Thursday, June 28, 2007

Manfaat Pendidikan

A. PENDAHULUAN
Konsepsi tentang pentingnya pendidikan sejak lama telah ditegaskan oleh para filosof. Bahkan pendidikan pernah dipandang sebagai satu-satunya faktor penentu kesuksesan kehidupan ekonomi dan sosial seseorang. Kajian yang lebih mutakhir membuktikan bahwa orang yang berpendidikan tinggi menempati ranking atas dalam menduduki jabatan-jabatan yang strategis dan prestisius.
Tulisan pada bagian ini tentu saja bukan untuk mempertanyakan nilai pendidikan secara intrinsik, melainkan lebih diarahkan pada evaluasi tentang manfaat-manfaat pendidikan. Juga dicoba untuk mendeskripsikan secara netral beberapa pemikiran kritis tentang pandangan umum bahwa pendidikan berkaitan secara nyata dengan penghasilan dan kesuksesan.
Pertama-tama akan didiskusikan tentang penggunaan model-model alternatif untuk menjelaskan variasi penghasilan pekerjaan dalam suatu masyarakat, lalu dilanjutkan dengan analisis tentang pendekatan modal manusia (human capital), mulai dari pengelompokkan manfaat pendidikan sampai pada berbagai pendekatan untuk mengukur manfaat pendidikan, serta diskusi tentang berbagai problem dalam mengukur manfaat pendidikan secara lengkap dan reliabel.
B. BEBERAPA TEORI TENTANG DISTRIBUSI PENDAPATAN
Adalah bukan sesuatu yang rahasia bahwa gaji seseorang dibedakan oleh jumlah pendapatan yang diterimanya dari pekerjaan. Pertanyaannya adalah, mengapa? Sayang sekali jawabannya sering tidak jelas. Bahkan para ahli pun berselisih tentang teori yang dapat menyediakan penjelasan yang masuk akal. Dalam hal ini, akan dikaji empat teori, yaitu: modal manusia (human capital), pendekatan credentialisme (credentialism), teori tentang pembagian lapangan kerja (labor market segmentation), dan pandangan-pandangan yang lebih radikal (radical views).
1. Pendekatan Modal Manusia (The Human Capital Approach)
Premis dasar dari pendekatan modal manusia adalah bahwa variasi atau keragaman yang ada dalam penghasilan pekerja adalah sesuatu yang niscaya, terutama untuk membedakan kualitas pekerja berkenaan dengan jumlah modal manusia yang dicapainya. Menurut model pendekatan ini, investasi dalam bentuk modal manusia akan menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja yang secara otomatis juga akan meningkatkan gajinya. Proses ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Pendekatan Modal Manusia
Investasi dalam Bidang Pendidikan
Peningkatan Produktivitas
Peningakatan Penghasilan
Pendekatan modal manusia (human capital) ini sesuai dengan teori ekonomi “ortodoks”, yang lebih dikenal dengan “the marginal productivity theory”. Teori ini berpandangan bahwa upah atau gaji pekerja ditentukan oleh kontribusinya terhadap keuntungan perusahaan, yang oleh karenanya, pekerja yang lebih produktif akan memperoleh penghasilan yang lebih besar.
2. Teori Credentialisme
Berbeda dengan pendekatan modal manusia, hipotesis credentialisme menyatakan bahwa peningkatan pendidikan pekerja tidak serta merta akan meningkatkan kinerja produktivitasnya, melainkan diperolehnya semacam sertifikat atau ijazah. Peningkatan gaji pekerja diberikan karena seseorang dipilih atau direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan atau pelatihan hingga ia memperoleh sertifikat/ijazah, meskipun tidak secara otomatis mendongkrak kinerja atau produktivitasnya. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Hipotesis Credentialisme
Investasi dalam Bidang Pendidikan
Pemerolehan Sertifikat/Ijazah
Peningakatan Penghasilan
Namun demikian, banyak pakar yang mempertanyakan hipotesis credentialisme atau hipotesis screening ini, karena menurut mereka terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa investasi di bidang pendidikan/pelatihan ternyata dapat meningkatkan kecakapan dan keahlian pekerja.
3. Teori Pembagian Lapangan Kerja
Teori tentang pembagian lapangan kerja (the labor market segmentation theory) atau dikenal juga dengan hipotesis dwi lapangan kerja (the dual labor market hypothesis) menolak pendekatan modal manusia (human capital). Menurut teori ini, pendekatan modal manusia hanya akan benar-benar teruji pada segmen tenaga kerja tertentu. Pada segmen tenaga kerja lain, khususnya kelompok minoritas dan miskin, pendekatan modal manusia ini tidak akan berlaku.
Teori tentang pembagian lapangan kerja (the labor market segmentation theory) ini membagi segmen lapangan kerja ke dalam dua bagian, yaitu lapangan kerja primer (the primary labor market) dan lapangan kerja sekunder (secondary labor market). Lapangan kerja primer diisi oleh pekerja tetap yang memiliki mobilitas, karir, dan jenjang kerja yang pasti dan menjanjikan. Sedangkan lapangan kerja sekunder kemungkinan hanya akan diisi oleh pekerja sewa, part time, dan temporer, yang bagi mereka ini, peningkatan karir melalui pendidikan dan pelatihan hampir-hampir tidak mungkin.
Oleh karena itu, hubungan antara pendidikan dan penghasilan hanya akan terjadi pada segmen lapangan kerja primer; sedangkan pada segmen lapangan kerja sekunder hubungan itu sulit dibuktikan.
4. Pendekatan Radikal
Pandangan yang amat berbeda tentang hubungan antara pendidikan dengan penghasilan dimiliki oleh pendekatan radikal (the radical approach) yang berbasis pada teori neo-Marxis, yang dipelopori oleh Bowles (1972a, 1972b; juga Bowles dan Gintis, 1975, 1976). Menurutnya, ketidaksamaan penghasilan yang ada di masyarakat lebih disebabkan oleh latar belakang keluarga atau tepatnya oleh kelas sosial (social class). Memang benar pendidikan memiliki pengaruh terhadap penghasilan seseorang, tetapi harus diakui bahwa pemerolehan pendidikan yang baik hanya mungkin dicapai oleh mereka yang menempati kelas sosial tinggi, yang biasanya merupakan warisan dari generasi ke generasi. Pendidikan bukanlah medium untuk mewujudkan persamaan dan kesempatan kerja. Pendidikan juga bukan wahana untuk melakukan perubahan sosial dan ekonomi. Pendidikan hanyalah alat kaum kapitalis untuk melanggengkan struktur kelas sosial dan ekonomi.
Bagi pendukung pendekatan ini, hubungan antara pendidikan dan penghasilan akan tetap kecil, selama masyarakat masih dikelompokkan ke dalam kelas-kelas (baca: kelas pemodal dan kelas buruh).
C. TAKSONOMI MANFAAT PENDIDIKAN
T.W. Schultz, dalam bukunya The Economic Value of Educatioan, mengidentifikasi beberapa kategori manfaat pendidikan. Salah satu dari kategori manfaat itu adalah manfaat-manfaat ekonomis yang akan didapatkan dari pendidikan, yaitu menemukan bakat yang potensial, peningkatan kapabilitas seseorang sehingga dapat menyesuaikan dalam perubahan kesempatan kerja, penyiapan tenaga guru, dan penyediaan sumber daya manusia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pendidikan juga bermanfaat untuk mempersiapkan manusia menjadi warga negara yang lebih baik, dapat mengapresiasi dan mengakui budaya lain secara lebih luas, mengurangi ketergantungan kepada pasar berbagai jasa, sebagai sumber pemasukan pajak penghasilan, serta memberi kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk memiliki pendidikan yang lebih baik, dan oleh karena itu, pendidikan juga bermanfaat untuk menjadikan masa depan lebih baik.
1. Manfaat Pendidikan: Antara Konsumsi dan Investasi
Sementara itu, manfaat pendidikan bagi individu dapat diklasifikasikan kepada manfaat konsumtif dan investasi.
a. Manfaat Secara Konsumtif
Suatu produk atau jasa dikategorikan bersifat konsumtif ketika ia menghasilkan kepuasan atau kegunaan dalam periode tertentu saja. Pendidikan dikatakan memiliki manfaat secara konsumtif karena dengan pendidikan, seseorang membelanjakan sesuatu yang bersifat konsumtif. Bahkan seorang anak yang dipaksa sekolah pun akan merasakan manfaat secara konsumtif ini. Meskipun pada awalnya ia membenci untuk sekolah, tetapi lama kelamaan ia akan menyukainya.
b. Manfaat Komponen Investasi
Sesuatu produk atau jasa dikatakan bersifat investasi, apabila ia menghasilkan kepuasan atau kegunaan untuk waktu yang akan datang. Kajian-kajian tentang manfaat pendidikan secara ekonomis banyak menekankan pada aspek investasi. Dan dari semua itu, peningkatan pendapatan adalah merupakan manfaat nyata dari pendidikan. Sekolah dan pelatihan akan meningkatkan produktivitas seseorang dan itu akan meningkatkan kesempatannya untuk memperoleh upah/gaji yang lebih tinggi, dan dengan begitu, ia juga akan lebih berkontribusi dalam kehidupan sosial. Seseorang yang berpendidikan tinggi, khususnya dalam pendidikan umum, akan lebih fleksibel memperoleh pekerjaan baru, sehingga kemungkinan untuk menjadi penganggur lebih kecil. Tetapi yang lebih penting, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan.
2. Manfaat Pendidikan: Antara Individu dan Masyarakat
Selain manfaat dari aspek konsumsi dan investasi, manfaat pendidikan juga dapat diklasifikasikan ke dalam manfaat secara private/individual dan manfaat sosial. Manfaat secara individual adalah manfaat yang dapat dirasakan oleh seseorang karena pendidikannya. Sedangkan manfaat sosial adalah manfaat yang mungkin tidak dirasakan oleh seseorang karena pendidikannya, tetapi manfaatnya diserap oleh anggota masyarakat yang lain. Pada umumnya, seseorang yang berpendidikan lalu ia menjadi anggota masyarakat, maka manfaat yang bersifat individual akan termasuk ke dalam manfaat secara sosial. Dengan begitu, manfaat sosial berarti keseluruhan dari manfaat pendidikan secara individual dan manfaat lain yang mungkin tidak dirasakan secara individu.
Pada dasarnya, ada dua manfaat pendidikan secara sosial dan tidak termasuk dalam domain individu. Keduanya adalah (1) pembayaran pajak yang berkaitan dengan manfaat pendidikan, misalnya pajak yang dikeluarkan seseorang selama hidupnya, dan (2) manfaat-manfaat eksternal, seperti kemampuan pemerintah dalam mengandalkan pajak penghasilan yang berasal dari individu, yang sulit dicapai tanpa dukungan masyarakat yang melek huruf. Contoh lainnya adalah dengan banyaknya orang yang berpendidikan, maka produksi buku dan majalah dalam jumlah besar akan memperkecil harga, yang juga akan membawa manfaat pada terciptanya masyarakat informasi.
3. Manfaat Lain Pendidikan
Manfaat pendidikan lain juga dapat diklasifikasikan ke dalam: (1) pilihan secara finansial yang semakin terbuka bagi siswa, dan (2) pilihan-pilihan non-finasial. Klasifikasi ini didasarkan pada penelitian Weisbrod (1962, 1964). Dengan pendidikan, seseorang memiliki peluang pilihan finansial yang semakin terbuka. Manfaat ini dapat dirasakan karena dengan menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, seseorang akan memiliki kesempatan terbuka untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang berarti ia memiliki kesempatan menambah jumlah pengalaman training yang lebih baik.
Manfaat kedua (terbukanya peluang-peluang non-finansial), mislanya, seorang guru besar memiliki banyak keuntungan non-finansial karena jabatannya itu. Melalui jabatannya itu, seorang guru besar tidak hanya memiliki tingkat kebebasan dan fleksibilitas dalam bekerja, tetapi juga pertemuanya dengan mahasiswa setiap hari serta kesenangan yang diperolehnya melalui kegiatan perkuliahan dan penelitian. Buktinya, banyak orang yang memiliki kecakapan akademik sekaligus mampu bekerja di sektor industri, tetapi lebih memilih menjadi dosen atau peneliti meskipun dengan gaji yang lebih rendah.
4. Efek-efek Antar-generasi
Tambahan lagi, manfaat lain dari pendidikan dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa seseorang akan memilih untuk melanjutkan pendidikan yang tinggi apabila orang tuanya juga memiliki pendidikan yang baik. Bahkan ada kecenderungan seseorang berusaha untuk melampaui jenjang pendidikan orang tuanya.
D. BEBERAPA PENDEKATAN UNTUK MENGUKUR
MANFAAT PENDIDIKAN
Terdapat tiga pendekatan untuk mengukur manfaat pendidikan, yaitu: (1) pendekatan korelasi sederhana, (2) pendekatan residual, dan (3) pendekatan keuntungan pendidikan.
1. Pendekatan Korelasi Sederhana
Para sarjana mencatat tentang korelasi yang nyata antara pencapaian pendidikan dengan penghasilan. Demikian, hasil kajian yang dilakukan di beberapa wilayah di Amerika Serikat dengan menggunakan metode time series (longitudinal) dan metode cross-sectional. Kajian itu menunjukkan tentang adanya hubungan salingterkait antara pendidikan dengan penghasilan atau pendapatan. Tetapi kajian itu tidak menjelaskan apakah tingginya pendapatan daerah, negara atau individu disebabkan oleh pendidikan, atau sebaliknya, tingginya investasi di bidang pendidikan yang menyebabkan tingginya pendapatan. Tetapi keduanya dipandang benar, dalam arti investasi di bidang pendidikan menyebabkan kenaikan pada pendapatan, dan tingginya pendapatan juga menyebabkan semakin tingginya pendidikan.
Penelitian lain yang dapat dilakukan adalah mengkaji efek pendidikan pekerja terhadap keuntungan dan porduktivitas suatu perusahaan. Hasil beberapa kajian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan dengan produktivitas, sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Besen (1968), Griliches (1970), Welch (1970), dan D.A. Wise (1975).
2. Pendekatan Residual
Seperti diketahui, dalam melakukan kajian tentang dinamika pertumbuhan ekonomi, beberapa sarjana ekonomi mencatat sejumlah porsi pertumbuhan ekonomi yang tersisa, yang tidak dapat dijelaskan ketika faktor input klasik seperti tanah, tenaga kerja, dan modal diikutsertakan. Pendekatan residual adalah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena input ekonomi klasik yang hanya memasukan aspek tenaga kerja secara kuantitas, bukan kualitasnya. Perubahan-perubahan dalam output yang disebabkan oleh perubahan dalam kualitas tenaga kerja serta faktor-faktor lain yang tidak dispesifikasi, kemudian tidak tertinggal dan tidak dapat dijelaskan.
Padahal, hubungan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi cukup penting untuk menjamin perlakukan secara komprehensif. Selain itu, sejumlah kajian tentang kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi didasarkan pada pendekatan keuntungan pendidikan.


3. Pendekatan Keuntungan Langsung Pendidikan
Pendekatan ini didasarkan pada premis bahwa pendidikan menghasilkan keuntungan langsung, baik bagi individu maupun masyarakat. Meskipun keuntungan bagi individu harus dihitung menurut kepuasan pada masa sekarang dan mendatang, data dan problem-problem konseptual lain harus mendapatkan paerhatian para peneliti untuk memahami konsep keuntungan yang terkait dengan penghasilan atau gaji masing-masing.
a. Profil Penghasilan Berdasarkan Usia
Dalam suatu buku yang terkenal yang ditulis oleh G.S. Becker (1964) disebutkan bahwa penghasilan individu selama hidupnya berbeda-beda tergantung kepada profil penghasilan berdasarkan usia secara khusus. Berdasarkan profil ini, seseorang yang masih muda dan belum berpengalaman akan memperoleh penghasilan yang rendah (low earning), kemudian beranjak menuju kepada penghasilan yang lebih tinggi dan memperoleh penghasilan puncak pada usia pertengahan, dan akhirnya, penghasilannya akan menurun kembali. Yang juga penting adalah bahwa tinggi-rendahnya profil penghasilan berdasarkan usia akan bervariasi tergantung kepada tingkat pendidikan seseorang. Profil ini pun tidak akan seragam untuk semua usia yang sama.
Misalnya kita dapat membandingkan antara profil penghasilan berdasarkan usia, antara yang berpendidikan SMA dengan Universitas, dengan melihat grafik di bawah ini:
Gambar 3: Contoh Profil Penghasilan Berdasarkan Usia
Dari grafik tersebut, seseorang yang berusia 18 tahun dan telah menempuh pendidikan selama 11 tahun; lalu kemudian ia menempuh kembali pendidikan selama empat tahun, maka selama empat tahun itu (selama menempuh jenjang universitas), mungkin ia tidak akan memperoleh tambahan penghasilan (antara usia 18 – 21 tahun). Pada saat yang sama mungkin sekali seseorang yang berpendidikan SMA memiliki penghasilan lebih tinggi dari yang seseorang berpendidikan universitas; karena yang berpendidikan SMA memiliki pengalaman kerja dan pelatihan yang lebih baik, sementara ia sendiri masih melanjutkan studi. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa puncak penghasilan untuk mereka yang berpendidikan universitas adalah pada usia 57 tahun; sedangkan yang berpendidikan SMA pada usia 47 tahun. Hal ini dapat dijelaskan dengan dua cara, yaitu: Pertama, pekerjaan yang terkait dengan mereka yang berpendidikan tinggi (universitas) tidak terlalu menggantungkan kekuatan fisik tetapi lebih pada kapasitas intelektual. Kedua, sebagaimana penjelasan Mincer (1974), mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki pengalaman pelatihan yang lebih banyak.
b. Diferensiasi Penghasilan
Profil penghasilan berdasarkan usia dapat digunakan untuk memperoleh perbedaan antara penghasilan kelompok yang berpendidikan tinggi dengan kelompok yang berpendidikan rendah. Dari gambar 3 di atas, kita dapat menghitung untuk setiap jenjang usia perbedaan penghasilan antara mereka yang berpendidikan SMA dengan universitas. Pada usia 18 – 21 perbedaan penghasilan bersifat negatif, sehingga penghasilan yang berpendidikan SMA melebihi penghasilan yang berpendidikan universitas. Adapun “breakeven point” (ketika penghasilan kedua kelompok sama) terjadi pada usia kira-kira 25 tahun pada saat kedua kelompok memperoleh penghasilan sekitar 9.000 US Dollar. Sedangkan pada usia-usia selanjutnya, perbedaan penghasilan sudah berubah menjadi positif dan terus menaik, sehingga penghasilan kelompok yang berpendidikan universitas melebihi yang berpendidikan SMA.
c. Diferensiasi Penghasilan Seumur Hidup
Diferensiasi penghasilan seumur hidup adalah jumlah keseluruhan penghasilan yang diterima oleh kelompok dengan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan kelompok dengen tingkat pendidikan yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1973, misalnya, diferensiasi penghasilan seumur hidup untuk jenis kelamin laki-laki kulit putih yang berpendidikan universitas dibandingkan dengan yang berpendidikan SMA adalah sebesar 174.363 US Dollar (bila dirupiahkan ± Rp. 1.569.267.000).
E. BEBERAPA MASALAH DALAM PENGUKURAN
MANFAAT PENDIDIKAN
Ada beberapa masalah berkenaan dengan pengukuran manfaat pendidikan, terutama yang terkait dengan penggunaan data cross-sectional, pemasukan variabel kecakapan (ability) dan variabel-variabel non-pendidikan lainnya, pengukuran manfaat non-finansial dan manfaat eksternal, serta problem-problem lain yang bersifat konseptual dan statistik.
1. Data Cross-Sectional Versus Data Longitudinal
Kebanyakan kajian tentang keuntungan ekonomis pendidikan didasarkan pada analisis yang bersifat cross-sectional. Pada dasarnya, potret hubungan antara penghasilan, usia, dan pendidikan diperoleh pada suatu kurun waktu tertentu. Misalnya, pada tahun 1973, kita mengkaji beberapa orang yang berbeda usia, tingkat pendidikan, dan penghasilannya dan rumuskan dalam suatu tabulasi dengan mengelompokkan penghasilan berdasarkan usia dan pendidikan. Lalu kemudian dibuat diferensiasi penghasilan seumur hidup yang berdasarkan tingkat pendidikan dengan asumsi bahwa analisis cross-sectional dapat memprediksi penghasilan pendidikan pada masa yang akan datang. Misalnya, jika rata-rata penghasilan seseorang yang berusia 62 yang tamat program S1 adalah 14.356 US Dollar pada tahun 1973, maka diasumsikan bahwa orang yang berusia 18 tahun pada tahun 1973 akan memperoleh penghasilan sebesar 14.356 US Dollar pada saat ia berusia 60 tahun pada tahun 2015 dengan syarat ia tamat program S1 juga.
Di sisi lain, pendekatan siklus hidup (juga dikenal dengan cohort) didasarkan pada data penghasilan yang bersifat longitudinal (jangka panjang) yang berasal dari individu atau kelompok yang sama. Seseorang harus secara terus-menerus menggunakan data sensus (misalnya dari tahun 1930 – 1978) berkenaan dengan seseorang yang berusia 18 tahun pada tahun 1930 serta data pada saat ia berusia 60 tahun pada tahun 1978; sehingga dapat diperoleh data tentang penghasilan berdasarkan usia dan tingkat pendidikan, sebagai bahan untuk mengukur diferensiasi penghasilan seumur hidup yang diakibatkan oleh faktor pendidikan; yang kemudian digunakan untuk memproyeksi masa depan.
Masing-masing dua pendekatan itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendekatan cross-sectional memiliki kekurangan karena ia menganggap hubungan antara penghasilan, usia, dan pendidikan bersifat konstan atau tetap dari waktu ke waktu. Dalam dunia yang dinamis, seseorang akan memperoleh penghasilan yang berbeda tergantung secara relatif kepada suplai tenaga kerja terdidik dan tergantung pula pada permintaan kepada mereka.
Di sisi lain, data-data longitudinal tidak hanya menjadi tidak sesuai pada waktu tertentu untuk merumuskan profil siklus penghasilan secara lengkap, tetapi juga karena problem-problem konseptual yang secara signifikan berkaitan dengan penggunaannya. Pertama, adalah penting untuk menyesuaikan data penghasilan dengan perubahan-perubahan tingkat harga. Meskipun terdapat sejumlah indeks harga yang sesuai dengan tugas ini, namun karena waktu yang lama di mana indeks itu digunakan, maka ia menjadi kurang reliabel untuk digunakan. Kedua, data longitudinal akan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi dalam siklus bisnis, yang dapat disebabkan oleh perang atau krisis dalam negeri, serta berbagai variabel yang mungkin tidak mudah dihilangkan.
2. Pendidikan, Kecakapan, dan Pendapatan
Seandainya pun kita dapat melakukan estimasi penghasilan seumur hidup dalam kaitannya dengan perbedaan tingkat pendidikan, apakah kita juga berpendapat bahwa perbedaan penghasilan ini benar-benar disebabkan oleh pendidikan? Apakah tidak mungkin, perbedaan penghasilan itu disebabkan oleh faktor-faktor lain, semisal perbedaan kecakapan, motivasi, status sosial-ekonomi, dan karakteristik lingkungan individu, serta faktor-faktor non-pendidikan lainnya.
Kiranya masalah itu terkait dengan fungsi pendapatan (the earning function), yakni pernyataan matematis tentang pendapatan yang terkait dengan variabel-variabel yang berpengaruh terhadapnya. Terkait dengan aspek kecakapan (ability), ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kecakapan seseorang, seperti IQ, achievement test, mathematical aptitude, class rank, Armed Forces Qualifyng Test, mathematical ability dan lain-lain.


3. Manfaat Rata-rata Versus Manfaat Marginal
Perhitungan tentang perbedaan penghasilan seumur hidup yang didasarkan pada tingkat pendidikan menyediakan suatu perkiraan tentang rata-rata manfaat pendidikan. Manfaat rata-rata itu akan menjadi relevan, lebih-lebih bagi individu yang memiliki karakteristik rata-rata. Seorang siswa dengan kecakapan dan motivasi yang tinggi, maka akan memperoleh keuntungan yang lebih pula; adapun siswa yang memiliki karakteristik di bawah rata-rata, ia pun akan memperoleh keuntungan yang sedikit. Penggunaan fungsi pendapatan dengan baik akan dapat mengestimasi perbedaan profil penghasilan berdasarkan usia seseorang dengan karakteristik yang berbeda.
4. Penggunaan Rata-rata Versus Median
Biro Sensus Amerika Serikat menerbitkan sekumpulan data tentang penghasilan yang diklasifikasikan berdasarkan usia dan pendidikan. Sensus tersebut lebih menggunakan median penghasilan dari pada rata-rata penghasilan. Karena distribusi pendapatan cenderung menceng (skewed), dengan rata-rata pendapatan melampaui median, maka penggunaan median dalam memahami profil penghasilan berdasarkan usia mungkin akan cenderung bias ke bawah. Itulah sebabnya beberapa pengarang merencanakan suatu metode untuk mengestimasi rata-rata berdasarkan data-data median pada sensus tersebut.
5. Manfaat Sosial Versus Manfaat Individual
Perbedaan penghasilan seumur hidup digunakan sebagai indeks manfaat sosial pendidikan, dengan asumsi bahwa penghasilan yang tinggi menggambarkan produktivitas yang tinggi pula. Sebagaimana asumsi yang digunakan oleh teori ekonomi neo-klasik, yakni teori distribusi pendapatan (income distribution), bahwa setiap faktor produksi memperoleh upah sama dengan nilai kontibusi marginal pada out put. Sebagaimana telah disebutkan, beberapa penulis mempertanyakan validitas asumsi bahwa pendidikan bertanggung jawab pada peningkatan produktivitas seseorang. Lebih jauh, pertanyaan lain adalah validitas teori distribusi pendapat neo-klasik yang berargumen bahwa sekala gaji birokrasi secara nyata tidak berkaitan dengan produktivitas seseorang.
Di sisi lain, manfaat pendidikan secara individual, tidak dipengaruhi oleh dugaan ketiadaan hubungan antara tingginya upah dengan tingginya produktivitas. Seseorang mesti menghitung perbedaan penghasilan seumur hidup yang tidak masuk ke dalam penghasilan yang tidak dipakai, seperti pajak penghasilan yang dibayarkan kepada negara atau pemerintah lokal.
6. Pendapatan Tahunan Versus Upah per-Jam
Manfaat pendidikan sering dikatakan meliputi baik peningkatan produktivitas—yang dikur dengan upah per jam—maupun peningkatan kecakapan kerja—yang dihitung berdasarkan jumlah jam kerja seseorang. Mengalikan tingkat upah dengan jumlah jam kerja akan diperoleh penghasilan tahunan. Tetapi beberapa penulis, di antaranya Morgan dan David (1963), berargumen bahwa jumlah jam kerja menggambarkan suatu pilihan yang dilakukan oleh individu untuk memilih antara waktu luang dan penghasilan ternyata tidak berhubungan dengan manfaat pendidikan. Dengan demikian, mereka menghitung pendapatan seumur hidup dengan mengalikan upah per jam dengan 2000 jam (dengan asumsi seseorang bekerja selama 40 jam perminggu selama selama 50 minggu per tahun).
Hal ini juga menggambarkan bahwa faktor pendidikan bukanlah satu-satunya mengapa orang bekerja melainkan juga karena kondisi seseorang untuk bekerja secara penuh. Dengan demikian, pendidikan juga berpengaruh, baik pada produktivitas seseorang, maupun pilihannya pada pekerjaan yang disukai.
7. Kualitas Versus Kuantitas Pendidikan
Kebanyakan kajian tentang manfaat ekonomis dari pendidikan didasarkan pada lamanya seseorang menempuh pendidikan. Padahal, mutu pendidikan juga seringkali berpengaruh terhadap penghasilan dan jenis pekerjaan seseorang.

8. Pendidikan dan Distribusi Pendapatan
Pendidikan selama ini dipandang sebagai faktor penting dalam distribusi pendapatan. Para ahli meyakini bahwa dengan pendidikan, maka kemiskinan dapat ditekan, sehingga distribusi pendapatan menjadi merata. Namun kajian lain membuktikan bahwa pendidikan pada kenyataannya tidak berfungsi baik dalam mendistribusikan penghasilan, malah sebaliknya, pendidikan justru menyebabkan ketidakadilan ekonomi. Isu tentang hal itu, sampai saat ini belum tuntas dikaji dan masih menjadi bahan perdebatan para ahli.
9. Manfaat Eksternal dan Non-finansial
Pendapatan seumur hidup adalah salah satu manfaat ekonomis pendidikan yang dapat diukur. Tetapi, bagaimana pun ia tidaklah lengkap. Melihat pada manfaat pendidikan secara individual, seringkali manfaat non-finansial diabaikan. Mungkin saja manfaat pendidikan terdiri dari bermacam konsumsi dan investasi. Misalnya, pilihan lapangan yang lebih luas akan lebih memungkinkan bagi mereka yang memiliki pengalaman pendidikan yang lebih, sehingga memungkinnya menemukan kepuasan kerja yang lebih besar. Pendidikan juga dapat mempengaruhi gaya hidup dan produktivitas seseorang di dalam rumah dan di tempat lain. Pendidikan juga dapat mempengaruhi kesehatan seseorang, sehingga memungkinkannya untuk “panjang umur”.
Ada beberapa kajian yang terkait dengan manfaat non-finansial pendidikan. Hasil penelitian Hettich (1972) di Michigan menunjukkan bahwa individu yang berpendidikan, cenderung lebih mencari informasi tentang barang-barang konsumsi. Hettich kemudian juga menyimpulkan bahwa mereka yang berpendidikan cenderung memiliki strategi efisien dalam berbelanja. Michael (1972, 1973a, 1973b) juga menemukan bahwa mereka yang berpendidikan lebih produktif dalam aktivitas non-pasar. Sementara itu Quinn dan Mandilovitch (1975) menemukan bahwa orang-orang yang terdidik cenderung mengalami sedikit hukuman dalam bekerja. Dan akhirnya, Duncan (1976) menemukan bahwa mereka yang terdidik cenderung bekerja secara sehat dan aman, mampu mengendalikan waktu, dan pekerjaannya stabil.
F. PEMBAHASAN DAN KOMENTAR
Dalam bab tiga ini, Elchanan Cohn mengungkapkan aspek-aspek yang terkait dengan manfaat pendidikan. Pembahasannya tentang teori distribusi pendapatan (income distibution) memberikan pemahaman kepada kita tentang empat teori keterkaitan antara pendidikan dengan penghasilan di satu sisi, dan fungsi pendidikan dalam mendistribusikan pendapatan di sisi lain. Inti dari pembahasan Cohn pada bab 3 ini adalah kajiannya tentang teori-teori yang menjelaskan manfaat pendidikan, baik bagi individu, masyarakat, maupun negara serta cara-cara pengukurannya; yang kemudian ia akhiri dengan pembahasan tentang berbagai problem yang terkait dengan pengukuran manfaat pendidikan.
1. Tentang Teori Distribusi Pendapatan
Empat teori tentang distribusi pendapatan selama ini memang seolah-olah berjalan sendiri-sendiri. Keempat teori itu, masing-masing teori modal manusia (human capital), hipotesis credentialisme (credentialism hypothesis), teori pembagian lapangan kerja (labor market segmentation), dan teori radikal (radical theory) berpandangan secara berbeda dalam memahami manfaat investasi di bidang pendidikan. Meskipun di antara empat teori itu, teori modal manusia (human capital) lebih banyak mendapat sambutan dan diterima secara luas, namun tidak berarti bahwa tiga teori lainnya tidak berguna. Bahkan para ahli pendidikan dan ekonomi Indonesia pun sejak lama mempercayai betul teori human capital ini.
Berdasarkan teori human capital ini, pendidikan dipandang sebagai investasi penting untuk mengubah sikap dan perilaku yang tidak produktif menjadi produktif dan dari pasif menjadi aktif, yang pada akhirnya, pendidikan dipandang sebagai instrumen penting bagi pemeratan pendapatan.
Meskipun asumsi teori ini banyak terbukti di lapangan, namun terdapat fakta-fakta lain yang mungkin tidak dapat dijelaskan oleh teori ini. Fakta bahwa pendidikan memerlukan biaya yang tidak kecil dan seringkali kelompok masyarakat berpendapatan rendah tidak mampu menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga kesempatan untuk meraih pekerjaan terbaik juga sulit; kiranya menjadi tantangan tersendiri bagi teori ini. Kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi (the have) cenderung memiliki kesempatan yang tinggi untuk meraih pendidikan terbaik dan setinggi-tingginya, sehingga kesempatan untuk memperoleh pekerjaan terbaik menjadi lebih terbuka.
Dua fakta itu menunjukkan bahwa pendidikan memiliki manfaat yang bersifat saling kontradiktif; di satu sisi ia dapat berperan dalam mendistribusikan pendapatan, tetapi di sisi lain membuat gap atau kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin kuat.
2. Manfaat-manfaat Pendidikan Secara Ekonomis
Bagi individu, manfaat pendidikan secara ekonomis kiranya memang tidak diragukan, John R. Kelly[1], misalnya, menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya untuk mempersiapkan tenaga kerja, melainkan lebih ditekankan pada upaya mempersiapkan berbagai macam pemenuhan kebutuhan hidup. Hampir senada dengan pandangan John R. Kelly tersebut, Allan G. Johnson juga berpandangan bahwa pendidikan tidak hanya dilakukan untuk menyiapkan seseorang untuk mencapai pekerjaan yang prestisius; melainkan juga sebagai suatu simbol dari kebudayaan, status serta untuk memperbanyak tenaga kerja.[2]
Pandangan lain dikemukakan oleh J. Kats sebagaimana dikutip oleh Gardner dan Jerome[3] bahwa melalui pendidikan akan terjadi perubahan-perubahan: (1) adanya penurunan-penurunan sikap otoriterisme (authoritarianism declines); (2) pertumbuhan (autonomy grows); (3) peningkatan penghargaan diri (self-esteem increases); (4) perluasan hubungan (the capacity for relatedness becomes enlarged); (5) pengalaman politik yang lebih matang (greater political sphistication is shown); (6) pertumbuhan kapasitas asketis (asthetic capacity grows); and (7) kemampuan siswa dalam menguasai isu-isu teoretis yang lebih luas (students have a broader grasp of theoretical issues).
Namun demikian, ada beberapa aspek yang perlu dikritisi berkenaan dengan manfaat pendidikan bagi individu. Salah satu yang perlu dikritisi adalah premis yang mengatakan bahwa semakin lama dan tinggi seseorang menempuh dunia pendidikan maka kesempatan baginya untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik dan terbuka. Kritik kita adalah karena sektor ekonomi selalu terkait dengan konsep supply (ketersediaan) dan demand (permintaan), yang berarti ia akan sangat bergantung pada ketersediaan lapangan kerja dan jumlah tenaga kerja yang ada. Jika lapangan kerja terbatas, sementara jumlah tenaga kerja terdidik banyak, maka kesempatan untuk memperoleh pekerjaan atau penghasilan tidak akan selalu sesuai dengan premis tersebut.
Yang justru menarik adalah manfaat pendidikan bagi masyarakat dan bagi negara, yang di dalamnya juga termasuk manfaat pendidikan bagi pembangunan bangsa. Dari beberapa argumen konseptual yang tertuang dalam bab 3 buku ini, tampaknya konsep investasi sumber daya manusia (human investmen) begitu mendominasi. Konsep human investmen ini berpandangan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Dengan pandangan konseptual seperti itu, Elchanan Cohn ingin menunjukkan bahwa pendidikan memiliki manfaat sosial penting, terutama dalam pembangunan yang meliputi: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kopetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk mdeningkatkan produktivitas, dan c) secara umum, meningkatnya kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan, maka akan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Yang juga perlu mendapat tanggapan kritis adalah manfaat pendidikan sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth), bahwa pendidikan bermanfaat sebagai penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan dituntut mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan[4]. Bahkan ada kesan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, dan bukan sebaliknya perkembangan okonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan diuji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Secara konsepsional, peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, seringkali berimplikasi pada pemilihan kebijakan pendidikan single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan diyakini akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan juga perlu dirumuskan dan disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Padahal, pandangan seperti itu tidak selamanya dapat diterima oleh logika akal sehat. Karena, kita juga dapat menggunakan logika sebaliknya, bahwa pendidikan sistem persekolahan tidak selamanya bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, tetapi justru menjadi gerbong yang ditarik oleh lokomotif pembangunan ekonomi.
Pandangan kritis terhadap konsep manfaat pendidikan bagi individu dan sosial, juga dapat diajukan terutama yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kita dapat menemukan instrumen yang valid dan reliabel bahwa proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja dengan sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologi yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan deskilleed process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, beberapa konsep yang dikemukakan oleh Cohn berkenaan dengan hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dibangun di atas asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi bukankah asumsi itu juga bisa dibalik, bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan.
Ketiga, beberapa konsepsi Cohn juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Tetapi dalam realitas empirik asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu seiring. Implikasinya adalah bahwa beberapa kesimpulan kajian yang pernah dilakukan yang selalu menunjukan bahwa oconomic rate of return dari pendidikan adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak selamanya tepat.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran pengembangan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produtivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, salah seorang penganut teori Credentialism, Randal Collins[5] menentang tesis ini. Bagi Collin, pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan denga pekerja yang memiliki pendidikan yang rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.
G. PENUTUP
Betapa pun berbagai konsep yang tertuang dalam bab 3 (The Benefits of Education) dalam buku “The Economics of Education” karya Elchanan Cohn (1979) ini masih dapat terus diperdebatkan, namun secara konsepsional gagasan-gagasan Cohn akan sangat bermanfaat untuk memahami keterkaitan antara pendidikan dengan faktor-faktor ekonomi, baik yang terkait dengan individu maupun masyarakat.
Melalui konsep-konsepnya tentang distribusi pendapatan, taksonomi manfaat pendidikan, dan model-model pengukuran manfaat pendidikan, kita selanjutnya dapat mengembangkan aspek-aspek manfaat pendidikan secara non ekonomi melalui berbagai kajian dan penelitian. Dengan begitu, kita juga akan mengetahui aspek-aspek pendidikan apa saja yang perlu diperbaiki, disempurnakan, dan direvisi, sehingga pendidikan betul-betul dapat mendatangkan manfaat bagi individu, masyarakat, agama, dan negara. Semoga!


SUMBER BACAAN

Sumber Utama
Cohn, Elchanan (1979). The Economics of Education. Cambridge-Massachusets: Ballinger Publishing Company.

Sumber Tambahan
Collin, Randall. (1978). The Credential Society: An Historical Sosiology of Education and Stratification. Cambridge: University of Cambridge Press.
Gardner, John N. & Jewler A. Jerome (Ed.). (1998). College is Only the Beginning: A Student Guide to Higher Education. New York: Wardsworth Publishing Company.
Johnson, Allan G. (1985). Human Arangements: An Introduction to Sociology. Orlando-Florida: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Kelly, John R. (1993). Leisure. Englewood Cliffs New York: Prentice-Hall Publishing Inc,
[1] John R. Kelly, Leisure, Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, NJ, 1993, hal. 12.
[2] Allan G. Johnson, Human Arangements: An Introduction to Sociology, Harcourt Brace Jovanovich, Inc, Orlando-Florida,1985, h. 500.
[3] John N. Gardner & Jewler A. Jerome (Ed.), College is Only the Beginning: A Student Guide to Higher Education. New York: Wardsworth Publishing Company, 1998, hal. 123.
[4] Argumen konseptual ini oleh Cohn memang begitu kuat dipegang. Buktinya dalam bab 3 bukunya ini, ia hanya menganalisis manfaat-manfaat pendidikan hanya pada aspek pendidikan formal persekolahan.
[5] Randall Collin, The Credential Society: An Historical Sosiology of Education and Stratification, University of Cambridge Press, Ca,bridge, 1978, hal. 175

No comments: