Pendahuluan
Dalam pandangan Islam, seorang anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan suci-bersih (fitrah). Tidak ada noda dan dosa yang melekat di dalamnya. Dia akan menjadi orang baik atau jahat, pandai atau bodoh, shalih atau durhaka sangat tergantung kepada orang tua, keluarga dan lingkungannya, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan sosialnya.
كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه
Sejak seorang anak dilahirkan hingga mencapai usia remaja, dia akan mengalami masa-masa perkembangan yang sangat penting, baik perkembangan fisik, perkembangan mental, kepribadian maupun perkembangan pengalaman keagamaan. Pada masa-masa itulah, pengetahuan cognitive anak akan sangat berpengaruh dan menentukan perkembangan sikap (afektif) dan perilaku (psikomotorik) di masa-masa selanjutnya.
Itulah sebabnya pendidikan dipandang dan diyakini sangat penting untuk membimbing, mengarahkan dan melatih anak, agar persepsi-kognitif sang anak dapat dikembangkan ke arah yang positif, tanpa mengganggu dan mengurangi kebutuhannya untuk bermain dan bersenda gurau.
Tentu saja pendidikan yang dimaksud di sini tidak hanya pendidikan sekolah, melainkan juga pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan luar sekolah seperti Madrasah Diniyah, Pondok Pesantren dan lain sebagainya.
Panorama Pendidikan Islam
Sebelum dibicarakan mengenai panorama pendidikan Islam, akan dibahas terlebih dahulu mengenai beberapa panorama pendidikan yang kita ketahui. Selama ini kita mengenal beberapa "panorama" pendidikan. Panorama-panorama pendidikan ini tentu saja memiliki implikasi yang luas terhadap berbagai dimensi pendidikan.
Pertama, mendidik diartikan sebagai upaya mengatur tingkah laku terdidik secara sepihak. Pendidik pula yang menentukan apa yang harus dilakukan terdidik, sehingga kalau berhasil, terdidik sekedar menjadi duplikasi si pendidik. Ia selalu berada dalam bayang-bayang si pendidik, tidak berkemauan, tanpa inisiatif dan tidak bertanggung jawab.
Mendidik dalam arti tingkah laku, dipandang sebagai kegiatan pembiasaan dan reinforcement, teguran, pengulangan, dan ganjaran. Sasarannya hanya sampai kepada mengubah tingkah laku dalam arti molekuler, terbatas pada apa yang dapat dilihat dan diraba. Pribadi seperti itulah yang merupakan hasil bentukan pola kerja stimulus-respon dari kaum behavioris.
Kedua, yang berlawanan dengan pandangan ini mengatakan, bahwa pendidikan sepenuhnya harus berpusat pada terdidik. Si terdidik dipandang sebagai tolok ukur penentu arah tingkah laku, sehingga arah itu sendiri menjadi kabur. Pendidik sekedar penggerak dan penghidup mesin, sedang kemudinya diserahkan kepada terdidik
Ketiga, panorama lain memandang, bahwa pendidik perlu memperhatikan aktifitas si terdidik di samping pendidik harus mengarahkan si terdidik. Ini berarti bahwa tindakan pendidikan merupakan tindakan yang bipolar. Pendidikan seperti ini sering menempatkan pendidik pada posisi yang sulit, karena dia harus memperhitungkan seberapa jauh ia memberi kesempatan kepada terdidik, dan seberapa jauh pula ia harus memberikan arahan dan bimbingan.
Keempat, adapula yang melaksanakan pendidikan berdasarkan impuls yang muncul secara insidental pada si pendidik, sehingga pola maupun arah pendidikan tidak menunjukkan suatu garis yang lurus, dan tidak jelas pula ke mana mau menuju. Pandangan seperti ini mempercayakan perbuatan pendidikan pada gejolak hati dan intuisi yang sulit diperhitungkan dan diperkirakan, kapan akan tiba dan bagaimana corak dan arahnya.
Kelima, tindakan pendidikan semata-mata di dasarkan kepada situasi sosial yang di batasi oleh kesementaraan ruang dan waktu. Segala nilai di gali dari kekinian dan "di sini" semata-mata, sehingga nilai itupun bernilai nisbi belaka.
Lalu bagaimanakah panorama pendidikan islam? Pendidikan islam, mengakui dan bahkan menekankan kemampuan manusia untuk bertanggung jawab. Ia bertopang pada kejelasan norma, memiliki garis lurus yang membimbing pemikiran dan tindakan pendidikan, yang oleh karenanya dapat diketahui dasar, tujuan, dan garis pembimbingnya. Dengan model pendidikan seperti inilah dapat di bangun manusia yang utuh (kaffah) yaitu manusia yang memiliki kesatuan niat, ucap, pikir, prilaku dan tujuan, yang direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah:
1. Taqwimunnufus, yaitu menegakkan jiwa agar tidak terombang-ambing.
2. Tahdzibussuluk, yaitu membersihkan perjalanan hidup dan kehidupan.
3. Tajwidul akhlaq, yaitu memperindah akhlak dan budi pekerti.
4. Merancang bangun pribadi muslim agar menjadi keluarga ummat yang salih.
5. Pembinaan keterampilan tangan.
Keberhasilan kelima tujuan pendidikan Islam tersebut pada akhirnya akan meng-hasilkan خير امة اخرجت للناس (ummat yang terbaik yang dikeluarkan kepada manusia), sehingga mampu berperan sebagai :
* Petunjuk kepada jalan Allah
* Pemimpin dalam kehidupan
* Mengerti bahwa islam adalah agama yang up to date dan ilmiah, bukan agama filsafat yang berdasarkan penalaran yang kosong dari tuntunan wahyu
* Mampu menjadi tauladan bagi anak-anaknya dan generasi penerusnya
* Menampilkan diri sebagai pembuat dan pelaksana garis kebijakan hidup dan kehidupan
* Mampu menyingkapkan tabir diri
* Memiliki pegangan dan nilai hidup yang bersih dan lurus
Untuk mencapai tujuan di atas itu, seorang anak perlu dibekali dengan nilai-nilai keislaman, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Upaya pembekalan ini sedapat mungkin dilakukan sejak anak berusia dini. Pembekalan ilmu dan keterampilan dapat dilakukan dengan mengambil sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang berasal dari tradisi ilmu pengetahuan islam maupun yang berasal dari ilmu pengetahuan "umum". Karena, tradisi keilmuan dan kebudayaan islam sangat kaya, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Quthub dalam bukunya المستقبل لهذاالدين (masa depan untuk islam) :
والحق ان الدين ليس بديلا من العلم والحضارة ولا عدوا للعلم والحضارة انما هو اطار للعلم والحضارة ومحور للعلم والحضارة ومنهج للعلم والحضارة فى حدود اطاره ومحوره الذى يحكم كل شؤن الحياة
"Yang benar, bahwasanya agama (Islam) bukan pengganti ilmu dan kebudayaan bahkan bukan pula musuh ilmu dan kebudayaan. Padahal dinul islam merupakan bingkai ilmu dan kebudayaan dan poros/sumbu untuk ilmu dan kebudayaan, begitu pula sebagai metoda bagi ilmu dan kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang mampu memberi hukum (peraturan) bagi segala masalah kehidupan".
Konsepsi Islam Tentang Guru Pendidikan Anak
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disebutkan beberapa sifat dan sikap seorang guru pendidikan anak yang dalam bahasa arab dikenal dengan murabby.
Pertama, seorang murabby, dalam menghadapi anak selayaknya memiliki sifat dan sikap keibuan dan kebapakan.
كن مربيا بعد ما كنت ابا او اما
"Jadilah pendidik setelah anda mengalami kedudukan sebagai ayah atau ibu"
Kedua, memiliki pengetahuan mengenai manhaj Ilahy yang bersumber pada al-Kitab dan as-Sunnah. Karena, manhaj Ilahy bertujuan untuk membangun peserta didik menjadi شخصية طيبة (pribadi suci) sejak dini, sejak kanak-kanak untuk melahirkan عائلة طيبة (keluarga suci), dan akhirnya قرية طيبة (kampung suci) yang menuju بلدة طيبة (negeri yang suci) disertai ورب غفور (penuh dengan ampun Ilahy).
Untuk membentuk pribadi yang suci maka perlu ditanamkan kalimah thayyibah (kata yang sarwa suci), sebagaimana firman Allah:
الم ترى كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة اصلها ثابت وفرعها فى السماء تؤتى اكلها كل حين باذن ربها
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya "(Q.S. Ibrahim : 24-25) .
Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah berkata:
الكلمة اصل العقيدة فالاعتقاد هو الكلمة التى يعتقدها المرء واطيب الكلام والعقائد كلمة التوحيد واعتقاد ان لااله الاالله
"Kata (yang paling) utama adalah asal akidah, maka i'tikad ialah kata utama yang menjadi pokok akidah seseorang. Dan kalimat serta aqa'id yang paling suci ialah kalimat tauhid, yaitu لااله الاالله (tiada Tuhan kecuali Allah)".
Ketiga, menanamkan pengertian bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia dan segala makhluk yang lainnya. Sebagai ciptaan Allah, jasad manusia tidak terpisah dari ruh, dan akal tidak terpisah dari jasad dan ruh. Konsep inilah yang melandasi pendidikan yang bersifat kaffah, dalam arti antara kebutuhan fisik, kebutuhan ruhani dan kebutuhan intelektualnya seimbang.
Keempat, menggali dan mengembangkan konsep-konsep qur'aniyah sehingga dapat ditemukan petunujuk-petunjuk bagi manusia, termasuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari ayat pertama yang di turunkan yaitu :
اقرأ باسم ربك الذى خلق*خلق الانسان من علق*اقرأ وربك الاكرم*الذى علم بالقلم*علم الانسان مالم يعلم
"Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya". (Q.S. al-'Alaq : 1-5)
Dari ayat tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa Islam sangat mendorong manusia untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dengan melalui membaca, menulis maupun penelitian.
Kelima, kedudukan ilmu dalam Islam adalah untuk hidup seluruhnya dan untuk berkhidmat kepada kemandirian segalanya, bukan sekedar timbunan dan serba rahasia, tetapi untuk disalurkan lagi buahnya, sehingga mereka merasa berbahagia dengan membekasnya ilmu untuk menghubungkannya kepada Allah, dalam kedudukan orang-orang yang mempunyai ilmu hidayah dan ilmu atsar.
Keenam, membaca adalah tangga pertama dari titian ma'rifat, dan alatnya adalah pena, tinta, kertas dan lain-lain.
Ketujuh, tujuan ilmu dan risalahnya harus atas nama Murabby Yang Agung, Yang Maha Pencipta dan Maha Pemberi Ilmu, bukan atas nama haiah jama'ah, negeri, berhala, dan golongan, sebab semuanya karena manusia, bukan karena Allah.
Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa yang mencari ilmu karena hanya untuk kecongkakan ulama dan keren-dahan orang-orang bodoh, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka". (HR. Tirmidzi).
Penutup
Menjadi guru atau murabby di Taman Kanak-kanak atau Raudlatul Athfal bukanlah sesuatu yang mudah dan ringan. Karena ia tidak hanya dituntut untuk memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi dan mendidik anak-anak kecil, tetapi juga dituntut tanggung jawab yang cukup berat.
Maka sudah saatnyalah para guru di Taman Kanak-kanak mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya, mengingat di tangan merekalah anak-anak kita, secara dini dibekali, dilatih dan dirangsang pertumbuhannya, baik fisik, mental maupun ruhaninya.
Monday, July 2, 2007
Konsep Madrasah Nubuwwah
Setiap kali datang bulan Rabi’ul Awwal, umat Islam di berbagai penjuru dunia selalu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sayang sekali, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW itu lebih banyak hanya menonjolkan segi-segi seremonial dan kurang menghayati makna yang terkandung dari kelahiran beliau beserta keberhasilan-keberhasilan beliau dalam menegakkan panji-panji Islam dan membangun jamaah atau masyarakat, khususnya di kota Madinah.
Ulasan mengenai peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW beserta keistimewaan-keistimewaan yang menyertainya telah banyak dilakukan. Dan rasanya tidak lengkap apabila mengulas sejarah Rasulullah SAW tetapi melupakan aspek-aspek yang bersifat substansial, khususnya yang berkenaan dengan perjuangan Rasulullah SAW dalam melakukan dakwah Islamiyah serta proses yang beliau lakukan dalam mendidik umatnya.
Dalam menyebarkan agama Allah (Islam) serta dalam mendidik umatnya, Rasulullah SAW selalu menggunakan sistem dan metode dakwah dan pendidikan yang khas dan berbeda dengan kebanyakan sistem dan metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh agama lain yang mendahuluinya.
Sistem dan metode dakwah Rasulullah SAW serta sistem dan metode pendidikan Nabi SAW (مدرسة النبوة) didasarkan pada sistem dan metode dakwah Al-Qur’an. Konsep dakwah (دعوة) dimaksudkan sebagai upaya menyeru dan mengajak orang untuk memeluk Islam; sedangkan konsep pendidikan (تربـية atau تأديب) dimaksudkan untuk memberikan pengertian, pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang ajaran dan nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya.
Kedua sistem dan metode ini didasarkan pada firman Allah SWT:
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى احسن
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam serta dalam membangun umat dalam jangka waktu 32 tahun itu tidak bisa dilepaskan dari sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang beliau lakukan.
Dalam menyeru dan mengajak orang untuk memasuki dan memeluk agama Allah (Islam) beliau melakukan dengan cara-cara yang penuh dengan kebijakan (دعوة بالحكمة). Beliau tidak pernah memaksa, mengancam atau mengintimidasi seseorang agar bersedia menjadi pemeluk Islam. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para kaisar di Romawi yang memaksa warganya untuk memeluk agama tertentu. Dalam menyebarkan agama yang sesuai dengan agama sang Kaisar, tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Bahkan tidak jarang seseorang yang tidak mau mengikuti agama sang Kaisar, berakhir dengan kematian di tiang gantungan atau mati dengan cara yang sangat memilukan di tengah arena yang penuh dengan binatang singa yang amat ganas. Rasulullah SAW juga tidak mengikuti pola penyebaran agama yang menggunakan kekuasaan dan harta sebagai iming-iming yang menggiurkan.
Beliau menyampaikan kebenaran Ilahy kepada setiap orang dan membebaskan mereka untuk memilih; menerima atau menolak dan mengikuti atau memalingkan diri. Tidak pernah sekalipun dalam sejarah perjuangannya, Rasulullah memaksa orang untuk memasuki ajaran Islam. Kalau pun ada tuduhan para sarjana Barat yang mengatakan bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang (kekerasan dan peperangan), hal itu semata-mata karena kebencian para sarjana Barat, serta perasaan takut yang berlebihan terhadap kejayaan Islam dan umatnya. Sebab tidak sedikit para sarjana Barat yang netral dan bersimpati terhadap umat Islam, yang menentang pendapat dan pemikiran tentang kekerasan dan peperangan sebagai metode penyiaran agama Islam.
Sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah pemberian tauladan yang baik (موعظة الحسنة). Sistem dan metode ini terutama sekali beliau terapkan dalam mendidik para pengikut dan sahabatnya. Dengan sistem dan metode ini, beliau tidak pernah menyuruh atau meminta seseorang kecuali beliau sendiri juga mengerjakannya. Tidak seperti para pemimpin yang berlagak seorang raja, yang bisanya hanya main tunjuk semata; Rasulullah SAW selalu ikut serta bersama para sahabatnya bahu-membahu berjuang menegakkan syi’ar Ilahy. Bahkan tatkala membangun masjid untuk pertama kalinya di kota Madinah, beliau ikut serta bekerja dalam menyediakan batu-batu dan tanah yang diperlukan. Demikian pula ketika penduduk kota Madinah membangun sistem pertahanan parit (khandaq) dalam menghadapi ancaman serangan kaum kafir Quraisy, beliau bersama-sama dengan para penduduk ikut menggali dan mengangkut tanah galian.
Sistem dan metode dakwah ini juga selalu beliau terapkan setiap kali beliau menyampaikan butir-butir wahyu Ilahy kepada para sahabatnya. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an yang khitab-nya ditujukan kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang yang beriman pada khususnya, juga mencakup pribadi Rasulullah SAW. Kalau orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu, seperti shalat, puasa, zakat, haji, menegakkan keadilan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; maka kewajiban tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW. Demikian pula jika orang-orang yang beriman dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW.
Sedangkan sistem dan metode dakwah serta pendidikan ketiga adalah melakukan dialog dengan cara yang lebih baik (مجادلة بالتى هى احسن). Metode ini selalu beliau gunakan dalam melakukan dakwah, terutama jika menghadapi kaum yang beliau pandang memiliki pengetahuan yang lebih baik.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah pada setiap musim haji mengunjungi kemah-kemah jemaah membicarakan masalah agama. Meskipun sebagian mereka tidak menghiraukan pembicaraannya, atau bahkan sebagian lagi menolaknya dengan tegas. Tetapi ada juga dukungan dari suatu kelompok yang tidak diduga-duga sebelumnya. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa suatu saat beliau mengunjungi suatu kemah yang terdiri dari enam atau tujuh orang, yang rupanya berasal dari kota Yatsrib, “Dari suku mana kalian?” tanya Nabi. “Kami dari Khajraj”, jawab mereka. “Sahabat orang-orang Yahudi?” “Ya”. “Kalau begitu, mengapa kalian tidak duduk sebentar, agar aku dapat berbicara dengan kalian?” “Tentu saja!”, sahut mereka. Mereka pun duduk bersama Nabi di mana beliau menjelaskan kepada mereka tentang Tuhan yang sebenarnya dan tentang Islam serta membacakan beberapa ayat al-Qur’an.
Demikianlah Tuhan memberi inayah kepada Islam, bahwa di Yatsrib tinggal orang-orang Yahudi yang memiliki Kitab (Taurat) dan kebijaksanaan, sedang orang-orang Khajraj sendiri masih menganut agama berhala. Sering kali orang-orang Yahudi berperang dengan mereka. Orang-orang Yahudi selalu mengatakan kepada mereka bahwa “Tidak lama lagi akan datang seorang Rasul, kami akan mengikutinya, dan kami akan menang, sedang kamu akan binasa seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”. Dan kini Rasul Tuhan itu sedang berada dan berbicara di hadapan mereka, menyeru mereka mempercayai Tuhan, maka mereka pun berkata satu sama lain: “Ketahuilah, sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut oleh orang Yahudi itu. Untuk apa kita membuang-buang waktu lagi. Mari kita menggabungkan diri sebelum didahului oleh orang-orang Yahudi”. Begitulah lalu mereka masuk Islam dan berkata kepada Rasul: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, tetapi kini kiranya Tuhan akan mempersatukannya dengan perantaraan Anda dan ajaran-ajaran yang kami terima dari Anda”.
Masuknya beberapa orang Khajraj ini jelas sekali merupakan jerih payah beliau untuk selalu mengajak orang melakukan dialog atau diskusi. Dengan memberikan pengertian, pemahaman dan menjawab segala pertanyaan dan keraguan mereka yang diajak dialog, maka keinginan dan simpati akan mengikuti dengan sendirinya. Lebih-lebih jika metode dialog atau diskusi ini dilakukan pada momen-momen yang tepat, seperti yang terjadi dalam dialog antara Rasulullah dengan kaum Khajraj di atas.
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini agaknya sangat tepat untuk kita renungkan bersama, sekaligus mengambil hikmah dan pelajaran-pelajaran penting dari kisah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam, serta dalam membangun masyarakat madani (civil society) di kota Madinah.
Dengan demikian, kalau cita-cita kita bersama untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) di Indonesia ingin berhasil, maka acuan kita tiada lain adalah model dan pola perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat di kota Madinah.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengingatkan kembali pernyataan Imam Malik bin Anas, ulama pendiri mazhab Maliki, sebagai berikut:
لا تصلح هذه الامة الا بما صلح به اولها
“Umat ini tidak akan mencapai kemaslahatan, kecuali dengan sesuatu yang telah memaslahatkan umat terdahulu”.
Ulasan mengenai peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW beserta keistimewaan-keistimewaan yang menyertainya telah banyak dilakukan. Dan rasanya tidak lengkap apabila mengulas sejarah Rasulullah SAW tetapi melupakan aspek-aspek yang bersifat substansial, khususnya yang berkenaan dengan perjuangan Rasulullah SAW dalam melakukan dakwah Islamiyah serta proses yang beliau lakukan dalam mendidik umatnya.
Dalam menyebarkan agama Allah (Islam) serta dalam mendidik umatnya, Rasulullah SAW selalu menggunakan sistem dan metode dakwah dan pendidikan yang khas dan berbeda dengan kebanyakan sistem dan metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh agama lain yang mendahuluinya.
Sistem dan metode dakwah Rasulullah SAW serta sistem dan metode pendidikan Nabi SAW (مدرسة النبوة) didasarkan pada sistem dan metode dakwah Al-Qur’an. Konsep dakwah (دعوة) dimaksudkan sebagai upaya menyeru dan mengajak orang untuk memeluk Islam; sedangkan konsep pendidikan (تربـية atau تأديب) dimaksudkan untuk memberikan pengertian, pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang ajaran dan nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya.
Kedua sistem dan metode ini didasarkan pada firman Allah SWT:
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى احسن
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam serta dalam membangun umat dalam jangka waktu 32 tahun itu tidak bisa dilepaskan dari sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang beliau lakukan.
Dalam menyeru dan mengajak orang untuk memasuki dan memeluk agama Allah (Islam) beliau melakukan dengan cara-cara yang penuh dengan kebijakan (دعوة بالحكمة). Beliau tidak pernah memaksa, mengancam atau mengintimidasi seseorang agar bersedia menjadi pemeluk Islam. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para kaisar di Romawi yang memaksa warganya untuk memeluk agama tertentu. Dalam menyebarkan agama yang sesuai dengan agama sang Kaisar, tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Bahkan tidak jarang seseorang yang tidak mau mengikuti agama sang Kaisar, berakhir dengan kematian di tiang gantungan atau mati dengan cara yang sangat memilukan di tengah arena yang penuh dengan binatang singa yang amat ganas. Rasulullah SAW juga tidak mengikuti pola penyebaran agama yang menggunakan kekuasaan dan harta sebagai iming-iming yang menggiurkan.
Beliau menyampaikan kebenaran Ilahy kepada setiap orang dan membebaskan mereka untuk memilih; menerima atau menolak dan mengikuti atau memalingkan diri. Tidak pernah sekalipun dalam sejarah perjuangannya, Rasulullah memaksa orang untuk memasuki ajaran Islam. Kalau pun ada tuduhan para sarjana Barat yang mengatakan bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang (kekerasan dan peperangan), hal itu semata-mata karena kebencian para sarjana Barat, serta perasaan takut yang berlebihan terhadap kejayaan Islam dan umatnya. Sebab tidak sedikit para sarjana Barat yang netral dan bersimpati terhadap umat Islam, yang menentang pendapat dan pemikiran tentang kekerasan dan peperangan sebagai metode penyiaran agama Islam.
Sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah pemberian tauladan yang baik (موعظة الحسنة). Sistem dan metode ini terutama sekali beliau terapkan dalam mendidik para pengikut dan sahabatnya. Dengan sistem dan metode ini, beliau tidak pernah menyuruh atau meminta seseorang kecuali beliau sendiri juga mengerjakannya. Tidak seperti para pemimpin yang berlagak seorang raja, yang bisanya hanya main tunjuk semata; Rasulullah SAW selalu ikut serta bersama para sahabatnya bahu-membahu berjuang menegakkan syi’ar Ilahy. Bahkan tatkala membangun masjid untuk pertama kalinya di kota Madinah, beliau ikut serta bekerja dalam menyediakan batu-batu dan tanah yang diperlukan. Demikian pula ketika penduduk kota Madinah membangun sistem pertahanan parit (khandaq) dalam menghadapi ancaman serangan kaum kafir Quraisy, beliau bersama-sama dengan para penduduk ikut menggali dan mengangkut tanah galian.
Sistem dan metode dakwah ini juga selalu beliau terapkan setiap kali beliau menyampaikan butir-butir wahyu Ilahy kepada para sahabatnya. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an yang khitab-nya ditujukan kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang yang beriman pada khususnya, juga mencakup pribadi Rasulullah SAW. Kalau orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu, seperti shalat, puasa, zakat, haji, menegakkan keadilan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; maka kewajiban tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW. Demikian pula jika orang-orang yang beriman dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW.
Sedangkan sistem dan metode dakwah serta pendidikan ketiga adalah melakukan dialog dengan cara yang lebih baik (مجادلة بالتى هى احسن). Metode ini selalu beliau gunakan dalam melakukan dakwah, terutama jika menghadapi kaum yang beliau pandang memiliki pengetahuan yang lebih baik.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah pada setiap musim haji mengunjungi kemah-kemah jemaah membicarakan masalah agama. Meskipun sebagian mereka tidak menghiraukan pembicaraannya, atau bahkan sebagian lagi menolaknya dengan tegas. Tetapi ada juga dukungan dari suatu kelompok yang tidak diduga-duga sebelumnya. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa suatu saat beliau mengunjungi suatu kemah yang terdiri dari enam atau tujuh orang, yang rupanya berasal dari kota Yatsrib, “Dari suku mana kalian?” tanya Nabi. “Kami dari Khajraj”, jawab mereka. “Sahabat orang-orang Yahudi?” “Ya”. “Kalau begitu, mengapa kalian tidak duduk sebentar, agar aku dapat berbicara dengan kalian?” “Tentu saja!”, sahut mereka. Mereka pun duduk bersama Nabi di mana beliau menjelaskan kepada mereka tentang Tuhan yang sebenarnya dan tentang Islam serta membacakan beberapa ayat al-Qur’an.
Demikianlah Tuhan memberi inayah kepada Islam, bahwa di Yatsrib tinggal orang-orang Yahudi yang memiliki Kitab (Taurat) dan kebijaksanaan, sedang orang-orang Khajraj sendiri masih menganut agama berhala. Sering kali orang-orang Yahudi berperang dengan mereka. Orang-orang Yahudi selalu mengatakan kepada mereka bahwa “Tidak lama lagi akan datang seorang Rasul, kami akan mengikutinya, dan kami akan menang, sedang kamu akan binasa seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”. Dan kini Rasul Tuhan itu sedang berada dan berbicara di hadapan mereka, menyeru mereka mempercayai Tuhan, maka mereka pun berkata satu sama lain: “Ketahuilah, sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut oleh orang Yahudi itu. Untuk apa kita membuang-buang waktu lagi. Mari kita menggabungkan diri sebelum didahului oleh orang-orang Yahudi”. Begitulah lalu mereka masuk Islam dan berkata kepada Rasul: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, tetapi kini kiranya Tuhan akan mempersatukannya dengan perantaraan Anda dan ajaran-ajaran yang kami terima dari Anda”.
Masuknya beberapa orang Khajraj ini jelas sekali merupakan jerih payah beliau untuk selalu mengajak orang melakukan dialog atau diskusi. Dengan memberikan pengertian, pemahaman dan menjawab segala pertanyaan dan keraguan mereka yang diajak dialog, maka keinginan dan simpati akan mengikuti dengan sendirinya. Lebih-lebih jika metode dialog atau diskusi ini dilakukan pada momen-momen yang tepat, seperti yang terjadi dalam dialog antara Rasulullah dengan kaum Khajraj di atas.
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini agaknya sangat tepat untuk kita renungkan bersama, sekaligus mengambil hikmah dan pelajaran-pelajaran penting dari kisah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam, serta dalam membangun masyarakat madani (civil society) di kota Madinah.
Dengan demikian, kalau cita-cita kita bersama untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) di Indonesia ingin berhasil, maka acuan kita tiada lain adalah model dan pola perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat di kota Madinah.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengingatkan kembali pernyataan Imam Malik bin Anas, ulama pendiri mazhab Maliki, sebagai berikut:
لا تصلح هذه الامة الا بما صلح به اولها
“Umat ini tidak akan mencapai kemaslahatan, kecuali dengan sesuatu yang telah memaslahatkan umat terdahulu”.
Berkorbanlah untuk Kebaikan
Sebentar lagi kita menghadapi Hari Raya Kurban Tahun 1421 H. Pada hari agung yang ditunggu-tunggu oleh para jemaah haji itu, umat Islam ditantang untuk berkorban dengan cara menyembelih hewan tertentu demi menjunjung tinggi solidaritas kepada sesama, terutama kepada mereka yang miskin, papa dan tertindas. Penyembelihan hewan tertentu sesungguhnya merupakan simbol dari pengorbanan yang lebih hakiki, yaitu kesediaan berkorban dalam membela kebenaran; membela dan membantu kaum yang tertindas, miskin dan papa; membela agama Allah dan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul-Nya; dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba membahas tentang pentingnya berbuat baik kepada sesama, yang di dalamnya juga mengandung hakikat kurban, yaitu berkorban demi “kebaikan”.
Kebaikan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan sosial, kini ibarat barang langka yang sulit ditemukan di tengah kita. Yang justru ditemukan adalah kecenderungan semakin kuatnya sifat-sifat egoistik, angkuh, sombong, merasa diri paling benar, perusakan dan kerusuhan. Manusia kita ibarat serigala bagi manusia yang lain, sehingga tega mengorbankan hidup sesamanya (homo homini lupus). Kecenderungan manusia untuk menghancurkan hidup sesamanya melalui ancaman, teror, perusakan, pembunuhan dan lain-lain adalah bukti lemahnya komitmen dan keberpihakan kita pada kebaikan.
Lalu, kemana fitrah kemanusiaan yang sejatinya selalu cenderung kepada yang baik dan mencintai kebaikan? Bukankah Tuhan telah menganugerahi manusia sebagai makhluk hanief yang pada dasarnya menolak kebencian, permusuhan, keburukan, dan kejahatan? Manusia memang memiliki fitrah suci dan watak dasar yang hanief. Fitrah suci dan hanief sesungguhnya tidak pernah hilang dari diri manusia. Hanya saja, manusia tidak selamnya setia kepada fitranya, di samping juga kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, ketidaksetiaan manusia pada fitrahnya serta kelemahan yang dimilikinya kemudian menjadi pintu bagi masuknya kejahatan pada manusia. Meskipun kejahatan lebih disebabkan oleh faktor yang datang dari luar, tetapi karena ia masuk ke dalam diri manusia melalui suatu kualitas yang inheren pada dirinya, yakni kelemahan, maka kejahatan pun bisa jadi menjadi hakikat manusia. Dengan kelemahannya itu, manusia terkadang tidak mampu mengendalikan dirinya. Ia bisa marah, benci, memusuhi, merusak atau membunuh sesamanya. Fitrah suci manusia dan kelemahannya menyebabkan manusia menjadi makhluk unik, yang tidak selamanya benar dan tidak selamanaya salah.
Oleh karena itu, meskipun asal kejadian manusia bersifat fitrah, cenderung untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, tetapi karena manusia juga memiliki kelemahan yang berpotensi melahirkan kejahatan, maka manusia tetap memerlukan petunjuk (huda) dan bimbingan yang datang dari Allah melalui para nabi-Nya. Ketika potensi kejahatan memasuki jiwa manusia dan masyarakat, dan manusia melalui fitrahnya tidak dapat mengusir potensi kejahatan itu, maka manusia harus mencari petunjuk yang bersifat Ilahiyyah. Dalam koteks inilah, kita perlu menggali dan menelusuri petunjuk-petunjuk Ilahi untuk dijadikan sebagai landasan etik-spiritual, sehingga mampu memotivasi setiap manusia untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan serta mengurangi kecenderungan egosentrisnya.
Agama selalu mendorong para pemeluknya untuk selalu bersikap dan berperilaku baik dan mencintai kebaikan. Karena kebaikan adalah salah satu sifat Tuhan:
هُوَ الَّذِى لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ المَلِكُ الْقُدُّوسُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحنَ اللهِ عَمَّايُشْرِكُوْنَ
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allahdari apa yang mereka sekutukan” (Q.S. Al-Hasyr:23).
Karena kebaikan merupakan salah satu sifat Tuhan, maka olah karenanya menjadi tugas setiap manusia untuk selalu berpihak dan mencintai kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَاِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
“Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah:158).
Berbuat baik dan mencintai kebaikan adalah manifestasi dari persaksian kita atas Keesaan Allah. Lebih dari itu, dengan selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan berarti manusia telah membuktikan dirinya sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Bukankah Allah selalu berbuat baik kepada kita dan semua makhluk-Nya dan selalu mencintai orang-orang yang berbuat baik?
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ
“… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Q.S. Luqman:77);
وَاَحْسِنُوا اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلُمحْسِنِيْنَ
“… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah:195).
Petunjuk-petunjuk tersebut idealnya mampu memotivasi dan mendorong manusia pada kebaikan, dan menyingkapkan kembali fitrahnya yang hanief. Sebab hati orang yang beriman akan selalu bergetar dan bertambah keimanannya setiap kali mendengar, membaca dan menelaah petunjuk-etunjuk Ilahi,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيتُهُ زَادَتْهُمْ اِيْمنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (Q.S. Al-Anfal:2).
Bagi yang beriman, ayat-ayat Allah adalah pendorong dan menjadi landasan etik-spiritual untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang beriman, tiada yang lebih penting bagi mereka kecuali (1) menyegerakan berbuat baik:
يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسرِعُوْنَ فِى اْلخَيْرَاتِ وَاُولَئِكَ مِنَ الصّلِحِيْنَ
“Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ali Imran:114);
(2) berlomba-lomba dalam kebajikan:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“… dan berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebajikan....” (Q.S. Al-Baqarah:148);
Dan (3) menolak segala kejahatan dan permusuhan:
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِىَ اَحْسَنُ فَاِذَالَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِىٌّ حَمِيْمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. 41:34).
Sebelum kebencian dan permusuhan pada sebagian masyarakat kita berubah menjadi penyakit menular dan menjangkiti semua orang, kita perlu memperbaiki dan menyempurnakan kualitas keimanan kita kepada Allah. Sebab seseorang dengan kualitas iman yang baik akan kebal atau imun dari penyakit-penyakit sosial, semacam kebencian dan permusuhan. Dan hanya dengan kualitas iman yang baik, seseorang akan selalu mencintai dan berpihak pada kebaikan.
Kita seharusnya mengambil hikmah dari pengorbanan luar biasa besar yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, ketika keduanya memperoleh titah untuk berkorban. Nabi Ibrahim telah merelakan kehilangan anak yang amat dicintainya. Begitu juga Nabi Ismail, beliau telah rela dirinya di korbankan (disembelih) sebagai bukti kepathuhannya kepada Allah SWT.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ قَالَ يبُنَىَّ اِنِّى اَرى فِى المْنَاَمِ اَنِّى اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرى قَالَ يابَتِ اِفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصّبِرِيْنَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash-Shafat : 102).
Begitulah Ismail, seorang anak muda yang sedari dini telah memiliki ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhannya dan orang tuanya. Waktu itu sesungguhnya Ismail tak lebih hanya sebagai anak manusia yang tentu saja memiliki sifat-sifat layaknya seorang manusia. Ia bisa takut, menangis, ingin tetap hidup dan tentu saja tidak mau disembelih, apalagi oleh orang tuanya sendiri. Kalau bukan karena patuh dan taat kepada Allah SWT dan orang tuanya, tentu saja Ismail akan serta-merta menolak dirinya disembelih. Kepatuhan, ketaatan, pasrah kepada Rab-nya, dan ridla akan takdir-Nya telah menjadikan Ibrahim dan Ismail sebagai sosok manusia yang lulus mengikuti ujian-Nya. Suatu ujian yang tidak hanya harus mengorbankan harta dan kekayaan; melainkan nyawa dan anak tercinta.
Berdasarkan kisah sejarah yang melatari disyari’atkannya kurban, yaitu pada masa Ibrahim dan Ismail, maka dapat dikatakan bahwa kurban pada hakikatnya adalah untuk membuktikan kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Allah Rabbul Alamin. Ia juga merupakan ujian atas hamba-Nya. Dengan kurban manusia diuji kesabaran, kerelaan untuk menyisihkan sebagian hartanya, kesediaannya untuk solider terhadap sesama hamba Allah, serta berkorban demi kebaikan, karena kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT adalah suatu kebaikan yang tiada tara.
Dengan demikian di dalam pelaksanaan ibadah kurban terkandung dua dimensi penting, yaitu dimensi Ilahiyah dan insaniyah. Dimensi Ilahiyah erat kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Kesediaan untuk menyediakan hewan ternak tertentu untuk disembelih pada waktu yang telah ditentukan, mengindikasikan hubungan manusia dengan Tuhannya atas dasar kepatuhan, ketaatan, kerelaan (keridlaan), dan kesabaran. Manusia yang telah memiliki kesadaran hubungan Ilahiyah (hablun minallah) yang seperti itu sekaligus juga memiliki kesadaran bahwa harta kekayaan yang dimilikinya semata-mata hanyalah titipan dan amanah dari Rabnya. Ia menyadari bahwa pada hakikatnya kedatangan atau kelahiran dirinya ke dunia tidak membawa dan tidak memiliki apa pun, selain dari titipan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Dimensi insaniyah erat kaitannya dengan hubungan horizontal (hablun minannas) antar sesama manusia, masyarakat dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan kurban, yang dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, menunjukkan bahwa solidaritas sosial perlu dibangun untuk memperkuat dan memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan. Dengan penyembelihan hewan kurban, seseorang menyadari bahwa sikap egois, serakah dan ingin untung sendiri tiada lain hanyalah sifat-sifat yang akan dapat meruntuhkan sendi-sendi bangunan sosial.
Ia pun menyadari bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota masyarakat. Dalam hal ini kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq hanyalah simbol dan cerminan dari betapa pentingnya stiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan bagi terwujudnya kehidupan sosial yang tangguh. Dengan kata lain, kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan selama hari tasyriq, harus pula diikuti dengan kesedian untuk berkorban demi kebaikan, seperti tenggang rasa, tolong-menolong, saling membantu, menghargai perbedaan, toleransi dan lain-lain.
Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat dalam berbagai bentuk pengorbanan, maka ibadah kurban tidak akan memiliki hikmah dan atsar yang sempurna bagi seseorang. Ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak tertentu baru akan memiliki hikmah bagi seseorang dan bagi masyarakat, jika ia diikuti dengan kesediaan berkorban kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua tauladan pembela kebaikan, yang telah membela dan berkorban demi kebaikan, yang dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Bagi kita yang hidup di negeri yang sedang dilanda berbagai pergolakan, seperti konflik etnik-keagamaan dan konflik kepentingan di tingkat elit dan massa, kesediaan untuk berkorban demi kebaikan bersama adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berkorban demi kebaikan, semoga!!
Kebaikan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan sosial, kini ibarat barang langka yang sulit ditemukan di tengah kita. Yang justru ditemukan adalah kecenderungan semakin kuatnya sifat-sifat egoistik, angkuh, sombong, merasa diri paling benar, perusakan dan kerusuhan. Manusia kita ibarat serigala bagi manusia yang lain, sehingga tega mengorbankan hidup sesamanya (homo homini lupus). Kecenderungan manusia untuk menghancurkan hidup sesamanya melalui ancaman, teror, perusakan, pembunuhan dan lain-lain adalah bukti lemahnya komitmen dan keberpihakan kita pada kebaikan.
Lalu, kemana fitrah kemanusiaan yang sejatinya selalu cenderung kepada yang baik dan mencintai kebaikan? Bukankah Tuhan telah menganugerahi manusia sebagai makhluk hanief yang pada dasarnya menolak kebencian, permusuhan, keburukan, dan kejahatan? Manusia memang memiliki fitrah suci dan watak dasar yang hanief. Fitrah suci dan hanief sesungguhnya tidak pernah hilang dari diri manusia. Hanya saja, manusia tidak selamnya setia kepada fitranya, di samping juga kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, ketidaksetiaan manusia pada fitrahnya serta kelemahan yang dimilikinya kemudian menjadi pintu bagi masuknya kejahatan pada manusia. Meskipun kejahatan lebih disebabkan oleh faktor yang datang dari luar, tetapi karena ia masuk ke dalam diri manusia melalui suatu kualitas yang inheren pada dirinya, yakni kelemahan, maka kejahatan pun bisa jadi menjadi hakikat manusia. Dengan kelemahannya itu, manusia terkadang tidak mampu mengendalikan dirinya. Ia bisa marah, benci, memusuhi, merusak atau membunuh sesamanya. Fitrah suci manusia dan kelemahannya menyebabkan manusia menjadi makhluk unik, yang tidak selamanya benar dan tidak selamanaya salah.
Oleh karena itu, meskipun asal kejadian manusia bersifat fitrah, cenderung untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, tetapi karena manusia juga memiliki kelemahan yang berpotensi melahirkan kejahatan, maka manusia tetap memerlukan petunjuk (huda) dan bimbingan yang datang dari Allah melalui para nabi-Nya. Ketika potensi kejahatan memasuki jiwa manusia dan masyarakat, dan manusia melalui fitrahnya tidak dapat mengusir potensi kejahatan itu, maka manusia harus mencari petunjuk yang bersifat Ilahiyyah. Dalam koteks inilah, kita perlu menggali dan menelusuri petunjuk-petunjuk Ilahi untuk dijadikan sebagai landasan etik-spiritual, sehingga mampu memotivasi setiap manusia untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan serta mengurangi kecenderungan egosentrisnya.
Agama selalu mendorong para pemeluknya untuk selalu bersikap dan berperilaku baik dan mencintai kebaikan. Karena kebaikan adalah salah satu sifat Tuhan:
هُوَ الَّذِى لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ المَلِكُ الْقُدُّوسُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحنَ اللهِ عَمَّايُشْرِكُوْنَ
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allahdari apa yang mereka sekutukan” (Q.S. Al-Hasyr:23).
Karena kebaikan merupakan salah satu sifat Tuhan, maka olah karenanya menjadi tugas setiap manusia untuk selalu berpihak dan mencintai kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَاِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
“Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah:158).
Berbuat baik dan mencintai kebaikan adalah manifestasi dari persaksian kita atas Keesaan Allah. Lebih dari itu, dengan selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan berarti manusia telah membuktikan dirinya sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Bukankah Allah selalu berbuat baik kepada kita dan semua makhluk-Nya dan selalu mencintai orang-orang yang berbuat baik?
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ
“… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Q.S. Luqman:77);
وَاَحْسِنُوا اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلُمحْسِنِيْنَ
“… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah:195).
Petunjuk-petunjuk tersebut idealnya mampu memotivasi dan mendorong manusia pada kebaikan, dan menyingkapkan kembali fitrahnya yang hanief. Sebab hati orang yang beriman akan selalu bergetar dan bertambah keimanannya setiap kali mendengar, membaca dan menelaah petunjuk-etunjuk Ilahi,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيتُهُ زَادَتْهُمْ اِيْمنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (Q.S. Al-Anfal:2).
Bagi yang beriman, ayat-ayat Allah adalah pendorong dan menjadi landasan etik-spiritual untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang beriman, tiada yang lebih penting bagi mereka kecuali (1) menyegerakan berbuat baik:
يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسرِعُوْنَ فِى اْلخَيْرَاتِ وَاُولَئِكَ مِنَ الصّلِحِيْنَ
“Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ali Imran:114);
(2) berlomba-lomba dalam kebajikan:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“… dan berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebajikan....” (Q.S. Al-Baqarah:148);
Dan (3) menolak segala kejahatan dan permusuhan:
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِىَ اَحْسَنُ فَاِذَالَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِىٌّ حَمِيْمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. 41:34).
Sebelum kebencian dan permusuhan pada sebagian masyarakat kita berubah menjadi penyakit menular dan menjangkiti semua orang, kita perlu memperbaiki dan menyempurnakan kualitas keimanan kita kepada Allah. Sebab seseorang dengan kualitas iman yang baik akan kebal atau imun dari penyakit-penyakit sosial, semacam kebencian dan permusuhan. Dan hanya dengan kualitas iman yang baik, seseorang akan selalu mencintai dan berpihak pada kebaikan.
Kita seharusnya mengambil hikmah dari pengorbanan luar biasa besar yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, ketika keduanya memperoleh titah untuk berkorban. Nabi Ibrahim telah merelakan kehilangan anak yang amat dicintainya. Begitu juga Nabi Ismail, beliau telah rela dirinya di korbankan (disembelih) sebagai bukti kepathuhannya kepada Allah SWT.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ قَالَ يبُنَىَّ اِنِّى اَرى فِى المْنَاَمِ اَنِّى اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرى قَالَ يابَتِ اِفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصّبِرِيْنَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash-Shafat : 102).
Begitulah Ismail, seorang anak muda yang sedari dini telah memiliki ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhannya dan orang tuanya. Waktu itu sesungguhnya Ismail tak lebih hanya sebagai anak manusia yang tentu saja memiliki sifat-sifat layaknya seorang manusia. Ia bisa takut, menangis, ingin tetap hidup dan tentu saja tidak mau disembelih, apalagi oleh orang tuanya sendiri. Kalau bukan karena patuh dan taat kepada Allah SWT dan orang tuanya, tentu saja Ismail akan serta-merta menolak dirinya disembelih. Kepatuhan, ketaatan, pasrah kepada Rab-nya, dan ridla akan takdir-Nya telah menjadikan Ibrahim dan Ismail sebagai sosok manusia yang lulus mengikuti ujian-Nya. Suatu ujian yang tidak hanya harus mengorbankan harta dan kekayaan; melainkan nyawa dan anak tercinta.
Berdasarkan kisah sejarah yang melatari disyari’atkannya kurban, yaitu pada masa Ibrahim dan Ismail, maka dapat dikatakan bahwa kurban pada hakikatnya adalah untuk membuktikan kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Allah Rabbul Alamin. Ia juga merupakan ujian atas hamba-Nya. Dengan kurban manusia diuji kesabaran, kerelaan untuk menyisihkan sebagian hartanya, kesediaannya untuk solider terhadap sesama hamba Allah, serta berkorban demi kebaikan, karena kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT adalah suatu kebaikan yang tiada tara.
Dengan demikian di dalam pelaksanaan ibadah kurban terkandung dua dimensi penting, yaitu dimensi Ilahiyah dan insaniyah. Dimensi Ilahiyah erat kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Kesediaan untuk menyediakan hewan ternak tertentu untuk disembelih pada waktu yang telah ditentukan, mengindikasikan hubungan manusia dengan Tuhannya atas dasar kepatuhan, ketaatan, kerelaan (keridlaan), dan kesabaran. Manusia yang telah memiliki kesadaran hubungan Ilahiyah (hablun minallah) yang seperti itu sekaligus juga memiliki kesadaran bahwa harta kekayaan yang dimilikinya semata-mata hanyalah titipan dan amanah dari Rabnya. Ia menyadari bahwa pada hakikatnya kedatangan atau kelahiran dirinya ke dunia tidak membawa dan tidak memiliki apa pun, selain dari titipan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Dimensi insaniyah erat kaitannya dengan hubungan horizontal (hablun minannas) antar sesama manusia, masyarakat dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan kurban, yang dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, menunjukkan bahwa solidaritas sosial perlu dibangun untuk memperkuat dan memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan. Dengan penyembelihan hewan kurban, seseorang menyadari bahwa sikap egois, serakah dan ingin untung sendiri tiada lain hanyalah sifat-sifat yang akan dapat meruntuhkan sendi-sendi bangunan sosial.
Ia pun menyadari bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota masyarakat. Dalam hal ini kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq hanyalah simbol dan cerminan dari betapa pentingnya stiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan bagi terwujudnya kehidupan sosial yang tangguh. Dengan kata lain, kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha dan selama hari tasyriq, harus pula diikuti dengan kesedian untuk berkorban demi kebaikan, seperti tenggang rasa, tolong-menolong, saling membantu, menghargai perbedaan, toleransi dan lain-lain.
Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat dalam berbagai bentuk pengorbanan, maka ibadah kurban tidak akan memiliki hikmah dan atsar yang sempurna bagi seseorang. Ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak tertentu baru akan memiliki hikmah bagi seseorang dan bagi masyarakat, jika ia diikuti dengan kesediaan berkorban kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua tauladan pembela kebaikan, yang telah membela dan berkorban demi kebaikan, yang dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Bagi kita yang hidup di negeri yang sedang dilanda berbagai pergolakan, seperti konflik etnik-keagamaan dan konflik kepentingan di tingkat elit dan massa, kesediaan untuk berkorban demi kebaikan bersama adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berkorban demi kebaikan, semoga!!
Wujud Komitmen pada Islam
Umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini tengah menghadapi problem-atika dan tantangan-tantangan yang amat serius. Umat Islam seolah sedang menjadi bulan-bulanan media massa dan propaganda Barat, tak terkecuali umat Islam Indonesia. Tuduhan dan stereotipe Barat dengan media massanya yang tendensius atas Islam dan umatnya belum dan mungkin tidak akan pernah berhenti. Kaum teroris, kaum fundamentalis, gerombolan barbar dan stereotipe lain atas umat Islam selalu mereka tuduhkan. Bahkan ajaran Islam sering dituduh sebagai anti demokrasi, anti-hak asasi manusia, anti kemajuan, kolot, tradisonal dan tuduhan-tuduhan lain yang tidak berdasar.
Dengan kata lain, Islam dan umatnya saat ini sedang dizalimi secara sistematis oleh berbagai kekuatan dunia, mulai dari kekuatan militer, kekuatan ekonomi, kekuatan media massa, serta kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi global. Secara sangat sistematis, kekuatan-kekuatan global tersebut mampu menggiring dan membentuk gambaran, image atau citra serba negatif atas Islam dan umatnya.
Menghadapi kondisi dan situasi yang sangat tidak menguntungkan itu, kita sebagai muslim harus merasa terpanggil untuk maju dan menunjukkan komitmen kita pada ajaran kita sendiri serta pada sesama umat Islam. Tanpa komitmen yang sungguh-sungguh untuk menghadapi berbagai tantangan dan problematika umat tersebut di atas, maka umat Islam akan sulit keluar dari kondisi dan situasi seperti saat ini.
Lalu, komitmen seperti apa yang diharapkan dari umat Islam, sehingga Islam dan umatnya tidak dipandang serba negatif oleh umat-umat yang lain?
Setidaknya ada dua hal yang barangkali relevan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut di atas. Pertama, kita perlu meningkatkan komitmen kita untuk menolong “agama” Allah SWT ini. Kedua, meningkatkan komitmen untuk menolong dan melindungi saudara-saudara kita sesama muslim.
A. Menolong “Agama” Allah
Komitmen untuk menolong “agama” Allah, barangkali lebih tepat disebut sebagai komitmen untuk meninggikan kalimah-kalimah Allah (لاعلاء كلمات الله). Hanya dengan memiliki komitmen untuk meninggikan agama “Allah” inilah, maka Allah SWT akan menolong dan membantu kita.
Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (محمد:7)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad:7)
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيز ٌ(الحج:40)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al-Hajj:40).
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh umat Islam dalam menolong “agama” Allah, di antaranya:
1. Mempelajari secara sungguh-sungguh firman Allah SWT serta Sunnah Rasulullah saw.
2. Melaksanakan dan mengamalkan segala perintah Allah, serta menjauhi segala cegahan dan larangan-Nya.
3. Menyiarkan dan mendakwahkan segala kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya kepada segenap umat manusia, sebagai realisasi dari amar ma’ruf nahy munkar.
4. Menyemarakkan kehidupan masyarakat, khususnya lingkungan kita dengan semarak iman, Islam dan ihsan.
5. Melakukan pembelaan terhadap segala penyimpangan atas ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Dengan melaksanakan komitmen-komitmen tersebut di atas, insya Allah, kita akan memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana dijanjikan di dalam firman-Nya di atas. Setelah kita memperoleh petolongan dan perlindungan-Nya, maka tiada sesuatu pun yang dapat menghina, mencemoohkan, menindas, bahkan mengalahkan kita sekali pun. Inilah janji Allah SWT kepada kita semua:
إِنْ يَنْصُرْكُمْ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلْ الْمُؤْمِنُونَ (ال عمران:160)
“Jika Allah menolong kamu, maka tiadalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kapada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal” (QS Ali Imran: 160).
Kalau sementara ini kita dihina, dicemooh, ditindas dan dijadikan bulan-bulanan oleh kekuatan global, dengan Barat sebagai motor penggeraknya; barangkali karena selama ini kita lalai terhadap ajaran dan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.
Untuk itu, marilah kita berlomab-lomba untuk menolong “agama” Allah, sehingga kita memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya. Karena sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمْ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (البقرة:214)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” (QS Al-Baqarah: 214).
B. Menolong Sesama
Adalah fakta bahwa saat ini umat Islam sedang mengalami banyak sekali masalah dan cobaan. Mereka yang juga saudara kita terhimpit oleh kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, keterpurukan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian dari saudara kita sedang bergelut dengan kelaparan dan kekurangan obat-obatan akibat diembargo oleh PBB (baca: Amareika Serikat dan sekutunya), sebuah lembaga dunia yang konon bertujuan menyejahterakan umat manusia di dunia. Bahkan negara kita sendiri menghadapi ancaman embargo AS, karena terbunuhnya tiga staf UNHCR dalam suatu peristiwa kerusuhan. Tindakan AS yang mengancam kita untuk melakukan embargo hanya karena (tanpa mengecilkan arti) “tiga orang staf UNHCR” yang terbunuh amat sulit dimengerti oleh setiap orang yang berakal sehat. Bukankah, selama ini PBB, khususnya AS seolah menutup mata atas hilangnya ribuan mayat umat Islam yang terbunuh di Ambon, Maluku, Irak, Kosovo, serta di Palestina beberapa hari yang lalu?
Menghadapi berbagai ketidakadilan yang dialami umat Islam, kita perlu menunjukkan komitmen kedua kita, yaitu kesiapan kita untuk menolong sesama umat Islam. Sebab hanya dengan menolong sesama, kita akan memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ *
“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang meringankan kesusahan orang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah atas orang yang susah, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)-nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selalu melindungi hamba-Nya, selama hamba itu melindungi saudaranya”.
Rasulullah juga menyuruh kita untuk menolong orang yang dizalimi, sekaligus menolong orang yang berlaku zalim.
لَا بَأْسَ لِيَنْصُرِ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَإِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نُصْرَةٌ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ *
“Tiada halangan seseorang menolong saudaranya yang zalim atau yang dizalimi. Jika seseorang berbuat zalim, maka cegahlah ia, sebab itulah pertolongan yang dibutuhkannya. Dan jika seseorang dizalimi, maka bantulah ia”
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيَنْصُرِ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَإِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نُصْرَةٌ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ *
“Dari Abu Zubair dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah seseorang menolong sudara yang zalim atau yang dizalimi. Jika seseorang berbuat zalim, maka cegahlah ia, sebab itulah pertolongan yang dibutuhkannya. Dan jika seseorang dizalimi, maka bantulah ia”
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَكُفُّهُ عَنِ الظُّلْمِ فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ
“Dari Anas r.a. Rasulullah saw bersabda: Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi. Kami bertanya, wahai Rasulallah, kami (biasa) menolong orang yang dizalimi, bagaimana cara menolong orang yang zalim? Beliau menjawab, “hentikanlah ia dari perbuatannya yang zalim, maka seperti itulah pertolongan yang dibutuhkan olehnya”.
Mengapa demikian? Karena umat Islam tidak hanya dizalimi oleh orang-orang non-muslim, tetapi juga dizalimi oleh sesamanya yang juga muslim. Orang Islam yang selalu mengejar kepentingan dirinya sendiri, kepentingan politik dan kekuasaan, kepentingan ekonomi, kepentingan kelompok dan kepentingan-kepentingan lainnya; tidak jarang tega menindas dan menzalimi saudara-saudaranya seiman.
Tidak sedikit dari kita yang merasa tidak rela jika agamanya sendiri, umatnya sendiri dan sudara-saudara seimannya sendiri maju dan memiliki kekuatan di bidang politik dan ekonomi. Mereka tidak mau jika umat Islam melaksanakan hukum syari’atnya sendiri. Mereka tidak mau menjalin kerjasama sosial, politik dan ekonomi dengan sesama muslim. Mereka lebih senang mendekati dan menjalin kerjasama dengan “pihak lain”. Mereka itulah yang barangkali tepai dijuluki sebagai “penghalang” (hijab) kemajuan orang-orang Islam.
اَلاِسْلاَمُ مَحْجُوْبٌ بِالْمُسْلِمِيْنَ
Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke dalam golongan mereka. Semoga!
Dengan kata lain, Islam dan umatnya saat ini sedang dizalimi secara sistematis oleh berbagai kekuatan dunia, mulai dari kekuatan militer, kekuatan ekonomi, kekuatan media massa, serta kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi global. Secara sangat sistematis, kekuatan-kekuatan global tersebut mampu menggiring dan membentuk gambaran, image atau citra serba negatif atas Islam dan umatnya.
Menghadapi kondisi dan situasi yang sangat tidak menguntungkan itu, kita sebagai muslim harus merasa terpanggil untuk maju dan menunjukkan komitmen kita pada ajaran kita sendiri serta pada sesama umat Islam. Tanpa komitmen yang sungguh-sungguh untuk menghadapi berbagai tantangan dan problematika umat tersebut di atas, maka umat Islam akan sulit keluar dari kondisi dan situasi seperti saat ini.
Lalu, komitmen seperti apa yang diharapkan dari umat Islam, sehingga Islam dan umatnya tidak dipandang serba negatif oleh umat-umat yang lain?
Setidaknya ada dua hal yang barangkali relevan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut di atas. Pertama, kita perlu meningkatkan komitmen kita untuk menolong “agama” Allah SWT ini. Kedua, meningkatkan komitmen untuk menolong dan melindungi saudara-saudara kita sesama muslim.
A. Menolong “Agama” Allah
Komitmen untuk menolong “agama” Allah, barangkali lebih tepat disebut sebagai komitmen untuk meninggikan kalimah-kalimah Allah (لاعلاء كلمات الله). Hanya dengan memiliki komitmen untuk meninggikan agama “Allah” inilah, maka Allah SWT akan menolong dan membantu kita.
Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (محمد:7)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad:7)
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيز ٌ(الحج:40)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al-Hajj:40).
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh umat Islam dalam menolong “agama” Allah, di antaranya:
1. Mempelajari secara sungguh-sungguh firman Allah SWT serta Sunnah Rasulullah saw.
2. Melaksanakan dan mengamalkan segala perintah Allah, serta menjauhi segala cegahan dan larangan-Nya.
3. Menyiarkan dan mendakwahkan segala kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya kepada segenap umat manusia, sebagai realisasi dari amar ma’ruf nahy munkar.
4. Menyemarakkan kehidupan masyarakat, khususnya lingkungan kita dengan semarak iman, Islam dan ihsan.
5. Melakukan pembelaan terhadap segala penyimpangan atas ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Dengan melaksanakan komitmen-komitmen tersebut di atas, insya Allah, kita akan memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana dijanjikan di dalam firman-Nya di atas. Setelah kita memperoleh petolongan dan perlindungan-Nya, maka tiada sesuatu pun yang dapat menghina, mencemoohkan, menindas, bahkan mengalahkan kita sekali pun. Inilah janji Allah SWT kepada kita semua:
إِنْ يَنْصُرْكُمْ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلْ الْمُؤْمِنُونَ (ال عمران:160)
“Jika Allah menolong kamu, maka tiadalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kapada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal” (QS Ali Imran: 160).
Kalau sementara ini kita dihina, dicemooh, ditindas dan dijadikan bulan-bulanan oleh kekuatan global, dengan Barat sebagai motor penggeraknya; barangkali karena selama ini kita lalai terhadap ajaran dan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.
Untuk itu, marilah kita berlomab-lomba untuk menolong “agama” Allah, sehingga kita memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya. Karena sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمْ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (البقرة:214)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” (QS Al-Baqarah: 214).
B. Menolong Sesama
Adalah fakta bahwa saat ini umat Islam sedang mengalami banyak sekali masalah dan cobaan. Mereka yang juga saudara kita terhimpit oleh kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, keterpurukan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian dari saudara kita sedang bergelut dengan kelaparan dan kekurangan obat-obatan akibat diembargo oleh PBB (baca: Amareika Serikat dan sekutunya), sebuah lembaga dunia yang konon bertujuan menyejahterakan umat manusia di dunia. Bahkan negara kita sendiri menghadapi ancaman embargo AS, karena terbunuhnya tiga staf UNHCR dalam suatu peristiwa kerusuhan. Tindakan AS yang mengancam kita untuk melakukan embargo hanya karena (tanpa mengecilkan arti) “tiga orang staf UNHCR” yang terbunuh amat sulit dimengerti oleh setiap orang yang berakal sehat. Bukankah, selama ini PBB, khususnya AS seolah menutup mata atas hilangnya ribuan mayat umat Islam yang terbunuh di Ambon, Maluku, Irak, Kosovo, serta di Palestina beberapa hari yang lalu?
Menghadapi berbagai ketidakadilan yang dialami umat Islam, kita perlu menunjukkan komitmen kedua kita, yaitu kesiapan kita untuk menolong sesama umat Islam. Sebab hanya dengan menolong sesama, kita akan memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ *
“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang meringankan kesusahan orang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah atas orang yang susah, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)-nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selalu melindungi hamba-Nya, selama hamba itu melindungi saudaranya”.
Rasulullah juga menyuruh kita untuk menolong orang yang dizalimi, sekaligus menolong orang yang berlaku zalim.
لَا بَأْسَ لِيَنْصُرِ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَإِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نُصْرَةٌ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ *
“Tiada halangan seseorang menolong saudaranya yang zalim atau yang dizalimi. Jika seseorang berbuat zalim, maka cegahlah ia, sebab itulah pertolongan yang dibutuhkannya. Dan jika seseorang dizalimi, maka bantulah ia”
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيَنْصُرِ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَإِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نُصْرَةٌ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ *
“Dari Abu Zubair dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah seseorang menolong sudara yang zalim atau yang dizalimi. Jika seseorang berbuat zalim, maka cegahlah ia, sebab itulah pertolongan yang dibutuhkannya. Dan jika seseorang dizalimi, maka bantulah ia”
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَكُفُّهُ عَنِ الظُّلْمِ فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ
“Dari Anas r.a. Rasulullah saw bersabda: Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi. Kami bertanya, wahai Rasulallah, kami (biasa) menolong orang yang dizalimi, bagaimana cara menolong orang yang zalim? Beliau menjawab, “hentikanlah ia dari perbuatannya yang zalim, maka seperti itulah pertolongan yang dibutuhkan olehnya”.
Mengapa demikian? Karena umat Islam tidak hanya dizalimi oleh orang-orang non-muslim, tetapi juga dizalimi oleh sesamanya yang juga muslim. Orang Islam yang selalu mengejar kepentingan dirinya sendiri, kepentingan politik dan kekuasaan, kepentingan ekonomi, kepentingan kelompok dan kepentingan-kepentingan lainnya; tidak jarang tega menindas dan menzalimi saudara-saudaranya seiman.
Tidak sedikit dari kita yang merasa tidak rela jika agamanya sendiri, umatnya sendiri dan sudara-saudara seimannya sendiri maju dan memiliki kekuatan di bidang politik dan ekonomi. Mereka tidak mau jika umat Islam melaksanakan hukum syari’atnya sendiri. Mereka tidak mau menjalin kerjasama sosial, politik dan ekonomi dengan sesama muslim. Mereka lebih senang mendekati dan menjalin kerjasama dengan “pihak lain”. Mereka itulah yang barangkali tepai dijuluki sebagai “penghalang” (hijab) kemajuan orang-orang Islam.
اَلاِسْلاَمُ مَحْجُوْبٌ بِالْمُسْلِمِيْنَ
Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke dalam golongan mereka. Semoga!
Kepemimpinan dan Aklak al-Karimah
Dalam masyarakat tradisional yang cenderung tribal dan budaya politik massa, produk politik melalui proses sesuai aturan yang ada, bisa dimentahkan tirani massa jika merugikan patronnya (pelindung atau penyokong). Sang patron sendiri dengan gagah mencari dasar pembenar kliennya itu dari nilai primordial yang hanya bisa dipahami logikanya sendiri. Dinamika politik di negeri ini, termasuk di daerah kita, bagai potret pertengkaran anak-anak kecil di pinggir jalan yang berebut benar sendiri tanpa kepastian etik-rasional. Pihak yang kepentingannya tak terakomodasi, mengartikannya sebagai kesalahan pihak lain. Politik menjadi cermin kalah-menang dan kuat-lemah, bukan suatu "permainan kompromi" yang bersumber dari akhlak dan tindakan rasional.
Gejala itu muncul di tengah kekerasan dan konflik horizontal, dan klaim-klaim sepihak elite politik di tingkat nasional atau di tingkat daerah tentang fungsi dan hak-haknya. Debat politik seperti tak pernah habis ketika dilakukan tanpa agenda yang jelas dan tujuan terukur. Dinamika politik, konflik dan kekerasan bagai terperangkap dalam suatu lingkaran setan seperti debat anak kecil tentang apa yang paling tinggi di antara langit dan rembulan, apa yang paling dulu ada di antara ayam dan telur. Perilaku politik menjadi sebuah tontonan menarik bagaikan sebuah fragmen ketoprak atau ludruk humor yang sebenarnya berbahaya bagi para penontonnya.
Kelemahan kita yang religius dengan mayoritas penduduk Muslim ini ialah ketidaksediaan melakukan kritik terhadap diri sendiri. Hal ini mungkin berkaitan dengan citra diri dalam kebenaran teologis yang mutlak yang secara otomatis disandang seseorang saat menyatakan diri bertindak atas nama Islam dan atas nama Tuhan. Banyak pihak lalu menjadikan massa sebagai pembenar tindakan dan pengesah kedudukannya yang tak bisa dikritik dan diperdebatkan terbuka. Hal ini menyebabkan kita ini sulit memahami akar penyebab berbagai krisis yang melanda kita sejak beberapa tahun lalu.
Sesudah beberapa tahun reformasi, politik nasional dan keagamaan, memasuki babak baru yang enak ditonton dan diberitakan, namun amat melelahkan. Filsuf bahasa terkemuka, Ludwig Witgenstein menyatakan, ilmu tak lebih sebagai permainan bahasa (language game). Jika permainan bahasa dilakukan dengan aturan dan kriteria jelas, politik di negeri ini sekadar "debat kusir" pembenar diri dan sejumlah konsesi politik (juga ekonomi) yang diklaim sebagai hak sepihak.
Masyarakat pun seperti terpola ke dalam belahan politik yang tak jelas.
Politik yang seharusnya menjadi permainan cantik tentang usaha mencapai kompromi untuk tujuan bersama, berubah menjadi politik adu kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan meyakinkan banyak pihak, berubah menjadi permainan melakukan tirani hukum dan tirani massa. Tanpa keyakinan, politik adalah seni kegagalan mencapai tujuan di suatu ruang waktu, dan seni membuka ruang baru bagi keberhasilan di saat lain, politik akan berubah menjadi adu tinju dan kekerasan atas nama kebenaran sepihak.
Akibatnya sangat mudah ditebak. Perang kekuatan massa menjadi suatu trend tersendiri dalam rangka mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Lalu, dalam menghadapi situasi yang demikian itu, apa yang harus kita kedepankan?
Jawaban terhadap pertanyaan itu sebetulnya mudah, apalagi sebagai Muslim kita memiliki sumber acuan yang mumpuni dan adiluhung. Mengapa kita tidak kembali kepada sumber utama kita yang agung, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Pertama-tama kita seharusnya seharusnya menjadikan orientasi hidup dan objek pengabdian kita hanyalah kepada Allah SWT semata. Kita telah meyakini dan sepakat bahwa kepada Allah SWT-lah orientasi hidup dan tujuan final dari pengabdian kita semua. Oleh karena itu, politik mesti kita jadikan "sarana" atau "instrumen" untuk mencapai tujuan akhir dari hidup ini, yakni Allah SWT.
"Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya," begitu bunyi firman Tuhan. Maka, Allah SWT adalah asal dan tujuan hidup dan kehidupan kita, bahkan seluruh makhluk.
Oleh karenanya, kesadaran akan politik yang tiada lain adalah sarana atau instrumen untuk mengabdi kepada Allah, jelas mengandung arti bahwa, politik yang diekspresikan para politisi, lebih-lebih politisi muslim, mesti berangkat dari komitmennya pada tauhid, kepada Allah. Maka, tujuan yang ingin dicapai pun bukanlah “kekuasaan demi kekuasaan”, atau pencapaian target politik tertentu, melainkan sekadar sarana untuk mencapai tujuan politik yang sebenarnya, yakni pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, politik harus ditegakkan di atas prinsip-prinsip tauhid, takwa dan landasan al-khuluq al-karim. Karena, politik tiada lain adalah instrumen untuk mengembangkan ketakwaan kepada Allah.
Dari sini, tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim menjadi kata kunci utama dalam aktivitas politik Muslim. Jadi, kalau seseorang (politisi) betul-betul mengikuti etika politik yang bersumber dari ketakwaan kepada Allah SWT (takwa), bertauhid tauhid (sikap pasrah akan keesaan Tuhan dalam keseluruhan hidup), dan berlandaskan al-khuluq al-karim, maka akan menghasilkan sikap-sikap luhur dalam berperilaku dan dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, dengan menjadikan paradigma agama (tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim) sebagai bekal politik, maka akan lahir tipe-tipe politisi yang demokratis, yang selalu menghargai tidak saja kawan tetapi juga lawan, yang selalu toleran, yang selalu mengedepankan etika, yang selalu menjunjung tinggi semangat inklusivisme di tengah pluralitas SARA.
Dalam perjuangan menegakkan demokrasi (sosial, ekonomi, maupun politik) misalnya, politisi ini akan berpijak pada kesadaran diri-spiritual yang transenden (Islam, Allah SWT). Ketika demokrasi di Barat kering dari cahaya spiritual-keagamaan, maka model demokrasi yang hendak dikonstruksi oleh politisi semacam ini, mungkin identik apa yang oleh Sir Muhammad Iqbal dinamakan "demokrasi-spiritual," yakni demokrasi yang dijiwai oleh kesadaran spiritual-transenden manusia.
Oleh karena itu, takwa memegang kunci pokok dalam aktivitas politikseorang Muslim. Lalu, bagaimana jiwa dan spirit takwa ini inheren dalam aktivitas politik dan kekuasaan manusia? Prof Dr Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, mengatakan bahwa takwa jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan oleh orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil arti takwa. Maka, Hamka pun menggambarkan aspek yang lebih positif dalam melihat arti takwa. Yakni, dalam takwa itu terkandung sikap-sikap dan perasaan-perasaan positif (seperti cinta, kasih, harap-harap cemas, ridla, sabar dan sebagainya) kepada Allah SWT; di mana kita merasakan kehadiran Allah dalam batin kita, sehingga kita pun selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Tuhan terasa begitu dekat dan ada bersama kita, sebagaimana terefleksikan dalam firman-Nya yang sangat populer: ان الله معنا (sesungguhnya Allah bersama kita).
Itu sebabnya, perasaan takwa itu mempunyai efek yang sangat mendalam, baik secara politik, yaitu pengawasan melekat dalam aktivitas politik kita sehari-hari, maupun efek secara psikologis yang membuat kita menyatu, dan menyelami keterkaitan psikologis kita secara langsung dengan Allah SWT melalui hati, jiwa.
Karenanya, dalam aktivitas politik manusia, takwa bisa dimaknai sebagai God's Consciousness (sebagaimana rumusan Muhammad Asad dalam tafsirnya The Message of the Qur'an), yaitu "kesadaran ketuhanan," yang dalam bahasa Arab, sinonim dengan kesadaran rabbaniyyah. Artinya, segala aktivitas individu -termasuk aktivitas politik- disadari sepenuh hati berada dalam bingkai "kesadaran ketuhanan," di mana Tuhan senantiasa mengawasi segala gerak-gerik kita, di mana pun kita berada. Karena, pada dasarnya "Tuhan adalah Maha Hadir" (omnipresent) dalam keseharian hidup kita, termasuk tentu saja "Maha Hadir" dalam aktivitas politik kita.
Maka, tentu kita (lebih-lebih politisi) dituntut untuk berserah diri secara total di bawah cahaya "kesadaran ketuhanan" itu. Sebagaimana terefleksikan dalam firman Tuhan bahwa,
فاينما تولوا فثم وجه الله
"... Ke mana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah..." (Q.S. Al-Baqarah:115).
Pada surat lain, Allah SWT juga berfirman,
وهو معكم اينما كنتم والله بما تعملون بصير
"Dia (Allah) itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan apa pun yang kamu kerjakan" (Q.S. Al-Hadid:4).
Karenanya, takwa merupakan puncak pengalaman keberagaman, yakni seseorang yang telah menjelma dalam keseharian hidup. Dengan takwa, manusia menyadari bahwa jiwanya perlu dihidupkan kembali dengan pengalaman kehadiran Tuhan.
Dalam Islam, ada yang disebut pesan dasar agama (risalah asasiyah), sebagaimana bunyi Hadits Nabi, al-din al-nashihah. Yakni, agama itu adalah nasihat atau pesan. Pesan dasar agama adalah untuk bertakwa, yakni pesan untuk menghadirkan (kembali) Allah dalam jiwa manusia, yang realisasi konkretnya menjelma dalam aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga, perilaku manusia merupakan refleksi dari cerminan sifat-sifat kebaikan Tuhan, seperti pengampun, pemurah, pengasih, penyayang, pemaaf, dan seterusnya. Masalahnya, bagaimana sifat-sifat kebaikan Tuhan itu bisa kita realisasikan dalam hidup kita sehari-hari, terutama dalam aktivitas politik.
Al-Quran sudah menegaskan bahwa takwa merupakan kriteria paling objektif untuk dasar hubungan antar individu, suku, bangsa, ras, dan agama. Takwa mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan:
فاستبقوا الخيرت
(Q.S. Al-Baqarah:148).
Ini berarti, politik yang dibekali dan dilandasi "semangat ketuhanan" (takwa, tauhid, dan al-khuluq al-karim), akan mendorong politisi untuk berlomba-lomba berbuat keadilan, kebenaran, dan lebih berorientasi kepada kebaikan dan kesejahteraan rakyat luas.
Dalam kehidupan politik sehari-hari, takwa dapat diimplementasikan dan direalisasikan dengan bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan norma-norma akhlak yang baik (al-khuluq al-karim), dengan cara meniru perilaku Rasulullah SAW, para sahabat dan tokoh-tokoh teladan lainnya. Dengan al-khuluq al-karim, kehidupan politik di tingkat nasional maupun di daerah tidak akan centang-perenang, karena masing-masing dari kita terikat dengan norma-norma kebaikan, kesopanan, dan kesantunan; baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun dari tradisi dan budaya kita.
Gejala itu muncul di tengah kekerasan dan konflik horizontal, dan klaim-klaim sepihak elite politik di tingkat nasional atau di tingkat daerah tentang fungsi dan hak-haknya. Debat politik seperti tak pernah habis ketika dilakukan tanpa agenda yang jelas dan tujuan terukur. Dinamika politik, konflik dan kekerasan bagai terperangkap dalam suatu lingkaran setan seperti debat anak kecil tentang apa yang paling tinggi di antara langit dan rembulan, apa yang paling dulu ada di antara ayam dan telur. Perilaku politik menjadi sebuah tontonan menarik bagaikan sebuah fragmen ketoprak atau ludruk humor yang sebenarnya berbahaya bagi para penontonnya.
Kelemahan kita yang religius dengan mayoritas penduduk Muslim ini ialah ketidaksediaan melakukan kritik terhadap diri sendiri. Hal ini mungkin berkaitan dengan citra diri dalam kebenaran teologis yang mutlak yang secara otomatis disandang seseorang saat menyatakan diri bertindak atas nama Islam dan atas nama Tuhan. Banyak pihak lalu menjadikan massa sebagai pembenar tindakan dan pengesah kedudukannya yang tak bisa dikritik dan diperdebatkan terbuka. Hal ini menyebabkan kita ini sulit memahami akar penyebab berbagai krisis yang melanda kita sejak beberapa tahun lalu.
Sesudah beberapa tahun reformasi, politik nasional dan keagamaan, memasuki babak baru yang enak ditonton dan diberitakan, namun amat melelahkan. Filsuf bahasa terkemuka, Ludwig Witgenstein menyatakan, ilmu tak lebih sebagai permainan bahasa (language game). Jika permainan bahasa dilakukan dengan aturan dan kriteria jelas, politik di negeri ini sekadar "debat kusir" pembenar diri dan sejumlah konsesi politik (juga ekonomi) yang diklaim sebagai hak sepihak.
Masyarakat pun seperti terpola ke dalam belahan politik yang tak jelas.
Politik yang seharusnya menjadi permainan cantik tentang usaha mencapai kompromi untuk tujuan bersama, berubah menjadi politik adu kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan meyakinkan banyak pihak, berubah menjadi permainan melakukan tirani hukum dan tirani massa. Tanpa keyakinan, politik adalah seni kegagalan mencapai tujuan di suatu ruang waktu, dan seni membuka ruang baru bagi keberhasilan di saat lain, politik akan berubah menjadi adu tinju dan kekerasan atas nama kebenaran sepihak.
Akibatnya sangat mudah ditebak. Perang kekuatan massa menjadi suatu trend tersendiri dalam rangka mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Lalu, dalam menghadapi situasi yang demikian itu, apa yang harus kita kedepankan?
Jawaban terhadap pertanyaan itu sebetulnya mudah, apalagi sebagai Muslim kita memiliki sumber acuan yang mumpuni dan adiluhung. Mengapa kita tidak kembali kepada sumber utama kita yang agung, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Pertama-tama kita seharusnya seharusnya menjadikan orientasi hidup dan objek pengabdian kita hanyalah kepada Allah SWT semata. Kita telah meyakini dan sepakat bahwa kepada Allah SWT-lah orientasi hidup dan tujuan final dari pengabdian kita semua. Oleh karena itu, politik mesti kita jadikan "sarana" atau "instrumen" untuk mencapai tujuan akhir dari hidup ini, yakni Allah SWT.
"Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya," begitu bunyi firman Tuhan. Maka, Allah SWT adalah asal dan tujuan hidup dan kehidupan kita, bahkan seluruh makhluk.
Oleh karenanya, kesadaran akan politik yang tiada lain adalah sarana atau instrumen untuk mengabdi kepada Allah, jelas mengandung arti bahwa, politik yang diekspresikan para politisi, lebih-lebih politisi muslim, mesti berangkat dari komitmennya pada tauhid, kepada Allah. Maka, tujuan yang ingin dicapai pun bukanlah “kekuasaan demi kekuasaan”, atau pencapaian target politik tertentu, melainkan sekadar sarana untuk mencapai tujuan politik yang sebenarnya, yakni pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, politik harus ditegakkan di atas prinsip-prinsip tauhid, takwa dan landasan al-khuluq al-karim. Karena, politik tiada lain adalah instrumen untuk mengembangkan ketakwaan kepada Allah.
Dari sini, tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim menjadi kata kunci utama dalam aktivitas politik Muslim. Jadi, kalau seseorang (politisi) betul-betul mengikuti etika politik yang bersumber dari ketakwaan kepada Allah SWT (takwa), bertauhid tauhid (sikap pasrah akan keesaan Tuhan dalam keseluruhan hidup), dan berlandaskan al-khuluq al-karim, maka akan menghasilkan sikap-sikap luhur dalam berperilaku dan dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, dengan menjadikan paradigma agama (tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim) sebagai bekal politik, maka akan lahir tipe-tipe politisi yang demokratis, yang selalu menghargai tidak saja kawan tetapi juga lawan, yang selalu toleran, yang selalu mengedepankan etika, yang selalu menjunjung tinggi semangat inklusivisme di tengah pluralitas SARA.
Dalam perjuangan menegakkan demokrasi (sosial, ekonomi, maupun politik) misalnya, politisi ini akan berpijak pada kesadaran diri-spiritual yang transenden (Islam, Allah SWT). Ketika demokrasi di Barat kering dari cahaya spiritual-keagamaan, maka model demokrasi yang hendak dikonstruksi oleh politisi semacam ini, mungkin identik apa yang oleh Sir Muhammad Iqbal dinamakan "demokrasi-spiritual," yakni demokrasi yang dijiwai oleh kesadaran spiritual-transenden manusia.
Oleh karena itu, takwa memegang kunci pokok dalam aktivitas politikseorang Muslim. Lalu, bagaimana jiwa dan spirit takwa ini inheren dalam aktivitas politik dan kekuasaan manusia? Prof Dr Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, mengatakan bahwa takwa jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan oleh orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil arti takwa. Maka, Hamka pun menggambarkan aspek yang lebih positif dalam melihat arti takwa. Yakni, dalam takwa itu terkandung sikap-sikap dan perasaan-perasaan positif (seperti cinta, kasih, harap-harap cemas, ridla, sabar dan sebagainya) kepada Allah SWT; di mana kita merasakan kehadiran Allah dalam batin kita, sehingga kita pun selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Tuhan terasa begitu dekat dan ada bersama kita, sebagaimana terefleksikan dalam firman-Nya yang sangat populer: ان الله معنا (sesungguhnya Allah bersama kita).
Itu sebabnya, perasaan takwa itu mempunyai efek yang sangat mendalam, baik secara politik, yaitu pengawasan melekat dalam aktivitas politik kita sehari-hari, maupun efek secara psikologis yang membuat kita menyatu, dan menyelami keterkaitan psikologis kita secara langsung dengan Allah SWT melalui hati, jiwa.
Karenanya, dalam aktivitas politik manusia, takwa bisa dimaknai sebagai God's Consciousness (sebagaimana rumusan Muhammad Asad dalam tafsirnya The Message of the Qur'an), yaitu "kesadaran ketuhanan," yang dalam bahasa Arab, sinonim dengan kesadaran rabbaniyyah. Artinya, segala aktivitas individu -termasuk aktivitas politik- disadari sepenuh hati berada dalam bingkai "kesadaran ketuhanan," di mana Tuhan senantiasa mengawasi segala gerak-gerik kita, di mana pun kita berada. Karena, pada dasarnya "Tuhan adalah Maha Hadir" (omnipresent) dalam keseharian hidup kita, termasuk tentu saja "Maha Hadir" dalam aktivitas politik kita.
Maka, tentu kita (lebih-lebih politisi) dituntut untuk berserah diri secara total di bawah cahaya "kesadaran ketuhanan" itu. Sebagaimana terefleksikan dalam firman Tuhan bahwa,
فاينما تولوا فثم وجه الله
"... Ke mana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah..." (Q.S. Al-Baqarah:115).
Pada surat lain, Allah SWT juga berfirman,
وهو معكم اينما كنتم والله بما تعملون بصير
"Dia (Allah) itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan apa pun yang kamu kerjakan" (Q.S. Al-Hadid:4).
Karenanya, takwa merupakan puncak pengalaman keberagaman, yakni seseorang yang telah menjelma dalam keseharian hidup. Dengan takwa, manusia menyadari bahwa jiwanya perlu dihidupkan kembali dengan pengalaman kehadiran Tuhan.
Dalam Islam, ada yang disebut pesan dasar agama (risalah asasiyah), sebagaimana bunyi Hadits Nabi, al-din al-nashihah. Yakni, agama itu adalah nasihat atau pesan. Pesan dasar agama adalah untuk bertakwa, yakni pesan untuk menghadirkan (kembali) Allah dalam jiwa manusia, yang realisasi konkretnya menjelma dalam aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga, perilaku manusia merupakan refleksi dari cerminan sifat-sifat kebaikan Tuhan, seperti pengampun, pemurah, pengasih, penyayang, pemaaf, dan seterusnya. Masalahnya, bagaimana sifat-sifat kebaikan Tuhan itu bisa kita realisasikan dalam hidup kita sehari-hari, terutama dalam aktivitas politik.
Al-Quran sudah menegaskan bahwa takwa merupakan kriteria paling objektif untuk dasar hubungan antar individu, suku, bangsa, ras, dan agama. Takwa mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan:
فاستبقوا الخيرت
(Q.S. Al-Baqarah:148).
Ini berarti, politik yang dibekali dan dilandasi "semangat ketuhanan" (takwa, tauhid, dan al-khuluq al-karim), akan mendorong politisi untuk berlomba-lomba berbuat keadilan, kebenaran, dan lebih berorientasi kepada kebaikan dan kesejahteraan rakyat luas.
Dalam kehidupan politik sehari-hari, takwa dapat diimplementasikan dan direalisasikan dengan bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan norma-norma akhlak yang baik (al-khuluq al-karim), dengan cara meniru perilaku Rasulullah SAW, para sahabat dan tokoh-tokoh teladan lainnya. Dengan al-khuluq al-karim, kehidupan politik di tingkat nasional maupun di daerah tidak akan centang-perenang, karena masing-masing dari kita terikat dengan norma-norma kebaikan, kesopanan, dan kesantunan; baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun dari tradisi dan budaya kita.
Islam dan Kerukunan Beragama
Pendahuluan
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang agama. Gagasan ini muncul, terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian yang memperlihatkan gejala meruncingnya hubungan antar umat beragama. Gejala ini terlihat kentara pada beberapa waktu yang lalu, misalnya kasus Tasikmalaya, Situbondo, Pandeglang, Ujungpandang dan lain-lain. Atas dasar peristiwa-peristiwa tersebut, serta peristiwa-peristiwa lain yang mendahuluinya di tahun-tahun yang telah lampau, maka dipandang sangat penting untuk membina kerukunan hidup beragama.
Gagasan mengenai pentingnya membina kerukunan hidup beragama ini dilontarkan pertama kali pada tahun 1971 oleh Bapak Prof. Dr. Mukti Ali (Menteri Agama pada waktu itu). Pada saat itu beliau melontarkan gagasan dialog pemuka agama, sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu forum percakapan bebas dan terus-terang, di mana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Sejak itu kegiatan dialog diprogramkan dan merupakan program utama dari Proyek Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama.
Secara umum, kehidupan dan pergaulan umat berbagai agama tampak rukun. Akan tetapi hal ini tidak berarti tidak pernah terjadi ketegangan atau persinggungan satu sama lain. Ketegangan dan persinggungan itu wajar dalam suatu masyarakat yang heterogen. Sebab bagaimanapun juga, dalam masyarakat majemuk mesti terdapat persaingan, dan justru dalam persaingan itu terdapat dinamika.
Walaupun ketegangan dan persinggungan itu bisa dianggap wajar, namun suatu ketika bisa terjadi peruncingan yang tak terkendalikan. Kemungkinan peruncingan itu bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, masalah penyebaran agama, warisan penjajahan serta masalah-masalah kompleks mayoritas dan minoritas.
Penyebaran agama (dalam Islam dikenal dengan istilah dakwah) adalah hal yang wajar dan semestinya. Bahkan para pemeluknya menanggung kewajiban untuk melakukan penyebaran itu. Oleh karena itu adalah sangat kodrati apabila orang yang beragama merasa terpanggil untuk menyelamatkan orang lain lewat ajakan memeluk agama yang diyakini sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Ini berarti bahwa pada dasarnya penyebaran agama adalah berdasarkan motivasi yang sangat luhur, yakni mengajak orang menuju keselamatan.
Ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama timbul, apabila cara-cara yang dipergunakan dalam penyebaran itu dirasakan sebagai kurang wajar. Adanya penyebaran agama yang mendatangi rumah demi rumah penganut agama lain; ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan yang bersifat kecaman terhadap ajaran agama lain; memberikan santunan, berupa beras, mie instant, pakaian dan lain-lain, kepada penganut agama lain; serta cara-cara lain yang dipandang kurang wajar, tentu dapat menyebabkan terjadinya ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama.
Ketegangan hubungan antar umat berbagai agama, khususnya Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik) amat terasa pada beberapa waktu yang lalu. Hal ini terutama berkisar pada issue pengkristenan (kristenisasi) yang tumbuh di kalangan umat Islam, serta issue-issue lain yang menyebabkan munculnya ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama.
Menghadapi masalah-masalah di atas, bagaimanakah konsepsi Islam tentang kerukunan hidup beragama? Bagaimana pula sikap Islam terhadap agama-gama lain? Untuk menjawab masalah-masalah tersebut, penulis mencoba membahasnya dalam makalah yang sederhana ini.
Konsepsi Islam Tentang Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan hidup beragama adalah suasana di mana manusia secara individu atau secara kelompok yang satu dengan yang lainnya terjalin rasa kebersamaan dan kerukunan tanpa terhalang oleh perbedaan yang bersifat keagamaan. Dalam hal ini, kita mengenal tiga bentuk kerukunan hidup beragama, yaitu Pertama, kerukunan hidup intern umat beragama. Kedua, kerukunan hidup antar umat beragama. Ketiga, Kerukunan hidup antar umat beragama dengan pemerintah.
Dalam ajaran Islam, kerukunan hidup intern umat beragama bertujuan untuk membangun dan membina Ukhuwwah Islamiyyah dan kemajuan di segala bidang. Mengenai sikap hidup seorang muslim telah dijelaskan dalam al-Qur'an, di mana antar sesama muslim hendaklah saling sayang-menyayangi dan terhadap orang kafir haruslah bersikap tegas dan konsisten. Firman Allah SWT:
محمد رسول الله والذين معه اشداء على الكفار رحماء بينهم
"Muhammad itu utusan Allah, dan orang bersama dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..." (Q.S. Al-Fath : 29).
Mengenai kerukunan hidup antar umat beragama, dalam ajaran Islam ditekankan agar ukhuwwah insaniyyah dapat dibangun dan diwujudkan. Hal ini dilandasi oleh suatu komitmen ajaran Islam, tentang larangan pemaksaan dalam menganut suatu agama. Firman Allah SWT:
لا اكراه فىالدين
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)" (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Sedangkan mengenai kerukunan umat beragama dengan pemerintah, bertujuan untuk memudahkan pembangunan di segala bidang dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Juga untuk menghindari adanya kebijaksanaan atau pembangunan yang dapat merugikan atau tidak sejalan dengan nilai atau ajaran suatu agama. Sabda Rasulullah SAW:
صنفان من الناس اذا صلحا صلح الناس واذا فسدا فسد الناس: العلماء والامراء
"Dua macam dari manusia apabila mereka kedua itu baik, maka baiklah semua manusia dan apabila mereka kedua itu rusak, maka rusaklah semua manusia, yaitu ulama (ahli agama) dan umara (pejabat pemerintahan)" (H.R. Ibn Abdul Barra').
Selain konsep-konsep yang sangat mendasar tersebut, ajaran Islam juga menganjurkan beberapa hal yang berkenaan dengan upaya menciptakan kerukunan hidup beragama, yaitu :
Pertama, untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera, maka kerukunan hidup intern umat beragama; antar umat beragama; dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah perlu diwujudkan.
يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal" (Q.S. Al-Hujurat : 13).
Kedua, Allah tidak melarang kepada kaum muslimin untuk berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan dan tolong-menolong kepada orang kafir, selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan umat Islam. Hal ini menandakan adanya sikap toleran dari kaum muslimin terhadap umat beragama lain. Firman Allah :
لاينهكم الله عن الذين لم يقتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطوا اليهم
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu" (Q.S. Al-Mumtahinah : 8).
Bahkan Rasulullah sendiri melarang umat Islam mengganggu ketenteraman orang kafir dzimmy sekalipun. Beliau bersabda :
من اذى ذميا فقد اذانى ومن اذانى فقد اذىالله
"Barang siapa mengganggu seorang kafir dzimmy, maka suangguh ia telah menggangguku dan barang siapa menggangguku, maka sungguh ia telah mengganggu Allah". (H.R. Thabrany).
Ketiga, kerukunan antar umat beragama tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Sikap toleran dalam Islam telah dijelaskan batasan-batasannya, yaitu antara lain, tidak boleh ada sikap toleran antara orang Islam dengan orang kafir dalam soal iman dan ibadah. Firman Allah :
لكم دينكم ولى دين
"Untukmulah agamu dan untukkulah agamaku" (Q.S. Al-Kafirun : 6).
لنا اعمالنا ولكم اعمالكم
"Bagi kami amalan kami, nagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati". (Q.S. Al-Baqarah : 131).
Keempat, kerukunan hidup intern umat beragama atau antar individu demi ukhuwwah Islamiyyah sangat dianjurkan. Firman Allah :
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفوقوا
"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah. Dan janganlah kamu bercerai-berai" (Q.S. Ali Imran : 103).
Kelima, kerukunan hidup antar umat beragama dengan pemerintah, berarti juga adanya saling kerja sama dan saling memberi. Pihak pemerintah memberikan hak dan kewajibannya kepada umat beragama (masyarakat) demikian pula dari masyarakat harus memberikan kewajibannya, berupa taat dan patuh kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah. Firman Allah :
يايها الذين امنوا اطيعواالله واطيعواالرسول واولىالامر منكم
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu" (Q.S. An-Nisa : 59).
Kepatuhan umat kepada pemimpin, penguasa atau pemerintah itu diharuskan, selama kebijaksanaan, perintah atau keputusan yang ditetapkannya tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur'an. Sabda Nabi :
لاطاعة لمخلوق فى معصية الخالق
"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiyat kepada Khalik (Allah)" (H.R. Ahmad).
Penutup
Dengan terjalinnya kerukunan hidup beragama, maka sekat-sekat sosial yang sering menghambat bahkan meruntuhkan proses pembangunan dapat dihindari. Oleh karena itu, maka kerukunan hidup beragama merupakan modal yang sangat penting dalam membangun masa depan bersama.
Sebaliknya, jika ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama terus terjadi, maka kesempatan kita untuk membangun akan hilang sia-sia. Bahkan, ketegangan dan peruncingan itu dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai bersama.
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang agama. Gagasan ini muncul, terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian yang memperlihatkan gejala meruncingnya hubungan antar umat beragama. Gejala ini terlihat kentara pada beberapa waktu yang lalu, misalnya kasus Tasikmalaya, Situbondo, Pandeglang, Ujungpandang dan lain-lain. Atas dasar peristiwa-peristiwa tersebut, serta peristiwa-peristiwa lain yang mendahuluinya di tahun-tahun yang telah lampau, maka dipandang sangat penting untuk membina kerukunan hidup beragama.
Gagasan mengenai pentingnya membina kerukunan hidup beragama ini dilontarkan pertama kali pada tahun 1971 oleh Bapak Prof. Dr. Mukti Ali (Menteri Agama pada waktu itu). Pada saat itu beliau melontarkan gagasan dialog pemuka agama, sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu forum percakapan bebas dan terus-terang, di mana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Sejak itu kegiatan dialog diprogramkan dan merupakan program utama dari Proyek Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama.
Secara umum, kehidupan dan pergaulan umat berbagai agama tampak rukun. Akan tetapi hal ini tidak berarti tidak pernah terjadi ketegangan atau persinggungan satu sama lain. Ketegangan dan persinggungan itu wajar dalam suatu masyarakat yang heterogen. Sebab bagaimanapun juga, dalam masyarakat majemuk mesti terdapat persaingan, dan justru dalam persaingan itu terdapat dinamika.
Walaupun ketegangan dan persinggungan itu bisa dianggap wajar, namun suatu ketika bisa terjadi peruncingan yang tak terkendalikan. Kemungkinan peruncingan itu bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, masalah penyebaran agama, warisan penjajahan serta masalah-masalah kompleks mayoritas dan minoritas.
Penyebaran agama (dalam Islam dikenal dengan istilah dakwah) adalah hal yang wajar dan semestinya. Bahkan para pemeluknya menanggung kewajiban untuk melakukan penyebaran itu. Oleh karena itu adalah sangat kodrati apabila orang yang beragama merasa terpanggil untuk menyelamatkan orang lain lewat ajakan memeluk agama yang diyakini sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Ini berarti bahwa pada dasarnya penyebaran agama adalah berdasarkan motivasi yang sangat luhur, yakni mengajak orang menuju keselamatan.
Ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama timbul, apabila cara-cara yang dipergunakan dalam penyebaran itu dirasakan sebagai kurang wajar. Adanya penyebaran agama yang mendatangi rumah demi rumah penganut agama lain; ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan yang bersifat kecaman terhadap ajaran agama lain; memberikan santunan, berupa beras, mie instant, pakaian dan lain-lain, kepada penganut agama lain; serta cara-cara lain yang dipandang kurang wajar, tentu dapat menyebabkan terjadinya ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama.
Ketegangan hubungan antar umat berbagai agama, khususnya Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik) amat terasa pada beberapa waktu yang lalu. Hal ini terutama berkisar pada issue pengkristenan (kristenisasi) yang tumbuh di kalangan umat Islam, serta issue-issue lain yang menyebabkan munculnya ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama.
Menghadapi masalah-masalah di atas, bagaimanakah konsepsi Islam tentang kerukunan hidup beragama? Bagaimana pula sikap Islam terhadap agama-gama lain? Untuk menjawab masalah-masalah tersebut, penulis mencoba membahasnya dalam makalah yang sederhana ini.
Konsepsi Islam Tentang Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan hidup beragama adalah suasana di mana manusia secara individu atau secara kelompok yang satu dengan yang lainnya terjalin rasa kebersamaan dan kerukunan tanpa terhalang oleh perbedaan yang bersifat keagamaan. Dalam hal ini, kita mengenal tiga bentuk kerukunan hidup beragama, yaitu Pertama, kerukunan hidup intern umat beragama. Kedua, kerukunan hidup antar umat beragama. Ketiga, Kerukunan hidup antar umat beragama dengan pemerintah.
Dalam ajaran Islam, kerukunan hidup intern umat beragama bertujuan untuk membangun dan membina Ukhuwwah Islamiyyah dan kemajuan di segala bidang. Mengenai sikap hidup seorang muslim telah dijelaskan dalam al-Qur'an, di mana antar sesama muslim hendaklah saling sayang-menyayangi dan terhadap orang kafir haruslah bersikap tegas dan konsisten. Firman Allah SWT:
محمد رسول الله والذين معه اشداء على الكفار رحماء بينهم
"Muhammad itu utusan Allah, dan orang bersama dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..." (Q.S. Al-Fath : 29).
Mengenai kerukunan hidup antar umat beragama, dalam ajaran Islam ditekankan agar ukhuwwah insaniyyah dapat dibangun dan diwujudkan. Hal ini dilandasi oleh suatu komitmen ajaran Islam, tentang larangan pemaksaan dalam menganut suatu agama. Firman Allah SWT:
لا اكراه فىالدين
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)" (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Sedangkan mengenai kerukunan umat beragama dengan pemerintah, bertujuan untuk memudahkan pembangunan di segala bidang dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Juga untuk menghindari adanya kebijaksanaan atau pembangunan yang dapat merugikan atau tidak sejalan dengan nilai atau ajaran suatu agama. Sabda Rasulullah SAW:
صنفان من الناس اذا صلحا صلح الناس واذا فسدا فسد الناس: العلماء والامراء
"Dua macam dari manusia apabila mereka kedua itu baik, maka baiklah semua manusia dan apabila mereka kedua itu rusak, maka rusaklah semua manusia, yaitu ulama (ahli agama) dan umara (pejabat pemerintahan)" (H.R. Ibn Abdul Barra').
Selain konsep-konsep yang sangat mendasar tersebut, ajaran Islam juga menganjurkan beberapa hal yang berkenaan dengan upaya menciptakan kerukunan hidup beragama, yaitu :
Pertama, untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera, maka kerukunan hidup intern umat beragama; antar umat beragama; dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah perlu diwujudkan.
يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal" (Q.S. Al-Hujurat : 13).
Kedua, Allah tidak melarang kepada kaum muslimin untuk berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan dan tolong-menolong kepada orang kafir, selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan umat Islam. Hal ini menandakan adanya sikap toleran dari kaum muslimin terhadap umat beragama lain. Firman Allah :
لاينهكم الله عن الذين لم يقتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطوا اليهم
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu" (Q.S. Al-Mumtahinah : 8).
Bahkan Rasulullah sendiri melarang umat Islam mengganggu ketenteraman orang kafir dzimmy sekalipun. Beliau bersabda :
من اذى ذميا فقد اذانى ومن اذانى فقد اذىالله
"Barang siapa mengganggu seorang kafir dzimmy, maka suangguh ia telah menggangguku dan barang siapa menggangguku, maka sungguh ia telah mengganggu Allah". (H.R. Thabrany).
Ketiga, kerukunan antar umat beragama tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Sikap toleran dalam Islam telah dijelaskan batasan-batasannya, yaitu antara lain, tidak boleh ada sikap toleran antara orang Islam dengan orang kafir dalam soal iman dan ibadah. Firman Allah :
لكم دينكم ولى دين
"Untukmulah agamu dan untukkulah agamaku" (Q.S. Al-Kafirun : 6).
لنا اعمالنا ولكم اعمالكم
"Bagi kami amalan kami, nagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati". (Q.S. Al-Baqarah : 131).
Keempat, kerukunan hidup intern umat beragama atau antar individu demi ukhuwwah Islamiyyah sangat dianjurkan. Firman Allah :
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفوقوا
"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah. Dan janganlah kamu bercerai-berai" (Q.S. Ali Imran : 103).
Kelima, kerukunan hidup antar umat beragama dengan pemerintah, berarti juga adanya saling kerja sama dan saling memberi. Pihak pemerintah memberikan hak dan kewajibannya kepada umat beragama (masyarakat) demikian pula dari masyarakat harus memberikan kewajibannya, berupa taat dan patuh kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah. Firman Allah :
يايها الذين امنوا اطيعواالله واطيعواالرسول واولىالامر منكم
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu" (Q.S. An-Nisa : 59).
Kepatuhan umat kepada pemimpin, penguasa atau pemerintah itu diharuskan, selama kebijaksanaan, perintah atau keputusan yang ditetapkannya tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur'an. Sabda Nabi :
لاطاعة لمخلوق فى معصية الخالق
"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiyat kepada Khalik (Allah)" (H.R. Ahmad).
Penutup
Dengan terjalinnya kerukunan hidup beragama, maka sekat-sekat sosial yang sering menghambat bahkan meruntuhkan proses pembangunan dapat dihindari. Oleh karena itu, maka kerukunan hidup beragama merupakan modal yang sangat penting dalam membangun masa depan bersama.
Sebaliknya, jika ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama terus terjadi, maka kesempatan kita untuk membangun akan hilang sia-sia. Bahkan, ketegangan dan peruncingan itu dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai bersama.
Kembali kepada Nilai-nilai Islam
Ketika beberapa waktu yang lampau Bapak Prof. K.H. Ali Yafie (Ketua Umum MUI Pusat waktu itu) berkunjung ke Kabupaten Ciamis dan sempat singgah di Pondok Pesantren Darussalam, beliau merasa sangat yakin bahwa krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia yang sampai saat ini di awal tahun 2001 masih mendera kita, tiada lain disebabkan dan berawal dari krisis moral dan etika yang melanda negeri ini. Beliau sangat percaya bahwa krisis ekonomi, sosial, dan politik di negeri dengan mayoritas penduduk muslim ini berpangkal dari lunturnya tata nilai moral dan etika yang seharusnya memandu dan menjadi acuan kita dalam bersikap, berperilaku dan bertindak sehari-hari. Akibat dari krisis multidimensional itu, masyarakat kita seolah kehilangan pegangan dan acuan moral dan etik.
Para pengamat biasa menyebut bahwa kondisi dan situasi masyarakat kita sedang mengalami periode transisi yang biasa ditandai dengan munculnya gejala anomi-anomi sosial, di mana tata nilai lama semakin ditinggalkan masyarakat, tetapi tata nilai baru yang mereka harapkan belum terbentuk. Maka, banyak di antara anggota masyarakat kita yang kehilangan pegangan dan acuan moral dan etik. Kondisi yang sesungguhnya sudah sangat rawan ini masih diperparah oleh lemahnya upaya penegakkan hukum di tengah masyarakat.
Atas dasar itu, barangkali kita sepakat bahwa bangsa ini perlu sesegera mungkin kembali kepada tata nilai yang mampu membimbing, menuntun, memandu dan memberi petunjuk kepada kita semua. Kembali kepada sistem dan tata nilai yang universal, yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu dan yang tidak luntur karena perkembangan zaman.
Kita tidak ingin bangsa kita menjadi masyararakat tanpa moral, etik dan akhlak. Sebab, sebuah bangsa tanpa akhlak, moral dan etik, sejatinya bangsa itu telah punah. Sebuah syarir Syauqi Bey (ulama Mesir) menggambarkannya sebagai berikut:
إِنَّمَااْلاُمَمُ اْلاَخْلاَقُ مَابَقِيَتْ فَإِنْ هُمُوا ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
“Keberadaan suatu bangsa (ditentukan) oleh tegaknya akhlak. Dan jika akhlak telah hilang dari mereka, maka sesungguhnya bangsa itu punah”.
Menyadari pentingnya akhlak, moral dan etik bagi eksistensi sebuah bangsa yang didukung oleh keyakinan kuat bahwa krisis multidimensional yang kita alami bermula dari adanya krisis moral, etik dan akhlak, maka kembali kepada tata nilai yang adiluhung menjadi prasyarat kondisi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi (conditio sine qua non). Bagi kita, tata nilai adiluhung yang dimaksud tiada lain adalah tata nilai Islam yang menyeluruh (kâffah), sebagai manhaj al-hâyat atau way of life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan kita. Tata nilai Islam yang kâffah tersebut tidak hanya baik untuk dijadikan landasan akhlak, moral dan etik, tetapi juga karena sifatnya yang universal menjadikan tata nilai Islam selalu kondusif dan aplikatif untuk semua masyarakat, bangsa dan zaman. Tata nilai Islam tidak akan pernah lekang oleh terik panas atau lapuk oleh hujan. Dengan tata nilai Islam, masyarakat tidak akan pernah mengalami anomi-anomi, yang bisa menyebabkan masyarakat kehilangan pegangan, acuan dan pedoman hidup.
Hal itu disebabkan karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an, yang juga menjadi akhlak Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, di mana Sa’id ibn Hisyam berkata, “Aku datang menemui ‘Aisyah r.a., lalu bertanya kepadanya mengenai akhlak Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, ‘Apakah engkau membaca Al-Qur’an?’ Aku jawab, ‘Benar, aku membaca Al-Qur’an.’ ‘Aisyah berkata, ‘Akhlak Rasulullah saw adalah Al-Qur’an. Sesunbgguhnya Al-Qur’an mengajarinya adab, seperti firman Allah SWT: Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Q.S. Al-A’raf:199), Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat dan melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan (Q.S. An-Nahl:90), Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman:17). Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya”.
Karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an yang juga menjadi akhlak Rasulullah saw, sedangkan Al-Qur’an selalu dipelihara dan dijaga (oleh Allah) dari segala bentuk penyimpangan dan kerusakan:
اِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَ وَاِنَّا لَه لَحفِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. Al-Hijr:9).
Maka, tata nilai Islam akan selalu eksis, kondusif dan aplikatif sepanjang Al-Qur’an tetap dipedomani sebagai petunjuk dan tuntunan hidup. Bagi mereka yang mau mendalami dan menelaah Al-Qur’an, pastilah akan menemukan berbagai petunjuk dan tuntunan hidup. Petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan hidup yang termaktub dalam Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Khâliq, hubungan manusia dengan manusia, maupun hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan. Lebih-lebih jika kita mau menelaah dan mendalami hadis-hadis Nabawi, kita pun akan menemukan berbagai nasihat dan tauladan mulia dari Rasulullah saw. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Mu’adz ibn Jabal r.a. berkata, “Rasulullah saw berwasiat kepadaku. Beliau bersabda:
أُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِدْقِ الْحَدِيْثِ وَالْوَفَاءِ بِالعَهْدِ وَأَدَاءِ اْلأَمَانَةِ وَتَرْكِ الْخِيَانَةِ وَحِفْظِ الْجَارِ وَرَحْمَةِ الْيَتِيْمِ وَلِيْنِ الْكَلاَمِ وَبِدْءِ السَّلاَمِ وَحُسْنِ الْعَمَلِ وَقِصَرِ اْلأَمَلِ وَلُزُوْمِ اْلإِيْمَانِ وَالنَّفَقَةِ فِىالْقُرْآنِ وَحُبِّ اْلاَخِرَةِ وَالْجَزَعِ مِنَ الْحِسَابِ وَخَفْضِ الْجَنَاحِ. وَأَنْهَاكَ اَنْ تَسُبَّ حَكِيْمًا اَوْتُكَذِّبَ صَادِقًا اَوْتُطِيْعَ آثِمًا اَوْتُعْصِى اِمَامًا عَادِلاً اَوْتُفْسِدَ أَرْضًا. وَاُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ عِنْدَ كُلِّ حَجَرٍ وَشَجَرٍ وَمَدَرٍ وَاَنْ تُحْدِثَ لِكُلِّ ذَنْبٍ تَوْبَةَ السِّرِّ بِالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةَ بِالْعَلاَنِيَةِ
“Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah SWT, berkata benar, menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hubungan baik dengan tetangga, mengasihi anak yatim, berkata lembut, memulai salam, berbuat baik, pendek angan-angan, meneguhkan keimanan, mempelajari Al-Qur’an, mencintai akhirat, merasa gelisah terhadap penghisaban, dan merendahkan hati. Aku melarang kepadamu dari mencaci orang yang bijak, mendustakan orang jujur, menaati pendosa, durhaka kepada pemimpin yang adil, atau membuat kerusakan di muka bumi. Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah pada setiap batu, pohon, dan tanah. Hendaklah pada setiap dosa engkau datangkan tobat, yang rahasia dengan rahasia dan yang terang-terangan dengan terang-terangan”.
Tata nilai Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah saw. memiliki ketinggian karakteristik yang mencakup landasan-landasan yang bersifat asasi serta memuat acuan-acuan yang bersifat praktis. Sebagai tata nilai yang bersifat Ilahiyyah, tata nilai Islam memiliki karakteristik-karakteristik yang sekaligus melebihkannya dari tata nilai yang dikonstruksi manusia.
Pertama, syari’at Islam adalah tata nilai, aturan dan norma ciptaan Allah SWT, Zat yang mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Tata nilai Islam diciptakan sesuai dan selaras dengan sendi-sendi kemanusiaan, baik manusia sebagai individu maupun manusia sebagai masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mungkin terjadi pertentangan antara tata nilai Islam dengan fitrah kemanusiaan. Firman Allah SWT:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفَا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمْ وَلكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepda Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Al-Rum:30).
Kedua, tata nilai Islam diciptakan dengan tujuan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, sehingga terpelihara agamanya, dirinya, akalnya, kehormatannya, dan harta bendanya. Tata nilai Islam selalu memuat perintah untuk berbuat yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan yang munkar, menghalalkan yang baik-baik, dan mengharamkan yang buruk-buruk. Firman Allah SWT:
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُولَ النَّبِىَّ اْلاُمِىَّ اَلَّذِى يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرَـةِ وَاْلاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْههُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَاْلاَغْللَ اَلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ امَنُوا بِهِ وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُواالنُّوْرَ اَلَّذِي اَنْزَلَ مَعَهُ اُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan mereka kepada yang baik dan mengharamkan mereka dari yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Al-A’raf:157).
Ketiga, tata nilai Islam bersifat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (syumûliyah). Ia mencakup seluruh sistem keyakinan, etika, moral, hukum, pemikiran dan ilmu pengetahuan, sistem keluarga, ekonomi, sosial-politik dan lain sebagainya. Tidak ada satu aspek pun dari kehidupan manusia yang luput dari jangkauan tata nilai Islam. Kalaupun tidak diatur secara terperinci, setidaknya terdapat landasan yang bersifat asasi dan prinsipil. Itulah kesempurnaan tata nilai Islam yang tidak tertandingi oleh sistem dan tata nilai mana pun juga.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ لَكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islami itu jadi agama bagimua” (Q.S. Al-Maidah:3).
Berdasarkan keunggulan-keunggulan karakteristik tata nilai Islam tersebut dihubungkan dengan kondisi dan situasi bangsa ini, kita berhadapan dengan sebuah realitas masyarakat yang memperihatinkan. Prihatin karena di satu sisi kita memiliki perangkat tata nilai yang luhur dan adiluhung, yaitu tata nilai Islam; tetapi di sisi lain kita berhadapan dengan realitas masyarakat yang hampir-hampir anarkhis, kurang berakhlak, tak peduli pada hukum, dan hampir-hampir menjadi masyarakat biadab.
Oleh karena, sebelum masyarakat kita benar-benar menjadi anarkhis, mari kita kembali kepada tata nilai Islam, yaitu tata nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang selalu sesuai dan selaras dengan fitrah manusia dan fitrah masyarakat.
Para pengamat biasa menyebut bahwa kondisi dan situasi masyarakat kita sedang mengalami periode transisi yang biasa ditandai dengan munculnya gejala anomi-anomi sosial, di mana tata nilai lama semakin ditinggalkan masyarakat, tetapi tata nilai baru yang mereka harapkan belum terbentuk. Maka, banyak di antara anggota masyarakat kita yang kehilangan pegangan dan acuan moral dan etik. Kondisi yang sesungguhnya sudah sangat rawan ini masih diperparah oleh lemahnya upaya penegakkan hukum di tengah masyarakat.
Atas dasar itu, barangkali kita sepakat bahwa bangsa ini perlu sesegera mungkin kembali kepada tata nilai yang mampu membimbing, menuntun, memandu dan memberi petunjuk kepada kita semua. Kembali kepada sistem dan tata nilai yang universal, yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu dan yang tidak luntur karena perkembangan zaman.
Kita tidak ingin bangsa kita menjadi masyararakat tanpa moral, etik dan akhlak. Sebab, sebuah bangsa tanpa akhlak, moral dan etik, sejatinya bangsa itu telah punah. Sebuah syarir Syauqi Bey (ulama Mesir) menggambarkannya sebagai berikut:
إِنَّمَااْلاُمَمُ اْلاَخْلاَقُ مَابَقِيَتْ فَإِنْ هُمُوا ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
“Keberadaan suatu bangsa (ditentukan) oleh tegaknya akhlak. Dan jika akhlak telah hilang dari mereka, maka sesungguhnya bangsa itu punah”.
Menyadari pentingnya akhlak, moral dan etik bagi eksistensi sebuah bangsa yang didukung oleh keyakinan kuat bahwa krisis multidimensional yang kita alami bermula dari adanya krisis moral, etik dan akhlak, maka kembali kepada tata nilai yang adiluhung menjadi prasyarat kondisi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi (conditio sine qua non). Bagi kita, tata nilai adiluhung yang dimaksud tiada lain adalah tata nilai Islam yang menyeluruh (kâffah), sebagai manhaj al-hâyat atau way of life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan kita. Tata nilai Islam yang kâffah tersebut tidak hanya baik untuk dijadikan landasan akhlak, moral dan etik, tetapi juga karena sifatnya yang universal menjadikan tata nilai Islam selalu kondusif dan aplikatif untuk semua masyarakat, bangsa dan zaman. Tata nilai Islam tidak akan pernah lekang oleh terik panas atau lapuk oleh hujan. Dengan tata nilai Islam, masyarakat tidak akan pernah mengalami anomi-anomi, yang bisa menyebabkan masyarakat kehilangan pegangan, acuan dan pedoman hidup.
Hal itu disebabkan karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an, yang juga menjadi akhlak Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, di mana Sa’id ibn Hisyam berkata, “Aku datang menemui ‘Aisyah r.a., lalu bertanya kepadanya mengenai akhlak Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, ‘Apakah engkau membaca Al-Qur’an?’ Aku jawab, ‘Benar, aku membaca Al-Qur’an.’ ‘Aisyah berkata, ‘Akhlak Rasulullah saw adalah Al-Qur’an. Sesunbgguhnya Al-Qur’an mengajarinya adab, seperti firman Allah SWT: Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Q.S. Al-A’raf:199), Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat dan melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan (Q.S. An-Nahl:90), Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman:17). Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya”.
Karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an yang juga menjadi akhlak Rasulullah saw, sedangkan Al-Qur’an selalu dipelihara dan dijaga (oleh Allah) dari segala bentuk penyimpangan dan kerusakan:
اِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَ وَاِنَّا لَه لَحفِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. Al-Hijr:9).
Maka, tata nilai Islam akan selalu eksis, kondusif dan aplikatif sepanjang Al-Qur’an tetap dipedomani sebagai petunjuk dan tuntunan hidup. Bagi mereka yang mau mendalami dan menelaah Al-Qur’an, pastilah akan menemukan berbagai petunjuk dan tuntunan hidup. Petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan hidup yang termaktub dalam Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Khâliq, hubungan manusia dengan manusia, maupun hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan. Lebih-lebih jika kita mau menelaah dan mendalami hadis-hadis Nabawi, kita pun akan menemukan berbagai nasihat dan tauladan mulia dari Rasulullah saw. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Mu’adz ibn Jabal r.a. berkata, “Rasulullah saw berwasiat kepadaku. Beliau bersabda:
أُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِدْقِ الْحَدِيْثِ وَالْوَفَاءِ بِالعَهْدِ وَأَدَاءِ اْلأَمَانَةِ وَتَرْكِ الْخِيَانَةِ وَحِفْظِ الْجَارِ وَرَحْمَةِ الْيَتِيْمِ وَلِيْنِ الْكَلاَمِ وَبِدْءِ السَّلاَمِ وَحُسْنِ الْعَمَلِ وَقِصَرِ اْلأَمَلِ وَلُزُوْمِ اْلإِيْمَانِ وَالنَّفَقَةِ فِىالْقُرْآنِ وَحُبِّ اْلاَخِرَةِ وَالْجَزَعِ مِنَ الْحِسَابِ وَخَفْضِ الْجَنَاحِ. وَأَنْهَاكَ اَنْ تَسُبَّ حَكِيْمًا اَوْتُكَذِّبَ صَادِقًا اَوْتُطِيْعَ آثِمًا اَوْتُعْصِى اِمَامًا عَادِلاً اَوْتُفْسِدَ أَرْضًا. وَاُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ عِنْدَ كُلِّ حَجَرٍ وَشَجَرٍ وَمَدَرٍ وَاَنْ تُحْدِثَ لِكُلِّ ذَنْبٍ تَوْبَةَ السِّرِّ بِالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةَ بِالْعَلاَنِيَةِ
“Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah SWT, berkata benar, menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hubungan baik dengan tetangga, mengasihi anak yatim, berkata lembut, memulai salam, berbuat baik, pendek angan-angan, meneguhkan keimanan, mempelajari Al-Qur’an, mencintai akhirat, merasa gelisah terhadap penghisaban, dan merendahkan hati. Aku melarang kepadamu dari mencaci orang yang bijak, mendustakan orang jujur, menaati pendosa, durhaka kepada pemimpin yang adil, atau membuat kerusakan di muka bumi. Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah pada setiap batu, pohon, dan tanah. Hendaklah pada setiap dosa engkau datangkan tobat, yang rahasia dengan rahasia dan yang terang-terangan dengan terang-terangan”.
Tata nilai Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah saw. memiliki ketinggian karakteristik yang mencakup landasan-landasan yang bersifat asasi serta memuat acuan-acuan yang bersifat praktis. Sebagai tata nilai yang bersifat Ilahiyyah, tata nilai Islam memiliki karakteristik-karakteristik yang sekaligus melebihkannya dari tata nilai yang dikonstruksi manusia.
Pertama, syari’at Islam adalah tata nilai, aturan dan norma ciptaan Allah SWT, Zat yang mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Tata nilai Islam diciptakan sesuai dan selaras dengan sendi-sendi kemanusiaan, baik manusia sebagai individu maupun manusia sebagai masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mungkin terjadi pertentangan antara tata nilai Islam dengan fitrah kemanusiaan. Firman Allah SWT:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفَا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمْ وَلكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepda Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Al-Rum:30).
Kedua, tata nilai Islam diciptakan dengan tujuan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, sehingga terpelihara agamanya, dirinya, akalnya, kehormatannya, dan harta bendanya. Tata nilai Islam selalu memuat perintah untuk berbuat yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan yang munkar, menghalalkan yang baik-baik, dan mengharamkan yang buruk-buruk. Firman Allah SWT:
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُولَ النَّبِىَّ اْلاُمِىَّ اَلَّذِى يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرَـةِ وَاْلاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْههُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَاْلاَغْللَ اَلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ امَنُوا بِهِ وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُواالنُّوْرَ اَلَّذِي اَنْزَلَ مَعَهُ اُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan mereka kepada yang baik dan mengharamkan mereka dari yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Al-A’raf:157).
Ketiga, tata nilai Islam bersifat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (syumûliyah). Ia mencakup seluruh sistem keyakinan, etika, moral, hukum, pemikiran dan ilmu pengetahuan, sistem keluarga, ekonomi, sosial-politik dan lain sebagainya. Tidak ada satu aspek pun dari kehidupan manusia yang luput dari jangkauan tata nilai Islam. Kalaupun tidak diatur secara terperinci, setidaknya terdapat landasan yang bersifat asasi dan prinsipil. Itulah kesempurnaan tata nilai Islam yang tidak tertandingi oleh sistem dan tata nilai mana pun juga.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ لَكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islami itu jadi agama bagimua” (Q.S. Al-Maidah:3).
Berdasarkan keunggulan-keunggulan karakteristik tata nilai Islam tersebut dihubungkan dengan kondisi dan situasi bangsa ini, kita berhadapan dengan sebuah realitas masyarakat yang memperihatinkan. Prihatin karena di satu sisi kita memiliki perangkat tata nilai yang luhur dan adiluhung, yaitu tata nilai Islam; tetapi di sisi lain kita berhadapan dengan realitas masyarakat yang hampir-hampir anarkhis, kurang berakhlak, tak peduli pada hukum, dan hampir-hampir menjadi masyarakat biadab.
Oleh karena, sebelum masyarakat kita benar-benar menjadi anarkhis, mari kita kembali kepada tata nilai Islam, yaitu tata nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang selalu sesuai dan selaras dengan fitrah manusia dan fitrah masyarakat.
Islam dan Kebebasan Mengemukakan Pendapat
Pada pertemuan yang lalu kita sudah membahas tentang kebebasan menyampaikan kritik (hurriyyah al-mu’âradlah atau hurriyyah naqd al-hâkim). Masih berkaitan dengan tema di atas, tulisan ini akan membahas tentang kebebasan mengemukakan pendapat (hurriyah al-ra’y).
Dalam wacana demokrasi, negara berkewajiban menjamin kehidupan rakyatnya untuk secara bebas mengemukakan pendapatnya. Negara tidak hanya wajib melindungi dan menjamin keamanan dan ketentaraman rakyatnya, melainkan juga harus memberikan jaminan penuh terhadap setiap perbedaan pendapat antar berbagai komponen bangsa. Setiap komponen bangsa harus perpandangan bahwa perbedaan pendapat –setajam apa pun perbedaan itu-- bukanlah sesuatu yang tabu dan terlarang, melainkan sebuah proses demokrasi dan dinamika masyarakat menuju kepada kehidupan yang dicita-citakan.
Dengan demikian, sebagai pelaksana kehidupan ketatanegaraan, pemerintah tidak boleh memonopoli pendapat dan mengingkari pendapat pihak lain. Pemerintah harus mampu berperan sebagai fasilitator terhadap dinamika dan perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat. Pemerintah pun harus siap menerima untuk berbeda pendapat dengan komponen-komponen bangsa lain, termasuk di dalamnya menerima kritik sebagai wujud dari dinamika demokrasi.
Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut dengan istilah hurriyyah al-ra’y, yang secara etimologis berarti kebebasan berpendapat yang juga berarti kebebasan berbicara. Penggunaan istilah hurriyah al-ra’y dan bukan hurriyah al-qawl menunjukkan bahwa para ulama dan sarjana muslim telah menempatkan kedudukan yang amat penting dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam.
Istilah ra’yu dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam biasanya dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu yang terpuji, tercela, dan diragukan. Kenis ra’yu atau pendapat yang terpuji adalah ra’yu yang dijelaskan dalam al-Qur’an, Sunnah, pendapat para sahabat, ra’yu yang merupakan hasil ijtihad, dan ra’yu yang dicapai melalui proses musyawarah.
Ra’yu yang tercela (al-ra’y al-mazmumah) dikenal dalam tiga jenis ra’yu, yaitu bid’ah (pembaharuan yang merusak dan menyesatkan), hawâ (niat jelek) dan baghy (pelanggaran hukum).
Dalam ushul al-fiqh, ra’yu biasanya didefinisikan sebagai pendapat tentang suatu masalah yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ia merupakan pendapat yang dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang mendalam dan dilakukan dengan usaha yang keras dari seseorang.
Dengan demikian hurriyyah al-ra’y mensyaratkan adanya pendapat dan pemikiran yang matang, mendalam dan sungguh-sungguh. Setiap orang boleh mengemukakan pendapat sejauh tidak melanggar hukum yang mengandung penghujatan, fitnah serta didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung jawab. Dalam kacamata pemikiran dan keilmuan Islam, ra’yu dibatasi secara nyata oleh wahyu Tuhan (al-Qu’an dan Sunnah). Tetapi jika tersedian aturan dan pedoman dalam wahyu, atau jika kedua sumber tersebut (al-Qur’an dan Sunnah) hanya memuat aturan atau pedoman yang masih memungkinkan untuk ditafsirkan, maka hal tersebut masih terbuka untuk ra’yu.
Dalam sejarah pemikiran dan keilmuan Islam, pernah terjadi ketidaksepakatan antara ulama pendukung hadits (Ahl al-Hadîts) dan para ulama pendukung nalar (Ahl al-Ra’y). Para ulama pendukung hadits biasa menyebut para ulama pendukung nalar sebagai telah mempraktekkan kebebasan berpikir yang cenderung subjektif, sehingga lahir dan berkembang konotasi negatif terhadap ra’yu. Tetapi, konotasi negatif tentang penggunaan nalar dalam pemikiran dan keilmuan Islam mengalami perubahan bertahap terutama oleh usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Ahl al-Ra’y, terutama oleh para pengikut mazhab Hanafi. Mazhab inilah yang dalam pemikiran fiqh Islam berpandangan bahwa Islam tidak pernah melarang penggunaan nalar dan pendapat pribadi selama tidak melanggar prinsip dan tujuan Islam. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengembangkan suatu metode dan pedoman penggunaan nalar atau ra’yu yang benar dalam bentuk analogi (qiyâs), pilihan yuristik (istihsân), penghalangan (sadd al-darâ’i), dan praduga berkelanjutan (istishhâb). Metode dan pedoman ini dan juga prinsip lainnya, seperti prioritas yang diberikan kepada pendapat para sahabat (fatwa al-shahâbi) di atas pendapat para mujtahid lain, bertujuan untuk mendekatkan identitas ra’yu dengan hukum-hukum serta prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.
Adanya polemik dalam masalah penggunaan nalar atau ra’yu antara Ahlu al-Hadits dengan Ahl al-Ra’y sebenarnya hanya merupakan permasalahan orientasi dari pada penolakan total atas validitas ra’yu. Meskipun demikian ada kelompok yang secara tegas menolak kesahihah atau validitas ra’yu, yaitu kelompok Bathiniyyah atau Ta’limayyah. Dalam menyikapi pandangan Ta’limayyah ini, Al-Ghazali berkata: “Ta’limayyah disebut dengan nama demikian karena doktrin mereka yang melarang penalaran pribadi dalam bentuk ra’yu. Mereka malah menyeru untuk secara total bersandar pada perintah-perintah imam yang maksum, karena menurut mereka satu-satunya jalan untuk mendapatkan pengetahuan adalah melalui perintah, ajaran dan ta’lim”.
Tentu saja kita menolak pandangan dan doktrin kelompok Ta’limayyah ini, karena dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai pentunjuk-petunjuk yang mensahkan penggunaan pendapat pribadi.
Firman Allah SWT:
والذين استجابوا بربهم واقاموا الصلوة وامرهم شورى بينهم
ومما رزقنهم ينفقون
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. Asy-Syura:38).
Ayat di atas membenarkan konsep musyawarah, yang tentu saja menggunakan argumen-argumen yang bersifat nalar atau ra’yu, dalam menyelesaikan urusan antar sesamanya, dan bukan atas urusan-urusan ibadah mahdlah yang telah jelas ketentuannya.
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga mengajak manusia untuk menyelidiki dan menyingkap dunia di sekelilingnya dan mengambil kesimpulan yang rasional, dengan tidak meniru apa yang dihasilkan orang lain, melainkan melalui pemikiran yang cerdas. Firman Allah SWT:
كذلك يبين الله لكم الايت لعلكم تتفكرون
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. (Q.S. Al-Baqarah:266).
Dalam memahami ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan penggunaan nalar, Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” menegaskan bahwa al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas dunia di sekeliling kita, dan hal ini tidak akan mungkin tanpa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Al-Qur’an, dengan demikian sangat menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ketulusan dalam pencarian kebenaran dan keadilan. Tidak ada penelitian intelektual yang dapat dimulai dengan premis penolakan terhadap kebenaran monoteisme (tauhid) dan pedoman yang jelas melalui wahyu Tuhan. Selama nilai-nilai ditata, penelitian rasional dan pencarian kebenaran harus dipertahankan sekalipun harus berhadapan dengan permusuhan orang banyak.
Dalam konteks kehidupan kenegaraan, meskipun ketaatan dan kepatuhan kepada pemerintah yang sah adalah kewajiban Qur’ani, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولىالامرمنكم فان تنزعتم
فى شئ فردوه الى الله والرسول
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan bendapat tentang seuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…). (Q.S. An-Nisa:59)
Tetapi kepatuhan dan ketaatan kepada pemerintah tidak mengesampingkan hak rakyat untuk membicarakan persoalan dengan para pemimpinnya. Sebab al-Qur’an tetap men-tolerir perselisihan (jadal) dalam pengertian yang positif. Bahkan suatu perdebatan sekalipun, jika dilakukan secara logis, sopan dan bermanfaat tetap mendapat tempat dalam ajaran Islam.
Dalam wacana demokrasi, negara berkewajiban menjamin kehidupan rakyatnya untuk secara bebas mengemukakan pendapatnya. Negara tidak hanya wajib melindungi dan menjamin keamanan dan ketentaraman rakyatnya, melainkan juga harus memberikan jaminan penuh terhadap setiap perbedaan pendapat antar berbagai komponen bangsa. Setiap komponen bangsa harus perpandangan bahwa perbedaan pendapat –setajam apa pun perbedaan itu-- bukanlah sesuatu yang tabu dan terlarang, melainkan sebuah proses demokrasi dan dinamika masyarakat menuju kepada kehidupan yang dicita-citakan.
Dengan demikian, sebagai pelaksana kehidupan ketatanegaraan, pemerintah tidak boleh memonopoli pendapat dan mengingkari pendapat pihak lain. Pemerintah harus mampu berperan sebagai fasilitator terhadap dinamika dan perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat. Pemerintah pun harus siap menerima untuk berbeda pendapat dengan komponen-komponen bangsa lain, termasuk di dalamnya menerima kritik sebagai wujud dari dinamika demokrasi.
Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut dengan istilah hurriyyah al-ra’y, yang secara etimologis berarti kebebasan berpendapat yang juga berarti kebebasan berbicara. Penggunaan istilah hurriyah al-ra’y dan bukan hurriyah al-qawl menunjukkan bahwa para ulama dan sarjana muslim telah menempatkan kedudukan yang amat penting dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam.
Istilah ra’yu dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam biasanya dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu yang terpuji, tercela, dan diragukan. Kenis ra’yu atau pendapat yang terpuji adalah ra’yu yang dijelaskan dalam al-Qur’an, Sunnah, pendapat para sahabat, ra’yu yang merupakan hasil ijtihad, dan ra’yu yang dicapai melalui proses musyawarah.
Ra’yu yang tercela (al-ra’y al-mazmumah) dikenal dalam tiga jenis ra’yu, yaitu bid’ah (pembaharuan yang merusak dan menyesatkan), hawâ (niat jelek) dan baghy (pelanggaran hukum).
Dalam ushul al-fiqh, ra’yu biasanya didefinisikan sebagai pendapat tentang suatu masalah yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ia merupakan pendapat yang dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang mendalam dan dilakukan dengan usaha yang keras dari seseorang.
Dengan demikian hurriyyah al-ra’y mensyaratkan adanya pendapat dan pemikiran yang matang, mendalam dan sungguh-sungguh. Setiap orang boleh mengemukakan pendapat sejauh tidak melanggar hukum yang mengandung penghujatan, fitnah serta didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung jawab. Dalam kacamata pemikiran dan keilmuan Islam, ra’yu dibatasi secara nyata oleh wahyu Tuhan (al-Qu’an dan Sunnah). Tetapi jika tersedian aturan dan pedoman dalam wahyu, atau jika kedua sumber tersebut (al-Qur’an dan Sunnah) hanya memuat aturan atau pedoman yang masih memungkinkan untuk ditafsirkan, maka hal tersebut masih terbuka untuk ra’yu.
Dalam sejarah pemikiran dan keilmuan Islam, pernah terjadi ketidaksepakatan antara ulama pendukung hadits (Ahl al-Hadîts) dan para ulama pendukung nalar (Ahl al-Ra’y). Para ulama pendukung hadits biasa menyebut para ulama pendukung nalar sebagai telah mempraktekkan kebebasan berpikir yang cenderung subjektif, sehingga lahir dan berkembang konotasi negatif terhadap ra’yu. Tetapi, konotasi negatif tentang penggunaan nalar dalam pemikiran dan keilmuan Islam mengalami perubahan bertahap terutama oleh usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Ahl al-Ra’y, terutama oleh para pengikut mazhab Hanafi. Mazhab inilah yang dalam pemikiran fiqh Islam berpandangan bahwa Islam tidak pernah melarang penggunaan nalar dan pendapat pribadi selama tidak melanggar prinsip dan tujuan Islam. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengembangkan suatu metode dan pedoman penggunaan nalar atau ra’yu yang benar dalam bentuk analogi (qiyâs), pilihan yuristik (istihsân), penghalangan (sadd al-darâ’i), dan praduga berkelanjutan (istishhâb). Metode dan pedoman ini dan juga prinsip lainnya, seperti prioritas yang diberikan kepada pendapat para sahabat (fatwa al-shahâbi) di atas pendapat para mujtahid lain, bertujuan untuk mendekatkan identitas ra’yu dengan hukum-hukum serta prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.
Adanya polemik dalam masalah penggunaan nalar atau ra’yu antara Ahlu al-Hadits dengan Ahl al-Ra’y sebenarnya hanya merupakan permasalahan orientasi dari pada penolakan total atas validitas ra’yu. Meskipun demikian ada kelompok yang secara tegas menolak kesahihah atau validitas ra’yu, yaitu kelompok Bathiniyyah atau Ta’limayyah. Dalam menyikapi pandangan Ta’limayyah ini, Al-Ghazali berkata: “Ta’limayyah disebut dengan nama demikian karena doktrin mereka yang melarang penalaran pribadi dalam bentuk ra’yu. Mereka malah menyeru untuk secara total bersandar pada perintah-perintah imam yang maksum, karena menurut mereka satu-satunya jalan untuk mendapatkan pengetahuan adalah melalui perintah, ajaran dan ta’lim”.
Tentu saja kita menolak pandangan dan doktrin kelompok Ta’limayyah ini, karena dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai pentunjuk-petunjuk yang mensahkan penggunaan pendapat pribadi.
Firman Allah SWT:
والذين استجابوا بربهم واقاموا الصلوة وامرهم شورى بينهم
ومما رزقنهم ينفقون
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. Asy-Syura:38).
Ayat di atas membenarkan konsep musyawarah, yang tentu saja menggunakan argumen-argumen yang bersifat nalar atau ra’yu, dalam menyelesaikan urusan antar sesamanya, dan bukan atas urusan-urusan ibadah mahdlah yang telah jelas ketentuannya.
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga mengajak manusia untuk menyelidiki dan menyingkap dunia di sekelilingnya dan mengambil kesimpulan yang rasional, dengan tidak meniru apa yang dihasilkan orang lain, melainkan melalui pemikiran yang cerdas. Firman Allah SWT:
كذلك يبين الله لكم الايت لعلكم تتفكرون
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. (Q.S. Al-Baqarah:266).
Dalam memahami ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan penggunaan nalar, Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” menegaskan bahwa al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas dunia di sekeliling kita, dan hal ini tidak akan mungkin tanpa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Al-Qur’an, dengan demikian sangat menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ketulusan dalam pencarian kebenaran dan keadilan. Tidak ada penelitian intelektual yang dapat dimulai dengan premis penolakan terhadap kebenaran monoteisme (tauhid) dan pedoman yang jelas melalui wahyu Tuhan. Selama nilai-nilai ditata, penelitian rasional dan pencarian kebenaran harus dipertahankan sekalipun harus berhadapan dengan permusuhan orang banyak.
Dalam konteks kehidupan kenegaraan, meskipun ketaatan dan kepatuhan kepada pemerintah yang sah adalah kewajiban Qur’ani, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولىالامرمنكم فان تنزعتم
فى شئ فردوه الى الله والرسول
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan bendapat tentang seuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…). (Q.S. An-Nisa:59)
Tetapi kepatuhan dan ketaatan kepada pemerintah tidak mengesampingkan hak rakyat untuk membicarakan persoalan dengan para pemimpinnya. Sebab al-Qur’an tetap men-tolerir perselisihan (jadal) dalam pengertian yang positif. Bahkan suatu perdebatan sekalipun, jika dilakukan secara logis, sopan dan bermanfaat tetap mendapat tempat dalam ajaran Islam.
Jihad yang Sesungguhnya
Mukadimah
Selama bertahun-tahun, konsep jihad tidak saja telah mengalami proses penyempitan makna, tetapi juga telah mengalami penyimpangan arti (distorting of meaning). Terjadinya proses penyempitan makna kata jihad, menyebabkan kata tersebut selalu berkonotasi peperangan, terutama memerangi orang-orang kafir dan musyrik. Sementara itu, terjadinya distorsi atau penyimpangan arti kata jihad telah menyebabkan pemahaman kita terhadap konsep jihad keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tidak heran apabila kita mendengar kata jihad, yang selalu terbayang dalam benak kita adalah mengangkat senjata untuk memerangi orang-orang kafir atau musyrik tanpa peduli kesalahan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang kafir atau musyrik tersebut. Karena kesalahan dalam memaknai kata jihad, tidak heran pula apabila peristiwa penyerangan atau pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah non-muslim dipandang sebagai suatu perbuatan jihad, yang oleh karenanya akan mendapat pahala dari Allah swt.
Di sisi lain orang-orang non muslim, khususnya kaum orientalis Barat, telah menciptakan suatu citra negatif terhadap Islam dan umatnya dengan memanfaatkan issu jihad yang telah mengalami proses penyempitan makna dan distorsi yang luar biasa. Bagi kebanyakan orang Barat, konsep jihad dalam Islam berarti mengangkat pedang (baca: senjata) dalam rangka dakwah atau menyebarkan ajaran Islam. Meraka tidak saja telah berhasil menciptakan arti (creating of meaning) baru dan mambakukan wacana jihad secara salah, tetapi juga berhasil membuat dan mengembangkan citra negatif terhadap Islam dan umatnya dengan memanfaatkan kesalahpahaman mereka, serta menanamkan kebencian dan ketakutan kepada Islam dan umatnya.
Kesalahan dan penyimpangan dalam memaknai konsep jihad pada akhirnya mendatangkan kerugian yang luar biasa bagi umat Islam. Kita tidak saja dicurigai sebagai umat yang gemar dengan kekerasan, peperangan dan terorisme; bahkan selalu ditakuti dan dipandang sebagai ancaman serius bagi peradaban dunia. Ketika Samuel W. Huntington, salah seorang pakar politik internasional dari Amerika Serikat, membuat tesis tentang pertentangan peradaban (the clash of civilization), di mana dia menempatkan peradaban Timur (khususnya peradaban Islam) sebagai sebagai “musuh” baru peradaban Barat setelah berakhirnya Perang Dingin; penulis yakin bahwa tesis Huntington tersebut merupakan salah satu akibat dari kesalahan masyarakat Barat dalam memahami konsep jihad.
Anehnya, kesalahpahaman Barat dalam memahami konsep jihad terjadi pula di kalangan umat Islam sendiri. Kita yang sadar sungguh merasa sangat risau dan prihatin, mengapa umat kita selalu menggunakan konsep jihad sebagai alasan dalam kerusuhan bernuansa agama. Mengapa umat Islam yang melakukan pembakaran terhadap gereja, misalnya, selalu mengatakan bahwa itu merupakan bagian dari jihad? Mengapa pula orang-orang non muslim merasa takut bila mendengar kata jihad? Lalu apa sesungguhnya arti dan hakikat jihad dalam Islam?
Dengan latar belakang di atas, penulis ingin mencoba meluruskan kembali makna jihad yang sesungguhnya menurut ajaran Islam, dengan harapan mudah-mudahan tidak terjadi lagi kesalahpahaman dalam memaknai konsep jihad.
Arti Jihad
Kata jihad yang berasal dari kata jahd mengandung arti “sukar atau letih”. Ada juga yang mengatakan bahwa jihad berasal dari kata juhd yang berarti “kemampuan”. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa arti jihad adalah ujian atau cobaan, terutama bila dihubungkan dengan ungkapan jahida bi al-rajul (seseorang sedang mengalami cobaan/ujian). Namun demikian, secara umum makna bahasa jihad yang berasal dari kata jahada adalah berbuat sesuatu secara sungguh-sungguh atau berjuang secara sungguh-sungguh. Jadi secara etimologis, kata jihad bisa berarti berbuat sesuatu dengan sungguh-sungguh, sukar atau letih, kemampuan, serta ujian atau cobaan.
Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an, kata jihad dengan berbagai bentuknya tercantum di dalamnya sebanyak empat puluh satu kali. Beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan konsep jihad sesuai dengan arti etimologisnya, di antaranya adalah:
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik…” (Q.S. Luqman : 15).
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّبِرِيْنَ
“Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar” (Q.S. Ali Imran : 142).
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).
Secara berurutan, ayat-ayat di atas memiliki kesesuaian dengan makna ijtihad secara bahasa (usaha sungguh-sungguh, letih atau sukar, ujian atau cobaan, dan kemampuan).
Sedangkan makna jihad menurut terminologi para ulama adalah mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang segala kebatilan dan kejahatan dengan mengharap ridla Allah swt. Dari pengertian ini maka jelaslah bahwa jihad mengandung arti yang luas dan tidak hanya terbatas pada perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Memang harus diakui bahwa perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata merupakan bagian dari jihad. Tetapi jelas bukan satu-satunya. Lagi pula perjuangan fisik dan perlawanan senjata sebagai bagian dari jihad harus ditempatkan pada konteks yang dapat dibenarkan secara syar’i.
Macam-macam Jihad
Pengertian jihad yang telah dijelaskan di atas, baik secara etimologis maupun terminologis, menunjukkan keluasan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan makna yang luas tersebut, maka konsep jihad pun memiliki beberapa macam jenis. Ar-Raghib Al-Isfahani dalam bukunya Mu’jam Mufradât Al-Fâzh Al-Qur’an, menjelaskan bahwa jihad adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Sedangkan musuh yang dimaksud di sini meliputi (1) musuh yang nyata secara fisik, (2) musuh dalam bentuk setan, dan (3) musuh dalam bentuk nafsu yang ada pada setiap manusia.
1. Jihad menghadapi musuh yang nyata
Salah satu bentuk jihad adalah memerangi musuh yang nyata secara fisik. Jenis jihad inilah yang dikenal secara umum oleh umat Islam. Termasuk ke dalam jenis jihad ini adalah berperang mengangkat senjata untuk mempertahankan agama (Islam) dan tanah air. Perang mengangkat senjata untuk mempertahankan agama dan tanah air inilah yang dalam serajah peradaban Islam sering disebut sebagai perang suci. Perang fisik yang dibenarkan adalah untuk keperluan defensif. Kita dibenarkan melakukan jihad fisik dalam rangka mempertahankan agama dan tanah air; melindungi nyawa, kehormatan, dan harta benda. Lagi pula, dalam setiap peristiwa perang fisik, umat Islam diharamkan melakukan perusakan terhadap tempat-tempat ibadah umat lain, dilarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua dan orang-orang sipil lainnya.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perusakan atau pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah non muslim tidak diperkenankan, baik pada waktu perang apalagi pada saat damai.
2. Jihad menghadapi setan dan nafsu
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Dengan kelemahannya itu, tidak jarang manusia tergoda dan terjerumus ke dalam perilaku-perilaku jahat, buruk dan tercela. Dalam sebuah ayat dijelaskan bahwa setan akan selalu merayu dan menggoda manusia agar melenceng dari jalan kebenaran, yaitu melenceng dari jalan Allah swt yang lurus.
قاَلَ فَبِماَ أَغْوَيْتَنىِ لاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ ثُمَّ لاتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمنِهِمْ وَعَنْ ثَمَائِلِهِمْ وَلاَتَجِدَ اَكْثَرَهُمْ شكِرِيْنَ
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi (menggoda) mereka dari muka dan belakang, dari kanan dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (Q.S. Al-A’raf : 16-17).
Dalam menghadapi segala godaan dan rayuan setan, manusia dituntut untuk memiliki kekuatan dan ketangguhan iman. Manusia diharuskan menyiapkan iklim dan suasana yang sehat untuk menghalangi tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan oleh wabah setan. Termasuk ke dalam jenis jihad adalah memerangi hawa nafsu buruk akibat dari rayuan dan godaan setan. Bahkan memerangi hawa nafsu dan terhindar dari godaan setan adalah termasuk jihad yang lebih berat dan besar.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Rasulullah bersama para sahabatnya pulang dari suatu medan peperangan, beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Kita sekarang pulang dari melakukan jihad kecil (al-jihad al-asghar) untuk kemudian menuju jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar). Ketika beliau ditanya apa yang dimaksud dengan jihad yang lebih besar, beliau menjawab: “Jihad melawan hawa nafsu”.
3. Berjihad dengan melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar
Termasuk juga ke dalam bagian jihad adalah menyuruh orang untuk selalu berbuat baik dan mencegah mereka dari segala perbuatan munkar. Jihad dalam pengertian ini berarti melaksanakan dakwah dan pendidikan Islam, yaitu menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada setiap manusia, baik orang tua, pemuda, remaja maupun anak-anak. Jadi jelaslah bahwa kegiatan dakwah Islam dan kegiatan pendidikan tiada lain adalah salah satu dari realisasi jihad di jalan Allah.
Ikhtitam
Ajaran Islam sesungguhnya mencintai perdamaian di antara sesama umat manusia dan tidak menghendaki tindakan permusuhan dan kekerasan apalagi peperangan yang dapat merenggut banyak korban. Perdamaian yang dikehendaki oleh Islam bukan hanya di lingkungan umat Islam sendiri, tetapi juga dengan sesama umat manusia yang lain (non-muslim). Tetapi dalam kondisi umat Islam diserang, maka umat Islam diwajibkan mempertahankan diri dalam rangka merealisasikan jihad fi sabilillah.
Oleh karena itu, mencegah agar perdamaian di tengah masyarakat tidak terganggu oleh para pengacau, juga termasuk ke dalam bagian jihad. Termasuk juga bagian dari jihad adalah mencegah orang untuk tidak merusak atau membakar tempat-tempat ibadah umat lain.
Akhirnya, sebagai orang yang memiliki kesadaran, kita harus mengingatkan masyarakat kita agar tidak menggunakan alasan “jihad” untuk tujuan-tujuan yang sesunguhnya bertentangan dengan makna jihad yang sesungguhnya. Melalui kegiatan dakwah dan pendidikan, kita harus menanamkan ajaran Islam secara baik dan benar. Islam harus dipahami sebagai agama yang membawa misi perdamaian, kebaikan, kesejahteraan, dan ketenteraman umat manusia.
Selama bertahun-tahun, konsep jihad tidak saja telah mengalami proses penyempitan makna, tetapi juga telah mengalami penyimpangan arti (distorting of meaning). Terjadinya proses penyempitan makna kata jihad, menyebabkan kata tersebut selalu berkonotasi peperangan, terutama memerangi orang-orang kafir dan musyrik. Sementara itu, terjadinya distorsi atau penyimpangan arti kata jihad telah menyebabkan pemahaman kita terhadap konsep jihad keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tidak heran apabila kita mendengar kata jihad, yang selalu terbayang dalam benak kita adalah mengangkat senjata untuk memerangi orang-orang kafir atau musyrik tanpa peduli kesalahan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang kafir atau musyrik tersebut. Karena kesalahan dalam memaknai kata jihad, tidak heran pula apabila peristiwa penyerangan atau pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah non-muslim dipandang sebagai suatu perbuatan jihad, yang oleh karenanya akan mendapat pahala dari Allah swt.
Di sisi lain orang-orang non muslim, khususnya kaum orientalis Barat, telah menciptakan suatu citra negatif terhadap Islam dan umatnya dengan memanfaatkan issu jihad yang telah mengalami proses penyempitan makna dan distorsi yang luar biasa. Bagi kebanyakan orang Barat, konsep jihad dalam Islam berarti mengangkat pedang (baca: senjata) dalam rangka dakwah atau menyebarkan ajaran Islam. Meraka tidak saja telah berhasil menciptakan arti (creating of meaning) baru dan mambakukan wacana jihad secara salah, tetapi juga berhasil membuat dan mengembangkan citra negatif terhadap Islam dan umatnya dengan memanfaatkan kesalahpahaman mereka, serta menanamkan kebencian dan ketakutan kepada Islam dan umatnya.
Kesalahan dan penyimpangan dalam memaknai konsep jihad pada akhirnya mendatangkan kerugian yang luar biasa bagi umat Islam. Kita tidak saja dicurigai sebagai umat yang gemar dengan kekerasan, peperangan dan terorisme; bahkan selalu ditakuti dan dipandang sebagai ancaman serius bagi peradaban dunia. Ketika Samuel W. Huntington, salah seorang pakar politik internasional dari Amerika Serikat, membuat tesis tentang pertentangan peradaban (the clash of civilization), di mana dia menempatkan peradaban Timur (khususnya peradaban Islam) sebagai sebagai “musuh” baru peradaban Barat setelah berakhirnya Perang Dingin; penulis yakin bahwa tesis Huntington tersebut merupakan salah satu akibat dari kesalahan masyarakat Barat dalam memahami konsep jihad.
Anehnya, kesalahpahaman Barat dalam memahami konsep jihad terjadi pula di kalangan umat Islam sendiri. Kita yang sadar sungguh merasa sangat risau dan prihatin, mengapa umat kita selalu menggunakan konsep jihad sebagai alasan dalam kerusuhan bernuansa agama. Mengapa umat Islam yang melakukan pembakaran terhadap gereja, misalnya, selalu mengatakan bahwa itu merupakan bagian dari jihad? Mengapa pula orang-orang non muslim merasa takut bila mendengar kata jihad? Lalu apa sesungguhnya arti dan hakikat jihad dalam Islam?
Dengan latar belakang di atas, penulis ingin mencoba meluruskan kembali makna jihad yang sesungguhnya menurut ajaran Islam, dengan harapan mudah-mudahan tidak terjadi lagi kesalahpahaman dalam memaknai konsep jihad.
Arti Jihad
Kata jihad yang berasal dari kata jahd mengandung arti “sukar atau letih”. Ada juga yang mengatakan bahwa jihad berasal dari kata juhd yang berarti “kemampuan”. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa arti jihad adalah ujian atau cobaan, terutama bila dihubungkan dengan ungkapan jahida bi al-rajul (seseorang sedang mengalami cobaan/ujian). Namun demikian, secara umum makna bahasa jihad yang berasal dari kata jahada adalah berbuat sesuatu secara sungguh-sungguh atau berjuang secara sungguh-sungguh. Jadi secara etimologis, kata jihad bisa berarti berbuat sesuatu dengan sungguh-sungguh, sukar atau letih, kemampuan, serta ujian atau cobaan.
Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an, kata jihad dengan berbagai bentuknya tercantum di dalamnya sebanyak empat puluh satu kali. Beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan konsep jihad sesuai dengan arti etimologisnya, di antaranya adalah:
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik…” (Q.S. Luqman : 15).
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّبِرِيْنَ
“Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar” (Q.S. Ali Imran : 142).
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).
Secara berurutan, ayat-ayat di atas memiliki kesesuaian dengan makna ijtihad secara bahasa (usaha sungguh-sungguh, letih atau sukar, ujian atau cobaan, dan kemampuan).
Sedangkan makna jihad menurut terminologi para ulama adalah mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang segala kebatilan dan kejahatan dengan mengharap ridla Allah swt. Dari pengertian ini maka jelaslah bahwa jihad mengandung arti yang luas dan tidak hanya terbatas pada perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Memang harus diakui bahwa perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata merupakan bagian dari jihad. Tetapi jelas bukan satu-satunya. Lagi pula perjuangan fisik dan perlawanan senjata sebagai bagian dari jihad harus ditempatkan pada konteks yang dapat dibenarkan secara syar’i.
Macam-macam Jihad
Pengertian jihad yang telah dijelaskan di atas, baik secara etimologis maupun terminologis, menunjukkan keluasan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan makna yang luas tersebut, maka konsep jihad pun memiliki beberapa macam jenis. Ar-Raghib Al-Isfahani dalam bukunya Mu’jam Mufradât Al-Fâzh Al-Qur’an, menjelaskan bahwa jihad adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Sedangkan musuh yang dimaksud di sini meliputi (1) musuh yang nyata secara fisik, (2) musuh dalam bentuk setan, dan (3) musuh dalam bentuk nafsu yang ada pada setiap manusia.
1. Jihad menghadapi musuh yang nyata
Salah satu bentuk jihad adalah memerangi musuh yang nyata secara fisik. Jenis jihad inilah yang dikenal secara umum oleh umat Islam. Termasuk ke dalam jenis jihad ini adalah berperang mengangkat senjata untuk mempertahankan agama (Islam) dan tanah air. Perang mengangkat senjata untuk mempertahankan agama dan tanah air inilah yang dalam serajah peradaban Islam sering disebut sebagai perang suci. Perang fisik yang dibenarkan adalah untuk keperluan defensif. Kita dibenarkan melakukan jihad fisik dalam rangka mempertahankan agama dan tanah air; melindungi nyawa, kehormatan, dan harta benda. Lagi pula, dalam setiap peristiwa perang fisik, umat Islam diharamkan melakukan perusakan terhadap tempat-tempat ibadah umat lain, dilarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua dan orang-orang sipil lainnya.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perusakan atau pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah non muslim tidak diperkenankan, baik pada waktu perang apalagi pada saat damai.
2. Jihad menghadapi setan dan nafsu
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Dengan kelemahannya itu, tidak jarang manusia tergoda dan terjerumus ke dalam perilaku-perilaku jahat, buruk dan tercela. Dalam sebuah ayat dijelaskan bahwa setan akan selalu merayu dan menggoda manusia agar melenceng dari jalan kebenaran, yaitu melenceng dari jalan Allah swt yang lurus.
قاَلَ فَبِماَ أَغْوَيْتَنىِ لاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ ثُمَّ لاتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمنِهِمْ وَعَنْ ثَمَائِلِهِمْ وَلاَتَجِدَ اَكْثَرَهُمْ شكِرِيْنَ
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi (menggoda) mereka dari muka dan belakang, dari kanan dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (Q.S. Al-A’raf : 16-17).
Dalam menghadapi segala godaan dan rayuan setan, manusia dituntut untuk memiliki kekuatan dan ketangguhan iman. Manusia diharuskan menyiapkan iklim dan suasana yang sehat untuk menghalangi tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan oleh wabah setan. Termasuk ke dalam jenis jihad adalah memerangi hawa nafsu buruk akibat dari rayuan dan godaan setan. Bahkan memerangi hawa nafsu dan terhindar dari godaan setan adalah termasuk jihad yang lebih berat dan besar.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Rasulullah bersama para sahabatnya pulang dari suatu medan peperangan, beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Kita sekarang pulang dari melakukan jihad kecil (al-jihad al-asghar) untuk kemudian menuju jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar). Ketika beliau ditanya apa yang dimaksud dengan jihad yang lebih besar, beliau menjawab: “Jihad melawan hawa nafsu”.
3. Berjihad dengan melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar
Termasuk juga ke dalam bagian jihad adalah menyuruh orang untuk selalu berbuat baik dan mencegah mereka dari segala perbuatan munkar. Jihad dalam pengertian ini berarti melaksanakan dakwah dan pendidikan Islam, yaitu menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada setiap manusia, baik orang tua, pemuda, remaja maupun anak-anak. Jadi jelaslah bahwa kegiatan dakwah Islam dan kegiatan pendidikan tiada lain adalah salah satu dari realisasi jihad di jalan Allah.
Ikhtitam
Ajaran Islam sesungguhnya mencintai perdamaian di antara sesama umat manusia dan tidak menghendaki tindakan permusuhan dan kekerasan apalagi peperangan yang dapat merenggut banyak korban. Perdamaian yang dikehendaki oleh Islam bukan hanya di lingkungan umat Islam sendiri, tetapi juga dengan sesama umat manusia yang lain (non-muslim). Tetapi dalam kondisi umat Islam diserang, maka umat Islam diwajibkan mempertahankan diri dalam rangka merealisasikan jihad fi sabilillah.
Oleh karena itu, mencegah agar perdamaian di tengah masyarakat tidak terganggu oleh para pengacau, juga termasuk ke dalam bagian jihad. Termasuk juga bagian dari jihad adalah mencegah orang untuk tidak merusak atau membakar tempat-tempat ibadah umat lain.
Akhirnya, sebagai orang yang memiliki kesadaran, kita harus mengingatkan masyarakat kita agar tidak menggunakan alasan “jihad” untuk tujuan-tujuan yang sesunguhnya bertentangan dengan makna jihad yang sesungguhnya. Melalui kegiatan dakwah dan pendidikan, kita harus menanamkan ajaran Islam secara baik dan benar. Islam harus dipahami sebagai agama yang membawa misi perdamaian, kebaikan, kesejahteraan, dan ketenteraman umat manusia.
Tradisi dalam Perpsktif Islam
Sejak kelahiran dan perkembangannya, Islam selalu berhadapan dengan tradisi-tradisi, baik Arab, Mesir, Persia, Romawi, India, maupun Hindu-Budha di Indonesia. Islam juga selalu dihadapkan dengan tradisi-tradisi tinggi (high traditions) dan tradisi-tradisi rendah (low traditions). Dalam menghadapi tradisi-tradisi ini, Islam dengan Muhammad saw sebagai tokohnya selalu bersikap arif dan bijaksana. Beliau tidak serta-merta menentang apalagi menghancurkan tradisi-tradisi tersebut, malah dengan sangat arifnya melarang para pengikutnya mengganggu dan memerangi para penganut suatu tradisi; tetapi juga tidak terhanyut mengikuti tradisi-tradisi, karena beliau sendiri merasa yakin akan kebenaran dan keagungan ajaran dan tradisi (sunnah)-nya sendiri.
Perkembangan ajaran Islam, terutama yang menyangkut segi hukum Islam, pada dasarnya selalu merujuk pada dua sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.Tetapi beberapa segi dari perkembangan legislasi Islam juga menunjukkan adanya pengakuan terhadap tradisi-tradisi tertentu dan dijadikan sebagai bagian dari legislasi Islam. Itulah sebabnya dalam Ushul Fiqh dikenal adanya kaidah yang berbunyi “ adat itu dihukumkan” (العادة محكمة) atau “ adat adalah syari’ah yang dihukumkan (العادة شريعة محكمة).
Kedatangan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, memang tidak pernah mengklaim bahwa seluruh tradisi yang hidup di bumi harus dihancur-leburkan dan diganti dengan ajaran-ajaran Islam. Islam tetap mengakui adanya kebenaran-kebenaran dan keagungan-keagungan tertentu dari tradisi bangsa-bangsa. Tak ada suatu petunjuk pun yang mengharuskan umat Islam untuk menghancurkan keseluruhan tradisi.
Bahkan untuk sebagian, seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur dari berbagai tradisi untuk diakui sebagai bagian dari legislasi Islam, sejauh tradisi-tradisi tersebut tidak bertentang dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebaliknya, unsur-unsur dari tradisi atau budaya suatu masyarakat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah sesungguhnya yang menjadi makna kehadiran Islam di suatu tempat atau masyarakat.
Islam memandang bahwa setiap tempat, setiap masyarakat, setiap bangsa, dan setiap negeri memiliki masa jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Masa jahiliyah adalah masa dimana Islam belum datang di suatu tempat, yang di dalamnya berkembang praktek-praktek yang bertentangan dengan tauhid, serta berlawanan dengan prinsip-prinsip universal ajaran Islam yang lain, seperti perilaku syirik, khurafat, takhayul, mitologi, feodalisme, tatanan sosial tanpa hukum (anarkisme), kesewenang-wenangan, krtidakadilan, pengingkaran terhadap prinsip persamaan manusia dan lain sebagainya.
Setiap masyarakat yang masih memiliki tradisi-tradisi tersebut di atas adalah masyarakat jahiliyah, yang membawa konsekuensi kewajiban bagi umat Islam untuk meluruskan, menghilangkan dan menggantinya dengan ajaran Islam. Inilah makna dari dakwah Islam yang sesungguhnya. Di sini, Islam tidak berarti anti tradisi dan anti budaya lokal. Islam juga tidak memiliki presenden untuk menghancurkan tradisi-tradisi. Melalui doktrin dakwah-nya, Islam sejatinya bercita-cita untuk melakukan transformasi budaya dan tradisi, dari tradisi yang penuh dengan praktek dan perilaku musyrik, khurafat dan takhayul menuju kepada tradisi tauhid, pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, tradisi yang tidak lagi mengakui supremasi dan kekuatan alam lain kecuali Allah SWT. Islam bercita-cita untuk merombak masyarakat feodal, masyarakat tanpa hukum, masyarakat tanpa keadilan menuju kepada terwujudnya sistem sosial yang egaliter, tertib hukum dan berkeadilan.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kehadiran Islam akan selalu membawa konsekuensi adanya perombakan masyarakat atau transformasi sosial menuju kepada kondisi yang lebih baik, tanpa mengacaukan, memotong atau mencerabut masyarakat dari akar tradisinya, melainkan mendorong adanya pemeliharaan terhadap tradisi yang baik dan benar.
Lalu bagaimana kita membedakan tradisi baik dan benar dari tradisi yang tidak baik dan salah? Dengan menggunakan prinsip tauhid sebagai pijakan, sesungguhnya bagi kita amat mudah membedakan mana tradisi yang mengandung unsur-unsur syirk dan mana tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
يُرِيْدُ اللهَ اَنْ يُحِقَّ اْلحَقَّ بِكَلِمتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ اْلكفِرِيْنَ
“… dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirk) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”. (QS Al-Anfal:7-8).
Menghadapi berbagai tradisi, umat Islam diminta dan diharuskan untuk bersikap kritis, dan tidak dibenarkan hanya bersikap membenarkan semata. Patutlah direnungkan firman Allah berikut:
وَكَذلِكَ مَااَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ اِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا اِنَّاوَجَدْنَا ابَاءَنَا عَلَى اُمَّةٍ وَاِنَّا عَلَى اثرِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ اَوَلَوْجِئْتُكُمْ بِاَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ابَاءَكُمْ قَالُوا اِنَّابِمَااُرْسِلْتُمْ بِهِ كفِرِيْنَ
“Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pun memberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup berlebihan (kaya-raya) di negeri itu tentu akan berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka’. Dia (Rasul) itu berkata, ‘Apakah sekalipun aku datang kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu” (QS Az-Zukhruf: 23-24).
Dari ayat di atas terlihat betapa orang-orang jahiliyah selalu bersikap tanpa reserve dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhurnya, suatu sikap a priori yang selalu memandang tradisinya sendiri paling benar dan baik yang oleh karenanya harus dipertahankan. Padahal Allah SWT melarang umat islam memiliki sikap a priori seperti ini.
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَكُلٌّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengerti. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra:36).
Memelihara tradisi, apalagi jika tradisi itu benar dan baik adalah suatu kearifan. Tetapi kita tidak perlu bersikap a priori dan menjadi penganut faham tradisionalisme dalam arti enggan mengkritisi tradisi dan budayanya sendiri.
Saat ini, pada saat corak berpikir manusia sudah relatif rasional dan kritis, kita sering dibuat bingung ketika sebagian anggota masyarakat kita malah kembali atau mengalami kemunduran (setback) kepada tradisi-tradisi yang sesungguhnya sulit diakui oleh akal sehat dan sama sekali tidak memiliki landasan teologis (tauhid). Kebingungan tersebut semakin bertambah ketika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin kita memelopori tindakan-tindakan irasional, berindikasi syirk, khurafat dan takahyul dengan mengatasnamakan jargon “supremasi budaya”, dan atas nama “sikap akomodatif terhadap keyakinan sebagian massa”.
Akankah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin menjauh dari rahmat Allah, karena kemundurannya kepada kehidupan para leluhur dan masa lalunya? Wallahu A’lam:
عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يَرْحَمَكُمْ وَاِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكفِرِيْنَ حَصِيْرًا
“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(nya) kepadamu, sekiranya kamu kembali kepada (kemusyrikan), niscaya kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS Al-Isra:8).
Kita yang sadar dan tetap dikaruniai nikmat untuk selalu menggunakan akal sehat harus berani menegur dan memperingatkan setiap orang yang entah lupa atau disengaja bermain-main dengan doktrin tauhidullah.
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوااِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْلهَمُْ مَاقَدْ سَلَفَ وَاِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ اْلاَوَّلِيْنَ
“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang terdahulu” (QS Al-Anfal:38).
Akhirnya, kita berharap semoga kita terjauh dari segala bentuk perilaku dan praktek-praktek yang berindikasikan kemusyrikan, khurafat dan takahayul, sebagaimana banyak kita jumpai dalam tradisi leluhur kita.
رَبَّنَا اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظلِمُوْنَ
“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya, maka jika kami kembali (kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim” (QS Al-Mu’minun:107).
Perkembangan ajaran Islam, terutama yang menyangkut segi hukum Islam, pada dasarnya selalu merujuk pada dua sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.Tetapi beberapa segi dari perkembangan legislasi Islam juga menunjukkan adanya pengakuan terhadap tradisi-tradisi tertentu dan dijadikan sebagai bagian dari legislasi Islam. Itulah sebabnya dalam Ushul Fiqh dikenal adanya kaidah yang berbunyi “ adat itu dihukumkan” (العادة محكمة) atau “ adat adalah syari’ah yang dihukumkan (العادة شريعة محكمة).
Kedatangan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, memang tidak pernah mengklaim bahwa seluruh tradisi yang hidup di bumi harus dihancur-leburkan dan diganti dengan ajaran-ajaran Islam. Islam tetap mengakui adanya kebenaran-kebenaran dan keagungan-keagungan tertentu dari tradisi bangsa-bangsa. Tak ada suatu petunjuk pun yang mengharuskan umat Islam untuk menghancurkan keseluruhan tradisi.
Bahkan untuk sebagian, seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur dari berbagai tradisi untuk diakui sebagai bagian dari legislasi Islam, sejauh tradisi-tradisi tersebut tidak bertentang dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebaliknya, unsur-unsur dari tradisi atau budaya suatu masyarakat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah sesungguhnya yang menjadi makna kehadiran Islam di suatu tempat atau masyarakat.
Islam memandang bahwa setiap tempat, setiap masyarakat, setiap bangsa, dan setiap negeri memiliki masa jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Masa jahiliyah adalah masa dimana Islam belum datang di suatu tempat, yang di dalamnya berkembang praktek-praktek yang bertentangan dengan tauhid, serta berlawanan dengan prinsip-prinsip universal ajaran Islam yang lain, seperti perilaku syirik, khurafat, takhayul, mitologi, feodalisme, tatanan sosial tanpa hukum (anarkisme), kesewenang-wenangan, krtidakadilan, pengingkaran terhadap prinsip persamaan manusia dan lain sebagainya.
Setiap masyarakat yang masih memiliki tradisi-tradisi tersebut di atas adalah masyarakat jahiliyah, yang membawa konsekuensi kewajiban bagi umat Islam untuk meluruskan, menghilangkan dan menggantinya dengan ajaran Islam. Inilah makna dari dakwah Islam yang sesungguhnya. Di sini, Islam tidak berarti anti tradisi dan anti budaya lokal. Islam juga tidak memiliki presenden untuk menghancurkan tradisi-tradisi. Melalui doktrin dakwah-nya, Islam sejatinya bercita-cita untuk melakukan transformasi budaya dan tradisi, dari tradisi yang penuh dengan praktek dan perilaku musyrik, khurafat dan takhayul menuju kepada tradisi tauhid, pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, tradisi yang tidak lagi mengakui supremasi dan kekuatan alam lain kecuali Allah SWT. Islam bercita-cita untuk merombak masyarakat feodal, masyarakat tanpa hukum, masyarakat tanpa keadilan menuju kepada terwujudnya sistem sosial yang egaliter, tertib hukum dan berkeadilan.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kehadiran Islam akan selalu membawa konsekuensi adanya perombakan masyarakat atau transformasi sosial menuju kepada kondisi yang lebih baik, tanpa mengacaukan, memotong atau mencerabut masyarakat dari akar tradisinya, melainkan mendorong adanya pemeliharaan terhadap tradisi yang baik dan benar.
Lalu bagaimana kita membedakan tradisi baik dan benar dari tradisi yang tidak baik dan salah? Dengan menggunakan prinsip tauhid sebagai pijakan, sesungguhnya bagi kita amat mudah membedakan mana tradisi yang mengandung unsur-unsur syirk dan mana tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
يُرِيْدُ اللهَ اَنْ يُحِقَّ اْلحَقَّ بِكَلِمتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ اْلكفِرِيْنَ
“… dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirk) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”. (QS Al-Anfal:7-8).
Menghadapi berbagai tradisi, umat Islam diminta dan diharuskan untuk bersikap kritis, dan tidak dibenarkan hanya bersikap membenarkan semata. Patutlah direnungkan firman Allah berikut:
وَكَذلِكَ مَااَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ اِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا اِنَّاوَجَدْنَا ابَاءَنَا عَلَى اُمَّةٍ وَاِنَّا عَلَى اثرِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ اَوَلَوْجِئْتُكُمْ بِاَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ابَاءَكُمْ قَالُوا اِنَّابِمَااُرْسِلْتُمْ بِهِ كفِرِيْنَ
“Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) seorang pun memberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup berlebihan (kaya-raya) di negeri itu tentu akan berkata: ‘Sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka’. Dia (Rasul) itu berkata, ‘Apakah sekalipun aku datang kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu” (QS Az-Zukhruf: 23-24).
Dari ayat di atas terlihat betapa orang-orang jahiliyah selalu bersikap tanpa reserve dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhurnya, suatu sikap a priori yang selalu memandang tradisinya sendiri paling benar dan baik yang oleh karenanya harus dipertahankan. Padahal Allah SWT melarang umat islam memiliki sikap a priori seperti ini.
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَكُلٌّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengerti. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra:36).
Memelihara tradisi, apalagi jika tradisi itu benar dan baik adalah suatu kearifan. Tetapi kita tidak perlu bersikap a priori dan menjadi penganut faham tradisionalisme dalam arti enggan mengkritisi tradisi dan budayanya sendiri.
Saat ini, pada saat corak berpikir manusia sudah relatif rasional dan kritis, kita sering dibuat bingung ketika sebagian anggota masyarakat kita malah kembali atau mengalami kemunduran (setback) kepada tradisi-tradisi yang sesungguhnya sulit diakui oleh akal sehat dan sama sekali tidak memiliki landasan teologis (tauhid). Kebingungan tersebut semakin bertambah ketika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin kita memelopori tindakan-tindakan irasional, berindikasi syirk, khurafat dan takahyul dengan mengatasnamakan jargon “supremasi budaya”, dan atas nama “sikap akomodatif terhadap keyakinan sebagian massa”.
Akankah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin menjauh dari rahmat Allah, karena kemundurannya kepada kehidupan para leluhur dan masa lalunya? Wallahu A’lam:
عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يَرْحَمَكُمْ وَاِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكفِرِيْنَ حَصِيْرًا
“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(nya) kepadamu, sekiranya kamu kembali kepada (kemusyrikan), niscaya kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS Al-Isra:8).
Kita yang sadar dan tetap dikaruniai nikmat untuk selalu menggunakan akal sehat harus berani menegur dan memperingatkan setiap orang yang entah lupa atau disengaja bermain-main dengan doktrin tauhidullah.
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوااِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْلهَمُْ مَاقَدْ سَلَفَ وَاِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ اْلاَوَّلِيْنَ
“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang terdahulu” (QS Al-Anfal:38).
Akhirnya, kita berharap semoga kita terjauh dari segala bentuk perilaku dan praktek-praktek yang berindikasikan kemusyrikan, khurafat dan takahayul, sebagaimana banyak kita jumpai dalam tradisi leluhur kita.
رَبَّنَا اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظلِمُوْنَ
“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya, maka jika kami kembali (kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim” (QS Al-Mu’minun:107).
Subscribe to:
Posts (Atom)