Monday, July 2, 2007

Islam dan Non Muslim II

Dalam tulisan yang lalu telah dijelaskan sebagian dari hak-hak non muslim yang hidup di ‎tengah-tengah masyarakat muslim. Bagian kedua ini akan membahas hak-hak non muslim ‎lain yang belum dijelaskan pada bagian pertama. Hak-hak tersebut ialah perlindungan ‎terhadap kehormatan, kebebasan beragama, kebebasan bekerja dan berusaha, dan masalah ‎jabatan dalam pemerintahan.‎

Perlindungan terhadap Kehormatan
Ajaran Islam memberikan perlindungan kehormatan kepada setiap non muslim yang ‎hidup di tengah-tengah umat Islam. Hak untuk menerima perlindungan kehormatan bagi ‎non muslim kedudukannya sama dengan hak perlindungan kehormatan bagi kaum muslimin. ‎Berdasarkan perlindungan ini, maka siapapun tidak diperbolehkan memaki, mencaci, ‎menjelek-jelekkan dan mempergunjingkan non muslim, di mana larangan yang sama juga ‎berlaku bagi kaum muslimin.‎
Kalau sesama muslim dilarang saling menghina dan mencemooh, maka larangan yang ‎sama juga berlaku bagi non muslim yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin. Bila ‎kehormatan setiap muslim harus dijaga, maka demikian pula dengan kehormatan non muslim ‎di sekitar kita. ‎
Dalam kitab Al-Furûq, Syekh Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki berkata: “Akad dzimmah ‎mewajibkan berbagai hak untuk mereka (non muslim), sebab mereka itu berada dalam ‎lingkungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah, Rasul-Nya dan agama Islam. ‎Maka barang siapa membuat pelanggaran atas mereka walaupun dengan satu kata busuk atau ‎gunjingan, manusia sudah menyia-nyiakan dzimmah Allah, dzimmah Rasul-Nya serta ‎dzimmah agama Islam”. Dalam kitab “Hasyiyah Ibn Abidin” disebutkan, karena dengan ‎adanya akad dzimmah, seorang dzimmi telah memiliki hak yang sama seperti kita miliki. ‎Maka seperti diharamkannya mempergunjingkan sesama muslim, haram pula ‎mempergunjingkan mereka. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kedzaliman terhadap ‎seorang dzimmi lebih besar dosanya.‎
Demikian pula dalam kitab “Al-Durrul Mukhtâr”, salah satu kitab madzhab Hanafi, ‎disebutkan: “Wajib hukumnya mencegah gangguan terhadap dzimmi dan haram ‎mempergunjingkannya seperti juga terhadap seorang muslim”. ‎
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelaslah bahwa dalam sejarah peradaban Islam, kaum ‎dzimmi atau non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim memiliki hak ‎perlindungan atas kehormatan yang sama dengan hak perlindungan kehormatan kaum ‎muslimin.‎

Jaminan Kebebasan Beragama
Setiap non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim diberi jaminan ‎penuh dalam hal kekebasan memeluk agama dan kebebasan penuh pula untuk melaksanakan ‎ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Umat Islam dilarang memaksa mereka ‎untuk memeluk suatu agama, termasuk pemaksanaan untuk memeluk ajaran Islam. Jaminan ‎kebebasan beragama ini secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 ‎yang berbunyi:‎
لااكره فى الدين قد تبين الرشد من الغى
‎“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, telah jelas jalan yang benar dari pada jalan ‎yang salah” (Q.S. Al-Baqarah : 256).‎
Serta firman Allah swt dalam surat Yunus ayat 99 yang berbunyi:‎
افأنت تكره الناس حتى يكونوا مومنين
‎“Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman ‎semuanya?” (Q.S. Yunus : 99).‎
Ketika menafsirkan ayat yang pertama di atas, Ibnu Katsir berkata: “Maksudnya, jangan ‎memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab sudah cukup jelas petunjuk-petunjuk ‎dan bukti-buktinya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk ‎memasukinya”.‎
Dalam suatu perjanjian yang dibuat antara khalifah Umar ibn al-Khaththab dengan ‎pendudukan Iliya (Yerusalem), diatur suatu ketentuan yang menetapkan bagi penduduk Iliya ‎kebebasan beragama serta perlindungan keamanan bagi gereja-gereja mereka dan upacara-‎upacara keagamaan mereka. Di antara bunyi perjanjian tersebuat seperti yang dikutip dalam ‎kitab “Tarikh al-Tabari” ialah: “Inilah perjanjian perlindungan keamanan yang diberikan oleh ‎hamba Allah, Umar Amirul Mu’minin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi diri ‎mereka, harta benda, gereja-gereja. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan ‎ataupun dikurangi luasnya, diambil salib-salibnya ataupun apa saja dari harta benda mereka. ‎Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka atau diganggu dengan suatu ‎gangguan dan tidak akan diperbolehkan seseorang dari kaum Yahudi bertempat tinggal di ‎Iliya bersama mereka”. ‎
Dalam kitab “Al-Kharaj” karya Abu Yusuf juga disebutkan tentang janji perlindungan ‎yang ditetapkan oleh Khalid ibn Walid bagi penduduk Anax, di mana mereka diperbolehkan ‎membunyikan lonceng-lonceng gereja mereka kapan saja mereka menghendakinya, di siang ‎hari atau di malam hari, serta dibolehkan juga memamerkan salib-salib mereka pada hari-hari ‎raya mereka.‎
Bahkan menurut para ahli sejarah, toleransi yang diberikan kaum muslimin terhadap ‎non muslim pada saat kaum muslimin mencapai puncak kejayaan adalah suatu bentuk ‎toleransi beragama yang belum ada dalam sejarah umat manusia. Umat Islam-lah yang ‎pertama memelopori bentuk toleransi yang sesungguhnya dalam sejarah peradaban manusia. ‎
Itulah sebabnya Gustave Le Bon, salah seorang ilmuwan Perancis mengakui kehebatan ‎ajaran Islam dan umatnya dalam membangun toleransi yang sesungguhnya dengan ‎mengatakan: “telah kita lihat dari ayat-ayat al-Qur’an yang disebutkan sebelum ini bahwa ‎toleransi yang ditunjukkan oleh Muhammad terhadap kaum yahudi dan Nasrani sungguh ‎amat agung. Tidak seorang pun di antara para pendiri agama-agama yang datang sebelumnya ‎seperti agama Yahudi dan Nasrani pada khususnya, pernah melakukan hal seperti itu. Dan ‎kita akan melihat pula bagaimana para khalifah (pengganti Muhammad) telah mengikuti ‎jejaknya.” ‎
Toleransi seperti itu telah diakui oleh sebagian ilmuwan Barat, baik mereka yang tetap ‎masih dilanda kebingungan ataupun sejumlah kecil dari mereka yang percaya sepenuhnya, ‎setelah mendalami sejarah bangsa Arab. dalam buku sejarah Charlemagne, Robertson ‎menyatakan bahwa hanya kaum muslimin sajalah yang begitu besar pembelaannya terhadap ‎agama mereka, namun di waktu yang sama memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap para ‎pengikut agama-agama lain”.‎

Kebebasan Bekerja dan Berusaha
Bagi setiap non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam, mereka diberi ‎jaminan kebebasan untuk bekerja dan melakukan usaha, memilih pekerjaan yang diinginkan, ‎dan kebebasan mengelola berbagai jenis usaha dan pekerjaan di lapangan ekonomi. ‎kesepakatan para fuqaha menyebutkan bahwa jual beli, perdagangan dan segala macam jenis ‎transaksi ekonomi dan keuangan kedudukannya sama dengan kaum muslimin.‎
Namun demikian, sebagaimana kaum muslimin dilarang melakukan transaksi yang ‎mengandung unsur riba, non muslim dilarang melakukan jenis transaksi yang mengandung ‎unsur riba. Hal ini dimaksudkan supaya kaum muslimin yang hidup bersama mereka tidak ‎ragu-ragu dalam melakukan berbagai jenis transaksi.‎
Dengan demikian, jika ada pendapat yang menyatakan haram hukumnya membeli ‎sesuatu di toko non muslim, maka pendapat ini jelas bertentangan dengan kesepakatan (ijma) ‎para fuqaha. Demikian juga pendapat yang menyatakan larangan bagi kaum muslimin untuk ‎melakukan berbagai transaksi ekonomi dan keuangan dengan non muslim, maka pendapat ‎ini jelas-jelas tidak memiliki landasan hukum. Kalau non muslim diberi kekebasan untuk ‎melakukan berbagai jenis transaksi ekonomi dan keuangan dengan umat Islam, maka umat ‎Islam juga bebas melakukan transaksi ekonomi dan keuangan dengan mereka.‎

Jabatan dalam Pemerintahan
Dalam sejarah peradaban Islam, para khalifah memberikan kesempatan kepada non ‎muslim yang hidup di tengah-tengah umat Islam (ahlu al-dzimmah) untuk menduduki jabatan-‎jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum muslimin. Tetapi para khalifah membatasi ‎kedudukan-kedudukan tertentu, khususnya jabatan-jabatan yang memiliki warna keagamaan, ‎seperti imam, pemimpin tertinggi negara, panglima tentara, hakim untuk kaum muslimin, ‎penanggung jawab urusan zakat, sedekah dan wakaf hanya diberikan kepada kaum muslimin.‎
Dari contoh yang diberikan oleh para khalifah di atas, maka jelaslah bahwa kesempatan ‎yang diberikan kepada non muslim dalam hal menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan ‎hanya dibedakan dengan kaum muslimin dalam jabatan-jabatan tertentu yang memiliki warna ‎keagamaan.‎
Sedangkan untuk tugas-tugas pemerintahan di luar bidang keagamaan, non muslim ‎memiliki kesempatan yang sama dengan umat Islam, sejauh mereka memiliki dan memenuhi ‎syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan kepada negara, serta tidak memiliki rasa ‎dendam, dengki dan benci kepada kaum muslimin, seperti yang disebutkan dalam firman ‎Allah swt:‎
يايها الذين امنوا لاتتخدوا بطانة من دونكم لايألونكم خبالا ودوا ماعنتم قد بدت البغضاء من افواههم ‏وماتخفى صدورهم اكبر قد بينا لكم الايت ان كنتم تعقلون

‎“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi wali (pemimpin atau teman kepercayaanmu) ‎orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemadlaratan ‎bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut-mulut mereka, ‎dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar. Sungguh, telah Kami terangkan ‎kepadamu ayat-ayat Kami jika kamu (mau) memahaminya” (Q.S. Ali Imran : 118).‎

Penutup
Hak-hak non muslim yang hidup di tengah-tengah umat Islam (ahlu al-dzimmah) yang ‎telah dijelaskan di bagian terdahulu, sekali lagi menegaskan bahwa toleransi yang ditunjukkan ‎oleh ajaran Islam dan umatnya, adalah bentuk toleransi yang sesungguhnya, sepanjang ‎sejarah umat manusia. Oleh karena itu, gambaran dan citra masyarakat Barat (non muslim) ‎terhadap ajaran dan umat Islam yang sampai saat ini masih sangat buruk, sesungguhnya ‎merupakan sikap dengki yang tidak memiliki dasar sama sekali.‎
Melalui berbagai usaha sistematis dalam bidang sosial-politik, pendidikan, dan ‎khususnya media massa, masyarakat Barat (non muslim) selalu membuat propaganda ‎mengenai gambaran yang sangat negatif terhadap Islam dan umatnya. Bahkan media massa di ‎tanah air pun dari hari ke hari semakin terlihat jelas menyudutkan ajaran dan umat Islam. ‎
Bagi kita yang selalu mengikuti berita-berita dan opini-opini di media massa mereka, ‎apalagi jika kita mengetahui polarisasi yang terjadi di tingkat elit politik, yang ‎direpresentasikan melalui media massa non muslim dan sekuler; amatlah jelas bagaimana ‎kepandaian dan kelicikan mereka dalam meramu berbagai berita dan opini di seputar isu ‎reformasi untuk menghantam dan menyudutkan umat Islam.‎
Karena media massa yang mereka miliki cukup banyak dan memiliki tiras yang juga ‎besar, maka dampaknya sudah sangat jelas terasa. Itulah sebabnya, di kalangan umat Islam ‎sendiri (terutama mereka yang oleh Clifford Geertz dikategorikan sebagai golongan muslim ‎‎“abangan”) telah berkembang image-image negatif terhadap umat Islam sendiri. Seolah-olah ‎umat Islam anti demokrasi, umat Islam cenderung pro status quo, para pemimpin Islam ‎cenderung terlibat dalam praktek KKN atau setidak-tidaknya menutup-nutupi berbagai kasus ‎KKN yang terjadi.‎
Image-image tersebut jelas sekali menunjukkan keberhasilan elit politik non muslim ‎dan nasionalis-sekuler melalui berbagai media massa yang mereka kuasai dalam melakukan ‎‎“manajemen isu” di seputar reformasi. Dan dalam hal ini, kita harus akui bahwa kemampuan ‎umat Islam dalam melakukan “manajemen isu” melalui media massa dan forum-forum lain ‎masih lemah dan jauh tertinggal dari mereka.‎
Akhirnya kita berharap agar suatu saat umat Islam dapat membangun sistem jaringan ‎informasi yang terpadu, baik media massa maupun forum-forum lain, sebagai wahana ‎dakwah, persatuan dan kesatuan.‎

No comments: