A. Muqaddimah
Salah satu masalah yang cukup memperihatinkan dalam bidang kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di berbagai Perguruan Tinggi di negeri ini adalah rendahnya tingkat efektivitas dan efisiensi penyerapan materi-materi pembelajarannya, serta efek (atsar)-nya dalam sikap dan perlikau sehari-hari mahasiswa. Kalau saja kegiatan kemahasiswaan tidak dibarengi dengan aktivitas dakwah kampus—yang biasanya berpusat pada masjid-masjid kampus—maka hampir-hampir materi perkuliahan Dirâsah Islâmiyah tidak memberikan atsar pada sikap, perilaku, dan aktivitas mahasiswa sehari-hari. Beruntunglah, mahasiswa Muslim yang menempuh pendidikan di berbagai Perguruan Tinggi di Tanah Air masih memiliki minat besar untuk aktif dalam berbagai halaqah, kajian, dan pendalaman materi-materi ke-Islam-an di berbagai sudut kampus. Tanpa keterlibatan aktif mahasiswa seperti itu, maka materi perkuliahan Dirâsah Islâmiyah, tidak lebih dari hanya mata kuliah formal, layaknya Pendidikan Pancasila yang pernah menjadi mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi kita.
B. Struktur Kelimuan Dirâsah Islâmiyah
Problem seperti itu, saya kira, dapat ditelusuri dari struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah sekaligus metodologi dan pendekatan pembelajarannya. Penelusuran terhadap struktur keilmuan dan metodologi pendekatan kajian Dirâsah Islâmiyah penting dilakukan, sebab dalam dunia akademis setiap disiplin ilmu akan selalu mengalami proses dekonstruksi atau pembongkaran melalui berbagai kegiatan akademik. Padahal Dirâsah Islâmiyah, yang biasanya meliputi materi Tauhîd, Fiqh Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Hadîts, dan Akhlâq, lebih banyak memuat aspek-aspek normatif. Dengan kata lain, proses akademik tidak pernah kosong dari upaya “mempertanyakan kembali” berbagai asumsi dasar ilmu, termasuk ilmu-ilmu yang dianggap “telah mapan” sekali pun.
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bersama, umat Islam pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (yang merupakan unsur-unsur utama Dirâsah Islâmiyah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Itulah struktur fundamen dari apa yang disebut sebagai "agama", yang biasanya dikembangkan dengan menggunakan pola pikir atau logika deduktif (deductive) yang amat bergantung pada teks atau nash-nash kitab suci. Salah seorang pemikir Islam kontemporer, Mohammed Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan “`irfaniyyun”, dan bukan pula “burhaniyyun”.
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Sampai sekarang, disiplin ilmu-ilmu Islam yang sebagiannya membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah di berbagai PT kita, dikembangkan dengan menggunakan model penalaran deduktif ala Plato itu. Para ulama klasik, telah berhasil dengan gemilang dalam mengembangkan pola penalaran deduksi dengan merujuk kepada teks-teks kitab suci (al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Namun demikian, pola pemikiran deduktif juga mendapat tantangan dari pola penalaran yang lain, khususnya pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi berbagai konsep, kontruks, generalisasi, teori, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran.
Tetapi, dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif kemudian dikombinasikan, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan metode ilmiah (scientific method). Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang dan dikaji di berbagai PT kita merupakan buah dari kombinasi penalaran deduktif dan induktif tersebut.
Dari dua pola logika berpikir tersebut, Dirâsah Islâmiyah ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh Dirâsah Islâmiyah adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran Dirâsah Islâmiyah pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qâbilin li al-taghyîr.
Karena watak dasar Dirâsah Islâmiyah yang seperti itulah, yang kemudian menjadikan kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di Perguruan Tinggi menjadi dilematis. Di satu sisi, dunia akademik dilandasi oleh semangat penemuan, pengembangan, pembongkaran, penggantian, dan penemuan kembali ilmu; tetapi di sisi lain tubuh pengetahuan yang menyusun Dirâsah Islâmiyah lebih bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr. Kalau metode ilmiah dipaksakan untuk mendekati tubuh pengetahuan (body of knowledge) Dirâsah Islâmiyah, apakah kita tidak akan kembali terjebak pada perdebatan yang tiada akhir seperti yang menimpa “Ilmu Kalam” beberapa abad yang lampau?
Tentu kita tidak ingin mengulang kembali perdebatan ilmu kalam yang melelahkan dan menguras energi dan pemikiran para pendahulu kita. Mungkin yang dapat dilakukan adalah membuat semacam “peta” disiplin ilmu-ilmu Islam yang membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah, dengan cara memilah mana aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr dan mana aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat qâbilin li al-taghyîr.
Inilah yang menjadi tugas para sarjana dan cendekiawan Muslim, termasuk Bapak-bapak dan Saudara-saudara sivitas akademika S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang hadir di majelis ini. Memang tidak mudah merumuskan peta kajian Dirâsah Islâmiyah yang memungkinkan kita menetapkan mana aspek-aspek Islam yang dapat dikaji, dikritisi, ditafsir ulang dan dikembangkan; serta aspek-aspek mana yang “tinggal diterima” sebagaimana adanya dan tidak memerlukan tafsir ulang.
C. Masalah Metodologi dan Pendekatan
Setelah struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah dipetakan dan dirumuskan secara akademis, mana wilayah akademis (dalam arti sesungguhnya) dan mana wilayah yang bersifat permanen, tetap, dan tidak berubah; selanjutnya menjadi tugas para sarjana dan cendeiawan Muslim—khususnya di bidang pendidikan dan pembelajaran—untuk memilih pendekatan dan metode yang tepat, sehingga tujuan Dirâsah Islâmiyah dapat benar-benar tercapai.
Sebagai sumbang saran, saya ingin mengungkapkan beberapa metode dan pendekatan pembelajaran, khususnya yang berkenaan dengan wilayah Dirâsah Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr, khususnya materi tauhid.
Pertama-tama perlau saya sampaikan bahwa “tauhid” adalah disiplin Islam yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah, sudah jadi, dan final. Kita akan mengalami kesulitan apabila “tauhid” sebagai salah satu unsur Dirâsah Islâmiyah di PT kita, dikaji dan didekati dengan menggunakan pendekatan ilmiah “murni”. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana ajaran tauhid dan nilai-nilainya dapat dipahami dan diterima oleh mahasiswa sebagai inti ajaran Islam yang tidak akan pernah berubah, sehingga tauhid dan nilai-nilainya menyerap dan terinternaslisasi ke dalam jiwa dan kalbu para mahasiswa?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat meminjam pendekatan pendidikan nilai (value education) yang selama ini digunakan oleh dunia pendidikan Barat untuk menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada peserta didik. Pilihan pendekatan pendidikan nilai (value education) yang berkembang di Barat ini sama sekali bukan berarti kita dan para pendahulu kita tidak memiliki pendekatan dan metode untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada para mahasiswa, melainkan semata-mata karena yang hadir di tengah-tengah kita saat ini adalah kaum cerdik pandai yang sehari-hari bergelut dengan dunia akademik dan dunia ilmu.
Dalam teori pendidikan nilai (value education) dikenal beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai. Setidaknya ada lima pendekatan yang populer, yang dapat kita kaji tingkat efektivitas dan efisiensinya dalam menanamkan nilai. Kelima pendekatan itu adalah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull dalam bukunya Moral Judgement from Chilhood to Adolescence, yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial yang dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan lingkungannya.
Dari kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut, di sini hanya akan dikupas salah satunya, yakni pendekatan penanaman nilai. Saya yakin hadirin di sini, terutama yang mengambil Konsentrasi Pendidikan Umum pada Program Pascasarjana UPI Bandung, lebih memahami berbagai model pendekatan pendidikan nilai tersebut.
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa/mahasiswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai tertentu oleh siswa/mahasiswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa/mahasiswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kalau ajaran tauhid dan nilai-nilainya ingin ditanamkan dengan menggunakan pendekatan ini, maka tujuan yang ingin kita capai adalah: Pertama, penerimaan mahasiswa terhadap tauhid beserta nilai-nilai tauhid, seperti ikhlas, adil, ridla, dan lain-lain. Kedua, nilai-nilai tauhid memiliki atsar dalam praktek kehidupan mahasiswa sehari-hari.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur Barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Betapa pun pendekatan ini dipandang indoktrinatif dan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin demokratis, tetapi pendekatan ini, setidaknya menusur saya, lebih sesuai untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada mahasiswa.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, disadari atau tidak disadari, pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
D. Beberapa Pemikiran tentang Content/Materi
Dirâsah Islâmiyah
Berkenaan dengan isi atau materi pembelajaran Dirâsah Islâmiyah, sesungguhnya kita dapat menelusuri dan menggalinya dari khazanah intelektual Islam, baik klasik maupun kontemporer. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan beberapa penekanan pada beberapa aspek Dirâsah Islâmiyah.
Pertama, berbagai gejala dan tantangan yang muncul akibat globalisasi komunikasi dan informasi menuntut agar para mahasiswa kita dibekali dengan pengertian Syari’at Islam secara lebih mendalam. Ini perlu dilakukan supaya para mahasiswa kita tidak mudah terjebak pada gaya hidup serba bebas, tetapi juga tidak terjebak pada sikap keberagamaan yang radikal dan eksklusif.
Kedua, kita meyakini bahwa akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah adalah yang terbaik di antara berbagai aliran ilmu kalam yang pernah berkembang di dunia Islam. Berkenaan dengan ini, ajaran dan nilai akidah ini perlu ditanamkan dan diinternalisasikan ke dalam kalbu para mahasiswa kita.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada sebagian generasi muda kita yang memahami Islam secara sempit dan parsial. Konsep jihad, misalnya, mereka pahami secara sempit dan semata-mata bersifat fisik dan kekerasan. Oleh karena itu, kita perlu memperhalus kalbu generasi muda dengan kelembutan Islam, yang dapat mendorong berkembangnya pemikiran yang matang. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu membekali mahasiswa kita dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia internasional.
Keempat, pemahaman terhadap Islam secara kaffah dan universal disertai dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia internasional tersebut pada akhirnya bertujuan untuk membentuk generasi muda yang memiliki iman yang kuat, mental yang stabil, jiwa yang kokoh, hati yang suci, akhlak yang mulia.
Generasi muda seperti itulah yang akan mampu merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110).
Kelima, merealisasikan “khairu ummah” dalam kehidupan yang penuh tantangan ini, memang amat membutuhkan jiwa-jiwa muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.
Muwahhid adalah seseorang yang jiwa dan raganya penuh dengan tauhid, siap dan sanggup melaksanakan titah Allah dengan penuh ketaatan hati, kata, dan perbuatan, bukan hanya sekadar hafal di luar kepala sifat-sifat Allah semata. Firman Allah SWT:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Nur:35).
Pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَال. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Q.S. Al-Nur: 36-38).
Mujahid adalah generasi muda yang bersedia untuk berkorban demi agamanya, negaranya, masyarakatnya, dan keluarganya karena hanya semata-mata mengharap ridha Allah. Firman Allah SWT:
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik… (Q.S. Luqman : 15).
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّبِرِيْنَ
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (Q.S. Ali Imran : 142).
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).
Mujtahid adalah sosok sarjana, ilmuwan, atau apa pun namanya yang memiliki kesanggupan menyingkap berbagai ilmu-ilmu Allah, baik yang terkandung dalam ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an dan hadits Nabi) maupun ayat-ayat kauniyah (alam raya beserta isinya). Membangun sosok mujtahid seperti itulah, yang menjadi salah satu tugas Perguruan Tinggi.
Kalau mujtahid lebih terkait dengan upaya penyingkapan ayat-ayat Allah, maka sosok mujaddid lebih tepat dimaknai sebagai sosok yang mampu memperbaharui dan memperbaiki kondisi umat dalam berbagai bidang kehidupan.
Demikian empat sosok generasi muda Islam, yang setiap saat kita dambakan, dan kita akan selalu optimis, bahwa lembaga pendidikan kita, insya Allah akan mampu membangun dan mengembangkan sosok generasi muda Islam yang muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.
Semoga
DAFTAR BACAAN
Al-Ghazali, Muhammad. 1989. al-Sunnah al-Nabawiyyah: Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadists. Beirut: Dar al-Syuruq
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1990. Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah. Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah.
Al-Jauzy, Abu al-Faraj. 1993. Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr al-Tafsir.
Al-Khazin, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ibn Umar al-Syaikhy. 1988. Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Razy, Fachr al-Dîn. 1995. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Suyûthi, Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn. 1989. Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah.
Arkoun, Muhammad. 1990. Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad. Mesir: Dar al-Saqi.
Bull, Norman J. 1969. Moral Judgement from Chilhood to Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Thursday, June 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment