Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-Muta’allim Thariqat al-Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, kitab tersebut cenderung memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada semangat dan pesan moral di dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren.
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim al-Muta’allim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Muta’alim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.).
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis.
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan.
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi.
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral.
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain.
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun pengajar.
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam bingkai teladan-moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu.
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan.
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya al-Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201).
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-Muta’allim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam modern.
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: “Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Ta’lim al-Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional.
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat.
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.
1. Anjuran untuk selalu belajar
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Syairnya adalah sebagai berikut:
تعلم فان العلم زين لاهــله – وفضل وعنوان لكل المــــحامد
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة – من العلم واسبح فى بحور الفــوائد
تفقه فان الفقه افضل قــائد – الى البــر والتقوى واعدل قــائد
هو العلم الهادى الى سنن الهدى – هو الحصن ينجى من جميع الشدائـد
فان فــقيها واحدا متـورعا – اشد على الشيـطان مـن الف عابد
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)
Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.
2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:
وكذلك فى سائر الاخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والاسراف والتقتير وغيرها
"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."
3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).
Ia mengatakan:
وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرام لانه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.
Ia mengatakan:
لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. اذا النية هي الاصل فى جميع الاحوال
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:
a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;
b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;
c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14).
5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:
ان التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى الى المعالى يرتقى
ومن االعجائب عجب من هو جاهل – فى حاله اهو السعيد ام الشقى
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (Al-Zarnuji, 1995:16).
6. Cara memilih guru
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:
واما اختيار الاستاذ فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسن
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (Al-Zarnuji, 1995:18-19).
7. Cara memilih jenis ilmu
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji, 1995:18).
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf.
8. Nasihat kepada para pelajar
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain.
Ia mengatakan:
وطلب العلم من اعلى الامور واصعبها فكان المشاورة فيه اهم واوجب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21).
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
واعلم ان الصبر والثبات اصل كبير فى جميع الامور
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (Al-Zarnuji, 1995:22).
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
الالاتـنال العـلم الا بسـتة – سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وارشاد استاذ وطول الزمان
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23).
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
الشجاعة صبر ساعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22).
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia mengatakan:
وينبغى ان يصبر عما تريد نفسه
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23).
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.
Ia berkata:
اعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به الا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26).
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27).
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi.
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30).
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-himmah), Al-Zarnuji mengatakan:
ثم لابد من الجد والمواظبة واالهمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولجز
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:
وينبغى ان يجتهد فى الفهم من الاستاذ
"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55).
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:
وينبغى ان يجتهد ويدعو الله تعالى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55).
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة. وينبغى ان يكون بالانصاف والتأن ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia berkata:
ينبغى لطالب العلم ان يستغل بالشكر من اللسان والجنان والاركان والمال
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).
l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.
وينبغى ان يكون لطالب العلم فترة وتحير فانها آفة
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69).
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لامر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71).
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata:
وينبغى ان يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77).
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan:
واياك وان تظن بالمؤمن سوءا فانه منشأ العداوة ولا يحل ذلك
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).
p. Anjuran bersikap wara'
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka:
فمهما كان طالب العلم اورع كان علمه انفع والتعلمه له ايسروفوائده اكثر
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat.
وينبغى ان يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فان ذلك عون له على التحصيل والتعلم
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91).
E. Kesimpulan
1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu.
2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 1991. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Zarnuji, Syekh, 1985. Terjemah Ta'lim al-Muta'allim. Mutiara ilmu, Surabaya.
Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
Asmaran, AS. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bruinessen, Martin Van, 1996. Kitab Kuning dan Perkembangan Thariqat di Indonesia. Mizan, Bandung
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Buku IA Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari, 1995. Tradisi Pesantren: Studi atas Perilaku Kiai. LP3ES, Jakarta.
Fudyartanta, 1974, Etika. Yogyakarta: Warawidyani Cetakan Keempat
Ghazali, Said, 2000. Kontekstuaalisasi Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Makalah Serminar, tidak diterbitkan.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, Cetakan keenam.
Haricahyono. 1995. Etika Pergaulan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hourani, George F. 1986, Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Husain, Muhammad, 2001. Kitab Kuning: Sejarah dan Pertumbuhannya. LkiS, Yogyakarta
Moleong, Lexy.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalauddin, 2004.Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung.
Soelaeman. 1994. Pengembangan Etika di Lingkungan Lembaga Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Surajiyo, 2004. Perspektif Filsafat Ilmu tentang Etika Profesi. Ciamis: Jurnal Ilmiah Tajdid.
Suseno, Frans Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
Taylor, Paul W., 1985. Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson Publishing Compant Inc..,
Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta:CV. Rajawali.
Thursday, June 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.
Post a Comment