Dalam tulisan yang lalu telah dijelaskan sebagian dari hak-hak non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim. Bagian kedua ini akan membahas hak-hak non muslim lain yang belum dijelaskan pada bagian pertama. Hak-hak tersebut ialah perlindungan terhadap kehormatan, kebebasan beragama, kebebasan bekerja dan berusaha, dan masalah jabatan dalam pemerintahan.
Perlindungan terhadap Kehormatan
Ajaran Islam memberikan perlindungan kehormatan kepada setiap non muslim yang hidup di tengah-tengah umat Islam. Hak untuk menerima perlindungan kehormatan bagi non muslim kedudukannya sama dengan hak perlindungan kehormatan bagi kaum muslimin. Berdasarkan perlindungan ini, maka siapapun tidak diperbolehkan memaki, mencaci, menjelek-jelekkan dan mempergunjingkan non muslim, di mana larangan yang sama juga berlaku bagi kaum muslimin.
Kalau sesama muslim dilarang saling menghina dan mencemooh, maka larangan yang sama juga berlaku bagi non muslim yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin. Bila kehormatan setiap muslim harus dijaga, maka demikian pula dengan kehormatan non muslim di sekitar kita.
Dalam kitab Al-Furûq, Syekh Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki berkata: “Akad dzimmah mewajibkan berbagai hak untuk mereka (non muslim), sebab mereka itu berada dalam lingkungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah, Rasul-Nya dan agama Islam. Maka barang siapa membuat pelanggaran atas mereka walaupun dengan satu kata busuk atau gunjingan, manusia sudah menyia-nyiakan dzimmah Allah, dzimmah Rasul-Nya serta dzimmah agama Islam”. Dalam kitab “Hasyiyah Ibn Abidin” disebutkan, karena dengan adanya akad dzimmah, seorang dzimmi telah memiliki hak yang sama seperti kita miliki. Maka seperti diharamkannya mempergunjingkan sesama muslim, haram pula mempergunjingkan mereka. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kedzaliman terhadap seorang dzimmi lebih besar dosanya.
Demikian pula dalam kitab “Al-Durrul Mukhtâr”, salah satu kitab madzhab Hanafi, disebutkan: “Wajib hukumnya mencegah gangguan terhadap dzimmi dan haram mempergunjingkannya seperti juga terhadap seorang muslim”.
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelaslah bahwa dalam sejarah peradaban Islam, kaum dzimmi atau non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim memiliki hak perlindungan atas kehormatan yang sama dengan hak perlindungan kehormatan kaum muslimin.
Jaminan Kebebasan Beragama
Setiap non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim diberi jaminan penuh dalam hal kekebasan memeluk agama dan kebebasan penuh pula untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Umat Islam dilarang memaksa mereka untuk memeluk suatu agama, termasuk pemaksanaan untuk memeluk ajaran Islam. Jaminan kebebasan beragama ini secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi:
لااكره فى الدين قد تبين الرشد من الغى
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah” (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Serta firman Allah swt dalam surat Yunus ayat 99 yang berbunyi:
افأنت تكره الناس حتى يكونوا مومنين
“Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus : 99).
Ketika menafsirkan ayat yang pertama di atas, Ibnu Katsir berkata: “Maksudnya, jangan memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab sudah cukup jelas petunjuk-petunjuk dan bukti-buktinya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya”.
Dalam suatu perjanjian yang dibuat antara khalifah Umar ibn al-Khaththab dengan pendudukan Iliya (Yerusalem), diatur suatu ketentuan yang menetapkan bagi penduduk Iliya kebebasan beragama serta perlindungan keamanan bagi gereja-gereja mereka dan upacara-upacara keagamaan mereka. Di antara bunyi perjanjian tersebuat seperti yang dikutip dalam kitab “Tarikh al-Tabari” ialah: “Inilah perjanjian perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mu’minin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi diri mereka, harta benda, gereja-gereja. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan ataupun dikurangi luasnya, diambil salib-salibnya ataupun apa saja dari harta benda mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka atau diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan diperbolehkan seseorang dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka”.
Dalam kitab “Al-Kharaj” karya Abu Yusuf juga disebutkan tentang janji perlindungan yang ditetapkan oleh Khalid ibn Walid bagi penduduk Anax, di mana mereka diperbolehkan membunyikan lonceng-lonceng gereja mereka kapan saja mereka menghendakinya, di siang hari atau di malam hari, serta dibolehkan juga memamerkan salib-salib mereka pada hari-hari raya mereka.
Bahkan menurut para ahli sejarah, toleransi yang diberikan kaum muslimin terhadap non muslim pada saat kaum muslimin mencapai puncak kejayaan adalah suatu bentuk toleransi beragama yang belum ada dalam sejarah umat manusia. Umat Islam-lah yang pertama memelopori bentuk toleransi yang sesungguhnya dalam sejarah peradaban manusia.
Itulah sebabnya Gustave Le Bon, salah seorang ilmuwan Perancis mengakui kehebatan ajaran Islam dan umatnya dalam membangun toleransi yang sesungguhnya dengan mengatakan: “telah kita lihat dari ayat-ayat al-Qur’an yang disebutkan sebelum ini bahwa toleransi yang ditunjukkan oleh Muhammad terhadap kaum yahudi dan Nasrani sungguh amat agung. Tidak seorang pun di antara para pendiri agama-agama yang datang sebelumnya seperti agama Yahudi dan Nasrani pada khususnya, pernah melakukan hal seperti itu. Dan kita akan melihat pula bagaimana para khalifah (pengganti Muhammad) telah mengikuti jejaknya.”
Toleransi seperti itu telah diakui oleh sebagian ilmuwan Barat, baik mereka yang tetap masih dilanda kebingungan ataupun sejumlah kecil dari mereka yang percaya sepenuhnya, setelah mendalami sejarah bangsa Arab. dalam buku sejarah Charlemagne, Robertson menyatakan bahwa hanya kaum muslimin sajalah yang begitu besar pembelaannya terhadap agama mereka, namun di waktu yang sama memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap para pengikut agama-agama lain”.
Kebebasan Bekerja dan Berusaha
Bagi setiap non muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam, mereka diberi jaminan kebebasan untuk bekerja dan melakukan usaha, memilih pekerjaan yang diinginkan, dan kebebasan mengelola berbagai jenis usaha dan pekerjaan di lapangan ekonomi. kesepakatan para fuqaha menyebutkan bahwa jual beli, perdagangan dan segala macam jenis transaksi ekonomi dan keuangan kedudukannya sama dengan kaum muslimin.
Namun demikian, sebagaimana kaum muslimin dilarang melakukan transaksi yang mengandung unsur riba, non muslim dilarang melakukan jenis transaksi yang mengandung unsur riba. Hal ini dimaksudkan supaya kaum muslimin yang hidup bersama mereka tidak ragu-ragu dalam melakukan berbagai jenis transaksi.
Dengan demikian, jika ada pendapat yang menyatakan haram hukumnya membeli sesuatu di toko non muslim, maka pendapat ini jelas bertentangan dengan kesepakatan (ijma) para fuqaha. Demikian juga pendapat yang menyatakan larangan bagi kaum muslimin untuk melakukan berbagai transaksi ekonomi dan keuangan dengan non muslim, maka pendapat ini jelas-jelas tidak memiliki landasan hukum. Kalau non muslim diberi kekebasan untuk melakukan berbagai jenis transaksi ekonomi dan keuangan dengan umat Islam, maka umat Islam juga bebas melakukan transaksi ekonomi dan keuangan dengan mereka.
Jabatan dalam Pemerintahan
Dalam sejarah peradaban Islam, para khalifah memberikan kesempatan kepada non muslim yang hidup di tengah-tengah umat Islam (ahlu al-dzimmah) untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum muslimin. Tetapi para khalifah membatasi kedudukan-kedudukan tertentu, khususnya jabatan-jabatan yang memiliki warna keagamaan, seperti imam, pemimpin tertinggi negara, panglima tentara, hakim untuk kaum muslimin, penanggung jawab urusan zakat, sedekah dan wakaf hanya diberikan kepada kaum muslimin.
Dari contoh yang diberikan oleh para khalifah di atas, maka jelaslah bahwa kesempatan yang diberikan kepada non muslim dalam hal menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan hanya dibedakan dengan kaum muslimin dalam jabatan-jabatan tertentu yang memiliki warna keagamaan.
Sedangkan untuk tugas-tugas pemerintahan di luar bidang keagamaan, non muslim memiliki kesempatan yang sama dengan umat Islam, sejauh mereka memiliki dan memenuhi syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan kepada negara, serta tidak memiliki rasa dendam, dengki dan benci kepada kaum muslimin, seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt:
يايها الذين امنوا لاتتخدوا بطانة من دونكم لايألونكم خبالا ودوا ماعنتم قد بدت البغضاء من افواههم وماتخفى صدورهم اكبر قد بينا لكم الايت ان كنتم تعقلون
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi wali (pemimpin atau teman kepercayaanmu) orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemadlaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami jika kamu (mau) memahaminya” (Q.S. Ali Imran : 118).
Penutup
Hak-hak non muslim yang hidup di tengah-tengah umat Islam (ahlu al-dzimmah) yang telah dijelaskan di bagian terdahulu, sekali lagi menegaskan bahwa toleransi yang ditunjukkan oleh ajaran Islam dan umatnya, adalah bentuk toleransi yang sesungguhnya, sepanjang sejarah umat manusia. Oleh karena itu, gambaran dan citra masyarakat Barat (non muslim) terhadap ajaran dan umat Islam yang sampai saat ini masih sangat buruk, sesungguhnya merupakan sikap dengki yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Melalui berbagai usaha sistematis dalam bidang sosial-politik, pendidikan, dan khususnya media massa, masyarakat Barat (non muslim) selalu membuat propaganda mengenai gambaran yang sangat negatif terhadap Islam dan umatnya. Bahkan media massa di tanah air pun dari hari ke hari semakin terlihat jelas menyudutkan ajaran dan umat Islam.
Bagi kita yang selalu mengikuti berita-berita dan opini-opini di media massa mereka, apalagi jika kita mengetahui polarisasi yang terjadi di tingkat elit politik, yang direpresentasikan melalui media massa non muslim dan sekuler; amatlah jelas bagaimana kepandaian dan kelicikan mereka dalam meramu berbagai berita dan opini di seputar isu reformasi untuk menghantam dan menyudutkan umat Islam.
Karena media massa yang mereka miliki cukup banyak dan memiliki tiras yang juga besar, maka dampaknya sudah sangat jelas terasa. Itulah sebabnya, di kalangan umat Islam sendiri (terutama mereka yang oleh Clifford Geertz dikategorikan sebagai golongan muslim “abangan”) telah berkembang image-image negatif terhadap umat Islam sendiri. Seolah-olah umat Islam anti demokrasi, umat Islam cenderung pro status quo, para pemimpin Islam cenderung terlibat dalam praktek KKN atau setidak-tidaknya menutup-nutupi berbagai kasus KKN yang terjadi.
Image-image tersebut jelas sekali menunjukkan keberhasilan elit politik non muslim dan nasionalis-sekuler melalui berbagai media massa yang mereka kuasai dalam melakukan “manajemen isu” di seputar reformasi. Dan dalam hal ini, kita harus akui bahwa kemampuan umat Islam dalam melakukan “manajemen isu” melalui media massa dan forum-forum lain masih lemah dan jauh tertinggal dari mereka.
Akhirnya kita berharap agar suatu saat umat Islam dapat membangun sistem jaringan informasi yang terpadu, baik media massa maupun forum-forum lain, sebagai wahana dakwah, persatuan dan kesatuan.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment