Thursday, June 28, 2007

Pendidikan Islam dalam Perspektif Teori Kritis

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM TINGKAT MENENGAH
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI KRITIS
Oleh
Huzni Thoyyar

A. PENDAHULUAN
Selama ini, teori struktural fungsional cukup dominan dalam berbagai kajian sosiologi, termasuk kajian-kajian dalam upaya memahami, menjelaskan, dan menganalisis kebijaksanaan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dominasi teori stutktural fungsional dalam kajian sosiologi pendidikan di Tanah Air, tidak saja karena teori ini secara luas digunakan oleh para sosiolog untuk menganalisis berbagai gejala, proses, dan interaksi sosial yang terjadi di masyarakat modern; tetapi juga karena kebijakan pendidikan di Indonesia cukup lama mengikuti berbagai asumsi teori-teori tersebut, terutama teori struktural fungsional tersebut.
Asumsi dasar yang diusung teori struktural fungsional ini adalah pandangan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa unsur dan elemen-elemen yang saling berkaitan, seperti agama, pendidikan, struktur politik, ekonomi, keluarga dan sebagainya. Bagi teori ini, jika salah satu dari unsur atau elemen masyarakat itu berubah, maka unsur dan elemen-elemen lainnya pun mesti dan harus ikut berubah. Jadi yang dikedepankan adalah integrasi, stabilitasi, dan konsensus (Parelius & Parelius, 1987:14). Itulah sebabnya teori ini juga sering disebut dengan teori konsensus atau teori keseimbangan (Adiwikarta, 1988:20).
Proses pembangunan nasional di Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru yang menekankan pada upaya penciptaan stabilitas nasional, harminisasi, dan integrasi sosial sambil menekan sedemikian rupa kemungkinan terjadinya goncangan, konflik, dan disintegrasi sosial, merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh teori struktural fungsional dalam proses pembangunan, termasuk pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan proses pembangunan nasional seperti itu, pemerintah mendesain instrumen pendidikan, agar proses-proses pendidikan tidak mengarah pada munculnya goncangan, konflik, dan disintegrasi sosial. Dengan cara itu, pemerintah sekaligus berupaya untuk melanggengkan proses pewarisan dan transmisi nilai-nilai sosial serta status quo kekuasaannya.
Namun demikian, teori struktural fungsional ternyata masih menyisakan sejumlah persoalan besar, yaitu kelalaiannya untuk menyadari realitas masyarakat sosial lain yang termarginalisasi, tertindas, terdiskriminasi, dan tereksploitasi. Karena pengabaiannya terhadap pihak-pihak marginal ini, maka institusi pendidikan lebih mewakili kepentingan pihak-pihak yang berkuasa (baca: penguasa dan negara). Di sisi lain berbagai kelompok marginal (siswa, perempuan, kaum miskin, dan lain-lain) kurang terwadahi kepentingannya.
Bersamaan dengan munculnya berbagai keinginan dan tuntutan perubahan paradigma pendidikan di Tanah Air, makalah ini berupaya untuk mengembangkan model pendidikan Islam (Tingkat Menengah) yang lebih komprehensif berdasarkan model analisis Sosiologi Kritis (Critical Sociology), yang meliputi aspek kelembagaan, pengelolaan, dan proses pendidikannya.
B. KERANGKA TEORETIK
1. Sekilas tentang Sosiologi Kritis
Teori Sosiologi Kritis (Critical Sociology) dalam terma yang lain juga dikenal dengan istilah Teori Kritis (Critical Theory), yang merujuk pada Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) (Kellner, 2003:51). Lahirnya Mazhab Frankfurt ini ditandai dengan berdirinya The Frankfurt Institute for Social Research pada tahun 1923 sebagai pusat penelitian kaum sosialis (Craib, 1992:277). Meskipun kelahiran Mazhab Frankfurt tidak dapat dipisahkan dengan aliran Marxis, namun tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt, khususnya Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas, memiliki pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan para penerusnya (Hardiman, 1990:35).
Cara berpikir Mazhab Frankfurt dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini terinspirasi oleh pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat, khususnya filsafat sosial pada waktu itu. Namun, pemikiran-pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang paling menonjol adalah mengenai pertautan teori dengan praxis hidup sosial manusia. Ada tiga ciri menonjol yang dimilikinya, yakni dimensi eksplanatif, normatif, dan praxis. (Peters, 2003:38). Dimensi eksplanatif berarti bahwa Teori Kritis menjelaskan fakta-fakta empirik untuk menguji kondisi sosial yang menyebabkan munculnya penindasan; dimensi normatif berarti bahwa Teori Kritis bertujuan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik; dan dimensi praxis berarti bahwa Teori Kritis melibatkan diri dalam praxis sosial dan dalam proses transformasi sosial (Peters, 2003:38).
Berdasarkan tiga karakteristik itu, Teori Kritis berupaya untuk membuka kedok ideologis dari positivisme. Bagi pengikut Mazhab Frankfurt, positivisme bukan hanya sekadar pandangan positivistik mengenai ilmu pengetahuan, melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai cara berpikir yang menjangkiti kesadaran masyarakat modern. Dalam pandangan Teori Kritis, positivisme telah melahirkan berbagai bentuk penindasan yang melestarikan konfigurasi sosial yang represif, menindas, dan eksploitatif (Hardiman, 1990:31).
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis. (Wuryanta, 2006)
Untuk menjadikan Sosiologi Kritis atau Teori Kritis sebagai kerangka teori model analisis pendidikan Islam, kiranya perlu dibuat kategori mengenai analisis pendidikan dari perspektif sosiologi pendidikan, yakni kategori makro, messo, dan mikro.
2. Kerangka Teori Tingkat Makro Pendidikan
Karakteristik Sosiologi Kritis atau Teori Kritis yang tidak hanya melulu bersifat deskriptif-eksplanatif, melainkan berpihak dan membela kelompok-kelompok masyarakat marginal dan tertindas, disertainya dengan komitmennya untuk melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik dapat dijadikan sebagai model analisis pendidikan Islam pada level makro, yakni hubungan antara sistem pendidikan dengan kehidupan ekonomi, keluarga, agama, teknologi, kesenian, kesehatan, bahasa, politik, pertahanan, rekreasi, dan mungkin masih banyak lagi segi-segi lainnya (Adiwikarta, 1988:5).
Pandangan Max Horkheimer dan Theodor Adorno yang mengkritik secara tajam dua fenomena kehidupan masyarakat modern, yaitu kecenderungannya yang menindas, dan cara berpikir positivistis mereka yang menjadi ideologis dan mitos (Hardiman, 1990:60), kiranya dapat dijadikan sebagai kerangka teori untuk membangun sistem pendidikan Islam yang "membebaskan" dan "emansipatoris".
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan yang menjadi salah satu butir Teori Kritis berangkat dari empat sumber kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. (Hardiman, 1990:47-52).
3. Kerangka Teori Tingkat Messo Pendidikan
Wilayah messo pendidikan terkait dengan hubungan antara sekolah dengan komunitas lain di sekitarnya. Menjadikan Sosiologi Kritis atau Teori Kritis sebagai model analisis pada wilayah messo pendidikan, kita dapat menggunakan konsep hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, salah seorang pemikir kritis-kiri. Bagi Gramsci, konsep hegemoni dimaknai sebagai sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan suatu kelas sosial yang dominan selama periode tertentu terhadap suatu kelas sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya. (Kristiawan, 2005).
Bagaimana hegemoni berlangsung dalam dunia pendidikan yang bernama sekolah? Menurut Gramsci, hegemoni masuk mengakar melalui teks-teks sekolah, film, dan wacana guru. Dalam kaitan ini, Barry Burke mengatakan:
Schooling played an important part in Gramsci’s analysis of modern society. The school system was just one part of the system of ideological hegemony in which individuals were socialised into maintaining the status quo. He did not write much in his Notebooks on the school system but what he did write was essentially a critique of the increased specialisation occurring within the Italian school system and a plea for a more ‘comprehensive’ form of education. (Burke, 1999).
Bagi para pemikir Teori Kritis, sekolah tidak lepas dari kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, sekolah menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensinya, sekolah memberikan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, sekolah dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.
4. Kerangka Teori Tingkat Mikro Pendidikan
Analisis pada wilayah mikro pendidikan memusatkan perhatiannya pada interaksi yang konkret antara individu-individu dalam lingkungan sekolah (Adiwikarta, 1988:6). Untuk keperluan itu, kerangka teori yang dipilih menggunakan konsep pendidikan Paulo Freire. Pilihan terhadap konsep pendidikan Paulo Freire didasarkan pada pertimbangan bahwa dialah salah satu tokoh yang pengaruhnya cukup kuat dalam wacana kritis; selain juga karena gagasan-gagasannya menggugah dan menyegarkan, sebagaimana dikatakan oleh Henry A. Giroux, bahwa:
Dengan bahasa kritik, Freire menciptakan model teori pendidikan yang benar-benar mengaitkan antara Teori Kritis dengan tuntutan perjuangan yang juga radikal. Tuntutan ini disebut radikal karena komitmen perjuangannya yang tinggi untuk melawan dominasi. (Giroux, 1999:2).
Freire adalah tokoh pendidikan yang anti imperialisme, eksploitasi sekaligus penindasan terhadap potensi-potensi manusia. Setiap penindasan, baginya, tidak bisa ditolerir sebab tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah Freire berpendapat bahwa pendidikan adalah untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). (Freire, 1972:39). Freire menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta didik dan realitas dunia. Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire menengarai bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept of education), sebagaimana dikatakannya:
This is the banking concept of education, in which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filing, and storing the deposits. They do, it is true, have the opportunity to become collectors or cataloguers of the things they store. But in the last analysis, it is the people themselves who are filed away through the lack of creativity, transformation, and knowledge in this (at best) misguided system. For apart from inquiry apart from the praxis, individuals cannot be truly human. Knowledge emerges only through invention and re-invention, through the restless, impatient, continuing, hopeful inquiry, human beings pursue in the world, with the world, and with each other. (Freire, 1972:44).

"Pendidikan gaya bank" merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid seperti halnya seorang teman. Dengan model hubungan seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan partisipatoris.
Lebih lanjut Freire menyatakan:
The problem-posing method does not dichotomize the activity of the teacher-student: he is not “cognitive” at one point and “narrative” at another. He is always “cognitive,” whether preparing a project or engaging in dialogue with the students. He does not regard cognizable objects as his private property but as the object of reflection by himself and the students. In this way the problem-posing educator constantly reforms his reflections in the reflection of the students (Freire, 1972:48).

Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable).
Di sinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire mendapati posisinya sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran. Sebab, pada dasarnya manusia itu memiliki “kebebasan” (freedom) dalam memilih dan berbuat, bahkan dalam menentukan nasibnya sendiri. Inilah fitrah manusia yang oleh Freire disebut sebagai the man’s ontological vocation (Freire, 1972:37). Karena kebebasan dalam memilih, mengembangkan potensi adalah fitrah manusia, maka tiap-tiap penindasan yang menafikan potensi manusia oleh Freire dipandang tidak manusiawi. Oleh karena itu ia menggagas bahwa pendidikan adalah "proses" untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). (Freire, 1972:38)
Dalam kondisi sosial kaum terpinggirkan (marginal) terdapat beberapa karakter khas yang kemudian melahirkan persoalan kompleks. Penindasan adalah salah satu di antaranya yakni ketika otoritas penguasa lebih dominan dan mengeksploitasi manusia tanpa adil sedikit pun. Dengan sikap ketakutan dari kaum marginal itulah yang kemudian semakin menciptakan kesenjangan dalam kehidupan sosial. Orang-orang yang terpinggirkan itu kemudian semakin lemah, tidak berdaya atau semakin larut dalam “budaya bisu” (submerged in the culture of silence) (Dhakiri, 2000:57).
Pada level mikro pendidikan, Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan gaya bank, yaitu:
1) the teacher teaches and the students are taught;
2) the teacher knows everything and the students know nothing;
3) the teacher thinks and the students are thought about;
4) the teacher talks and the students listen — meekly;
5) the teacher disciplines and the students are disciplined;
6) the teacher chooses and enforces his choice, and the students comply;
7) the teacher acts and the students have the illusion of acting through the action of the teacher;
8) the teacher chooses the program content, and the students (who were not consulted) adapt to it;
9) the teacher confuses the authority of knowledge with his or her own professional authority, which she and he sets in opposition to the freedom of the students;
10) the teacher is the Subject of the learning process, while the pupils are mere objects. (Freire, 1972:42-43).

Dalam bukunya yang lain, Freire kemudian memberikan beberapa catatan untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran tidak menyerupai gaya bank, yaitu: (a) pembaca harus mengetahui peran dirinya; (b) pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia; (c) kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami; (d) perilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis antar pembaca dan penulis yang refleksinya ditemukan dalam tema teks tersebut; dan (e) perilaku belajar menuntut rasa rendah hati (sense of modesty). (Freire, 2003:31-32)
C. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM TINGKAT MENENGAH
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI KRITIS
Fokus pengembangan Pendidikan Islam pada makalah ini adalah Madrasah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah (MA). Berdasarkan kerangka teoretik tersebut, maka upaya pengembangan Madrasah berdasarkan perspektif Sosiologi Kritis atau Teori Kritis diarahkan pada tiga kategori, yakni kategori makro, messo, dan mikro.
1. Pengembangan Pendidikan Madrasah pada Tingkat Makro
Pengembangan aspek makro Pendidikan Islam mencakup berbagai hubungan antara Pendidikan Islam sebagai suatu institusi dengan institusi-institusi lain seperti ekonomi, politik, stratifikasi sosial, mobilitas sosial, dan institusi sosial lainnya.
a. Pendidikan Islam dan kehidupan ekonomi
Fakta bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang bergelut dengan kemiskinan, menuntut kebijaksanaan penyelenggaraan pendidikan Islam yang menurut Horkheimer dan Adorno mampu membebaskan manusia dari segala belenggu penindasan (Hardiman, 1990:60). Oleh karena itu, pengembangan Pendidikan Islam perlu diarahkan pada upaya:
1) Pemihakan yang nyata terhadap anak-anak kaum mustadz'afîn (kaum lemah).
2) Mengembangkan kebijakan pendidikan yang mampu memberdayakan secara ekonomi.
3) Mengembangkan kebijakan pendidikan yang mampu membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan.
4) Mengembangkan kebijaksanaan pendidikan yang dapat mengarahkan masyarakat memiliki jiwa dan semangat pembebasan kelompok mustadz'afîn.
5) Mengembangkan kesadaran terhadap masyarakat agar bersedia menunaikan ibadah zakat demi terciptanya distribusi kekayaan secara adil.
b. Pendidikan Islam dan kehidupan politik
Dalam perspektif Sosiologi Kritis, situasi politik di berbagai belahan dunia (termasuk di Indonesia) ditandai dengan adanya hegemoni dari penguasa kepada yang dikuasai. Oleh karena itu, Pendidikan Islam mesti diarahkan pada:
1) Penyadaran masyarakat bahwa pada hakikatnya manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, sementara yang membedakannya hanyalah tingkat ketakwaannya.
2) Penyadaran masyarakat tentang pentingnya penghapusan berbagai belenggu, dominasi, dan hegemoni politik.
3) Pengembangan masyarakat agar memiliki apa yang disebut dengan kesadaran kritis, yakni mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya sekaligus mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
4) Penyadaran masyarakat tentang pentingnya jiwa keberpihakan dan pembebasan kelompok-kelompok yang termarginalisasi secara politis.
5) Penyadaran masyarakat tentang pentingnya sikap keberpihakan terhadap kelompok-kelompok minoritas, terutama yang terkait dengan ras, agama, gender, dan kaum mustadz'afîn.
c. Pendidikan Islam dan stratifikasi sosial
Berkenaan dengan stratifikasi sosial yang tercipta baik oleh karena faktor pendidikan, maupun oleh faktor-faktor lainnya, upaya yang mesti dikembangkan di lingkungan Pendidikan Islam adalah bukan menghapuskan stratifikasi sosial yang ada, melainkan menekankan pada pendidikan yang menyadarkan bahwa lapisan-lapisan sosial yang ada tidak saling menindas, tidak menyebabkan lahirnya hegemoni satu lapisan terhadap lapisan yang lain, serta tiadanya saling eksploitasi antara satu lapisan dengan lapisan lainnya. Dengan meminjam konsep Jurgen Haberman tentang konsep emansipatoris (Hardiman, 1990:163), maka pendidikan Islam harus mampu menyebarkan semangat emansipatoris pada semua institusi sosial yang ada.
d. Pendidikan Islam dan mobilitas sosial
Salah satu fungsi Pendidikan Islam dan pendidikan pada umumnya adalah tercipta dan berkembangnya mobilitas sosial secara horizontal. Dalam perspektif Sosiologi Kritis, fungsi pendidikan Islam dalam kaitannya dengan mobilitas sosial diarahkan untuk menyebarkan misi pembebasan ke dalam setiap fungsi-fungsi sosial, baik pada bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Melalui penyebaran misi pembebasan ini, diharapkan pergerakan sosial secara horizontal mengarah pada terciptanya masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dan marginalisasi.
2. Pengembangan Pendidikan Madrasah pada Tingkat Messo
Kategori messo pendidikan Islam, terutama pada tingkat Madrasah Aliyah, dikembangkan untuk menciptakan institusi madrasah yang mampu memberikan inspirasi pembebasan bagi lingkungan sekitarnya. Dengan menggunakan konsep Antonio Gramsci tentang hegemoni (Piliang, 2005), pengembangan Madrasah Aliyah sebagai institusi sekolah diarahkan untuk tidak menjadi hegemonik terhadap komunitas di sekitarnya, serta tidak terhegemoni oleh lingkungannya. Beberapa pemikiran mengenai pengembangan aspek messo institusi Madrasah Aliyah adalah:
a. Mengembangkan lingkungan Madrasah yang terbuka bagi lingkungan masyarakat sekitarnya
b. Mengembangkan lingkungan Madrasah yang mampu menggelorakan semangat egaliter bagi lingkungan sekitarnya
c. Mengembangkan institusi Madrasah yang tidak mendominasi dan hegemonik terhadap lingkungan sekitarnya
d. Mengembangkan kelembagaan Madrasah yang mampu menginspirasi lahirnya sikap keberpihakan kepada kelompok masyarakat marginal di lingkungannya
e. Mengembangkan sistem pengelolaan Madrasah yang ramah dan membela kaum mustadz'afîn di lingkungan sekitarnya.
3. Pengembangan Pendidikan Madrasah pada Tingkat Mikro
Pengembangan pendidikan Madrasah Aliyah pada tingkat mikro berdasarkan Sosiologi Kritis mencakup aspek-aspek pengelolaan kelembagaan, proses pengambilan keputusan, kurikulum, proses pembelajaran, aspek peserta didik, guru, dan hubungan antara murid guru.
a. Pengelolaan kelembagaan
Madrasah sebagai instuitusi pendidikan secara mikro harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Beberapa pemikiran yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan kelembagaan Madrasah Aliyah berdasarkan perspektif Sosiologi Kritis adalah:
1) Pengelolaan Madrasah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip egaliter.
2) Memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin.
3) Memfasilitasi warga madrasahnya untuk belajar terus dan belajar kembali.
4) Mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya.
5) Memberikan tanggungjawab kepada warganya.
6) Mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya.
7) Mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya.
8) Memberikan perhatian yang kuat terhadap kelompok warga Madrasah yang lemah dan termarginalisasi.
9) Mendorong warganya untuk berfikir sistemik, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya,
10) Mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
11) Mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
12) Melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan madrasah.
b. Proses pengambilan keputusan
Dalam perspektif Sosiologi Kritis, proses pengambilan keputusan yang paling tepat dalam mengembangkan Madrasah adalah proses pengambilan keputusan partisipatif (Freire, 1972:48), yaitu proses pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh komponen Madrasah, mulai pimpinan, guru, karyawam, siswa, orang tua, dan stakeholders lainnya.
c. Kurikulum pembelajaran
Selama ini kurikulum sepenuhnya dibuat oleh Pemerintah Pusat. Institusi pendidikan, termasuk Madrasah tidak memiliki hak untuk merumuskan kurikulumnya sendiri. Dalam perspektif Sosiologi Kritis, keterlibatan Pemerintah dalam menyusun dan merumuskan kurikulum tetap masih dimungkinkan, namun demikian, kewenangan Madrasah dalam mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi) kurikulum mesti terbuka luas. Madrasah juga mesti dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, Madrasah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, Madrasah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan aspek kurikulum madrasah berdasarkan perspektif Sosiologi Kritis adalah:
1) Kurikulum semestinya memuat keseimbangan etika, logika, dan estetika.
2) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga siswa dan sumber-sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
3) Kesamaan memperoleh kesempatan (egaliterianisme)
4) Mampu memperkuat identitas diri sebagai makhluk yang merdeka.
5) Responsif terhadap perkembangan abad pengetahuan dan tantangan teknologi informasi dan komunikasi
6) Mampu mengembangkan keterampilan hidup sesuai dengan karakter setiap siswa.
7) Kurikulum harus berpusat pada siswa (student centered)
8) Memberikan muatan bagi pendidikan multikulturalisme.
d. Proses pembelajaran
Proses pembelajaran dalam perspektif Sosiologi Kritis tiada lain merupakan pemberdayaan siswa yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses pembelajaran merupakan pemberdayaan siswa, maka penekanannya bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos).
Selain itu, proses pembelajaran semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban dari pada memiliki jawaban. Karena itu, proses pembelajaran yang lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Proses pembelajaran yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, menumbuhkan sikap dan semangat liberasi atau pembebasan, daya kritis, dan memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
e. Peserta didik
Dalam pandangan Ssosiologi Kritis, peserta didik bukanlah pihak yang selamanya diajari. Paula Freire memang selalu mengkritisi kondisi pendidikan yang selalu menjadikan siswa sebagai makhluk yang selalu diajari sebagai objek (the students are taught) (Freire, 1972:43). Lebih-lebih peserta didik pada tingkat Madrasah Aliyah, yang sudah mulai beranjak menuju kedewasaan, tentu peserta didik tidak dalam situasi sebagai objek belajar.
Dalam rangka pengembangan Madrasah Aliyah ke depan, siswa mestilah dijadikan sebagai pusat pembelajaran (student centered), pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning, dan quantum learning menjadi amat penting.
f. Guru
Selama ini praktik pendidikan di lingkungan Madrasah Aliyah dan juga di sekolah-sekolah lainnya, memandang seorang guru sebagai sosok ‘maha tahu’ yang tidak mungkin salah; sedangkan peserta didik diperlakukan sebagai sosok ‘maha tidak tahu’ yang tidak boleh salah, yang dalam pandangan Freire disebut dengan the teacher knows everything and the students know nothing (Freire, 1972:44) Lalu, kegiatan mengajar dimaknai sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke ‘gelas’ kepala anak yang dianggap ‘kosong’. Karena pandangan seperti itu, maka kegiatan mengajar lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani indoktrinasi. Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud.
Dalam perspektif Sosiologi Kritis, guru perlu mengubah peran dirinya dari peran destroyer menjadi peran facilitator siswa belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya anak selalu aktif menyempurnakan gagasan sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah. Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih anak untuk memiliki keterampilan dan sikap tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan Madrasah Aliyah akan selalu belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat dirinya belajar sepanjang hayat.
g. Hubungan antara murid dengan guru
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian kerangka teoretik, Paula Freire mengidentifikasi beberapa kondisi yang menyebabkan praktik pendidikan tak ubahnya seperti deposit bank, yang menyebabkan peserta didik selalu berada dalam situasi pasif dan sebaliknya guru dipandang pihak yang senantiasa aktif.
Untuk mengembangkan pola hubungan antara guru dan peserta didik dalam perspektif Sosiologi Kritis di bawah ini disajikan tabel perbandingan pola hubungan tersebut berdasarkan pandangan konvensional dengan pandangan Sosiologi Kritis.
Tabel 1
Pola Hubungan Guru-Peserta Didik
Pandangan Konvensional
Pandangan Sosiologi Kritis
Guru mengajar, murid belajar
Guru dan murid sama-sama makhluk yang terus belajar
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru dan murid memiliki kedudukan yang setara dan keduanya saling mengisi dan melengkapi
Guru berpikir, dan murid dipikirkan
Guru dan murid sama-sama berpikir
Guru berbicara, dan murid mendengarkan
Dalam proses pembelajaran guru dan murid memiliki kedudukan yang sama, keduanya kadang-kadang berbicara dan kadang-kadang mendengarkan
Guru mengatur, murid diatur
Kedudukan guru dan murid sama-sama mengatur proses pembelajaran dan diatur oleh aturan yang disepakati oleh keduanya
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
Guru dan murid sama-sama berhak untuk memilih dan menentukan.
Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
Guru dan murid memiliki inisiatif yang sama untuk bertindak
Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
Guru dan murid bersama-sama memilih bahan dan materi pembelajaran
Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalnya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid.
Guru dan murid memiliki kedudukan yang setara, keduanya memiliki tanggungjawab mengembangkan ilmu pengetahuan
Guru adalah subjek proses pembelajaran, murid objeknya
Guru dan murid sama-sama sebagai subjek pembelajaran
Sumber: Diadaptasi dari Paulo Freire (1972:42-43)
D. PENUTUP
Kata kunci pengembangan pendidikan pada tingkat Madrasah Aliyah adalah liberasi atau pemberdayaan, emansipatoris, dan progresif.
Pertama, pendidikan sebagai praktik pemberdayaan, di mana visi pendidikan menjadikan manusia sebagai basis utama atau titik sentral. Untuk itu perlu direkonstruksi secara mendasar tentang kerangka pandang filosofis kita dalam melihat keberadaan manusia. Cara pandang manusia yang bersifat reduktif, sudah waktunya kita tinggalkan dan menggantinya dengan cara pandang lebih mendasar dan yang dapat mempertahankan keutuhan manusia yaitu dengan mengelaborasi konsep tentang manusia Indonesia seutuhnya dalam kerangka pandang tujuan pendidikan nasional yang lebih optimal.
Kedua, pendidikan emansipatoris artinya bagaimana pendidikan bisa membantu peserta didik untuk mampu mengembangkan dan mengenal potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa dan utuh, manusia merdeka sekaligus peduli dan solidar dengan sesama manusia dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang semakin utuh, harmonis, dan integral.
Sasaran pendidikan emansipatoris adalah: (1) mengembangkan manusia eksplorator yang suka mencari dan bertanya bukan hanya pintar untuk menjawab, (2) mengembangkan manusia kreatif yang berjiwa besar, terbuka, dan merdeka, serta tidak pasrah dan berutopia sehat, (3) mengembangkan manusia integral adalah yang sadar dan paham akan multi dimensionalitas kehidupan, pandai membuat pilihan yang benar dan salah. Kesemuanya itu tentunya diarahkan agar pendidikan mampu menciptakan kualitas peserta didik pada tiga ranah kemampuan yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ketiga, pendidikan progresif berarti bahwa proses pendidikan harus mampu memacahkan problem dasar kemanusiaan, seperti penindasan, marginalisasi, eksploitasi, hegemoni, dan kesewenang-wenangan.



DAFTAR PUSTAKA

Adiwikarta, Sudardja (1988). Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Burke, Barry. (1999) 'Antonio Gramsci and Informal Education', The Encyclopedia of Informal Education. http://www.infed.org/thinkers/et-gram.htm. Diakses, 27 Desember 2006.
Craib, Ian (1992). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali Press.
Dhakiri, Muh. Hanif. (2000). Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Jakarta: Djambatan dan Penerbit Pena.
Freire, Paulo (1972). Pedagogy of the Oppressed, translated by Myra Bergman Ramos. New York: Herder and Herder.
__________ (2003). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giroux, Henry A (2003). Pendahuluan. Dalam buku Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gramsci, Antonio (1971). Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart.
Hardiman, Francisco Budi (1990). Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
Kellner, Douglas (2003). Critical Theory and Education: Historical and Metatheoretical Perspectives; dalam Ilan Gur-Ze'ev (Ed.), Critical Theory and Critical Pedagogy Today: Toward a New Critical Language in Education. Haifa: Faculty of Education, University of Haifa.
Kristiawan R. (2005). Mediasi: Fakta Pascahegemoni. http://rkristiawan.blogspot. com/2005/03/mediasi-fakta-pascahegemoni.html. Diakses, 27 Desember 2006.
Parelius, Robert J. and Ann Parelius (1987). Sociology and the Field of Education. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Peters, Michael (2003). Critical Pedagogy and the Future of Critical Theory; dalam Ilan Gur-Ze'ev (Ed.), Critical Theory and Critical Pedagogy Today: Toward a New Critical Language in Education. Haifa: Faculty of Education, University of Haifa.
Piliang, Yasraf Amir (2005). Hiper-realitas Media dan Kebudayaan: Kebenaran dalam Kegalauan Informasi. http://www.forum-rektor.org/artikel.php?hal=4&no=10. Diakses tanggal 26 Desember 2006Wuryanta, AG. Eka Wenats (2006). Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komunikasi. http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html. Diakses tanggal 26 Desember 2006.

1 comment:

roby said...

Salam deui...
Artikel ini juga bermanfaat kangge bahan skripsi saya...hatur nuhun kang...

Salam..

Eboy