B. Landasan Teori
1. Hakikat Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-bu-ruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut per-buatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesa-daran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. (Surajiyo, 2004:355).
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. (Taylor, 1985:3).
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua, yakni obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. (Hourani, 1986:25).
Menurut Sunoto (1982:45) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno (1987:56) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Norma ialah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segi tiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Leibniz seorang filsuf pada jaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap (Hadiwijono, 1990:189). Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin manusia.
Akibat pandangan itu ialah bahwa orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak itu mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas.
Menurut filosof Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa-bangsa yang bermacam-macam itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan karena kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. (Hadiwijono, 1990:190)
Fudyartanta (1974:94) memberi arti kesusilaan adalah keseluruhan nilai atau norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Tegasnya moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk selalu melakukan atau melaksanakannya perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang secara obyektif dan hakiki baik.
Dari beberapa pengertian kesusilaan tersebut dapat dirumuskan bahwa kesusilaan yang berasal dari kata susila mendapat awalan ke dan akhiran an yang berarti membentuk kata benda yang abstrak. Kesusilaan adalah sifatnya dari dalam bukan dari luar, artinya kesusilaan ini dekat dengan keakuan.
Thursday, June 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment