Thursday, June 28, 2007

Dirasah Islamiyah di Perguruan Tinggi

A. Muqaddimah
Salah satu masalah yang cukup memperihatinkan dalam ‎bidang kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di berbagai ‎Perguruan Tinggi di negeri ini adalah rendahnya tingkat ‎efektivitas dan efisiensi penyerapan materi-materi ‎pembelajarannya, serta efek (atsar)-nya dalam sikap dan ‎perlikau sehari-hari mahasiswa. Kalau saja kegiatan ‎kemahasiswaan tidak dibarengi dengan aktivitas dakwah ‎kampus—yang biasanya berpusat pada masjid-masjid ‎kampus—maka hampir-hampir materi perkuliahan Dirâsah ‎Islâmiyah tidak memberikan atsar pada sikap, perilaku, dan ‎aktivitas mahasiswa sehari-hari. Beruntunglah, mahasiswa ‎Muslim yang menempuh pendidikan di berbagai Perguruan ‎Tinggi di Tanah Air masih memiliki minat besar untuk aktif ‎dalam berbagai halaqah, kajian, dan pendalaman materi-‎materi ke-Islam-an di berbagai sudut kampus. Tanpa ‎keterlibatan aktif mahasiswa seperti itu, maka materi ‎perkuliahan Dirâsah Islâmiyah, tidak lebih dari hanya mata ‎kuliah formal, layaknya Pendidikan Pancasila yang pernah ‎menjadi mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi kita.‎
B. Struktur Kelimuan Dirâsah Islâmiyah
Problem seperti itu, saya kira, dapat ditelusuri dari ‎struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah sekaligus metodologi ‎dan pendekatan pembelajarannya. Penelusuran terhadap ‎struktur keilmuan dan metodologi pendekatan kajian ‎Dirâsah Islâmiyah penting dilakukan, sebab dalam dunia ‎akademis setiap disiplin ilmu akan selalu mengalami proses ‎dekonstruksi atau pembongkaran melalui berbagai kegiatan ‎akademik. Padahal Dirâsah Islâmiyah, yang biasanya meliputi ‎materi Tauhîd, Fiqh Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Hadîts, dan ‎Akhlâq, lebih banyak memuat aspek-aspek normatif. Dengan ‎kata lain, proses akademik tidak pernah kosong dari upaya ‎‎“mempertanyakan kembali” berbagai asumsi dasar ilmu, ‎termasuk ilmu-ilmu yang dianggap “telah mapan” sekali pun. ‎
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bersama, umat ‎Islam pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, ‎îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (yang merupakan ‎unsur-unsur utama Dirâsah Islâmiyah) harus dipercayai ‎begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Itulah struktur ‎fundamen dari apa yang disebut sebagai "agama", yang ‎biasanya dikembangkan dengan menggunakan pola pikir atau ‎logika deduktif (deductive) yang amat bergantung pada teks ‎atau nash-nash kitab suci. Salah seorang pemikir Islam ‎kontemporer, Mohammed Abid al-Jabiri menyebut pola ‎pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan ‎‎“`irfaniyyun”, dan bukan pula “burhaniyyun”. ‎
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif ‎adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato. Plato ‎pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat ‎diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang ‎tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak ‎awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, ‎menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman ‎historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan ‎yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal ‎mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan ‎yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.‎
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu ‎pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan ‎dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas ‎alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan ‎pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, ‎maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak ‎meyakinkan. Sampai sekarang, disiplin ilmu-ilmu Islam yang ‎sebagiannya membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah ‎Islâmiyah di berbagai PT kita, dikembangkan dengan ‎menggunakan model penalaran deduktif ala Plato itu. Para ‎ulama klasik, telah berhasil dengan gemilang dalam ‎mengembangkan pola penalaran deduksi dengan merujuk ‎kepada teks-teks kitab suci (al-Qur’an dan Sunnah Nabi). ‎
Namun demikian, pola pemikiran deduktif juga ‎mendapat tantangan dari pola penalaran yang lain, khususnya ‎pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu ‎pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. ‎Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ‎ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini ‎kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi berbagai ‎konsep, kontruks, generalisasi, teori, dalil-dalil yang disusun ‎sendiri oleh akal pikiran. ‎
Tetapi, dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ‎‎(history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif ‎kemudian dikombinasikan, sehingga menghasilkan apa yang ‎disebut dengan metode ilmiah (scientific method). Dengan ‎demikian, ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang dan ‎dikaji di berbagai PT kita merupakan buah dari kombinasi ‎penalaran deduktif dan induktif tersebut.‎
Dari dua pola logika berpikir tersebut, Dirâsah ‎Islâmiyah ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya ‎saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir ‎logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ‎ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa ‎rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif ‎keagamaan nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ‎ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata ‎karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh Dirâsah ‎Islâmiyah adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. ‎Dengan demikian, produk pemikiran Dirâsah Islâmiyah pada ‎umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qâbilin li al-‎taghyîr.‎
Karena watak dasar Dirâsah Islâmiyah yang seperti ‎itulah, yang kemudian menjadikan kajian Islam (Dirâsah ‎Islâmiyah) di Perguruan Tinggi menjadi dilematis. Di satu ‎sisi, dunia akademik dilandasi oleh semangat penemuan, ‎pengembangan, pembongkaran, penggantian, dan penemuan ‎kembali ilmu; tetapi di sisi lain tubuh pengetahuan yang ‎menyusun Dirâsah Islâmiyah lebih bersifat ghayru qâbilin li ‎al-taghyîr. Kalau metode ilmiah dipaksakan untuk mendekati ‎tubuh pengetahuan (body of knowledge) Dirâsah Islâmiyah, ‎apakah kita tidak akan kembali terjebak pada perdebatan ‎yang tiada akhir seperti yang menimpa “Ilmu Kalam” ‎beberapa abad yang lampau? ‎
Tentu kita tidak ingin mengulang kembali perdebatan ‎ilmu kalam yang melelahkan dan menguras energi dan ‎pemikiran para pendahulu kita. Mungkin yang dapat ‎dilakukan adalah membuat semacam “peta” disiplin ilmu-‎ilmu Islam yang membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah ‎Islâmiyah, dengan cara memilah mana aspek-aspek Dirâsah ‎Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr dan mana ‎aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat qâbilin li al-‎taghyîr.‎
Inilah yang menjadi tugas para sarjana dan cendekiawan ‎Muslim, termasuk Bapak-bapak dan Saudara-saudara sivitas ‎akademika S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ‎Bandung yang hadir di majelis ini. Memang tidak mudah ‎merumuskan peta kajian Dirâsah Islâmiyah yang ‎memungkinkan kita menetapkan mana aspek-aspek Islam ‎yang dapat dikaji, dikritisi, ditafsir ulang dan dikembangkan; ‎serta aspek-aspek mana yang “tinggal diterima” sebagaimana ‎adanya dan tidak memerlukan tafsir ulang.‎
C. Masalah Metodologi dan Pendekatan
Setelah struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah dipetakan ‎dan dirumuskan secara akademis, mana wilayah akademis ‎‎(dalam arti sesungguhnya) dan mana wilayah yang bersifat ‎permanen, tetap, dan tidak berubah; selanjutnya menjadi ‎tugas para sarjana dan cendeiawan Muslim—khususnya di ‎bidang pendidikan dan pembelajaran—untuk memilih ‎pendekatan dan metode yang tepat, sehingga tujuan Dirâsah ‎Islâmiyah dapat benar-benar tercapai.‎
Sebagai sumbang saran, saya ingin mengungkapkan ‎beberapa metode dan pendekatan pembelajaran, khususnya ‎yang berkenaan dengan wilayah Dirâsah Islâmiyah yang ‎bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr, khususnya materi tauhid.‎
Pertama-tama perlau saya sampaikan bahwa “tauhid” ‎adalah disiplin Islam yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah, ‎sudah jadi, dan final. Kita akan mengalami kesulitan apabila ‎‎“tauhid” sebagai salah satu unsur Dirâsah Islâmiyah di PT ‎kita, dikaji dan didekati dengan menggunakan pendekatan ‎ilmiah “murni”. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan ‎kita adalah bagaimana ajaran tauhid dan nilai-nilainya dapat ‎dipahami dan diterima oleh mahasiswa sebagai inti ajaran ‎Islam yang tidak akan pernah berubah, sehingga tauhid dan ‎nilai-nilainya menyerap dan terinternaslisasi ke dalam jiwa ‎dan kalbu para mahasiswa? ‎
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat meminjam ‎pendekatan pendidikan nilai (value education) yang selama ‎ini digunakan oleh dunia pendidikan Barat untuk ‎menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada peserta ‎didik. Pilihan pendekatan pendidikan nilai (value education) ‎yang berkembang di Barat ini sama sekali bukan berarti kita ‎dan para pendahulu kita tidak memiliki pendekatan dan ‎metode untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada ‎para mahasiswa, melainkan semata-mata karena yang hadir di ‎tengah-tengah kita saat ini adalah kaum cerdik pandai yang ‎sehari-hari bergelut dengan dunia akademik dan dunia ilmu.‎
Dalam teori pendidikan nilai (value education) dikenal ‎beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk ‎menanamkan nilai-nilai. Setidaknya ada lima pendekatan ‎yang populer, yang dapat kita kaji tingkat efektivitas dan ‎efisiensinya dalam menanamkan nilai. Kelima pendekatan itu ‎adalah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation ‎approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif ‎‎(cognitive moral development approach), (3) pendekatan ‎analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan ‎klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) ‎pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).‎
Kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut ‎dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, ‎sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull dalam ‎bukunya Moral Judgement from Chilhood to Adolescence, ‎yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang ‎dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai ‎baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, ‎tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial yang ‎dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, ‎tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-‎tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap ‎otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata ‎hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan lingkungannya. ‎
Dari kelima model pendekatan pendidikan nilai ‎tersebut, di sini hanya akan dikupas salah satunya, yakni ‎pendekatan penanaman nilai. Saya yakin hadirin di sini, ‎terutama yang mengambil Konsentrasi Pendidikan Umum ‎pada Program Pascasarjana UPI Bandung, lebih memahami ‎berbagai model pendekatan pendidikan nilai tersebut.‎
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) ‎adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada ‎penanaman nilai-nilai dalam diri siswa/mahasiswa. Tujuan ‎pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, ‎diterimanya nilai-nilai tertentu oleh siswa/mahasiswa; ‎Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa/mahasiswa yang tidak ‎sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kalau ajaran tauhid ‎dan nilai-nilainya ingin ditanamkan dengan menggunakan ‎pendekatan ini, maka tujuan yang ingin kita capai adalah: ‎Pertama, penerimaan mahasiswa terhadap tauhid beserta ‎nilai-nilai tauhid, seperti ikhlas, adil, ridla, dan lain-lain. ‎Kedua, nilai-nilai tauhid memiliki atsar dalam praktek ‎kehidupan mahasiswa sehari-hari.‎
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran ‎menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan ‎positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-‎lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan ‎tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur Barat yang ‎ditujukan kepada pendekatan ini. Betapa pun pendekatan ini ‎dipandang indoktrinatif dan tidak sesuai dengan ‎perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin ‎demokratis, tetapi pendekatan ini, setidaknya menusur saya, ‎lebih sesuai untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya ‎kepada mahasiswa. ‎
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai ‎dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung ‎tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, ‎disadari atau tidak disadari, pendekatan ini digunakan secara ‎meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam ‎penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para ‎penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk ‎menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-‎program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, ‎agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang ‎bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai ‎itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses ‎pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai ‎tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-‎batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan ‎harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek ‎kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini ‎kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan ‎merupakan dasar penting dalam pendidikan agama. ‎
D. Beberapa Pemikiran tentang Content/Materi ‎
‎ Dirâsah Islâmiyah
Berkenaan dengan isi atau materi pembelajaran Dirâsah ‎Islâmiyah, sesungguhnya kita dapat menelusuri dan ‎menggalinya dari khazanah intelektual Islam, baik klasik ‎maupun kontemporer. Dalam kesempatan ini, saya ingin ‎memberikan beberapa penekanan pada beberapa aspek ‎Dirâsah Islâmiyah.‎
Pertama, berbagai gejala dan tantangan yang muncul ‎akibat globalisasi komunikasi dan informasi menuntut agar ‎para mahasiswa kita dibekali dengan pengertian Syari’at ‎Islam secara lebih mendalam. Ini perlu dilakukan supaya para ‎mahasiswa kita tidak mudah terjebak pada gaya hidup serba ‎bebas, tetapi juga tidak terjebak pada sikap keberagamaan ‎yang radikal dan eksklusif.‎
Kedua, kita meyakini bahwa akidah Ahlu al-Sunnah wa ‎al-Jamaah adalah yang terbaik di antara berbagai aliran ilmu ‎kalam yang pernah berkembang di dunia Islam. Berkenaan ‎dengan ini, ajaran dan nilai akidah ini perlu ditanamkan dan ‎diinternalisasikan ke dalam kalbu para mahasiswa kita.‎
Ketiga, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada ‎sebagian generasi muda kita yang memahami Islam secara ‎sempit dan parsial. Konsep jihad, misalnya, mereka pahami ‎secara sempit dan semata-mata bersifat fisik dan kekerasan. ‎Oleh karena itu, kita perlu memperhalus kalbu generasi ‎muda dengan kelembutan Islam, yang dapat mendorong ‎berkembangnya pemikiran yang matang. Bersamaan dengan ‎itu, kita juga perlu membekali mahasiswa kita dengan ‎kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan ‎yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia ‎internasional.‎
Keempat, pemahaman terhadap Islam secara kaffah dan ‎universal disertai dengan kemampuan menganalisis berbagai ‎masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, ‎dan dunia internasional tersebut pada akhirnya bertujuan ‎untuk membentuk generasi muda yang memiliki iman yang ‎kuat, mental yang stabil, jiwa yang kokoh, hati yang suci, ‎akhlak yang mulia. ‎
Generasi muda seperti itulah yang akan mampu ‎merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik.‎
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ‏وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ ‏وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk ‎manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari ‎yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli ‎Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara ‎mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah ‎orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110).‎
Kelima, merealisasikan “khairu ummah” dalam ‎kehidupan yang penuh tantangan ini, memang amat ‎membutuhkan jiwa-jiwa muwahhid, mujahid, mujtahid, dan ‎mujaddid.‎
Muwahhid adalah seseorang yang jiwa dan raganya ‎penuh dengan tauhid, siap dan sanggup melaksanakan titah ‎Allah dengan penuh ketaatan hati, kata, dan perbuatan, ‎bukan hanya sekadar hafal di luar kepala sifat-sifat Allah ‎semata. Firman Allah SWT:‎
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي ‏زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا ‏شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي ‏اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ‏
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. ‎Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang ‎yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu ‎di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang ‎bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak ‎dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun ‎yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula ‎di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir ‎menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas ‎cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-‎Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat ‎perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha ‎Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Nur:35).‎
Pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:‎
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ ‏وَالْآَصَال. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ ‏الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.‏‎ ‎لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا ‏عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah ‎diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di ‎dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang ‎tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual ‎beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan ‎sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut ‎kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan ‎menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) ‎supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan ‎balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, ‎dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. ‎Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-‎Nya tanpa batas. (Q.S. Al-Nur: 36-38).‎
Mujahid adalah generasi muda yang bersedia untuk ‎berkorban demi agamanya, negaranya, masyarakatnya, dan ‎keluarganya karena hanya semata-mata mengharap ridha ‎Allah. Firman Allah SWT:‎
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-‎benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).‎
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا ‏فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-‎sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan ‎Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan ‎tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di ‎dunia dengan baik… (Q.S. Luqman : 15).‎
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ ‏الصّبِرِيْنَ
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga ‎padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara ‎kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (Q.S. Ali ‎Imran : 142).‎
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ ‏جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin ‎yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga ‎orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk ‎disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. ‎Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan ‎membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang ‎pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).‎
Mujtahid adalah sosok sarjana, ilmuwan, atau apa pun ‎namanya yang memiliki kesanggupan menyingkap berbagai ‎ilmu-ilmu Allah, baik yang terkandung dalam ayat-ayat ‎qauliyah (al-Qur’an dan hadits Nabi) maupun ayat-ayat ‎kauniyah (alam raya beserta isinya). Membangun sosok ‎mujtahid seperti itulah, yang menjadi salah satu tugas ‎Perguruan Tinggi.‎
Kalau mujtahid lebih terkait dengan upaya ‎penyingkapan ayat-ayat Allah, maka sosok mujaddid lebih ‎tepat dimaknai sebagai sosok yang mampu memperbaharui ‎dan memperbaiki kondisi umat dalam berbagai bidang ‎kehidupan. ‎
Demikian empat sosok generasi muda Islam, yang ‎setiap saat kita dambakan, dan kita akan selalu optimis, ‎bahwa lembaga pendidikan kita, insya Allah akan mampu ‎membangun dan mengembangkan sosok generasi muda ‎Islam yang muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.‎
Semoga



DAFTAR BACAAN

Al-Ghazali, Muhammad. 1989. al-Sunnah al-Nabawiyyah: ‎Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadists. Beirut: Dar al-‎Syuruq
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1990. Bunyah al-Aql al-Araby: ‎Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-‎Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah. Beirut: Markaz ‎Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah.‎
Al-Jauzy, Abu al-Faraj. 1993. Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr ‎al-Tafsir.‎
Al-Khazin, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ‎ibn Umar al-Syaikhy. 1988. Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-‎Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr.‎
Al-Razy, Fachr al-Dîn. 1995. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr ‎al-Fikr.‎
Al-Suyûthi, Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn. ‎‎1989. Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. ‎Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah.‎
Arkoun, Muhammad. 1990. Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa ‎Ijtihad. Mesir: Dar al-Saqi.‎
Bull, Norman J. 1969. Moral Judgement from Chilhood to ‎Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul.‎
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. ‎Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.‎

No comments: