Thursday, June 28, 2007

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji IV

Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-‎Muta’allim Thariqat al-Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, ‎kitab tersebut cenderung memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada ‎semangat dan pesan moral di dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.‎
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu ‎menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. ‎Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ‎ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren.‎
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim ‎al-Muta’allim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang ‎pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.‎
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki ‎kecenderungan sama dengan Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab ‎yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail ‎al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Muta’alim karya Imam al-‎Ghazali (w. 505 H.).‎
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok ‎pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun ‎periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim. ‎Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-‎Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.‎
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak ‎berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu ‎pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) ‎konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis ‎pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.‎
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral ‎yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan ‎dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis. ‎
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid ‎menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu ‎pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur ‎bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, ‎bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara ‎berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.‎
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu ‎kemudian mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan ‎dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah ‎mengemukakan kritiknya terhadap Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa ‎daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah ‎pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di ‎mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji ‎dalam Ta’lim al-Muta’allim.‎
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke ‎dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat ‎itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan ‎disudutkan.‎
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap ‎berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-‎metodologis, dan ekspresi pribadi.‎
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses ‎pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan ‎bermoral.‎
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka ‎patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai ‎teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta ‎kondisi-kondisi yang lain.‎
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi ‎pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ‎ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi ‎cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami ‎sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun ‎pengajar.‎
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam ‎bingkai teladan-moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah ‎pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu ‎diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai ‎motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis ‎dengan yang ada dalam cerita itu.‎
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. ‎Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku ‎dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar ‎semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan ‎apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak ‎memiliki basis moral yang mapan.‎
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam ‎apresiasi. Karya al-Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-‎suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh ‎Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan ‎khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.‎
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: ‎konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan ‎perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu ‎pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya.‎
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan ‎moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi ‎juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi ‎pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201).‎
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-‎Muta’allim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan ‎berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Ta’lim al-‎Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam ‎modern.‎
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang ‎membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, ‎‎1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: ‎‎“Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran ‎Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong ‎masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak ‎benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.‎
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang ‎dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka ‎tumpahnya kepada Ta’lim al-Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim ‎seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional.‎
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah ‎mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali ‎apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‎‎‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu ‎jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".‎
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, ‎mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal ‎itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, ‎terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat.‎
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya ‎mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat ‎kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak ‎sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya.‎
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang ‎seringkali dimuculkan untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek ‎kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri ‎tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian ‎dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.‎
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-‎Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar ‎belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional ‎atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.‎
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi ‎karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi ‎para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.‎
‎1. Anjuran untuk selalu belajar‎
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin ‎Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, ‎karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.‎
Syairnya adalah sebagai berikut:‎
تعلم فان العلم زين لاهــله – وفضل وعنوان لكل المــــحامد‏
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة – من العلم واسبح فى بحور الفــوائد‏
تفقه فان الفقه افضل قــائد – الى البــر والتقوى واعدل قــائد‏
هو العلم الهادى الى سنن الهدى – هو الحصن ينجى من جميع الشدائـد
فان فــقيها واحدا متـورعا – اشد على الشيـطان مـن الف عابد‏

‎"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. ‎
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ‎ilmu yang berguna.‎
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang ‎dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,‎
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan ‎yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari ‎segala keresahan.‎
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi ‎setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-‎‎7)‎

Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan ‎melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan ‎pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, ‎kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.‎
‎2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela‎
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat ‎mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang ‎terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah ‎hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.‎
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:‎
وكذلك فى سائر الاخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والاسراف والتقتير وغيرها
‎"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang ‎terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, ‎congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."‎
‎3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan‎
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu ‎nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu ‎agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, ‎karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).‎
Ia mengatakan:‎
وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرام لانه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن ‏
‎"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan ‎penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, ‎karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).‎
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang ‎didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain ‎yang bermanfaat.‎
‎4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para ‎pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan ‎belajar.‎
Ia mengatakan:‎
لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. اذا النية هي الاصل فى جميع الاحوال
‎"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok ‎dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).‎
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait ‎dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:‎
a.‎ Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;‎
b.‎ Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;‎
c.‎ Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di ‎masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan ‎nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan ‎bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. ‎‎(Al-Zarnuji, 1995:12-14).‎
‎5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak ‎tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib ‎berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:‎
ان التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى الى المعالى يرتقى‏
ومن االعجائب عجب من هو جاهل – فى حاله اهو السعيد ام الشقى‏
‎"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat ‎tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya ‎menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang ‎beruntung dengan orang yang celaka." (Al-Zarnuji, 1995:16).‎
‎6. Cara memilih guru‎
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari ‎guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, ‎sebagaimana dikatakannya:‎
واما اختيار الاستاذ فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسن
‎"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang ‎lebih tua". (Al-Zarnuji, 1995:18-19).‎
‎7. Cara memilih jenis ilmu‎
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan ‎sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan ‎penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan ‎dalam mencari ilmu.‎
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama ‎yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid ‎mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah ‎berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang ‎taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji, 1995:18).‎
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk ‎mempelajari ilmunya para ulama Salaf.‎
‎8. Nasihat kepada para pelajar‎
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan ‎moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.‎
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, ‎Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah ‎dengan pelajar atau orang lain.‎
Ia mengatakan:‎
وطلب العلم من اعلى الامور واصعبها فكان المشاورة فيه اهم واوجب
‎"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka ‎bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". ‎‎(Al-Zarnuji, 1995:21).‎
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan ‎tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:‎
واعلم ان الصبر والثبات اصل كبير فى جميع الامور
‎"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala ‎urusan" (Al-Zarnuji, 1995:22).‎
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang ‎mengatakan:‎
الالاتـنال العـلم الا بسـتة – سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وارشاد استاذ وطول الزمان‏
‎"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; ‎sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, ‎bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, ‎‎1995:23).‎
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk ‎memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan ‎dan penderitaan. Ia mengatakan:‎
الشجاعة صبر ساعة
‎"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-‎Zarnuji, 1995:22).‎
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa ‎nafsu. Ia mengatakan:‎
وينبغى ان يصبر عما تريد نفسه
‎"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-‎Zarnuji, 1995:23).‎
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan ‎orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:‎
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
‎"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang ‎faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, ‎suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).‎
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh ‎setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.‎
Ia berkata:‎
اعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به الا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
‎"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya ‎tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan ‎menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26).‎
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan ‎nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di ‎tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-‎Zarnuji, 1995:27).‎
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak ‎banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-‎Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren ‎mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di ‎hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam ‎berdiskusi.‎
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti ‎hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-‎Zarnuji, 1995:30).‎
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan ‎cita-cita (al-himmah), Al-Zarnuji mengatakan:‎
ثم لابد من الجد والمواظبة واالهمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولجز ‏
‎"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa ‎bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja ‎yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).‎
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji ‎mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan ‎oleh guru. Ia mengatakan:‎
وينبغى ان يجتهد فى الفهم من الاستاذ
‎"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh ‎gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55).‎
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. ‎demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-‎Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:‎
وينبغى ان يجتهد ويدعو الله تعالى
‎"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a ‎kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55).‎
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa ‎dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji ‎menganjurkannya. Ia berkata:‎
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة. وينبغى ان يكون بالانصاف والتأن ويتحرز عن الشغب
‎"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), ‎dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, ‎tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).‎
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur ‎kepada Allah. Ia berkata:‎
ينبغى لطالب العلم ان يستغل بالشكر من اللسان والجنان والاركان والمال
‎"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, ‎hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).‎
l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-‎sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak ‎rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar ‎setiap pelajar tidak mudah patah semangat.‎
وينبغى ان يكون لطالب العلم فترة وتحير فانها آفة
‎"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa ‎berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69).‎
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, ‎setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.‎
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لامر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
‎"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas ‎soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, ‎‎1995:71).‎
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi ‎antar sesama. Ia berkata:‎
وينبغى ان يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
‎"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-‎dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77).‎
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki ‎prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan:‎
واياك وان تظن بالمؤمن سوءا فانه منشأ العداوة ولا يحل ذلك‏
‎"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber ‎permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).‎
p. Anjuran bersikap wara'‎
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau ‎menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ‎ini maka:‎
فمهما كان طالب العلم اورع كان علمه انفع والتعلمه له ايسروفوائده اكثر
‎"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih ‎muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).‎
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri ‎kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat ‎mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji ‎menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat. ‎
وينبغى ان يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فان ذلك عون له على التحصيل والتعلم
‎"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya ‎melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu ‎keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91).‎
E. Kesimpulan
‎1.‎ Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-‎Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan ‎akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-‎mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari ‎akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. ‎Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, ‎cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada ‎para penuntut ilmu.‎
‎2.‎ Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat ‎diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, ‎tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak ‎mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran ‎menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) ‎anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil ‎berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; ‎‎(12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa ‎tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak ‎berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak ‎shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak ‎semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman ‎sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan ‎berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran ‎modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan ‎pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain ‎sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang ‎dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan ‎dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian ‎anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji ‎agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, memelihara ‎sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.‎

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 1991. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk ‎Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.‎
Al-Zarnuji, Syekh, 1985. Terjemah Ta'lim al-Muta'allim. Mutiara ilmu, Surabaya.‎
Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.‎
Asmaran, AS. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.‎
Bruinessen, Martin Van, 1996. Kitab Kuning dan Perkembangan Thariqat di ‎Indonesia. Mizan, Bandung‎
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Buku IA Filsafat Ilmu, Universitas ‎Terbuka, Jakarta.‎
Dhofier, Zamakhsyari, 1995. Tradisi Pesantren: Studi atas Perilaku Kiai. LP3ES, ‎Jakarta.‎
Fudyartanta, 1974, Etika. Yogyakarta: Warawidyani Cetakan Keempat‎
Ghazali, Said, 2000. Kontekstuaalisasi Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Makalah Serminar, ‎tidak diterbitkan.‎
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, ‎Cetakan keenam.‎
Haricahyono. 1995. Etika Pergaulan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka ‎Utama.‎
Hourani, George F. 1986, Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: ‎Cambridge University Press. ‎
Husain, Muhammad, 2001. Kitab Kuning: Sejarah dan Pertumbuhannya. LkiS, ‎Yogyakarta
Moleong, Lexy.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja ‎Rosdakarya.‎
Rakhmat, Jalauddin, 2004.Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung.‎
Soelaeman. 1994. Pengembangan Etika di Lingkungan Lembaga Pendidikan. Jakarta: ‎Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.‎
Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM ‎Yogyakarta.‎
Surajiyo, 2004. Perspektif Filsafat Ilmu tentang Etika Profesi. Ciamis: Jurnal Ilmiah ‎Tajdid.‎
Suseno, Frans Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.‎
Taylor, Paul W., 1985. Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson ‎Publishing Compant Inc..,‎
Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta:CV. Rajawali.‎

1 comment:

Miftachul Huda said...

Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.