Pendidikan Yang Membebaskan
Oleh Huzni Thoyyar
Barangkali tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor terpenting dalam membentuk budaya masyarakat, sekaligus mewariskannya kepada generasi-generasi selanjutnya. Pendidikanlah yang akan membentuk watak, tabiat dan perilaku suatu masyarakat. Baik-buruk atau maju-mundurnya budaya masyarakat amat bergantung kepada pola pendidikannya. Di sinilah letak strategis makna pendidikan bagi pembangunan masyarakat.
Makna strategis pendidikan ini secara teoretik diakui oleh John Vaisay (1967), yang menyatakan bahwa pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan ekonomi, perkembangan sains dan teknologi, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dalam pendapatan sera peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya. Bahkan Chistoper J. Lucas (1976) berani menyimpulkan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu anak didik mempersiapkan kebutuhan hidup yang esensial untuk menghadapi perubahan.
Pengalaman empirik yang dialami bangsa Jepang dapat dijadikan sebagai salah satu pembenar pandangan teoretik di atas. Setelah Jepang melakukan reformasi bidang pendidikan secara besar-besaran pada era Meiji (1868-1912), Jepang memiliki infrastruktur pendidikan yang bermutu. Hasilnya, meskipun pernah hancur total semasa Perang Dunia II, Jepang saat ini menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi Asia Pasifik dan Dunia. Dengan kata lain, kemajuan yang dialami bangsa Jepang di antaranya sangat dipengaruhi oleh reformasi besar-besaran di bidang pendidikannya.
Berbeda dengan bangsa Jepang, dunia pendidikan kita sampai saat ini masih berhadapan dengan problem-problem internal kependidikan, yaitu: Pertama, rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai dengan banyaknya peserta didik yang putus sekolah dan banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam, matematika serta bahasa, terutama bahasa asing. Padahal penguasaan terhadap materi-materi tersebut merupakan modal dasar bagi kemampuan untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, rendahnya efisiensi internal, terutama dengan banyaknya peserta didik yang mengulang kelas dan lamanya masa studi yang melampaui waktu standar yang ditetapkan. Hal ini jelas sekali merupakan pemborosan dan pemubaziran sumber daya, baik dana maupun tenaga. Keempat, rendahnya efisiensi eksesternal sistem pendidikan atau yang biasa disebut dengan relevansi pendidikan. Rendahnya efisiensi eksteral ini sering kali dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang dari hari ke hari semakin meningkat. Rendahnya tingkat efisiensi eksternal ini juga ikut menyumbangkan pada tumbuhnya sikap apatis masyarakat terhadap dunia pendidikan kita.
Berdasarkan masalah-masalah internal tersebut kita dapat mengatakan bahwa kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini dengan krisis multidimensionalnya, salah satunya adalah diakibatkan oleh banyaknya problem yang dihadapi oleh sistem pendidikan kita. Bahkan budaya KKN, kekerasan dan konflik horizontal, serta perilaku elit dan masyarakat Indonesia yang secara nyata makin kehilangan jati diri, watak dan tabiat ke-Indonesiaan-nya, juga disebabkan oleh kegagalan sistem pendidikan kita dalam membangun segenap kualitas sumber dayanya (human being as a whole).
Pendidikan kita memang bermasalah. Pendidikan kita juga dihadapkan dengan problem-problem dan tantangan-tantangan baru yang menuntut pemecahan dan jalan keluar. Sementara kita masih berkutat pada permasalahan landasan dan paradigma pendidikan, kita juga dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru, baik menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, problem kemanusiaan maupun juga isu globalisasi. Ibarat lomba lari marathon, sebagian kita masih sibuk mendiskusikan strategi dan pijakan/landasan untuk melakukan start, sementara bangsa-bangsa maju lain sudah jauh meninggalkan kita saling kejar-mengejar.
Merumuskan suatu pijakan, landasan atau paradigma secara kokoh dan tepat --apalagi bagi pendidikan yang memiliki makna amat strategis— sudah pasti lebih penting, bila dibandingkan dengan menggunakan pijakan/landasan atau paradigma yang lemah, atau bahkan tanpa landasan sama sekali.
Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan yang membebaskan (liberative education) adalah suatu konsep yang bisa dijadikan sebagai pijakan, landasan, dan paradigma pendidikan. Pendidikan yang membebaskan, menurut Gary McIntyre Boyd (1998) dalam artikelnya The Cybernetics of Rational dnd Liberative Education memuat dua arti penting, yaitu: Pertama, 1) membebaskan atau memerdekaan peserta didik dari kungkungan lingkungan belajar, dan kedua, membebaskan atau memerdekakan anak didik dari dominasi dan kontrol budaya kolektif. Liberative educatioan bertujuan untuk membangun manusia otonom, yaitu manusia yang berpendirian, yang dapat menimbang dan memutuskan sendiri, yang mampu memilih yang baik, benar dan bagus, yang tak mudah tergoda oleh yang irrelevan, yang kreatif, intelektual, berani, dan jujur. Lebih dari itu, pendidikan yang membebaskan bertujuan melakukan pembebasan individu, masyarakat, dan negara dari kekejaman, ketertindasan, kemiskinan, keangkuhan teknokrasi, dan pemerasan harta kekayaan negara oleh pihak yang tidak berhak, serta menghasilkan manusia-manusia kritis dan responsif terhadap setiap gejala sosial, dan sanggup pula membela orang-orang yang tertindas secara struktural dan kultural.
Manusia otonom yang menjadi cita-cita “pendidikan yang membebaskan”, bukanlah manusia yang serba patuh tanpa reserve, manusia yang sikap dan perilakunya diatur oleh orang lain, manusia robotik yang tidak memiliki kreatiftas, manusia yang tidak berani mengungkapkan pendapat dan jalan pikirannya sendiri. Manusia otonom juga bukan manusia yang pasrah-sumerah, fatalis dan deterministik, yang merasa dihidupnya dikendalikan oleh kekuatan lain di luar dirinya. Manusia otonom adalah manusia yang berani mengatakan dan mengutarakan pendapat dan keyakinannya, memiliki kemampuan memutuskan sendiri, memiliki kemerdekaan memilih (free will), kemerdekaan bertindak (free act). Manusia otonom juga berani mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya, selalu jujur pada diri sendiri dan lingkungannya, serta tidak terjebak pada perilaku irrasional dan irrelevan.
Konsepsi manusia merdeka dan bertanggung jawab serta jujur dan kreatif, yang menjadi inti dari tujuan “pendidikan yang membebaskan” tersebut pernah dijadikan sebagai tema sentral dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Filipina, Popular Education for People’s Empowerment (PEPE), yang mengembangkan model pendidikan umum (popular education) dengan basis masyarakat (community base education). PEPE adalah organisasi nirlaba yang mempromosikan “popular education” dalam upaya membangun kemandirian individu. Mereka berupaya menjangkau berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kaum miskin perkotaan, kaum tani, profesional, kaum wanita, penduduk asli dan lain sebagainya, dengan menjadikan keunikan masing-masing individu dan keunikan lingkungan sosial budaya sebagai entry point dalam penyelenggaraan pendidikan.
Keunikan individu memang harus menjadi basis dan perhatian utama dalam pendidikan. Pendidikan tidak bisa mengabaikan perbedaan antarindividu. Penyamarataan individu dalam konteks pendidikan sesungguhnya hanya menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan para praktisi pendidikan untuk bekerja lebih keras lagi. Menjadikan individu --apalagi untuk konteks masyarakat Indonesia yang amat heterogen-- sebagai basis dan perhatian utama dalam pendidikan memang bukan sesuatu yang mudah. Terlebih lagi perhatian terhadap keunikan individu tidak hanya terkait dengan kondisi psikologis, intelektual dan emosi individu an sich, tetapi juga kondisi lingkungan sosial budaya individu, serta proyeksi atas tantangan-tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh setiap individu di masa depan.
Memang banyak prasyarat yang harus dipenuhi agar keunikan individu mendapat tempat yang layak dalam penyelenggaraan pendidikan. Mulai dari pemahaman dan pengetahuan yang memadai terhadap kondisi milieu dan lingkungan sosial budaya di mana individu hidup, kebijakan pendidikan, tujuan yang ingin dicapai, penetapan kurikulum, sampai kepada sistem evaluasi. Semua ini hanya dilaksanakan apabila proses-proses pengambilan keputusan di bidang pendidikan dilakukan tidak melulu bersifat sentralisasi.
Pendidikan yang membebaskan mensyaratkan adanya proses desentralisasi tidak hanya desentralisasi dalam arti wilayah administratif, tetapi juga desentralisasi dan otonomisasi yang wajar bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia pendidikan terutama para guru dan tenaga pengajar lainnya, sehingga mereka juga dapat menjadi manusia otonom, yang menjadi cita-cita penting dari pendidikan yang membebaskan. ***
Thursday, June 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
SALAM...
Kang Hatur Nuhun..artikelna akang berguna banget untuk skripsi saya...saya alumnus Darus tahun 2002,ayeuna di UIN Jogja.
Salam..,
Eboy
Post a Comment