Thursday, June 28, 2007

Konsep Ridla Allah

KONSEP MARDHÂTI ‘L LLÂH
DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Oleh:
Ni Fasri M. Nir (067.0129)
Husni (067.0125)

A. Pendahuluan
Dalam realitas kehidupan sehari-hari umat Islam, konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) sudah begitu populer dan membudaya. Dalam bahasa lisan maupun tulisan, konsep itu begitu luas digunakan, lebih-lebih di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar ucapan orang, “Semoga Allah meridhai kita semua!” atau “Semoga ridha Allah beserta kita!” serta ungkapan sejenis lainnya. Dalam bahasa tulisan, kita sering menjumpai konsep itu dalam berbagai naskah formal maupun non-formal. Contoh penggunaan konsep ridha Allah dalam naskah formal, misalnya, dapat kita temukan dalam dokumen salah satu lembaga NU[1]”, Anggaran Dasar Muhammadiyah[2]; Anggaran Dasar PKS[3], Anggaran Dasar PKB[4], dan lain-lain. Dalam naskah non formal pun, seperti dalam surat undangan walîmat al-ursy dan undangan berbagai acara syukuran, kita selalu menemukan penggunaan konsep itu.
Karena begitu populer dan membudayanya penggunaan konsep ridha Allah di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, tak dapat dipungkiri konsep tersebut telah menjadi milik dan memperkaya khazanah semantik bangsa Indonesia, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Daerah. Dam hampir-hampir semua orang mengenal konsep itu, dan lazim menggunakannya dalam bahasa pergaulan sehari-hari.
Namun penerimaan konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) secara luas di masyarakat membawa implikasi yang dilematis. Di satu sisi, penggunaan suatu kata atau konsep secara luas di masyarakat, menunjukkan bahwa masyarakat telah ramah dan terbiasa dengan konsep itu. Ini berarti bahwa konsep itu telah dimengerti arti dan maksudnya dalam bahasa sehari-hari. Tetapi di sisi lain, penggunaan suatu konsep dalam masyarakat luas, juga sering berimplikasi pada munculnya proses penyempitan dan perubahan makna, serta tidak jarang kehilangan makna denotatifnya.
Implikasi semacam itu juga terjadi dalam penggunaan kata atau konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah). Dalam bahasa sehari-hari, kata “ridha” kurang lebih dimaknai atau sepadan dengan kata rela, menerima/diterima, izin, dalam bentuk kata kerja atau sifat. Kata-kata padanan itu, dalam budaya sehari-hari masyarakat Indonesia juga bermakna biasa dan datar, dalam arti tidak mengandung etos, spirit, dan kedalaman spiritual. Dengan kata lain, kata mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) mengalami apa yang biasa disebut dengan proses desakralisasi, yakni sebuah proses di mana suatu konsep kehilangan nilai sakralnya.
Reduksi atau penyempitan makna seperti itu kemudian menyebabkan kata atau konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) kehilangan elan-vitalnya, terutama ketika dihubungkan dengan makna sejatinya, yakni makna asal yang sesungguhnya dari konsep itu. Inilah yang dalam hermeneutika disebut dengan proses distansiansi (distantiated), yakni suatu proses penjarakan atau penjauhan suatu teks dari makna aslinya, yang kemudian menyebabkan tercerabutnya makna suatu teks dari makna (konteks) aslinya atau dari situasi awal.[5]
Kalau pada level kehidupan sehari-hari, konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) tidak lagi memiliki kekuatan sakral, hambar, dan kering, maka implikasi pada dunia pendidikan pun kurang lebih sama. Artinya, konsep mardhâti ‘l llâh (ridha Allah) di dunia pendidikan—khususnya dalam proses pembelajaran—menjadi kurang bermakna dan kurang memiliki daya afeksi.
Menghadapi realitas semacam itu, maka dipandang perlu melakukan revitalisasi konsep mardhâti ‘l llâh, sehingga kembali memiliki kekuatan sakral dan sarat makna. Upaya yang dapat dilakukan untuk merevitalisasi konsep tersebut, pertama-tama adalah dengan mencari makna asal sebagaimana konsep itu dimaksud dalam Alquran. Inilah yang dalam teori linguistik disebut dengan menemukan kembali “pemakaian bahasa pada tingkat pertama” (primary modelling system)[6]. Upaya menemukan kembali makna asal konsep mardhâti ‘l llâh sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran dilakukan dengan menelusuri makna diakronik konsep itu, baik secara etimologis maupun menurut penafsiran para mufassir Alquran.
Setelah makna asal konsep itu sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran dan dipahami oleh masyarakat Muslim awal diketahui, selanjutnya penulis mencoba merefleksikannya dalam dunia pendidikan kontemporer serta berupaya menemukan model pendekatan dan implementasinya dalam dunia pendidikan.




B. Hakikat Konsep Mardhâti ‘l Llâh
Secara bahasa, kata mardhât adalah bentuk mashdar dari “رَضِيَ يَرْضى رِضاً ورُضاً ورِضْواناً ورُضْواناً ومَرْضاةً فهو راضٍ”[7]. Menurut Ahmad Luthfi al-Sayyid, kata “رضي”, dalam bahasa Arab memiliki setidaknya empat konteks penggunaan[8]. Pertama, terkadang kata “رضي” digunakan tanpa mamiliki maf’ûl atau jâr-majrûr. Bentuk ini bisa terjadi ketika kata “رضي” dan berbagai bentukannya digunakan untuk menujukkan adanya keridhaan seseorang tanpa adanya objek yang dikehendaki.[9] Dalam konteks lainnya juga bisa memiliki objek yang dibuang (maf’ûl mahdzûf) untuk maksud yang jelas[10].
Kedua, terkadang kata “رضي” dan berbagai bentukannya bershighat mutaaddi dengan dirinya sendiri (متعديا بنفسه)[11], seperti pada ayat “و رضيت لكم الإسلام دينا”[12]. Ketiga, kata itu bisa mutaaddi dengan menggunakan huruf “باء”[13], misalnya “أرضيتم بالحياة الدنيا من الاخرة”[14]. Keempat, ia juga dapat mutaaddi dengan “عن”[15], seperti “رضي الله عنهم و رضوا عنه”[16].
Bentuk fâ’il dari kata “رضي”, yakni “راض” bisa bermakna subyek dan obyek.[17] Kata “راض” yang bermakna subyek misalnya terdapat dalam firman Allah “لسعيها راضية”[18]. Sedangkan kata “راض” yang bermakna obyek misalnya “فهو في عيشه راضية”[19]
Dalam Alquran sendiri, konsep ridha disebutkan kurang lebih sebanyak 74 kali dalam berbagai bentuk[20]. Dalam tulisan ini, hanya akan dikaji beberapa di antaranya, terutama yang langsung merujuk dan relevan dengan konsep mardhâti ‘l llâh, yakni:
Pertama, surat al-Baqarah:207
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Kedua, surat al-Baqarah: 265
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
Ketiga, surat al-Nisa: 114
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Keempat, adalah surat al-Bayyinah: 8‎
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang ‎demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Ketika menafsirkan surat al-Baqarah:207 “وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ”, imam Ibn Jauzy[21] menyebutkan adanya lima riwayat tentang sebab turunnya ayat itu. Pertama, berkenaan dengan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar. Kedua, berkenaan dengan pengorbanan Shuhaib al-Rumy. Ketiga, berkenaan dengan Zubair dan Miqdâd. Keempat, berkenaan dengan jihad di jalan Allah. Kelima, berkenaan dengan perjuangan dan pengorbanan kaum Muhajirin dan Anshar. Sementara itu, Izzu al-Din Ibn ‘Abd al-Salam[22] menyebutkan dua sebab turunnya ayat tersebut yaitu berkenaan dengan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar dan pengorbanan Shuhaib al-Rumy. Imam Al-Râzy[23] menambahkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pengorbanan Ali ibn Abi Thalib pada malam Nabi akan hijrah ke Yatsrib.
Penafsiran para ulama mufassir tentang konsep mardhâti ‘l llâh yang terdapat dalam ayat itu lebih menekankan pada sikap ridha, ikhlas, dan semata-mata hanya karena Allah, baik dalam melaksanakan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar maupun dalam berjihad di jalan Allah. Menurut Al-Alûsy, didahuluinya kalimat mardhâti ‘l llâh dengan kata “إبتغاء”, karena, perbuatan selalu berkaitan dengan niat. Siapa pun yang berbuat baik tanpa disertai dengan pengharapan pada ridha Allah semata, maka ia tidak akan memperoleh haknya selain hanya akan merintanginya (dari memperoleh kebaikan), dan sikap riyâ hanyalah akan menghancurkan pahala.[24]
Pelajaran pertama yang dapat diambil dari pandangan mufassir tentang konsep mardhâti ‘l llâh adalah pentingnya sikap ikhlas dalam melaksanakan al-amr bi al-ma’rûf dan al-nahy ‘an al-munkar, jihad di jalan Allah, serta segala sikap, perilaku, dan tindakan kita sehari-hari.
Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthi[25] menambahkan bahwa konsep mardhâti ‘l llâh dalam surat al-Baqarah: 207 juga bermakna takwa kepada Allah. Ia menyatakan, “وأرى من يشري نفسه ابتغاء مرضاة الله ، يقوم هذا فيأمر هذا بتقوى الله”. Dari pandangan al-Suyuthi tersebut, kiranya dapat diambil pelajaran kedua bahwa konsep mardhâti ‘l llâh juga berkaitan dengan konsep takwa kepada Allah. Bahwa segala perbuatan kita sehari-hari mesti dilakukan dalam rangka takwa kepada-Nya.
Ayat kedua adalah surat al-Baqarah: 265 “وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ”. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Al-Mawardi[26] menyebutkan bahwa kalimat “يُنفِقُونَ أَمْوَلَهُمُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ وَمَثَلُ الَّذِينَ” berkenaan dengan dua hal, yaitu bantuan yang diberikan kepada mujahidin dan bantuan kepada orang-orang yang taat beragama.
Imam al-Suyûthi[27] menyebutkan dengan merujuk pada riwayat Muqathil bin Hayyan bahwa kalimat “ابتغاء مرضاة الله” adalah “احتساباً”, yang berarti yang terfleksi dari hati terdalam atau berdasar nuraninya. Selain itu, Imam Al-Suyuthi juga mengutip riwayat al-Hasan yang menyebutkan bahwa kalimat “ابتغاء مرضاة الله” juga berarti “لا يريدون سمعة ولا رياء”, yang berarti tidak mengharapkan pujian dari orang lain. Imam al-Qusyairy[28] menyebutkan bahwa kalimat “ابتغاء مرضاة الله” pada ayat tersebut merupakan pembeda antara orang yang ikhlash dengan orang yang munafik.
Pelajaran pertama dari penafsiran para ulama terhadap surat al-Baqarah: 265 tersebut adalah bahwa menginfakan harta di jalan Allah mestilah berdasarkan refleksi atau pantulan hati nuraninya, yakni semata karena Allah dan tidak riya. Sedangkan pelajaran kedua yang dapat dimabil adalah bahwa ayat tersebut dikaitkan dengan ayat sesudahnya (al-Baqarah: 266) menegaskan perbedaan antara mukhlish dan munafik.
Ayat ketiga, yakni surat al-Nisa: 114
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Penafsiran para mufassir terhadap konsep mardhâti ‘l llâh pada ayat tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Imam Al-Khazin[29] ketika memaknai ayat itu menyatakan: “ابتغاء مرضاة الله: يعني طلب رضاه لأن الإنسان إذا فعل ذلك خالصاً لوجه الله نفعه وإن فعله رياء وسمعة لم ينفعه ذلك لقوله صلى الله عليه وسلم : « إنما الأعمال بالنيات » الحديث”. Ia menegaskan bahwa segala perbuatan yang baik yang dilakukan karena ikhlas, maka akan memperoleh manfaat; sebaliknya perbuatan baik yang kerjakan dengan riya ia tidak akan memberikan manfaat apapun.
Namun yang terpenting dari ayat tersebut adalah bahwa konsep mardhâti ‘l llâh dikaitkan dengan amaliah sadaqah, berbuat kebajikan, dan mendamaikan manusia. Ini berarti bahwa aktivitas ekonomi, sosial, dan politik yang dilakukan oleh setiap Muslim mesti didasari oleh pengharapan semata-mata untuk memperoleh mardhâti ‘l llâh.
Dari ayat tersebut, kiranya dapat diambil pelajaran bahwa aktivitas ekonomi (tergambar dalam konsep sadaqah), sosial (tergambar dalam konsep kebajikan), dan aktivitas politik (tergambar dalam konsep ishlah atau resolusi konflik) mestilah dilakukan semata-mata karena mengharap ridha Allah.
Ayat keempat yakni surat Al-Bayyinah: 8
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Ayat tersebut menegaskan adanya dua konsep ridha, yaitu ridha Allah kepada hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah. Ridha Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Dari pengertian ridha tersebut terkandung isyarat bahwa ridha bukan berarti menerima begitu saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridha tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha.
Hal ini berarti ridha menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam ridha terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit. Karena ridha terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya.
Dengan demikian, tampaklah perbedaan antara makna ridha dan pasrah, yang kebanyakan orang belum mengetahuinya. Dan itu bisa mengakibatkan salah persepsi maupun aplikasi terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridha terhadap segala yang Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap fatalisme. Sedangkan ridha justru mengajak orang untuk optimistis.
Untuk melihat konsep ridha dalam pandangan tasawuf, kiranya pandangan dan pemikiran Al-Hujwairy kiranya dapat mewakili[30]. Baginya “Ridha is the seeker's determination to accept cheerfully what is decreed for him. That is to say whatever happens to him, he should regard it as his destiny and be pleased with it” (Ketetapan hati untuk menerima dengan gembira apa yang diperintahkan kepadanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa pun yang terjadi padanya ia akan menrimanya dengan senang hati). Ia juga mengutip pandangan Harits Muhasibi, yang menurutnya ridha berarti: Peace of mind (sukuni qalb) with the decree of God[31] atau kedamaian hati untuk menerima titah Tuhan. Dalam pandangan al-Hujwairy ini, konsep ridha hampir-hampir semakna dengan pasrah, yang memang banyak dijumpai dalam pemikiran tasawuf; sehingga hampir-hampir konsep usaha aktif dan kreatif kurang mendapat tempat.
C. Implikasi Konsep Mardhâti ‘l llâh dalam Pendidikan
Dari beberapa pandangan para mufassir di atas, kita dapat mengambil beberapa konsep kunci (keys concepts) berkenaan dengan konsep mardhâti ‘l llâh, yaitu:
Pertama, kegiatan al-amr bi al-ma’ruf dan nahy ‘an al-munkar, yang selama ini menjadi misi dakwah dan pendidikan Islam, hanya akan memperoleh manfaat apabila dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata karena Allah. Inilah konsep mardhâti ‘l llâh berkenaan dengan al-amr bi al-ma’ruf dan nahy ‘an al-munkar.
Kedua, implementasi jihad di jalan Allah dalam arti yang luas (termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan), hanya akan diterima dan berguna bagi Islam dan umatnya, apabila ia dilakukan dengan penuh ketulusan, tidak riya, dan tanpa prasangka. Inilah konsep al-amr bi al-ma’ruf dan nahy ‘an al-munkar dalam konteks jihad di jalan Allah.
Ketiga, konsep mardhâti ‘l llâh pada hakikatnya adalah takwa kepada Allah SWT.
Keempat, konsep mardhâti ‘l llâh dalam kaitannya dengan kehidupan ekonomi (analog dengan infaq dan shadaqah), hanya akan bermanfaat, apabila ia dilakukan dengan penuh ketulusan hati, demi mengharap ridha Allah.
Kelima, konsep mardhâti ‘l llâh dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat (yang digambarkan dengan berbuat bajik), mesti didasari oleh niat, orientasi, dan cita-cita untuk semata-mata mengharap ridha Allah.
Keenam, konsep mardhâti ‘l llâh dalam kaitannya dengan kehidupan politik (yang tergambar pada kegiatan mendamaikan atau resolusi konflik), hanya akan berhasil, bila para pelaku politik menjalankannya semata-mata karena mengharap ridha Allah, dan bukan mengharap kekuasaan politik, jabatan birokrasi, dan lain-lain.
Ketujuh, konsep ridha Allah tidaklah berarti menyerah terhadap segala qadla dan qadar-Nya tanpa ada usaha atau ikhtiar. Konsep ini menuntut adanya sikap dan tindakan yang aktif dan kreatif.
Dari ketujuh konsep kunci yang berkenaan dengan mardhâti ‘l llâh[32] tersebut dan kemudian dibandingkan dengan penggunaan konsep ridha dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, jelaslah bahwa telah terjadi reduksi atau penyempitan makna terhadap konsep itu.
Upaya revitalisasi makna mardhâti ‘l llâh melalui dunia pendidikan dengan demikian dipandang amat penting dan strategis. Upaya ini, secara metodologis dapat meminjam model pendidikan nilai (value education) yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan kontemporer ketika mereka berupaya menanamkan konsep-konsep, semisal patriotisme, toleransi, penghargaan pada perbedaan individu, dan-lain dalam pendidikan kewargaan (civic education). Dengan demikian, refleksi dan implementasi konsep mardhâti ‘l llâh dalam pendidikan Islam, khususnya dalam proses pembelajaran, dapat dikembangkan melalui model pendekatan pendidikan nilai (value education).
Dalam teori pendidikan nilai terdapat beberapa pendekatan yang digunakan. Hasil penelusuran yang dilakukan oleh Kosasih Djahiri[33], ditemukan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai, yaitu: (a) evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya; (b) inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap; (c) moral reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah; (d) value clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral; (e) value analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral; (f) moral awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu; (g) commitment approach, yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai; (h) union approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Sementara itu, R.H. Hersh[34], mengemukakan enam teori yang banyak digunakan pembelajaran pendidikan nilai, yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias[35] mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest[36] didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Namun demikian, model pendekatan pendidikan nilai yang populer dalam sesuai dengan kajian Superka[37], ada delapan pendekatan pendidikan nilai berdasarkan kepada berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosiologi, filosofi, dan pendidikan yang berhubungan dengan nilai, yang kemudian karena alasan-alasan teknis dalam praktek pendidikan, pendekatan-pendekatan tersebut diringkas menjadi lima[38], yaitu: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull[39], yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial yang dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan lingkungannya.
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka[40], tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi[41]. Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths[42] kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka[43] disadari atau tidak disadari, pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
Sebagai suatu model, pendekatan penanaman nilai ini dapat dipilih untuk menanamkan konsep mardhâti ‘l llâh kepada peserta didik, melalui metode pembelajaran keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.[44]
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral.[45]
Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik[46].
Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey[47]. Selanjutnya dikembangkan lagi oleh Piaget dan Kohlberg[48]. Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara[49]. Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg[50] juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias[51], Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
Tahapan "preconventional":
Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.
Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. Seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
Tahapan "conventional":
Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.
Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Tahapan "posconventional":
Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.
Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg[52] dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.
Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.
Pendekatan perkembangan kognitif ini dapat diimplementasikan untuk menanamkan konsep mardhâti ‘l llâh dalam dunia pendidikan, karena relatif lebih mudah digunakan dalam proses pendidikan. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral (misalnya perilaku riya, senang disanjung dan dipuja) dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.
Namun demikian, pendekatan ini juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya seperti dikemukakan oleh Hersh[53] adalah karena pendekatan ini menampilkan bias budaya Barat (etnosentrism). Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya. Namun demikian, meski pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi tertentu, namun seperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona[54], teori ini juga telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan moral.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut:
Langkah analisis nilai:
Tugas penyelesaian masalah:
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait
1. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait
2. Mengumpulkan fakta yang berhubungan.
2. Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan
3. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan.
3. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
4. Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
5. Merumuskan keputusan moral sementara.
5. Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
6. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.

Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf, dan pakar psikologi, termasuk di dalamnya Jerrold Commbs, Milton Mieux, dan James Chadwick[55]. Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya terdapat pada prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Ryan dan Lickona[56], pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.
Oleh karena itu, untuk menanamkan konsep mardhâti ‘l llâh dalam kegiatan pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan, pendidikan ketiga ini penulis pandang kurang tepat.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain.
Untuk menanamkan konsep mardhâti ‘l llâh model pendekatan ini juga dipandang kurang tepat, karena kurangmemperhatikan aspek-aspek hati. Padahal konsep mardhâti ‘l llâh—lebih-lebih menurut tasawuf—amat menekankan pada hati, nurani, dan rasa.
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka[57] menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Menurut Elias[58], pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias[59], walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat meberi pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman[60]. Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi.
Dilihat dari aspek metode pembelajaran pendekatan ini, kiranya pendekatan ini kurang tepat untuk menanamkan konsep mardhâti ‘l llâh dalam dunia pendidikan, terutama karena model pendekatan ini lebih tepat untuk mengembangkan sikap demokrat dan menjunjung nilai-nilai persamaan dan keadilan. Padahal, konsep mardhâti ‘l llâh lebih terkait dengan aspek individual (baca: hati).
Dari kelima model pendekatan pendidikan nilai yang populer saat ini, penulis berpandangan bahwa pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) lebih tepat digunakan untuk merevitalisasi konsep mardhâti ‘l llâh pada anak didik negeri ini. Metode yang dapat digunakan adalah melalui metode pembelajaran keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Namun demikian, pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) tersebut juga dapat dilengkapi dengan pendekatan pembangan kognitif, karena sifatnya yang lebih mudah dilaksanakan, terutama untuk siswa setingkat SMP/MTs ke atas. Melalui pendekatan perkembangan kognitif, misalnya, siswa diajak untuk mendiskusikan berbagai problem moral pada level inividual, sosial, ekonomi, dan politi.
D. Penutup
Dari pembahasan tersebut, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Konsep ridha dalam realitas empirik kehidupan masyarakat Indonesia telah mengalami penyempitan atau reduksi makna, sehingga konsep itu hanya dimaknai dengan rela, menerima/diterima, izin.
2. Dengan menelusuri beberapa pandangan para mufassir, ternyata konsep mardhâti ‘l llâh tidak sesempit yang dimaknai oleh masyarakat kita. Menurut para mufassir, konsep mardhâti ‘l llâh berkenaan dengan: (1) kegiatan al-amr bi al-ma’ruf dan nahy ‘an al-munkar; (2) jihad di jalan Allah; (3) takwa kepada Allah; (4) kehidupan ekonomi; (5) kehidupan sosial; (6) kehidupan politik; dan (7) konsep ridha Allah tidaklah berarti menyerah terhadap segala qadla dan qadar-Nya tanpa ada usaha atau ikhtiar.
3. Untuk mengimplementasikan konsep mardhâti ‘l llâh dalam dunia pendidikan, kiranya dapat digunakan pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) melalui metode pembelajaran keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) ini juga dapat dilengkapi dengan pendekatan pembangan kognitif, melalui metode diskusi dan pemecahan problem moralitas.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Alusy, Shihâb al-Dîn Mahmud Ibn ‘Abd ‘l llâh al-Husaini. 1989. Ruh al-Ma’âny fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa al-Sba’a wa al-Matsâny. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Baqi, Muhammad Fu’âd Abd ‘l. 1981. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr.
al-Hujwairy, Syed Ali bin Utsman. The Kashful Mahjûb (Unveiling the Veiled), Translation & Commentary by Maulana Wahid Bakhsh Rabbani. http://red-sulphur.org/book/print/84
Al-Jauzy, Abu al-Faraj. 1993. Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr al-Tafsir.
Al-Khazin, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ibn Umar al-Syaikhy. 1988. Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Mawardy, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdady. 1997. Al-Nakt wa al-‘Uyûn. Mesir: Mu’assasah al-‘Arabiyyah.
Al-Qusyairy. 1999. Tafsîr al-Qusyairy. Kairo: Al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah.
Al-Razy, Fachr al-Dîn. 1995. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Sayyid, Ahmad Luthfi. 2006. Al-Majma’ al-‘Alamy li Taqrîb Baina al-Mazâhib al-Islâmiyyah, Majallah Risalah Islam No. 23, 2006.
Al-Suyûthi, Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn. 1989. Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah.
Banks, J.A. 1976. Teaching Strategies for the Social Studies. New York: Longman, 1985, h. 67. Lihat juga Windmiller, M. Moral Development. Dlm. Adams. J.F. (pnyt.). Understanding Adolescence: Current Developments in Adolescent Psychology: 176-198. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Bull, Norman J. 1969. Moral Judgement from Chilhood to Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul.
Djagiri, Kosasaih . 1982. Menuluri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: LPPMP.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Fraenkel, J.R. 1977. How to Teach About Values: an Analytic Approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Ibn ‘Abd al-Salam, Izzud al-Dîn. 1997. Tafsîr Ibn ‘Abd al-Salâm. Kairo: Dâr al-Tafsir.
Ibn, Mandzur, Muhammad Ibn Karîm al-Afriqi al-Mishry. 1989. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr al-Shadir
Kohlberg, L. 1977. The Cognitive-Developmental Approach to Moral Education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299. New Jersey: Printice Hall.
Manshur, Fadlil Munawwar. 2007. Ringkasan Desertasi: Kasidah Burdah al-Bushiri dan Popularitasnya dalam Berbagai Tradisi, Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Model of Moral Education: an Appraisal. New York: Longman, Inc.
Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978. Values and Teaching: Working with Values in the Classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Rest, J.R. 1992. Komponen-komponen Utama Moralitas. Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral: 37-60. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Sumaryono, E. 1993. Hermentika: Sebuah Metode Filsafat. Kanisius: Yogyakarta.
Superka, D.P. 1873. A typology of valuing theories and values education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley.
[1] Lengkapnya, “Dengan memohon ridla Allah SWT. dan mengharap syafa'at Rasul Allah SAW., kami menyadari dengan sepenuh hati, bahwa dewasa ini telah tumbuh dan berkembang gejala pemikiran dan gerakan keislaman (al-harakah al-islamiyyah) melalui praktek-praktek keagamaan yang dapat melunturkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah ala Nahdlatul Ulama dan mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)….”. Lihat, Amaliyah Ahlussunnah Wal Jama'ah, dalam Maklumat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU).
[2] Lengkapnya, “Syahdan, untuk menciptakan masyarakat yang bahagia dan sentausa sebagaiyang tersebut di atas itu, tiap-tiap orang, terutama umat Islam, umat yang percayaakan Allah dan Hari Kemudian, wajiblah mengikuti jejak sekalian Nabi yang suci:beribadah kepada Allah dan berusaha segiat-giatnya mengumpulkan segala kekuatandan menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niatyang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan ridha-Nya belaka….”. Lihat, Muqaddimah “Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah” yang kemudian diubah menjadi “Anggaran Dasar Muhammadiyah” pada Mukhtamar Muhammadiyah ke-45 pada tanggal 3-8 Juli 2005 di Malang.
[3] Lihat, Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera, Bab 2 Tujuan dan Usaha, Pasal 5 Tujuan.
[4] Lihat Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa, Bagian Mukaddimah, yang dalam salah satu paragrapnya disebutkan: Bahwa perwujudan dari cita-cita kemerdekaan tersebut menghendaki tegaknya demokrasi yang menjamin terciptanya tatanan kenegaraan yang adil serta pemerintahan yang bersih dan terpercaya, terjaminnya hak-hak asasi manusia, dan lestarinya lingkungan hidup bagi peningkatan harkat dan martabat bangsa Indonesia yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta'ala.
[5] E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Kanisius: Yogyakarta, 1993, hal., 141.
[6] Selain konsep pemakaian bahasa pada tingkat pertama (primary modelling system), juga dikenal pemakaian bahasa pada tingkat kedua (secondary modelling system), yakni bahasa sebagaimana yang hidup pada realitas empirik. Lihat, Fadlil Munawwar Manshur, Ringkasan Desertasi: Kasidah Burdah al-Bushiri dan Popularitasnya dalam Berbagai Tradisi, Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2007, hal. 20.
[7] Muhammad Ibn Karîm Ibn Mandzûr al-Afriqi al-Mishry, Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr al-Shadir, 1989, Juz 14, hal. 323.
[8] Ahmad Luthfi al-Sayyid, Al-Majma’ al-‘Alamy li Taqrîb Baina al-Mazâhib al-Islâmiyyah, Majallah Risalah Islam No. 23, 2006, hal. 319.
[9] Misalnya, Alquran surat al-Taubah:58, “فإن أعطوا منها رضوا و إن لم يعطوا منها إذا هم يسخطون” (Jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati (ridha), dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.)
[10] Contohnya, Alquran surat al-Najm: 26, “إلا من بعد أن يأذن الله لمن يشاء و يرضي” (… kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).
[11] Ahmad Luthfi al-Sayyid, Al-Ma’ma’ al-‘Alamy…, hal. 320
[12] Q.S. al-Maidah: 3.
[13] Ibid.
[14] Q.S. al-Nisa: 38.
[15] Ahmad Luthfi al-Sayyid, Al-Ma’ma’ al-‘Alamy…, hal. 320
[16] Q.S. al-Ma’idah: 19.
[17] Ahmad Luthfi al-Sayyid, Al-Ma’ma’ al-‘Alamy…, hal. 320
[18] Q.S. al-Ghâtsiah:9
[19] Q.S. al-Qâri’ah:7
[20] Lihat, Muhammad Fu’âd Abd ‘l al-Bâqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr, 1401 H./1981 M., hal. 321-322.
[21] Abu al-Faraj Ibn al-Jauzy, Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr al-Tafsir, 1993, Juz 1, hal. 199.
[22] Izzud al-Dîn ibn ‘Abd al-Salam, Tafsîr Ibn ‘Abd al-Salâm. Kairo: Dâr al-tafsir1997, Juz 1, hal. 173.
[23] Fachr al-Dîn al-Râzi, Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995, Juz 3, hal. 222.
[24] Ia mengatakan “وإنما قيد الفعل بالابتغاء المذكور لأن الأعمال بالنيات ، وإن من فعل خيراً لغير ذلك لم يستحق به غير الحرمان ، ولا يخفى أن هذا ظاهر في أن الرياء محبط لثواب”. Lihat, Shihâb al-Dîn Mahmud Ibn ‘Abd ‘l llâh al-Husaini al-Alusy, Ruh al-Ma’âny fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa al-Sba’a wa al-Matsâny. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989, Juz 14, hal. 112.
[25] Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah, 1989, Juz. 1, hal. 482.
[26] Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdady al-Mawardy, Al-Nakt wa al-‘Uyûn. Mesir: Mu’assasah al-‘Arabiyyah, 1997, Juz 1, hal. 198.
[27] Abdu al-Rahman ibn Abi Bakr Jalal al-Dîn al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr…., Juz 2, hal. 187.
[28] Al-Qusyairy, Tafsîr al-Qusyairy. Kairo: Al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah, 1999, Juz 1, hal. 255.
[29] Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ibn Umar al-Syaikhy al-Khazin, Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr, 1998, Juz 2, hal. 172.
[30] Syed Ali bin Utsman al-Hujwairy, The Kashful Mahjûb (Unveiling the Veiled), Translation & Commentary by Maulana Wahid Bakhsh Rabbani. http://red-sulphur.org/book/print/84
[31] Ibid.
[32] Ketujuh konsep kunci ini tentu saja masih dapat diperluas melalui penelusuran kitab-kitab tafsir yang lain yang relevan. Ketujuh konsep kunci ini adalah abtraksi dari pandangan para Mufassir yang telah disebutkan pada bagian B makalah ini.
[33] Kosasaih Djagiri, Menuluri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: LPPMP, 1992, hal. 6
[34] R.H. Hersh, Miller, J.P. & Fielding, G.D., Model of Moral Education: an Appraisal. New York: Longman, Inc, 1980, hal. 39.
[35] J.L. Elias, Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc., 1989, hal. 210.
[36] J.R. Rest, Komponen-komponen Utama Moralitas. Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan moral:37-60. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
[37] D.P. Superka, A typology of valuing theories and values education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley, 1973.
[38] Ibid.
[39] Norman J. Bull, Moral Judgement from Chilhood to Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul, 1969, hal. 18.
[40] Ibid.
[41] Banks, J.A. Teaching Strategies for the Social Studies. New York: Longman, 1985, hal. 67. Lihat juga Windmiller, M. Moral Development. Dlm. Adams. J.F. (pnyt.). Understanding Adolescence: Current Developments in Adolescent Psychology: 176-198. Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1976.
[42] Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. Values and Teaching: Working with Values in the Classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company, 1978, hal. 91.
[43] D.P. Superka, A typology of…., hal. 271.
[44] J.L. Elias, Moral Education…. hal. 221
[45] Banks, J.A. Teaching Strategies… hal. 71.
[46] Ibid, hal. 72.
[47] Lihat, L. Kohlberg, The Cognitive-Developmental Approach to Moral Education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299. New Jersey: Printice Hall, Inc, 1977, hal. 35.
[48] J.R. Fraenkel, J.R., How to Teach About Values: an Analytic Approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1977, hal. 432.
[49] Ibid, hal. 65
[50] L. Kohlberg, The Cognitive-Developmental …hal. 78
[51] J.L. Elias, Moral Education…. hal. 327
[52] L. Kohlberg, The Cognitive-Developmental…, hal. 78
[53] R.H. Hersh, Miller, J.P. & Fielding, G.D., Model of Moral Education….., hal. 235
[54] Ibid.
[55] J.L. Elias, Moral Education…., hal. 103
[56] Ibid, hal. 125
[57] D.P. Superka, A typology of… hal. 143
[58] J.L. Elias, Moral Education…. hal. 340
[59] Ibid.
[60] R.H. Hersh, Miller, J.P. & Fielding, G.D., Model of Moral Education….., hal. 89

No comments: