Pada pertemuan yang lalu kita sudah membahas tentang kebebasan menyampaikan kritik (hurriyyah al-mu’âradlah atau hurriyyah naqd al-hâkim). Masih berkaitan dengan tema di atas, tulisan ini akan membahas tentang kebebasan mengemukakan pendapat (hurriyah al-ra’y).
Dalam wacana demokrasi, negara berkewajiban menjamin kehidupan rakyatnya untuk secara bebas mengemukakan pendapatnya. Negara tidak hanya wajib melindungi dan menjamin keamanan dan ketentaraman rakyatnya, melainkan juga harus memberikan jaminan penuh terhadap setiap perbedaan pendapat antar berbagai komponen bangsa. Setiap komponen bangsa harus perpandangan bahwa perbedaan pendapat –setajam apa pun perbedaan itu-- bukanlah sesuatu yang tabu dan terlarang, melainkan sebuah proses demokrasi dan dinamika masyarakat menuju kepada kehidupan yang dicita-citakan.
Dengan demikian, sebagai pelaksana kehidupan ketatanegaraan, pemerintah tidak boleh memonopoli pendapat dan mengingkari pendapat pihak lain. Pemerintah harus mampu berperan sebagai fasilitator terhadap dinamika dan perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat. Pemerintah pun harus siap menerima untuk berbeda pendapat dengan komponen-komponen bangsa lain, termasuk di dalamnya menerima kritik sebagai wujud dari dinamika demokrasi.
Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut dengan istilah hurriyyah al-ra’y, yang secara etimologis berarti kebebasan berpendapat yang juga berarti kebebasan berbicara. Penggunaan istilah hurriyah al-ra’y dan bukan hurriyah al-qawl menunjukkan bahwa para ulama dan sarjana muslim telah menempatkan kedudukan yang amat penting dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam.
Istilah ra’yu dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam biasanya dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu yang terpuji, tercela, dan diragukan. Kenis ra’yu atau pendapat yang terpuji adalah ra’yu yang dijelaskan dalam al-Qur’an, Sunnah, pendapat para sahabat, ra’yu yang merupakan hasil ijtihad, dan ra’yu yang dicapai melalui proses musyawarah.
Ra’yu yang tercela (al-ra’y al-mazmumah) dikenal dalam tiga jenis ra’yu, yaitu bid’ah (pembaharuan yang merusak dan menyesatkan), hawâ (niat jelek) dan baghy (pelanggaran hukum).
Dalam ushul al-fiqh, ra’yu biasanya didefinisikan sebagai pendapat tentang suatu masalah yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ia merupakan pendapat yang dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang mendalam dan dilakukan dengan usaha yang keras dari seseorang.
Dengan demikian hurriyyah al-ra’y mensyaratkan adanya pendapat dan pemikiran yang matang, mendalam dan sungguh-sungguh. Setiap orang boleh mengemukakan pendapat sejauh tidak melanggar hukum yang mengandung penghujatan, fitnah serta didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung jawab. Dalam kacamata pemikiran dan keilmuan Islam, ra’yu dibatasi secara nyata oleh wahyu Tuhan (al-Qu’an dan Sunnah). Tetapi jika tersedian aturan dan pedoman dalam wahyu, atau jika kedua sumber tersebut (al-Qur’an dan Sunnah) hanya memuat aturan atau pedoman yang masih memungkinkan untuk ditafsirkan, maka hal tersebut masih terbuka untuk ra’yu.
Dalam sejarah pemikiran dan keilmuan Islam, pernah terjadi ketidaksepakatan antara ulama pendukung hadits (Ahl al-Hadîts) dan para ulama pendukung nalar (Ahl al-Ra’y). Para ulama pendukung hadits biasa menyebut para ulama pendukung nalar sebagai telah mempraktekkan kebebasan berpikir yang cenderung subjektif, sehingga lahir dan berkembang konotasi negatif terhadap ra’yu. Tetapi, konotasi negatif tentang penggunaan nalar dalam pemikiran dan keilmuan Islam mengalami perubahan bertahap terutama oleh usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Ahl al-Ra’y, terutama oleh para pengikut mazhab Hanafi. Mazhab inilah yang dalam pemikiran fiqh Islam berpandangan bahwa Islam tidak pernah melarang penggunaan nalar dan pendapat pribadi selama tidak melanggar prinsip dan tujuan Islam. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengembangkan suatu metode dan pedoman penggunaan nalar atau ra’yu yang benar dalam bentuk analogi (qiyâs), pilihan yuristik (istihsân), penghalangan (sadd al-darâ’i), dan praduga berkelanjutan (istishhâb). Metode dan pedoman ini dan juga prinsip lainnya, seperti prioritas yang diberikan kepada pendapat para sahabat (fatwa al-shahâbi) di atas pendapat para mujtahid lain, bertujuan untuk mendekatkan identitas ra’yu dengan hukum-hukum serta prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.
Adanya polemik dalam masalah penggunaan nalar atau ra’yu antara Ahlu al-Hadits dengan Ahl al-Ra’y sebenarnya hanya merupakan permasalahan orientasi dari pada penolakan total atas validitas ra’yu. Meskipun demikian ada kelompok yang secara tegas menolak kesahihah atau validitas ra’yu, yaitu kelompok Bathiniyyah atau Ta’limayyah. Dalam menyikapi pandangan Ta’limayyah ini, Al-Ghazali berkata: “Ta’limayyah disebut dengan nama demikian karena doktrin mereka yang melarang penalaran pribadi dalam bentuk ra’yu. Mereka malah menyeru untuk secara total bersandar pada perintah-perintah imam yang maksum, karena menurut mereka satu-satunya jalan untuk mendapatkan pengetahuan adalah melalui perintah, ajaran dan ta’lim”.
Tentu saja kita menolak pandangan dan doktrin kelompok Ta’limayyah ini, karena dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai pentunjuk-petunjuk yang mensahkan penggunaan pendapat pribadi.
Firman Allah SWT:
والذين استجابوا بربهم واقاموا الصلوة وامرهم شورى بينهم
ومما رزقنهم ينفقون
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. Asy-Syura:38).
Ayat di atas membenarkan konsep musyawarah, yang tentu saja menggunakan argumen-argumen yang bersifat nalar atau ra’yu, dalam menyelesaikan urusan antar sesamanya, dan bukan atas urusan-urusan ibadah mahdlah yang telah jelas ketentuannya.
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga mengajak manusia untuk menyelidiki dan menyingkap dunia di sekelilingnya dan mengambil kesimpulan yang rasional, dengan tidak meniru apa yang dihasilkan orang lain, melainkan melalui pemikiran yang cerdas. Firman Allah SWT:
كذلك يبين الله لكم الايت لعلكم تتفكرون
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. (Q.S. Al-Baqarah:266).
Dalam memahami ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan penggunaan nalar, Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” menegaskan bahwa al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas dunia di sekeliling kita, dan hal ini tidak akan mungkin tanpa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Al-Qur’an, dengan demikian sangat menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ketulusan dalam pencarian kebenaran dan keadilan. Tidak ada penelitian intelektual yang dapat dimulai dengan premis penolakan terhadap kebenaran monoteisme (tauhid) dan pedoman yang jelas melalui wahyu Tuhan. Selama nilai-nilai ditata, penelitian rasional dan pencarian kebenaran harus dipertahankan sekalipun harus berhadapan dengan permusuhan orang banyak.
Dalam konteks kehidupan kenegaraan, meskipun ketaatan dan kepatuhan kepada pemerintah yang sah adalah kewajiban Qur’ani, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولىالامرمنكم فان تنزعتم
فى شئ فردوه الى الله والرسول
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan bendapat tentang seuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…). (Q.S. An-Nisa:59)
Tetapi kepatuhan dan ketaatan kepada pemerintah tidak mengesampingkan hak rakyat untuk membicarakan persoalan dengan para pemimpinnya. Sebab al-Qur’an tetap men-tolerir perselisihan (jadal) dalam pengertian yang positif. Bahkan suatu perdebatan sekalipun, jika dilakukan secara logis, sopan dan bermanfaat tetap mendapat tempat dalam ajaran Islam.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment