Thursday, June 28, 2007

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji II

B. Landasan Teori
‎1. Hakikat Etika‎
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti watak ‎kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang ‎membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-‎bu-ruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut ‎per-buatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan ‎motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang ‎dikerjakan dengan kesa-daran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan ‎dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. (Surajiyo, 2004:355).‎
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu ‎pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk ‎berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha ‎dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang ‎baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ‎ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang ‎konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, ‎diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ‎ethos. (Taylor, 1985:3).‎
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua, yakni ‎obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai ‎kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu ‎sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. ‎Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang ‎melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata ‎keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh ‎utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant.‎
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan ‎disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. ‎Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa ‎saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, ‎sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. (Hourani, 1986:25).‎
Menurut Sunoto (1982:45) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika ‎normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa ‎adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya ‎berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian ‎yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat ‎dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-‎prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan ‎sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika ‎pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.‎
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara ‎hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit ‎perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, ‎sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno ‎‎(1987:56) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, ‎wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang ‎bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. ‎Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang ‎berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan ‎tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau ‎pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah ‎sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di ‎tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika ‎melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana ‎kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ‎ajaran moral.‎
Norma ialah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segi tiga. Kemudian ‎norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah ‎atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum ‎yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. ‎
Leibniz seorang filsuf pada jaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah ‎hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah ‎yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran ‎kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena aktivitas jiwa sendiri. Segala ‎perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki ‎telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap (Hadiwijono, ‎‎1990:189). Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan ‎perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan ‎batin manusia.‎
Akibat pandangan itu ialah bahwa orang hanya dapat berbicara tentang ‎kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak itu ‎mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas ‎dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang ‎tidak jelas.‎
Menurut filosof Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara ‎bangsa-bangsa yang bermacam-macam itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-‎beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang ‎pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan karena ‎kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu bukan didasarkan atas perampasan ‎dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. (Hadiwijono, 1990:190)‎
Fudyartanta (1974:94) memberi arti kesusilaan adalah keseluruhan nilai atau ‎norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laku manusia di dalam ‎masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Tegasnya moral atau ‎kesusilaan adalah keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laku ‎manusia di dalam masyarakat untuk selalu melakukan atau melaksanakannya ‎perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang secara obyektif dan hakiki baik.‎
Dari beberapa pengertian kesusilaan tersebut dapat dirumuskan bahwa ‎kesusilaan yang berasal dari kata susila mendapat awalan ke dan akhiran an yang ‎berarti membentuk kata benda yang abstrak. Kesusilaan adalah sifatnya dari dalam ‎bukan dari luar, artinya kesusilaan ini dekat dengan keakuan.‎

No comments: