Mukaddimah
Berbicara tentang “menepati janji” terutama jika ditinjau dari ajaran Islam, maka akan banyak sekali aspek-aspek yang terkait di dalamnya. Di antara aspek-aspek tersebut, dapat disebutkan beberapa diantaranya, yaitu: perintah menepati janji (وفاء العهد) itu sendiri, konsep syahadah atau persaksian, amanah, al-shidq, dan konsep-konsep lainnya. Selain itu, masih ada lagi konsep-konsep yang merupakan kebalikan dari menepati janji, yaitu: inkar janji, khianat, dusta dan lain-lainnya.
Aspek-aspek yang disebutkan di atas memiliki hubungan yang sangat erat dengan perintah menepati janji. Kalau kita membaca kitab-kitab atau buku-buku tentang akhlaq al-karimah atau etika Islam, para penulis biasa membahasnya dalam suatu bab yang saling berhubungan. Karena pembahasan tentang menepati janji tidak akan bisa dilepaskan dari pembahasan tentang syahadah (yang merupakan akad perjanjian antara manusia dengan Tuhannya); aspek amanah, al-shidq dan aspek-aspek lain yang telah disebutkan.
Setiap kitab yang mengkaji tentang akhlaq al-karimah hampir dapat dipastikan selalu membahas dan tidak melewatkan pembahasan tentang menepati janji. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menekankan betapa pentingnya menepati suatu janji. Bahkan para ulama telah sepakat bahwa menepati janji hukumnya wajib, yang jika diingkari maka seseorang akan berdosa.
Dalam khazanah intelektual Islam, kajian tentang hukum menepati janji sebetulnya tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab tentang akhlaq al-karimah atau etika menurut Islam. Dalam kitab-kitab fiqh, terutama dalam bab-bab tentang mu’amalah, para ulama juga selalu membahas tentang hukum menepati janji, terutama yang berkaitan dengan akad-akad mu’amalah. Dengan demikian, “menepati janji” tidak hanya terdapat dalam wilayah kajian akhlaq al-karimah, tetapi juga termasuk dalam wilayah kajian fiqh atau hukum Islam. Jadi, menepati janji tidak hanya merupakan sikap dan perilaku yang terpuji (mahmudah), melainkan juga merupakan pelaksanaan dari hukum wajib, yang oleh karenanya akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, banyak sekali ditegaskan tentang keharusan atau kewajiban menepati janji. Beberapa di antaranya :
واوفوا بالعهد ان العهد كان مسؤلا
“.... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”
(Q.S. Al-Isra : 34)
واوفوا بعهد الله اذا عاهدتم ولا تنقضوا الايمان بعد توكيد ها وقد جعلتم الله عليكم كفيلا ان الله يعلم ماتفعلون
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji. Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S. Al-Nahl : 91)
Rasulullah SAW bersabda:
الوأى مثل الدين اوافضل
“Janji (al-wa’yu) adalah seperti hutang atau lebih utama” (H.R. Ibnu Abi Dunya)
Selain kedua ayat di atas, perintah Allah untuk menepati janji juga ditegaskan dalam perintahnya untuk menepati sumpah yang telah diucapkan. Karena pada hakikatnya sumpah adalah janji juga. Allah SWT berfirman:
ولاتجعلوا الله عرضة لا يمنكم ان تبرؤا وتتقوا وتصلحوا بين الناس والله سميع عليم لايؤاخذكم الله باللغوفى ايمانكم ولكن يؤاخذكم بما كسبت قلوبكم والله غفور حليم
“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah : 224-225).
Dalam bidang mu’amalah, istilah janji lebih dikenal dengan sebutan akad. Oleh karenanya pembahasan tentang jual beli (al-bai’u), Perserikatan (syirkah), kerjasama (mudlarahab) dan bentuk-bentuk mu’amalah lainnya selalu dibahas tentang akad, yang selalu menjadi salah satu rukunnya. Allah memerintahkan setiap orang yang beriman agar memenuhi dan menepati akad-akad yang telah dibuatnya.
يايها الذين امنوا اوفوا بالعقود
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akadmu itu...” (Q.S. Al-Maidah : 1).
Perintah untuk menepati juga disertai dengan larangan mengingkarinya. Firman Allah SWT :
ان شر الدواب عند الله الذين كفروا فهم لايؤمنون الذين عاهدت منهم ثم ينقضون عهدهم فى كل مرة وهم لايتقون
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dengan mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janji pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Q.S. Al-Anfal : 55-56)
يايها الذين امنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (Q.S. Al-Anfal : 27).
ثلاث من كن فيه فهو منافق وان صام وصلى وزغم انه مسلم اذا حدث كذب واذا وعد اخلف واذاائتمن خان
“Tiga perkara yang jika ketiganya itu ada pada seseorang, niscaya ia seorang munafik meskipun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan ia menduga bahwa dirinya seorang muslim, yaitu apabila berbicara ia dusta, apabila ia berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia berkhianat” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebuah atsar sahabat menyebutkan bahwa ketika Abdullah ibn Umar hampir wafat, maka ia berkata, “Sesungguhnya seseorang Quraisy telah melamar anak perempuanku dan saya telah mengadakan sesuatu yang mirip dengan janji, maka demi Allah, saya tidak akan menjumpai Allah dengan sepertiga sifat munafik, Saksikanlah bahwa saya telah mengawinkannya dengan anak perempuanku”.
Perintah menepati janji dan larangan mengingkarinya baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi SAW sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya masihlah bersifat umum. Sebab pembahasan tentang “janji” masih memiliki nuansa yang lebih luas, karena suatu perjanjian bisa terjadi antara seorang makhluk dengan Khaliqnya, antara makhluk dengan makhluk sejenisnya, atau antara makhluk dengan jenis makhluk lainnya.
Persaksian manusia dengan kalimah syahadah adalah salah satu bentuk perjanjian antara makhluk (manusia) dengan Khaliqnya. Dengan mengucapkan syahadat, maka seseorang telah melakukan suatu ikrar dan perjanjian tertinggi antara dirinya dengan Tuhannya. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Pengikraran kalimah syahadah membawa konsekuensi kepada orang yang mengikrarkannya. Dengan ikrarnya itu berarti ia terikat dengan segala ketentuan Allah SWT. Ia tidak boleh lagi keluatr dari ikatan tersebut. Ia harus patuh dan taat terhadap segala titah-Nya dan ia pun harus siap menjauhi segala cegahan dan larangan-Nya.
Berpaling dari ketentuan dan batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sama artinya dengan ingkar dan khianat terhadap persaksian dan janji yang telah diucapkannya. Inilah maksud dari firman Allah SWT berikut ini:
يايها الذين امنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (Q.S. Al-Anfal : 27).
Sedangkan “janji” antara manusia dengan sesama manusia memiliki jenis, sifat dan cakupan yang lebih luas. Janji antar sesama manusia bisa terjadi dalam situasi resmi dan tidak resmi, formal dan non formal, tertulis atau tidak tertulis. Dalam pandangan Islam apapun jenis dan sifat janji tetap harus ditepati dan dipenuhi. Pemenuhan terhadap janji adalah pahala dari Allah SWT, sedangkan ancaman bagi mereka yang mengingkari janji yang telah dibuat tiada lain adalah dosa.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik disengaja maupun tidak disengaja, kita sering mengucapkan atau mengikrarkan janji kepada seseorang atau sekelompok orang. Dan sebagai manusia, kita pun tidak jarang lupa atau sengaja melupakan suatu janji. Di sinilah kita dituntut untuk bersikap hati-hati dalam berbicara. Kehati-hatian ini sangat diperlukan mengingat setiap kali kita berbicara secara tidak sadar terkandung unsur janji. Adalah sangat bijak jika kita selalu mengucapkan “insya Allah” untuk setiap perkataan yang mengndung unsur perjanjian.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment