Monday, July 2, 2007

Islam dan Kebebasan Mengemukakan Pendapat

Pada pertemuan yang lalu kita sudah membahas tentang kebebasan menyampaikan kritik ‎‎(hurriyyah al-mu’âradlah atau hurriyyah naqd al-hâkim). Masih berkaitan dengan tema ‎di atas, tulisan ini akan membahas tentang kebebasan mengemukakan pendapat ‎‎(hurriyah al-ra’y).‎
Dalam wacana demokrasi, negara berkewajiban menjamin kehidupan rakyatnya ‎untuk secara bebas mengemukakan pendapatnya. Negara tidak hanya wajib melindungi ‎dan menjamin keamanan dan ketentaraman rakyatnya, melainkan juga harus memberikan ‎jaminan penuh terhadap setiap perbedaan pendapat antar berbagai komponen bangsa. ‎Setiap komponen bangsa harus perpandangan bahwa perbedaan pendapat –setajam apa ‎pun perbedaan itu-- bukanlah sesuatu yang tabu dan terlarang, melainkan sebuah proses ‎demokrasi dan dinamika masyarakat menuju kepada kehidupan yang dicita-citakan. ‎
Dengan demikian, sebagai pelaksana kehidupan ketatanegaraan, pemerintah tidak ‎boleh memonopoli pendapat dan mengingkari pendapat pihak lain. Pemerintah harus ‎mampu berperan sebagai fasilitator terhadap dinamika dan perbedaan yang terjadi di ‎tengah masyarakat. Pemerintah pun harus siap menerima untuk berbeda pendapat dengan ‎komponen-komponen bangsa lain, termasuk di dalamnya menerima kritik sebagai wujud ‎dari dinamika demokrasi. ‎
Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut ‎dengan istilah hurriyyah al-ra’y, yang secara etimologis berarti kebebasan berpendapat ‎yang juga berarti kebebasan berbicara. Penggunaan istilah hurriyah al-ra’y dan bukan ‎hurriyah al-qawl menunjukkan bahwa para ulama dan sarjana muslim telah ‎menempatkan kedudukan yang amat penting dalam tradisi pemikiran dan keilmuan ‎Islam.‎
Istilah ra’yu dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam biasanya dibagi ke dalam ‎tiga jenis, yaitu yang terpuji, tercela, dan diragukan. Kenis ra’yu atau pendapat yang ‎terpuji adalah ra’yu yang dijelaskan dalam al-Qur’an, Sunnah, pendapat para sahabat, ‎ra’yu yang merupakan hasil ijtihad, dan ra’yu yang dicapai melalui proses musyawarah. ‎
Ra’yu yang tercela (al-ra’y al-mazmumah) dikenal dalam tiga jenis ra’yu, yaitu ‎bid’ah (pembaharuan yang merusak dan menyesatkan), hawâ (niat jelek) dan baghy ‎‎(pelanggaran hukum). ‎
Dalam ushul al-fiqh, ra’yu biasanya didefinisikan sebagai pendapat tentang suatu ‎masalah yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ia merupakan pendapat yang ‎dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang mendalam ‎dan dilakukan dengan usaha yang keras dari seseorang.‎
Dengan demikian hurriyyah al-ra’y mensyaratkan adanya pendapat dan pemikiran ‎yang matang, mendalam dan sungguh-sungguh. Setiap orang boleh mengemukakan ‎pendapat sejauh tidak melanggar hukum yang mengandung penghujatan, fitnah serta ‎didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung jawab. Dalam kacamata ‎pemikiran dan keilmuan Islam, ra’yu dibatasi secara nyata oleh wahyu Tuhan (al-Qu’an ‎dan Sunnah). Tetapi jika tersedian aturan dan pedoman dalam wahyu, atau jika kedua ‎sumber tersebut (al-Qur’an dan Sunnah) hanya memuat aturan atau pedoman yang masih ‎memungkinkan untuk ditafsirkan, maka hal tersebut masih terbuka untuk ra’yu.‎
Dalam sejarah pemikiran dan keilmuan Islam, pernah terjadi ketidaksepakatan ‎antara ulama pendukung hadits (Ahl al-Hadîts) dan para ulama pendukung nalar (Ahl al-‎Ra’y). Para ulama pendukung hadits biasa menyebut para ulama pendukung nalar sebagai ‎telah mempraktekkan kebebasan berpikir yang cenderung subjektif, sehingga lahir dan ‎berkembang konotasi negatif terhadap ra’yu. Tetapi, konotasi negatif tentang penggunaan ‎nalar dalam pemikiran dan keilmuan Islam mengalami perubahan bertahap terutama oleh ‎usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Ahl al-Ra’y, terutama oleh para pengikut ‎mazhab Hanafi. Mazhab inilah yang dalam pemikiran fiqh Islam berpandangan bahwa ‎Islam tidak pernah melarang penggunaan nalar dan pendapat pribadi selama tidak ‎melanggar prinsip dan tujuan Islam. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka ‎mengembangkan suatu metode dan pedoman penggunaan nalar atau ra’yu yang benar ‎dalam bentuk analogi (qiyâs), pilihan yuristik (istihsân), penghalangan (sadd al-darâ’i), ‎dan praduga berkelanjutan (istishhâb). Metode dan pedoman ini dan juga prinsip lainnya, ‎seperti prioritas yang diberikan kepada pendapat para sahabat (fatwa al-shahâbi) di atas ‎pendapat para mujtahid lain, bertujuan untuk mendekatkan identitas ra’yu dengan ‎hukum-hukum serta prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.‎
Adanya polemik dalam masalah penggunaan nalar atau ra’yu antara Ahlu al-Hadits ‎dengan Ahl al-Ra’y sebenarnya hanya merupakan permasalahan orientasi dari pada ‎penolakan total atas validitas ra’yu. Meskipun demikian ada kelompok yang secara tegas ‎menolak kesahihah atau validitas ra’yu, yaitu kelompok Bathiniyyah atau Ta’limayyah. ‎Dalam menyikapi pandangan Ta’limayyah ini, Al-Ghazali berkata: “Ta’limayyah disebut ‎dengan nama demikian karena doktrin mereka yang melarang penalaran pribadi dalam ‎bentuk ra’yu. Mereka malah menyeru untuk secara total bersandar pada perintah-perintah ‎imam yang maksum, karena menurut mereka satu-satunya jalan untuk mendapatkan ‎pengetahuan adalah melalui perintah, ajaran dan ta’lim”.‎
Tentu saja kita menolak pandangan dan doktrin kelompok Ta’limayyah ini, karena ‎dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai pentunjuk-petunjuk yang mensahkan penggunaan ‎pendapat pribadi. ‎
Firman Allah SWT:‎
والذين استجابوا بربهم واقاموا الصلوة وامرهم شورى بينهم
ومما رزقنهم ينفقون
‎“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan ‎shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, ‎menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. Asy-Syura:38).‎
Ayat di atas membenarkan konsep musyawarah, yang tentu saja menggunakan ‎argumen-argumen yang bersifat nalar atau ra’yu, dalam menyelesaikan urusan antar ‎sesamanya, dan bukan atas urusan-urusan ibadah mahdlah yang telah jelas ketentuannya.‎
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga mengajak manusia untuk menyelidiki dan ‎menyingkap dunia di sekelilingnya dan mengambil kesimpulan yang rasional, dengan ‎tidak meniru apa yang dihasilkan orang lain, melainkan melalui pemikiran yang cerdas. ‎Firman Allah SWT:‎
كذلك يبين الله لكم الايت لعلكم تتفكرون
‎“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu ‎memikirkannya”. (Q.S. Al-Baqarah:266).‎
Dalam memahami ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan ‎penggunaan nalar, Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” menegaskan bahwa ‎al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas dunia di sekeliling kita, dan hal ini ‎tidak akan mungkin tanpa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Al-Qur’an, ‎dengan demikian sangat menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ‎ketulusan dalam pencarian kebenaran dan keadilan. Tidak ada penelitian intelektual yang ‎dapat dimulai dengan premis penolakan terhadap kebenaran monoteisme (tauhid) dan ‎pedoman yang jelas melalui wahyu Tuhan. Selama nilai-nilai ditata, penelitian rasional ‎dan pencarian kebenaran harus dipertahankan sekalipun harus berhadapan dengan ‎permusuhan orang banyak.‎
Dalam konteks kehidupan kenegaraan, meskipun ketaatan dan kepatuhan kepada ‎pemerintah yang sah adalah kewajiban Qur’ani, sebagaimana dijelaskan dalam firman ‎Allah SWT:‎
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولىالامرمنكم فان تنزعتم
فى شئ فردوه الى الله والرسول
‎“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di ‎antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan bendapat tentang seuatu, maka ‎kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…). (Q.S. An-Nisa:59)‎
Tetapi kepatuhan dan ketaatan kepada pemerintah tidak mengesampingkan hak ‎rakyat untuk membicarakan persoalan dengan para pemimpinnya. Sebab al-Qur’an tetap ‎men-tolerir perselisihan (jadal) dalam pengertian yang positif. Bahkan suatu perdebatan ‎sekalipun, jika dilakukan secara logis, sopan dan bermanfaat tetap mendapat tempat ‎dalam ajaran Islam.‎

No comments: