Thursday, June 28, 2007

Pendidikan yang Pembebasan

Pendidikan Yang Membebaskan
Oleh Huzni Thoyyar

Barangkali tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa pendidikan adalah salah satu ‎faktor terpenting dalam membentuk budaya masyarakat, sekaligus mewariskannya kepada ‎generasi-generasi selanjutnya. Pendidikanlah yang akan membentuk watak, tabiat dan perilaku ‎suatu masyarakat. Baik-buruk atau maju-mundurnya budaya masyarakat amat bergantung ‎kepada pola pendidikannya. Di sinilah letak strategis makna pendidikan bagi pembangunan ‎masyarakat.‎
Makna strategis pendidikan ini secara teoretik diakui oleh John Vaisay (1967), yang ‎menyatakan bahwa pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan ekonomi, perkembangan sains ‎dan teknologi, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dalam pendapatan sera peningkatan ‎kualitas peradaban manusia pada umumnya. Bahkan Chistoper J. Lucas (1976) berani ‎menyimpulkan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan ‎keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberikan informasi yang paling berharga ‎mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu anak didik mempersiapkan kebutuhan ‎hidup yang esensial untuk menghadapi perubahan.‎
Pengalaman empirik yang dialami bangsa Jepang dapat dijadikan sebagai salah satu ‎pembenar pandangan teoretik di atas. Setelah Jepang melakukan reformasi bidang pendidikan ‎secara besar-besaran pada era Meiji (1868-1912), Jepang memiliki infrastruktur pendidikan ‎yang bermutu. Hasilnya, meskipun pernah hancur total semasa Perang Dunia II, Jepang saat ini ‎menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi Asia Pasifik dan Dunia. Dengan kata lain, kemajuan ‎yang dialami bangsa Jepang di antaranya sangat dipengaruhi oleh reformasi besar-besaran di ‎bidang pendidikannya.‎
Berbeda dengan bangsa Jepang, dunia pendidikan kita sampai saat ini masih berhadapan ‎dengan problem-problem internal kependidikan, yaitu: Pertama, rendahnya pemerataan ‎kesempatan belajar (equity) disertai dengan banyaknya peserta didik yang putus sekolah dan ‎banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, ‎rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam, matematika serta ‎bahasa, terutama bahasa asing. Padahal penguasaan terhadap materi-materi tersebut merupakan ‎modal dasar bagi kemampuan untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ‎teknologi. Ketiga, rendahnya efisiensi internal, terutama dengan banyaknya peserta didik yang ‎mengulang kelas dan lamanya masa studi yang melampaui waktu standar yang ditetapkan. Hal ‎ini jelas sekali merupakan pemborosan dan pemubaziran sumber daya, baik dana maupun ‎tenaga. Keempat, rendahnya efisiensi eksesternal sistem pendidikan atau yang biasa disebut ‎dengan relevansi pendidikan. Rendahnya efisiensi eksteral ini sering kali dipersalahkan sebagai ‎penyebab terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang dari hari ke hari semakin meningkat. ‎Rendahnya tingkat efisiensi eksternal ini juga ikut menyumbangkan pada tumbuhnya sikap ‎apatis masyarakat terhadap dunia pendidikan kita.‎
Berdasarkan masalah-masalah internal tersebut kita dapat mengatakan bahwa kondisi ‎yang dialami bangsa Indonesia saat ini dengan krisis multidimensionalnya, salah satunya adalah ‎diakibatkan oleh banyaknya problem yang dihadapi oleh sistem pendidikan kita. Bahkan budaya ‎KKN, kekerasan dan konflik horizontal, serta perilaku elit dan masyarakat Indonesia yang ‎secara nyata makin kehilangan jati diri, watak dan tabiat ke-Indonesiaan-nya, juga disebabkan ‎oleh kegagalan sistem pendidikan kita dalam membangun segenap kualitas sumber dayanya ‎‎(human being as a whole).‎
Pendidikan kita memang bermasalah. Pendidikan kita juga dihadapkan dengan problem-‎problem dan tantangan-tantangan baru yang menuntut pemecahan dan jalan keluar. Sementara ‎kita masih berkutat pada permasalahan landasan dan paradigma pendidikan, kita juga ‎dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru, baik menyangkut perkembangan ilmu ‎pengetahuan dan teknologi, problem kemanusiaan maupun juga isu globalisasi. Ibarat lomba lari ‎marathon, sebagian kita masih sibuk mendiskusikan strategi dan pijakan/landasan untuk ‎melakukan start, sementara bangsa-bangsa maju lain sudah jauh meninggalkan kita saling kejar-‎mengejar. ‎
Merumuskan suatu pijakan, landasan atau paradigma secara kokoh dan tepat --apalagi ‎bagi pendidikan yang memiliki makna amat strategis— sudah pasti lebih penting, bila ‎dibandingkan dengan menggunakan pijakan/landasan atau paradigma yang lemah, atau bahkan ‎tanpa landasan sama sekali.‎
Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan yang membebaskan (liberative education) adalah suatu konsep yang bisa ‎dijadikan sebagai pijakan, landasan, dan paradigma pendidikan. Pendidikan yang membebaskan, ‎menurut Gary McIntyre Boyd (1998) dalam artikelnya The Cybernetics of Rational dnd ‎Liberative Education memuat dua arti penting, yaitu: Pertama, 1) membebaskan atau ‎memerdekaan peserta didik dari kungkungan lingkungan belajar, dan kedua, membebaskan atau ‎memerdekakan anak didik dari dominasi dan kontrol budaya kolektif. Liberative educatioan ‎bertujuan untuk membangun manusia otonom, yaitu manusia yang berpendirian, yang dapat ‎menimbang dan memutuskan sendiri, yang mampu memilih yang baik, benar dan bagus, yang ‎tak mudah tergoda oleh yang irrelevan, yang kreatif, intelektual, berani, dan jujur. Lebih dari ‎itu, pendidikan yang membebaskan bertujuan melakukan pembebasan individu, masyarakat, dan ‎negara dari kekejaman, ketertindasan, kemiskinan, keangkuhan teknokrasi, dan pemerasan harta ‎kekayaan negara oleh pihak yang tidak berhak, serta menghasilkan manusia-manusia kritis dan ‎responsif terhadap setiap gejala sosial, dan sanggup pula membela orang-orang yang tertindas ‎secara struktural dan kultural.‎
Manusia otonom yang menjadi cita-cita “pendidikan yang membebaskan”, bukanlah ‎manusia yang serba patuh tanpa reserve, manusia yang sikap dan perilakunya diatur oleh orang ‎lain, manusia robotik yang tidak memiliki kreatiftas, manusia yang tidak berani mengungkapkan ‎pendapat dan jalan pikirannya sendiri. Manusia otonom juga bukan manusia yang pasrah-‎sumerah, fatalis dan deterministik, yang merasa dihidupnya dikendalikan oleh kekuatan lain di ‎luar dirinya. Manusia otonom adalah manusia yang berani mengatakan dan mengutarakan ‎pendapat dan keyakinannya, memiliki kemampuan memutuskan sendiri, memiliki kemerdekaan ‎memilih (free will), kemerdekaan bertindak (free act). Manusia otonom juga berani ‎mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya, selalu jujur pada diri sendiri dan ‎lingkungannya, serta tidak terjebak pada perilaku irrasional dan irrelevan.‎
Konsepsi manusia merdeka dan bertanggung jawab serta jujur dan kreatif, yang menjadi ‎inti dari tujuan “pendidikan yang membebaskan” tersebut pernah dijadikan sebagai tema sentral ‎dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Filipina, Popular Education for People’s ‎Empowerment (PEPE), yang mengembangkan model pendidikan umum (popular education) ‎dengan basis masyarakat (community base education). PEPE adalah organisasi nirlaba yang ‎mempromosikan “popular education” dalam upaya membangun kemandirian individu. Mereka ‎berupaya menjangkau berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kaum miskin perkotaan, kaum ‎tani, profesional, kaum wanita, penduduk asli dan lain sebagainya, dengan menjadikan keunikan ‎masing-masing individu dan keunikan lingkungan sosial budaya sebagai entry point dalam ‎penyelenggaraan pendidikan. ‎
Keunikan individu memang harus menjadi basis dan perhatian utama dalam pendidikan. ‎Pendidikan tidak bisa mengabaikan perbedaan antarindividu. Penyamarataan individu dalam ‎konteks pendidikan sesungguhnya hanya menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan ‎para praktisi pendidikan untuk bekerja lebih keras lagi. Menjadikan individu --apalagi untuk ‎konteks masyarakat Indonesia yang amat heterogen-- sebagai basis dan perhatian utama dalam ‎pendidikan memang bukan sesuatu yang mudah. Terlebih lagi perhatian terhadap keunikan ‎individu tidak hanya terkait dengan kondisi psikologis, intelektual dan emosi individu an sich, ‎tetapi juga kondisi lingkungan sosial budaya individu, serta proyeksi atas tantangan-tantangan ‎yang mungkin akan dihadapi oleh setiap individu di masa depan.‎
Memang banyak prasyarat yang harus dipenuhi agar keunikan individu mendapat tempat ‎yang layak dalam penyelenggaraan pendidikan. Mulai dari pemahaman dan pengetahuan yang ‎memadai terhadap kondisi milieu dan lingkungan sosial budaya di mana individu hidup, ‎kebijakan pendidikan, tujuan yang ingin dicapai, penetapan kurikulum, sampai kepada sistem ‎evaluasi. Semua ini hanya dilaksanakan apabila proses-proses pengambilan keputusan di bidang ‎pendidikan dilakukan tidak melulu bersifat sentralisasi.‎
Pendidikan yang membebaskan mensyaratkan adanya proses desentralisasi tidak hanya ‎desentralisasi dalam arti wilayah administratif, tetapi juga desentralisasi dan otonomisasi yang ‎wajar bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia pendidikan terutama para guru dan tenaga ‎pengajar lainnya, sehingga mereka juga dapat menjadi manusia otonom, yang menjadi cita-cita ‎penting dari pendidikan yang membebaskan. *** ‎

1 comment:

roby said...

SALAM...
Kang Hatur Nuhun..artikelna akang berguna banget untuk skripsi saya...saya alumnus Darus tahun 2002,ayeuna di UIN Jogja.
Salam..,

Eboy