Ketika beberapa waktu yang lampau Bapak Prof. K.H. Ali Yafie (Ketua Umum MUI Pusat waktu itu) berkunjung ke Kabupaten Ciamis dan sempat singgah di Pondok Pesantren Darussalam, beliau merasa sangat yakin bahwa krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia yang sampai saat ini di awal tahun 2001 masih mendera kita, tiada lain disebabkan dan berawal dari krisis moral dan etika yang melanda negeri ini. Beliau sangat percaya bahwa krisis ekonomi, sosial, dan politik di negeri dengan mayoritas penduduk muslim ini berpangkal dari lunturnya tata nilai moral dan etika yang seharusnya memandu dan menjadi acuan kita dalam bersikap, berperilaku dan bertindak sehari-hari. Akibat dari krisis multidimensional itu, masyarakat kita seolah kehilangan pegangan dan acuan moral dan etik.
Para pengamat biasa menyebut bahwa kondisi dan situasi masyarakat kita sedang mengalami periode transisi yang biasa ditandai dengan munculnya gejala anomi-anomi sosial, di mana tata nilai lama semakin ditinggalkan masyarakat, tetapi tata nilai baru yang mereka harapkan belum terbentuk. Maka, banyak di antara anggota masyarakat kita yang kehilangan pegangan dan acuan moral dan etik. Kondisi yang sesungguhnya sudah sangat rawan ini masih diperparah oleh lemahnya upaya penegakkan hukum di tengah masyarakat.
Atas dasar itu, barangkali kita sepakat bahwa bangsa ini perlu sesegera mungkin kembali kepada tata nilai yang mampu membimbing, menuntun, memandu dan memberi petunjuk kepada kita semua. Kembali kepada sistem dan tata nilai yang universal, yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu dan yang tidak luntur karena perkembangan zaman.
Kita tidak ingin bangsa kita menjadi masyararakat tanpa moral, etik dan akhlak. Sebab, sebuah bangsa tanpa akhlak, moral dan etik, sejatinya bangsa itu telah punah. Sebuah syarir Syauqi Bey (ulama Mesir) menggambarkannya sebagai berikut:
إِنَّمَااْلاُمَمُ اْلاَخْلاَقُ مَابَقِيَتْ فَإِنْ هُمُوا ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
“Keberadaan suatu bangsa (ditentukan) oleh tegaknya akhlak. Dan jika akhlak telah hilang dari mereka, maka sesungguhnya bangsa itu punah”.
Menyadari pentingnya akhlak, moral dan etik bagi eksistensi sebuah bangsa yang didukung oleh keyakinan kuat bahwa krisis multidimensional yang kita alami bermula dari adanya krisis moral, etik dan akhlak, maka kembali kepada tata nilai yang adiluhung menjadi prasyarat kondisi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi (conditio sine qua non). Bagi kita, tata nilai adiluhung yang dimaksud tiada lain adalah tata nilai Islam yang menyeluruh (kâffah), sebagai manhaj al-hâyat atau way of life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan kita. Tata nilai Islam yang kâffah tersebut tidak hanya baik untuk dijadikan landasan akhlak, moral dan etik, tetapi juga karena sifatnya yang universal menjadikan tata nilai Islam selalu kondusif dan aplikatif untuk semua masyarakat, bangsa dan zaman. Tata nilai Islam tidak akan pernah lekang oleh terik panas atau lapuk oleh hujan. Dengan tata nilai Islam, masyarakat tidak akan pernah mengalami anomi-anomi, yang bisa menyebabkan masyarakat kehilangan pegangan, acuan dan pedoman hidup.
Hal itu disebabkan karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an, yang juga menjadi akhlak Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, di mana Sa’id ibn Hisyam berkata, “Aku datang menemui ‘Aisyah r.a., lalu bertanya kepadanya mengenai akhlak Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, ‘Apakah engkau membaca Al-Qur’an?’ Aku jawab, ‘Benar, aku membaca Al-Qur’an.’ ‘Aisyah berkata, ‘Akhlak Rasulullah saw adalah Al-Qur’an. Sesunbgguhnya Al-Qur’an mengajarinya adab, seperti firman Allah SWT: Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Q.S. Al-A’raf:199), Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat dan melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan (Q.S. An-Nahl:90), Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman:17). Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya”.
Karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an yang juga menjadi akhlak Rasulullah saw, sedangkan Al-Qur’an selalu dipelihara dan dijaga (oleh Allah) dari segala bentuk penyimpangan dan kerusakan:
اِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَ وَاِنَّا لَه لَحفِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. Al-Hijr:9).
Maka, tata nilai Islam akan selalu eksis, kondusif dan aplikatif sepanjang Al-Qur’an tetap dipedomani sebagai petunjuk dan tuntunan hidup. Bagi mereka yang mau mendalami dan menelaah Al-Qur’an, pastilah akan menemukan berbagai petunjuk dan tuntunan hidup. Petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan hidup yang termaktub dalam Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Khâliq, hubungan manusia dengan manusia, maupun hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan. Lebih-lebih jika kita mau menelaah dan mendalami hadis-hadis Nabawi, kita pun akan menemukan berbagai nasihat dan tauladan mulia dari Rasulullah saw. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Mu’adz ibn Jabal r.a. berkata, “Rasulullah saw berwasiat kepadaku. Beliau bersabda:
أُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِدْقِ الْحَدِيْثِ وَالْوَفَاءِ بِالعَهْدِ وَأَدَاءِ اْلأَمَانَةِ وَتَرْكِ الْخِيَانَةِ وَحِفْظِ الْجَارِ وَرَحْمَةِ الْيَتِيْمِ وَلِيْنِ الْكَلاَمِ وَبِدْءِ السَّلاَمِ وَحُسْنِ الْعَمَلِ وَقِصَرِ اْلأَمَلِ وَلُزُوْمِ اْلإِيْمَانِ وَالنَّفَقَةِ فِىالْقُرْآنِ وَحُبِّ اْلاَخِرَةِ وَالْجَزَعِ مِنَ الْحِسَابِ وَخَفْضِ الْجَنَاحِ. وَأَنْهَاكَ اَنْ تَسُبَّ حَكِيْمًا اَوْتُكَذِّبَ صَادِقًا اَوْتُطِيْعَ آثِمًا اَوْتُعْصِى اِمَامًا عَادِلاً اَوْتُفْسِدَ أَرْضًا. وَاُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ عِنْدَ كُلِّ حَجَرٍ وَشَجَرٍ وَمَدَرٍ وَاَنْ تُحْدِثَ لِكُلِّ ذَنْبٍ تَوْبَةَ السِّرِّ بِالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةَ بِالْعَلاَنِيَةِ
“Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah SWT, berkata benar, menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hubungan baik dengan tetangga, mengasihi anak yatim, berkata lembut, memulai salam, berbuat baik, pendek angan-angan, meneguhkan keimanan, mempelajari Al-Qur’an, mencintai akhirat, merasa gelisah terhadap penghisaban, dan merendahkan hati. Aku melarang kepadamu dari mencaci orang yang bijak, mendustakan orang jujur, menaati pendosa, durhaka kepada pemimpin yang adil, atau membuat kerusakan di muka bumi. Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah pada setiap batu, pohon, dan tanah. Hendaklah pada setiap dosa engkau datangkan tobat, yang rahasia dengan rahasia dan yang terang-terangan dengan terang-terangan”.
Tata nilai Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah saw. memiliki ketinggian karakteristik yang mencakup landasan-landasan yang bersifat asasi serta memuat acuan-acuan yang bersifat praktis. Sebagai tata nilai yang bersifat Ilahiyyah, tata nilai Islam memiliki karakteristik-karakteristik yang sekaligus melebihkannya dari tata nilai yang dikonstruksi manusia.
Pertama, syari’at Islam adalah tata nilai, aturan dan norma ciptaan Allah SWT, Zat yang mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Tata nilai Islam diciptakan sesuai dan selaras dengan sendi-sendi kemanusiaan, baik manusia sebagai individu maupun manusia sebagai masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mungkin terjadi pertentangan antara tata nilai Islam dengan fitrah kemanusiaan. Firman Allah SWT:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفَا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمْ وَلكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepda Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Al-Rum:30).
Kedua, tata nilai Islam diciptakan dengan tujuan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, sehingga terpelihara agamanya, dirinya, akalnya, kehormatannya, dan harta bendanya. Tata nilai Islam selalu memuat perintah untuk berbuat yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan yang munkar, menghalalkan yang baik-baik, dan mengharamkan yang buruk-buruk. Firman Allah SWT:
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُولَ النَّبِىَّ اْلاُمِىَّ اَلَّذِى يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرَـةِ وَاْلاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْههُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَاْلاَغْللَ اَلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ امَنُوا بِهِ وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُواالنُّوْرَ اَلَّذِي اَنْزَلَ مَعَهُ اُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan mereka kepada yang baik dan mengharamkan mereka dari yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Al-A’raf:157).
Ketiga, tata nilai Islam bersifat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (syumûliyah). Ia mencakup seluruh sistem keyakinan, etika, moral, hukum, pemikiran dan ilmu pengetahuan, sistem keluarga, ekonomi, sosial-politik dan lain sebagainya. Tidak ada satu aspek pun dari kehidupan manusia yang luput dari jangkauan tata nilai Islam. Kalaupun tidak diatur secara terperinci, setidaknya terdapat landasan yang bersifat asasi dan prinsipil. Itulah kesempurnaan tata nilai Islam yang tidak tertandingi oleh sistem dan tata nilai mana pun juga.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ لَكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islami itu jadi agama bagimua” (Q.S. Al-Maidah:3).
Berdasarkan keunggulan-keunggulan karakteristik tata nilai Islam tersebut dihubungkan dengan kondisi dan situasi bangsa ini, kita berhadapan dengan sebuah realitas masyarakat yang memperihatinkan. Prihatin karena di satu sisi kita memiliki perangkat tata nilai yang luhur dan adiluhung, yaitu tata nilai Islam; tetapi di sisi lain kita berhadapan dengan realitas masyarakat yang hampir-hampir anarkhis, kurang berakhlak, tak peduli pada hukum, dan hampir-hampir menjadi masyarakat biadab.
Oleh karena, sebelum masyarakat kita benar-benar menjadi anarkhis, mari kita kembali kepada tata nilai Islam, yaitu tata nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang selalu sesuai dan selaras dengan fitrah manusia dan fitrah masyarakat.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment