan dan larangan-Nya. ‎
Berpaling dari ketentuan dan batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sama ‎artinya dengan ingkar dan khianat terhadap persaksian dan janji yang telah diucapkannya. ‎Inilah maksud dari firman Allah SWT berikut ini:‎
يايها الذين امنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون
‎“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) ‎dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang ‎kamu mengetahui” (Q.S. Al-Anfal : 27).‎

Sedangkan “janji” antara manusia dengan sesama manusia memiliki jenis, sifat dan ‎cakupan yang lebih luas. Janji antar sesama manusia bisa terjadi dalam situasi resmi dan ‎tidak resmi, formal dan non formal, tertulis atau tidak tertulis. Dalam pandangan Islam ‎apapun jenis dan sifat janji tetap harus ditepati dan dipenuhi. Pemenuhan terhadap janji ‎adalah pahala dari Allah SWT, sedangkan ancaman bagi mereka yang mengingkari janji ‎yang telah dibuat tiada lain adalah dosa.‎
Dalam kehidupan sehari-hari, baik disengaja maupun tidak disengaja, kita sering ‎mengucapkan atau mengikrarkan janji kepada seseorang atau sekelompok orang. Dan ‎sebagai manusia, kita pun tidak jarang lupa atau sengaja melupakan suatu janji. Di sinilah ‎kita dituntut untuk bersikap hati-hati dalam berbicara. Kehati-hatian ini sangat ‎diperlukan mengingat setiap kali kita berbicara secara tidak sadar terkandung unsur janji. ‎Adalah sangat bijak jika kita selalu mengucapkan “insya Allah” untuk setiap perkataan ‎yang mengndung unsur perjanjian.‎

No comments: