Monday, July 2, 2007

Madrasah Nubuwwah

Pendahuluan
Dalam pandangan Islam, seorang anak yang baru dilahirkan berada dalam ‎keadaan suci-bersih (fitrah). Tidak ada noda dan dosa yang melekat di dalamnya. Dia ‎akan menjadi orang baik atau jahat, pandai atau bodoh, shalih atau durhaka sangat ‎tergantung kepada orang tua, keluarga dan lingkungannya, baik lingkungan sekolah ‎maupun lingkungan sosialnya.‎
كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه
Sejak seorang anak dilahirkan hingga mencapai usia remaja, dia akan mengalami ‎masa-masa perkembangan yang sangat penting, baik perkembangan fisik, perkembangan ‎mental, kepribadian maupun perkembangan pengalaman keagamaan. Pada masa-masa ‎itulah, pengetahuan cognitive anak akan sangat berpengaruh dan menentukan ‎perkembangan sikap (afektif) dan perilaku (psikomotorik) di masa-masa selanjutnya.‎
Itulah sebabnya pendidikan dipandang dan diyakini sangat penting untuk ‎membimbing, mengarahkan dan melatih anak, agar persepsi-kognitif sang anak dapat ‎dikembangkan ke arah yang positif, tanpa mengganggu dan mengurangi kebutuhannya ‎untuk bermain dan bersenda gurau.‎
Tentu saja pendidikan yang dimaksud di sini tidak hanya pendidikan sekolah, ‎melainkan juga pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan luar sekolah seperti ‎Madrasah Diniyah, Pondok Pesantren dan lain sebagainya. ‎
Panorama Pendidikan Islam
Sebelum dibicarakan mengenai panorama pendidikan Islam, akan dibahas ‎terlebih dahulu mengenai beberapa panorama pendidikan yang kita ketahui. Selama ini ‎kita mengenal beberapa "panorama" pendidikan. Panorama-panorama pendidikan ini ‎tentu saja memiliki implikasi yang luas terhadap berbagai dimensi pendidikan. ‎
Pertama, mendidik diartikan sebagai upaya mengatur tingkah laku terdidik secara ‎sepihak. Pendidik pula yang menentukan apa yang harus dilakukan terdidik, sehingga ‎kalau berhasil, terdidik sekedar menjadi duplikasi si pendidik. Ia selalu berada dalam ‎bayang-bayang si pendidik, tidak berkemauan, tanpa inisiatif dan tidak bertanggung ‎jawab.‎
Mendidik dalam arti tingkah laku, dipandang sebagai kegiatan pembiasaan dan ‎reinforcement, teguran, pengulangan, dan ganjaran. Sasarannya hanya sampai kepada ‎mengubah tingkah laku dalam arti molekuler, terbatas pada apa yang dapat dilihat dan ‎diraba. Pribadi seperti itulah yang merupakan hasil bentukan pola kerja stimulus-respon ‎dari kaum behavioris. ‎
Kedua, yang berlawanan dengan pandangan ini mengatakan, bahwa pendidikan ‎sepenuhnya harus berpusat pada terdidik. Si terdidik dipandang sebagai tolok ukur ‎penentu arah tingkah laku, sehingga arah itu sendiri menjadi kabur. Pendidik sekedar ‎penggerak dan penghidup mesin, sedang kemudinya diserahkan kepada terdidik
Ketiga, panorama lain memandang, bahwa pendidik perlu memperhatikan ‎aktifitas si terdidik di samping pendidik harus mengarahkan si terdidik. Ini berarti bahwa ‎tindakan pendidikan merupakan tindakan yang bipolar. Pendidikan seperti ini sering ‎menempatkan pendidik pada posisi yang sulit, karena dia harus memperhitungkan ‎seberapa jauh ia memberi kesempatan kepada terdidik, dan seberapa jauh pula ia harus ‎memberikan arahan dan bimbingan.‎
Keempat, adapula yang melaksanakan pendidikan berdasarkan impuls yang ‎muncul secara insidental pada si pendidik, sehingga pola maupun arah pendidikan tidak ‎menunjukkan suatu garis yang lurus, dan tidak jelas pula ke mana mau menuju. ‎Pandangan seperti ini mempercayakan perbuatan pendidikan pada gejolak hati dan intuisi ‎yang sulit diperhitungkan dan diperkirakan, kapan akan tiba dan bagaimana corak dan ‎arahnya.‎
Kelima, tindakan pendidikan semata-mata di dasarkan kepada situasi sosial yang ‎di batasi oleh kesementaraan ruang dan waktu. Segala nilai di gali dari kekinian dan "di ‎sini" semata-mata, sehingga nilai itupun bernilai nisbi belaka. ‎
Lalu bagaimanakah panorama pendidikan islam? Pendidikan islam, mengakui dan ‎bahkan menekankan kemampuan manusia untuk bertanggung jawab. Ia bertopang pada ‎kejelasan norma, memiliki garis lurus yang membimbing pemikiran dan tindakan ‎pendidikan, yang oleh karenanya dapat diketahui dasar, tujuan, dan garis ‎pembimbingnya. Dengan model pendidikan seperti inilah dapat di bangun manusia yang ‎utuh (kaffah) yaitu manusia yang memiliki kesatuan niat, ucap, pikir, prilaku dan tujuan, ‎yang direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.‎
Tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah: ‎
‎1. Taqwimunnufus, yaitu menegakkan jiwa agar tidak terombang-ambing. ‎
‎2. Tahdzibussuluk, yaitu membersihkan perjalanan hidup dan kehidupan.‎
‎3. Tajwidul akhlaq, yaitu memperindah akhlak dan budi pekerti.‎
‎4. Merancang bangun pribadi muslim agar menjadi keluarga ummat yang salih. ‎
‎5. Pembinaan keterampilan tangan.‎
Keberhasilan kelima tujuan pendidikan Islam tersebut pada akhirnya akan meng-‎hasilkan ‎خير امة اخرجت للناس‎ (ummat yang terbaik yang dikeluarkan kepada manusia), ‎sehingga mampu berperan sebagai : ‎
* Petunjuk kepada jalan Allah ‎
* Pemimpin dalam kehidupan
* Mengerti bahwa islam adalah agama yang up to date dan ilmiah, bukan agama filsafat ‎yang berdasarkan penalaran yang kosong dari tuntunan wahyu ‎
* Mampu menjadi tauladan bagi anak-anaknya dan generasi penerusnya
* Menampilkan diri sebagai pembuat dan pelaksana garis kebijakan hidup dan ‎kehidupan ‎
* Mampu menyingkapkan tabir diri ‎
* Memiliki pegangan dan nilai hidup yang bersih dan lurus ‎
Untuk mencapai tujuan di atas itu, seorang anak perlu dibekali dengan nilai-nilai ‎keislaman, ilmu pengetahuan dan keterampilan. Upaya pembekalan ini sedapat mungkin ‎dilakukan sejak anak berusia dini. Pembekalan ilmu dan keterampilan dapat dilakukan ‎dengan mengambil sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang berasal dari ‎tradisi ilmu pengetahuan islam maupun yang berasal dari ilmu pengetahuan "umum". ‎Karena, tradisi keilmuan dan kebudayaan islam sangat kaya, sebagaimana dikemukakan ‎oleh Sayyid Quthub dalam bukunya ‎المستقبل لهذاالدين‎ (masa depan untuk islam) : ‎
والحق ان الدين ليس بديلا من العلم والحضارة ولا عدوا للعلم والحضارة انما ‏هو اطار للعلم والحضارة ومحور للعلم والحضارة ومنهج للعلم والحضارة فى ‏حدود اطاره ومحوره الذى يحكم كل شؤن الحياة
‎"Yang benar, bahwasanya agama (Islam) bukan pengganti ilmu dan kebudayaan bahkan ‎bukan pula musuh ilmu dan kebudayaan. Padahal dinul islam merupakan bingkai ilmu ‎dan kebudayaan dan poros/sumbu untuk ilmu dan kebudayaan, begitu pula sebagai ‎metoda bagi ilmu dan kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang mampu ‎memberi hukum (peraturan) bagi segala masalah kehidupan". ‎
Konsepsi Islam Tentang Guru Pendidikan Anak
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disebutkan beberapa sifat dan sikap ‎seorang guru pendidikan anak yang dalam bahasa arab dikenal dengan murabby. ‎
Pertama, seorang murabby, dalam menghadapi anak selayaknya memiliki sifat ‎dan sikap keibuan dan kebapakan. ‎
كن مربيا بعد ما كنت ابا او اما
‎"Jadilah pendidik setelah anda mengalami kedudukan sebagai ayah atau ibu"‎
Kedua, memiliki pengetahuan mengenai manhaj Ilahy yang bersumber pada al-‎Kitab dan as-Sunnah. Karena, manhaj Ilahy bertujuan untuk membangun peserta didik ‎menjadi ‎شخصية طيبة‎ (pribadi suci) sejak dini, sejak kanak-kanak untuk melahirkan ‎عائلة ‏طيبة‎ (keluarga suci), dan akhirnya ‎قرية طيبة‎ (kampung suci) yang menuju ‎بلدة طيبة‎ (negeri ‎yang suci) disertai ‎ورب غفور‎ (penuh dengan ampun Ilahy).‎
Untuk membentuk pribadi yang suci maka perlu ditanamkan kalimah thayyibah ‎‎(kata yang sarwa suci), sebagaimana firman Allah:‎
الم ترى كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة اصلها ثابت وفرعها فى ‏السماء تؤتى اكلها كل حين باذن ربها
‎"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat ‎yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, ‎pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya "(Q.S. ‎Ibrahim : 24-25) .‎
Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah berkata: ‎
الكلمة اصل العقيدة فالاعتقاد هو الكلمة التى يعتقدها المرء واطيب الكلام ‏والعقائد كلمة التوحيد واعتقاد ان لااله الاالله ‏
‎"Kata (yang paling) utama adalah asal akidah, maka i'tikad ialah kata utama yang ‎menjadi pokok akidah seseorang. Dan kalimat serta aqa'id yang paling suci ialah ‎kalimat tauhid, yaitu ‎لااله الاالله‏‎ (tiada Tuhan kecuali Allah)".‎
Ketiga, menanamkan pengertian bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia dan ‎segala makhluk yang lainnya. Sebagai ciptaan Allah, jasad manusia tidak terpisah dari ‎ruh, dan akal tidak terpisah dari jasad dan ruh. Konsep inilah yang melandasi pendidikan ‎yang bersifat kaffah, dalam arti antara kebutuhan fisik, kebutuhan ruhani dan kebutuhan ‎intelektualnya seimbang. ‎
Keempat, menggali dan mengembangkan konsep-konsep qur'aniyah sehingga ‎dapat ditemukan petunujuk-petunjuk bagi manusia, termasuk bagi pengembangan ilmu ‎pengetahuan itu sendiri. Dari ayat pertama yang di turunkan yaitu : ‎
اقرأ باسم ربك الذى خلق*خلق الانسان من علق*اقرأ وربك الاكرم*الذى علم ‏بالقلم*علم الانسان مالم يعلم
‎"Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan ‎manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang ‎mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa ‎yang tidak diketahuinya". (Q.S. al-'Alaq : 1-5)‎
Dari ayat tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa Islam sangat mendorong ‎manusia untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dengan melalui ‎membaca, menulis maupun penelitian.‎
Kelima, kedudukan ilmu dalam Islam adalah untuk hidup seluruhnya dan untuk ‎berkhidmat kepada kemandirian segalanya, bukan sekedar timbunan dan serba rahasia, ‎tetapi untuk disalurkan lagi buahnya, sehingga mereka merasa berbahagia dengan ‎membekasnya ilmu untuk menghubungkannya kepada Allah, dalam kedudukan orang-‎orang yang mempunyai ilmu hidayah dan ilmu atsar.‎
Keenam, membaca adalah tangga pertama dari titian ma'rifat, dan alatnya adalah ‎pena, tinta, kertas dan lain-lain.‎
Ketujuh, tujuan ilmu dan risalahnya harus atas nama Murabby Yang Agung, ‎Yang Maha Pencipta dan Maha Pemberi Ilmu, bukan atas nama haiah jama'ah, negeri, ‎berhala, dan golongan, sebab semuanya karena manusia, bukan karena Allah.‎
Rasulullah bersabda :‎
‎"Barangsiapa yang mencari ilmu karena hanya untuk kecongkakan ulama dan keren-‎dahan orang-orang bodoh, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka". (HR. ‎Tirmidzi). ‎
Penutup
Menjadi guru atau murabby di Taman Kanak-kanak atau Raudlatul Athfal ‎bukanlah sesuatu yang mudah dan ringan. Karena ia tidak hanya dituntut untuk memiliki ‎berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi dan mendidik anak-anak ‎kecil, tetapi juga dituntut tanggung jawab yang cukup berat.‎
Maka sudah saatnyalah para guru di Taman Kanak-kanak mendapat penghargaan ‎yang setinggi-tingginya, mengingat di tangan merekalah anak-anak kita, secara dini ‎dibekali, dilatih dan dirangsang pertumbuhannya, baik fisik, mental maupun ruhaninya.‎

Konsep Madrasah Nubuwwah

Setiap kali datang bulan Rabi’ul Awwal, umat Islam di berbagai penjuru dunia ‎selalu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sayang sekali, peringatan ‎kelahiran Nabi Muhammad SAW itu lebih banyak hanya menonjolkan segi-segi ‎seremonial dan kurang menghayati makna yang terkandung dari kelahiran beliau beserta ‎keberhasilan-keberhasilan beliau dalam menegakkan panji-panji Islam dan membangun ‎jamaah atau masyarakat, khususnya di kota Madinah.‎
Ulasan mengenai peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW beserta ‎keistimewaan-keistimewaan yang menyertainya telah banyak dilakukan. Dan rasanya ‎tidak lengkap apabila mengulas sejarah Rasulullah SAW tetapi melupakan aspek-aspek ‎yang bersifat substansial, khususnya yang berkenaan dengan perjuangan Rasulullah SAW ‎dalam melakukan dakwah Islamiyah serta proses yang beliau lakukan dalam mendidik ‎umatnya.‎
Dalam menyebarkan agama Allah (Islam) serta dalam mendidik umatnya, ‎Rasulullah SAW selalu menggunakan sistem dan metode dakwah dan pendidikan yang ‎khas dan berbeda dengan kebanyakan sistem dan metode yang digunakan oleh tokoh-‎tokoh agama lain yang mendahuluinya.‎
Sistem dan metode dakwah Rasulullah SAW serta sistem dan metode pendidikan ‎Nabi SAW (‎مدرسة النبوة‎) didasarkan pada sistem dan metode dakwah Al-Qur’an. Konsep ‎dakwah (‎دعوة‎) dimaksudkan sebagai upaya menyeru dan mengajak orang untuk memeluk ‎Islam; sedangkan konsep pendidikan (‎تربـية ‏‎ atau ‎تأديب‎) dimaksudkan untuk memberikan ‎pengertian, pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang ajaran dan nilai-nilai ‎ajaran Islam kepada umatnya.‎
Kedua sistem dan metode ini didasarkan pada firman Allah SWT:‎
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى احسن
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam ‎serta dalam membangun umat dalam jangka waktu 32 tahun itu tidak bisa dilepaskan dari ‎sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang beliau lakukan. ‎
Dalam menyeru dan mengajak orang untuk memasuki dan memeluk agama Allah ‎‎(Islam) beliau melakukan dengan cara-cara yang penuh dengan kebijakan (‎دعوة بالحكمة‎). ‎Beliau tidak pernah memaksa, mengancam atau mengintimidasi seseorang agar bersedia ‎menjadi pemeluk Islam. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para kaisar ‎di Romawi yang memaksa warganya untuk memeluk agama tertentu. Dalam ‎menyebarkan agama yang sesuai dengan agama sang Kaisar, tidak jarang mereka ‎melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Bahkan ‎tidak jarang seseorang yang tidak mau mengikuti agama sang Kaisar, berakhir dengan ‎kematian di tiang gantungan atau mati dengan cara yang sangat memilukan di tengah ‎arena yang penuh dengan binatang singa yang amat ganas. Rasulullah SAW juga tidak ‎mengikuti pola penyebaran agama yang menggunakan kekuasaan dan harta sebagai ‎iming-iming yang menggiurkan. ‎
Beliau menyampaikan kebenaran Ilahy kepada setiap orang dan membebaskan ‎mereka untuk memilih; menerima atau menolak dan mengikuti atau memalingkan diri. ‎Tidak pernah sekalipun dalam sejarah perjuangannya, Rasulullah memaksa orang untuk ‎memasuki ajaran Islam. Kalau pun ada tuduhan para sarjana Barat yang mengatakan ‎bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang (kekerasan dan peperangan), hal itu semata-‎mata karena kebencian para sarjana Barat, serta perasaan takut yang berlebihan terhadap ‎kejayaan Islam dan umatnya. Sebab tidak sedikit para sarjana Barat yang netral dan ‎bersimpati terhadap umat Islam, yang menentang pendapat dan pemikiran tentang ‎kekerasan dan peperangan sebagai metode penyiaran agama Islam.‎
Sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah ‎SAW adalah pemberian tauladan yang baik (‎موعظة الحسنة‎). Sistem dan metode ini terutama ‎sekali beliau terapkan dalam mendidik para pengikut dan sahabatnya. Dengan sistem dan ‎metode ini, beliau tidak pernah menyuruh atau meminta seseorang kecuali beliau sendiri ‎juga mengerjakannya. Tidak seperti para pemimpin yang berlagak seorang raja, yang ‎bisanya hanya main tunjuk semata; Rasulullah SAW selalu ikut serta bersama para ‎sahabatnya bahu-membahu berjuang menegakkan syi’ar Ilahy. Bahkan tatkala ‎membangun masjid untuk pertama kalinya di kota Madinah, beliau ikut serta bekerja ‎dalam menyediakan batu-batu dan tanah yang diperlukan. Demikian pula ketika ‎penduduk kota Madinah membangun sistem pertahanan parit (khandaq) dalam ‎menghadapi ancaman serangan kaum kafir Quraisy, beliau bersama-sama dengan para ‎penduduk ikut menggali dan mengangkut tanah galian.‎
Sistem dan metode dakwah ini juga selalu beliau terapkan setiap kali beliau ‎menyampaikan butir-butir wahyu Ilahy kepada para sahabatnya. Hampir semua ayat-ayat ‎al-Qur’an yang khitab-nya ditujukan kepada umat manusia pada umumnya dan orang-‎orang yang beriman pada khususnya, juga mencakup pribadi Rasulullah SAW. Kalau ‎orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu, seperti shalat, puasa, ‎zakat, haji, menegakkan keadilan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang ‎munkar; maka kewajiban tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW. Demikian pula jika ‎orang-orang yang beriman dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut juga ‎berlaku bagi Rasulullah SAW.‎
Sedangkan sistem dan metode dakwah serta pendidikan ketiga adalah melakukan ‎dialog dengan cara yang lebih baik (‎مجادلة بالتى هى احسن‎). Metode ini selalu beliau gunakan ‎dalam melakukan dakwah, terutama jika menghadapi kaum yang beliau pandang ‎memiliki pengetahuan yang lebih baik.‎
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah pada setiap musim haji mengunjungi ‎kemah-kemah jemaah membicarakan masalah agama. Meskipun sebagian mereka tidak ‎menghiraukan pembicaraannya, atau bahkan sebagian lagi menolaknya dengan tegas. ‎Tetapi ada juga dukungan dari suatu kelompok yang tidak diduga-duga sebelumnya. ‎Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa suatu saat beliau mengunjungi suatu kemah yang ‎terdiri dari enam atau tujuh orang, yang rupanya berasal dari kota Yatsrib, “Dari suku ‎mana kalian?” tanya Nabi. “Kami dari Khajraj”, jawab mereka. “Sahabat orang-orang ‎Yahudi?” “Ya”. “Kalau begitu, mengapa kalian tidak duduk sebentar, agar aku dapat ‎berbicara dengan kalian?” “Tentu saja!”, sahut mereka. Mereka pun duduk bersama ‎Nabi di mana beliau menjelaskan kepada mereka tentang Tuhan yang sebenarnya dan ‎tentang Islam serta membacakan beberapa ayat al-Qur’an.‎
Demikianlah Tuhan memberi inayah kepada Islam, bahwa di Yatsrib tinggal ‎orang-orang Yahudi yang memiliki Kitab (Taurat) dan kebijaksanaan, sedang orang-‎orang Khajraj sendiri masih menganut agama berhala. Sering kali orang-orang Yahudi ‎berperang dengan mereka. Orang-orang Yahudi selalu mengatakan kepada mereka bahwa ‎‎“Tidak lama lagi akan datang seorang Rasul, kami akan mengikutinya, dan kami akan ‎menang, sedang kamu akan binasa seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”. Dan kini ‎Rasul Tuhan itu sedang berada dan berbicara di hadapan mereka, menyeru mereka ‎mempercayai Tuhan, maka mereka pun berkata satu sama lain: “Ketahuilah, ‎sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut oleh orang Yahudi itu. Untuk apa kita ‎membuang-buang waktu lagi. Mari kita menggabungkan diri sebelum didahului oleh ‎orang-orang Yahudi”. Begitulah lalu mereka masuk Islam dan berkata kepada Rasul: ‎‎“Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, tetapi kini kiranya Tuhan akan ‎mempersatukannya dengan perantaraan Anda dan ajaran-ajaran yang kami terima dari ‎Anda”. ‎
Masuknya beberapa orang Khajraj ini jelas sekali merupakan jerih payah beliau ‎untuk selalu mengajak orang melakukan dialog atau diskusi. Dengan memberikan ‎pengertian, pemahaman dan menjawab segala pertanyaan dan keraguan mereka yang ‎diajak dialog, maka keinginan dan simpati akan mengikuti dengan sendirinya. Lebih-‎lebih jika metode dialog atau diskusi ini dilakukan pada momen-momen yang tepat, ‎seperti yang terjadi dalam dialog antara Rasulullah dengan kaum Khajraj di atas.‎
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini agaknya sangat ‎tepat untuk kita renungkan bersama, sekaligus mengambil hikmah dan pelajaran-‎pelajaran penting dari kisah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan ‎nilai-nilai Islam, serta dalam membangun masyarakat madani (civil society) di kota ‎Madinah. ‎
Dengan demikian, kalau cita-cita kita bersama untuk mewujudkan masyarakat ‎madani (civil society) di Indonesia ingin berhasil, maka acuan kita tiada lain adalah ‎model dan pola perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat di kota ‎Madinah.‎
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengingatkan kembali pernyataan Imam Malik ‎bin Anas, ulama pendiri mazhab Maliki, sebagai berikut:‎
لا تصلح هذه الامة الا بما صلح به اولها
‎“Umat ini tidak akan mencapai kemaslahatan, kecuali dengan sesuatu yang telah ‎memaslahatkan umat terdahulu”.‎

Berkorbanlah untuk Kebaikan

Sebentar lagi kita menghadapi Hari Raya Kurban Tahun 1421 H. Pada hari agung ‎yang ditunggu-tunggu oleh para jemaah haji itu, umat Islam ditantang untuk ‎berkorban dengan cara menyembelih hewan tertentu demi menjunjung tinggi solidaritas ‎kepada sesama, terutama kepada mereka yang miskin, papa dan tertindas. ‎Penyembelihan hewan tertentu sesungguhnya merupakan simbol dari pengorbanan yang ‎lebih hakiki, yaitu kesediaan berkorban dalam membela kebenaran; membela dan ‎membantu kaum yang tertindas, miskin dan papa; membela agama Allah dan ajaran-‎ajaran yang dibawa Rasul-Nya; dan lain sebagainya. Tulisan ini mencoba membahas ‎tentang pentingnya berbuat baik kepada sesama, yang di dalamnya juga mengandung ‎hakikat kurban, yaitu berkorban demi “kebaikan”.‎
Kebaikan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan sosial, kini ibarat barang ‎langka yang sulit ditemukan di tengah kita. Yang justru ditemukan adalah ‎kecenderungan semakin kuatnya sifat-sifat egoistik, angkuh, sombong, merasa diri ‎paling benar, perusakan dan kerusuhan. Manusia kita ibarat serigala bagi manusia ‎yang lain, sehingga tega mengorbankan hidup sesamanya (homo homini lupus). ‎Kecenderungan manusia untuk menghancurkan hidup sesamanya melalui ancaman, teror, ‎perusakan, pembunuhan dan lain-lain adalah bukti lemahnya komitmen dan keberpihakan ‎kita pada kebaikan. ‎
Lalu, kemana fitrah kemanusiaan yang sejatinya selalu cenderung kepada yang ‎baik dan mencintai kebaikan? Bukankah Tuhan telah menganugerahi manusia sebagai ‎makhluk hanief yang pada dasarnya menolak kebencian, permusuhan, keburukan, dan ‎kejahatan? Manusia memang memiliki fitrah suci dan watak dasar yang hanief. Fitrah ‎suci dan hanief sesungguhnya tidak pernah hilang dari diri manusia. Hanya saja, ‎manusia tidak selamnya setia kepada fitranya, di samping juga kelemahan yang ‎dimiliki oleh manusia. Karena itu, ketidaksetiaan manusia pada fitrahnya serta ‎kelemahan yang dimilikinya kemudian menjadi pintu bagi masuknya kejahatan pada ‎manusia. Meskipun kejahatan lebih disebabkan oleh faktor yang datang dari luar, ‎tetapi karena ia masuk ke dalam diri manusia melalui suatu kualitas yang inheren ‎pada dirinya, yakni kelemahan, maka kejahatan pun bisa jadi menjadi hakikat ‎manusia. Dengan kelemahannya itu, manusia terkadang tidak mampu mengendalikan ‎dirinya. Ia bisa marah, benci, memusuhi, merusak atau membunuh sesamanya. Fitrah ‎suci manusia dan kelemahannya menyebabkan manusia menjadi makhluk unik, yang tidak ‎selamanya benar dan tidak selamanaya salah.‎
Oleh karena itu, meskipun asal kejadian manusia bersifat fitrah, cenderung ‎untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, tetapi karena manusia juga memiliki ‎kelemahan yang berpotensi melahirkan kejahatan, maka manusia tetap memerlukan ‎petunjuk (huda) dan bimbingan yang datang dari Allah melalui para nabi-Nya. Ketika ‎potensi kejahatan memasuki jiwa manusia dan masyarakat, dan manusia melalui ‎fitrahnya tidak dapat mengusir potensi kejahatan itu, maka manusia harus mencari ‎petunjuk yang bersifat Ilahiyyah. Dalam koteks inilah, kita perlu menggali dan ‎menelusuri petunjuk-petunjuk Ilahi untuk dijadikan sebagai landasan etik-spiritual, ‎sehingga mampu memotivasi setiap manusia untuk selalu berbuat baik dan mencintai ‎kebaikan serta mengurangi kecenderungan egosentrisnya.‎
Agama selalu mendorong para pemeluknya untuk selalu bersikap dan berperilaku ‎baik dan mencintai kebaikan. Karena kebaikan adalah salah satu sifat Tuhan:‎
هُوَ الَّذِى لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ المَلِكُ الْقُدُّوسُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ‏سُبْحنَ اللهِ عَمَّايُشْرِكُوْنَ
‎“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha ‎Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, ‎Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allahdari apa yang ‎mereka sekutukan” (Q.S. Al-Hasyr:23).‎
Karena kebaikan merupakan salah satu sifat Tuhan, maka olah karenanya menjadi ‎tugas setiap manusia untuk selalu berpihak dan mencintai kebaikan, sebagaimana ‎firman Allah SWT: ‎
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَاِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ
‎“Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka ‎sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-‎Baqarah:158). ‎
Berbuat baik dan mencintai kebaikan adalah manifestasi dari persaksian kita ‎atas Keesaan Allah. Lebih dari itu, dengan selalu berbuat baik dan mencintai ‎kebaikan berarti manusia telah membuktikan dirinya sebagai khalifah atau wakil ‎Allah di muka bumi. Bukankah Allah selalu berbuat baik kepada kita dan semua ‎makhluk-Nya dan selalu mencintai orang-orang yang berbuat baik? ‎
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ
‎“… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ‎baik kepadamu…” (Q.S. Luqman:77); ‎
وَاَحْسِنُوا اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلُمحْسِنِيْنَ
‎“… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ‎berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah:195).‎
Petunjuk-petunjuk tersebut idealnya mampu memotivasi dan mendorong manusia ‎pada kebaikan, dan menyingkapkan kembali fitrahnya yang hanief. Sebab hati orang ‎yang beriman akan selalu bergetar dan bertambah keimanannya setiap kali mendengar, ‎membaca dan menelaah petunjuk-etunjuk Ilahi, ‎
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيتُهُ ‏زَادَتْهُمْ اِيْمنًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
‎“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut ‎Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ‎bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (Q.S. Al-‎Anfal:2). ‎
Bagi yang beriman, ayat-ayat Allah adalah pendorong dan menjadi landasan ‎etik-spiritual untuk selalu berbuat baik dan mencintai kebaikan. Dalam kehidupan ‎sehari-hari orang yang beriman, tiada yang lebih penting bagi mereka kecuali (1) ‎menyegerakan berbuat baik: ‎
يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ‏وَيُسرِعُوْنَ فِى اْلخَيْرَاتِ وَاُولَئِكَ مِنَ الصّلِحِيْنَ
‎“Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang ‎ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai ‎kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Ali Imran:114); ‎
‎(2) berlomba-lomba dalam kebajikan: ‎
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
‎“… dan berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebajikan....” (Q.S. Al-‎Baqarah:148); ‎
Dan (3) menolak segala kejahatan dan permusuhan: ‎
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِىَ اَحْسَنُ فَاِذَالَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَوَةٌ ‏كَأَنَّهُ وَلِىٌّ حَمِيْمٌ
‎“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan ‎cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada ‎permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. 41:34).‎
Sebelum kebencian dan permusuhan pada sebagian masyarakat kita berubah ‎menjadi penyakit menular dan menjangkiti semua orang, kita perlu memperbaiki dan ‎menyempurnakan kualitas keimanan kita kepada Allah. Sebab seseorang dengan kualitas ‎iman yang baik akan kebal atau imun dari penyakit-penyakit sosial, semacam ‎kebencian dan permusuhan. Dan hanya dengan kualitas iman yang baik, seseorang akan ‎selalu mencintai dan berpihak pada kebaikan.‎
Kita seharusnya mengambil hikmah dari pengorbanan luar biasa besar yang ‎dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, ketika keduanya memperoleh titah untuk ‎berkorban. Nabi Ibrahim telah merelakan kehilangan anak yang amat dicintainya. ‎Begitu juga Nabi Ismail, beliau telah rela dirinya di korbankan (disembelih) ‎sebagai bukti kepathuhannya kepada Allah SWT. ‎
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ قَالَ يبُنَىَّ اِنِّى اَرى فِى المْنَاَمِ اَنِّى اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرى قَالَ ‏يابَتِ اِفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى اِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصّبِرِيْنَ
‎“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama ‎Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa ‎aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, ‎kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku ‎termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash-Shafat : 102).‎
Begitulah Ismail, seorang anak muda yang sedari dini telah memiliki ketaatan ‎dan kepatuhan kepada Tuhannya dan orang tuanya. Waktu itu sesungguhnya Ismail tak ‎lebih hanya sebagai anak manusia yang tentu saja memiliki sifat-sifat layaknya ‎seorang manusia. Ia bisa takut, menangis, ingin tetap hidup dan tentu saja tidak ‎mau disembelih, apalagi oleh orang tuanya sendiri. Kalau bukan karena patuh dan ‎taat kepada Allah SWT dan orang tuanya, tentu saja Ismail akan serta-merta menolak ‎dirinya disembelih. Kepatuhan, ketaatan, pasrah kepada Rab-nya, dan ridla akan ‎takdir-Nya telah menjadikan Ibrahim dan Ismail sebagai sosok manusia yang lulus ‎mengikuti ujian-Nya. Suatu ujian yang tidak hanya harus mengorbankan harta dan ‎kekayaan; melainkan nyawa dan anak tercinta.‎
Berdasarkan kisah sejarah yang melatari disyari’atkannya kurban, yaitu pada ‎masa Ibrahim dan Ismail, maka dapat dikatakan bahwa kurban pada hakikatnya adalah ‎untuk membuktikan kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Allah Rabbul Alamin. Ia ‎juga merupakan ujian atas hamba-Nya. Dengan kurban manusia diuji kesabaran, ‎kerelaan untuk menyisihkan sebagian hartanya, kesediaannya untuk solider terhadap ‎sesama hamba Allah, serta berkorban demi kebaikan, karena kepatuhan dan ketaatan ‎kepada Allah SWT adalah suatu kebaikan yang tiada tara.‎
Dengan demikian di dalam pelaksanaan ibadah kurban terkandung dua dimensi ‎penting, yaitu dimensi Ilahiyah dan insaniyah. Dimensi Ilahiyah erat kaitannya ‎dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Kesediaan untuk ‎menyediakan hewan ternak tertentu untuk disembelih pada waktu yang telah ‎ditentukan, mengindikasikan hubungan manusia dengan Tuhannya atas dasar kepatuhan, ‎ketaatan, kerelaan (keridlaan), dan kesabaran. Manusia yang telah memiliki ‎kesadaran hubungan Ilahiyah (hablun minallah) yang seperti itu sekaligus juga ‎memiliki kesadaran bahwa harta kekayaan yang dimilikinya semata-mata hanyalah ‎titipan dan amanah dari Rabnya. Ia menyadari bahwa pada hakikatnya kedatangan atau ‎kelahiran dirinya ke dunia tidak membawa dan tidak memiliki apa pun, selain dari ‎titipan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.‎
Dimensi insaniyah erat kaitannya dengan hubungan horizontal (hablun minannas) ‎antar sesama manusia, masyarakat dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan ‎kurban, yang dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, ‎menunjukkan bahwa solidaritas sosial perlu dibangun untuk memperkuat dan ‎memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan. Dengan penyembelihan hewan kurban, ‎seseorang menyadari bahwa sikap egois, serakah dan ingin untung sendiri tiada lain ‎hanyalah sifat-sifat yang akan dapat meruntuhkan sendi-sendi bangunan sosial. ‎
Ia pun menyadari bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan ‎pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota ‎masyarakat. Dalam hal ini kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya ‎Idul Adha dan hari-hari tasyriq hanyalah simbol dan cerminan dari betapa pentingnya ‎stiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan bagi terwujudnya kehidupan sosial ‎yang tangguh. Dengan kata lain, kesediaan untuk menyembelih hewan kurban di hari ‎raya Idul Adha dan selama hari tasyriq, harus pula diikuti dengan kesedian untuk ‎berkorban demi kebaikan, seperti tenggang rasa, tolong-menolong, saling membantu, ‎menghargai perbedaan, toleransi dan lain-lain.‎
Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat dalam berbagai ‎bentuk pengorbanan, maka ibadah kurban tidak akan memiliki hikmah dan atsar yang ‎sempurna bagi seseorang. Ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak tertentu ‎baru akan memiliki hikmah bagi seseorang dan bagi masyarakat, jika ia diikuti ‎dengan kesediaan berkorban kepada masyarakat, bangsa dan negara.‎
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua tauladan pembela kebaikan, yang telah ‎membela dan berkorban demi kebaikan, yang dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhan ‎kepada Allah SWT. Bagi kita yang hidup di negeri yang sedang dilanda berbagai ‎pergolakan, seperti konflik etnik-keagamaan dan konflik kepentingan di tingkat elit ‎dan massa, kesediaan untuk berkorban demi kebaikan bersama adalah sesuatu yang ‎tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berkorban demi kebaikan, semoga!!‎

Wujud Komitmen pada Islam

Umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini tengah menghadapi problem-atika dan tantangan-‎tantangan yang amat serius. Umat Islam seolah sedang menjadi bulan-bulanan media massa dan ‎propaganda Barat, tak terkecuali umat Islam Indonesia. Tuduhan dan stereotipe Barat dengan media ‎massanya yang tendensius atas Islam dan umatnya belum dan mungkin tidak akan pernah berhenti. ‎Kaum teroris, kaum fundamentalis, gerombolan barbar dan stereotipe lain atas umat Islam selalu ‎mereka tuduhkan. Bahkan ajaran Islam sering dituduh sebagai anti demokrasi, anti-hak asasi ‎manusia, anti kemajuan, kolot, tradisonal dan tuduhan-tuduhan lain yang tidak berdasar.‎
Dengan kata lain, Islam dan umatnya saat ini sedang dizalimi secara sistematis oleh berbagai ‎kekuatan dunia, mulai dari kekuatan militer, kekuatan ekonomi, kekuatan media massa, serta ‎kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi global. Secara sangat sistematis, kekuatan-kekuatan ‎global tersebut mampu menggiring dan membentuk gambaran, image atau citra serba negatif atas ‎Islam dan umatnya.‎
Menghadapi kondisi dan situasi yang sangat tidak menguntungkan itu, kita sebagai muslim ‎harus merasa terpanggil untuk maju dan menunjukkan komitmen kita pada ajaran kita sendiri serta ‎pada sesama umat Islam. Tanpa komitmen yang sungguh-sungguh untuk menghadapi berbagai ‎tantangan dan problematika umat tersebut di atas, maka umat Islam akan sulit keluar dari kondisi ‎dan situasi seperti saat ini.‎
Lalu, komitmen seperti apa yang diharapkan dari umat Islam, sehingga Islam dan umatnya ‎tidak dipandang serba negatif oleh umat-umat yang lain? ‎
Setidaknya ada dua hal yang barangkali relevan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut ‎di atas. Pertama, kita perlu meningkatkan komitmen kita untuk menolong “agama” Allah SWT ini. ‎Kedua, meningkatkan komitmen untuk menolong dan melindungi saudara-saudara kita sesama ‎muslim.‎

A. Menolong “Agama” Allah
Komitmen untuk menolong “agama” Allah, barangkali lebih tepat disebut sebagai komitmen ‎untuk meninggikan kalimah-kalimah Allah (‎لاعلاء كلمات الله‎). Hanya dengan memiliki komitmen untuk ‎meninggikan agama “Allah” inilah, maka Allah SWT akan menolong dan membantu kita.‎
Firman Allah SWT:‎
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ‎ ‎‏(محمد:7)‏
‎“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan ‎menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad:7)‎
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:‎

وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيز‎ ‎ٌ(الحج:40)‏
‎“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya ‎Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al-Hajj:40).‎
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh umat Islam dalam menolong “agama” Allah, di ‎antaranya:‎
‎1.‎ Mempelajari secara sungguh-sungguh firman Allah SWT serta Sunnah Rasulullah saw.‎
‎2.‎ Melaksanakan dan mengamalkan segala perintah Allah, serta menjauhi segala cegahan dan ‎larangan-Nya.‎
‎3.‎ Menyiarkan dan mendakwahkan segala kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya ‎kepada segenap umat manusia, sebagai realisasi dari amar ma’ruf nahy munkar.‎
‎4.‎ Menyemarakkan kehidupan masyarakat, khususnya lingkungan kita dengan semarak iman, ‎Islam dan ihsan.‎
‎5.‎ Melakukan pembelaan terhadap segala penyimpangan atas ajaran Allah dan Rasul-Nya.‎
Dengan melaksanakan komitmen-komitmen tersebut di atas, insya Allah, kita akan ‎memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana dijanjikan di dalam firman-‎Nya di atas. Setelah kita memperoleh petolongan dan perlindungan-Nya, maka tiada sesuatu pun yang ‎dapat menghina, mencemoohkan, menindas, bahkan mengalahkan kita sekali pun. Inilah janji Allah ‎SWT kepada kita semua:‎
إِنْ يَنْصُرْكُمْ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ ‏فَلْيَتَوَكَّلْ الْمُؤْمِنُونَ (ال عمران:160)‏
‎“Jika Allah menolong kamu, maka tiadalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah ‎membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu ‎‎(selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kapada Allah saja orang-orang mukmin ‎bertawakkal” (QS Ali Imran: 160).‎
Kalau sementara ini kita dihina, dicemooh, ditindas dan dijadikan bulan-bulanan oleh ‎kekuatan global, dengan Barat sebagai motor penggeraknya; barangkali karena selama ini kita lalai ‎terhadap ajaran dan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.‎
Untuk itu, marilah kita berlomab-lomba untuk menolong “agama” Allah, sehingga kita ‎memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya. Karena sesungguhnya pertolongan Allah itu ‎dekat.‎
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمْ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ ‏وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ‎ ‎قَرِيبٌ‎ ‎‏(البقرة:214)‏
‎“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu ‎‎(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka ‎dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul ‎dan orang-orang yang beriman: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya ‎pertolongan Allah itu dekat” (QS Al-Baqarah: 214).‎

B. Menolong Sesama
Adalah fakta bahwa saat ini umat Islam sedang mengalami banyak sekali masalah dan ‎cobaan. Mereka yang juga saudara kita terhimpit oleh kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, ‎keterpurukan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian dari saudara kita sedang bergelut dengan ‎kelaparan dan kekurangan obat-obatan akibat diembargo oleh PBB (baca: Amareika Serikat dan ‎sekutunya), sebuah lembaga dunia yang konon bertujuan menyejahterakan umat manusia di dunia. ‎Bahkan negara kita sendiri menghadapi ancaman embargo AS, karena terbunuhnya tiga staf UNHCR ‎dalam suatu peristiwa kerusuhan. Tindakan AS yang mengancam kita untuk melakukan embargo ‎hanya karena (tanpa mengecilkan arti) “tiga orang staf UNHCR” yang terbunuh amat sulit dimengerti ‎oleh setiap orang yang berakal sehat. Bukankah, selama ini PBB, khususnya AS seolah menutup mata ‎atas hilangnya ribuan mayat umat Islam yang terbunuh di Ambon, Maluku, Irak, Kosovo, serta di ‎Palestina beberapa hari yang lalu?‎
‎ Menghadapi berbagai ketidakadilan yang dialami umat Islam, kita perlu menunjukkan ‎komitmen kedua kita, yaitu kesiapan kita untuk menolong sesama umat Islam. Sebab hanya dengan ‎menolong sesama, kita akan memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT, sebagaimana ‎sabda Nabi saw:‎

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ ‏الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا ‏وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي ‏عَوْنِ أَخِيهِ ‏‎*‎
‎“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang meringankan ‎kesusahan orang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari ‎kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah atas orang yang susah, maka Allah akan ‎memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, ‎maka Allah akan menutupi (aib)-nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selalu melindungi hamba-Nya, ‎selama hamba itu melindungi saudaranya”.‎
Rasulullah juga menyuruh kita untuk menolong orang yang dizalimi, sekaligus menolong ‎orang yang berlaku zalim. ‎
لَا بَأْسَ لِيَنْصُرِ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَإِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نُصْرَةٌ وَإِنْ كَانَ ‏مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ‎ *‎
‎“Tiada halangan seseorang menolong saudaranya yang zalim atau yang dizalimi. Jika ‎seseorang berbuat zalim, maka cegahlah ia, sebab itulah pertolongan yang dibutuhkannya. Dan jika ‎seseorang dizalimi, maka bantulah ia”‎
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan:‎

عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيَنْصُرِ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ ‏مَظْلُومًا فَإِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نُصْرَةٌ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ‎ *‎
‎“Dari Abu Zubair dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah seseorang ‎menolong sudara yang zalim atau yang dizalimi. Jika seseorang berbuat zalim, maka cegahlah ia, ‎sebab itulah pertolongan yang dibutuhkannya. Dan jika seseorang dizalimi, maka bantulah ia”‎

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ‏نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَكُفُّهُ عَنِ الظُّلْمِ فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ ‏
‎“Dari Anas r.a. Rasulullah saw bersabda: Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang ‎dizalimi. Kami bertanya, wahai Rasulallah, kami (biasa) menolong orang yang dizalimi, bagaimana ‎cara menolong orang yang zalim? Beliau menjawab, “hentikanlah ia dari perbuatannya yang zalim, ‎maka seperti itulah pertolongan yang dibutuhkan olehnya”.‎
Mengapa demikian? Karena umat Islam tidak hanya dizalimi oleh orang-orang non-muslim, ‎tetapi juga dizalimi oleh sesamanya yang juga muslim. Orang Islam yang selalu mengejar kepentingan ‎dirinya sendiri, kepentingan politik dan kekuasaan, kepentingan ekonomi, kepentingan kelompok dan ‎kepentingan-kepentingan lainnya; tidak jarang tega menindas dan menzalimi saudara-saudaranya ‎seiman. ‎
Tidak sedikit dari kita yang merasa tidak rela jika agamanya sendiri, umatnya sendiri dan ‎sudara-saudara seimannya sendiri maju dan memiliki kekuatan di bidang politik dan ekonomi. ‎Mereka tidak mau jika umat Islam melaksanakan hukum syari’atnya sendiri. Mereka tidak mau ‎menjalin kerjasama sosial, politik dan ekonomi dengan sesama muslim. Mereka lebih senang ‎mendekati dan menjalin kerjasama dengan “pihak lain”. Mereka itulah yang barangkali tepai dijuluki ‎sebagai “penghalang” (hijab) kemajuan orang-orang Islam.‎
اَلاِسْلاَمُ مَحْجُوْبٌ بِالْمُسْلِمِيْنَ
Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke dalam golongan mereka. Semoga!‎

Kepemimpinan dan Aklak al-Karimah

Dalam masyarakat tradisional yang cenderung tribal dan budaya politik ‎massa, produk politik melalui proses sesuai aturan yang ada, bisa dimentahkan ‎tirani massa jika merugikan patronnya (pelindung atau penyokong). Sang ‎patron sendiri dengan gagah mencari dasar pembenar kliennya itu dari nilai ‎primordial yang hanya bisa dipahami logikanya sendiri. Dinamika politik di ‎negeri ini, termasuk di daerah kita, bagai potret pertengkaran anak-anak kecil di ‎pinggir jalan yang berebut benar sendiri tanpa kepastian etik-rasional. Pihak ‎yang kepentingannya tak terakomodasi, mengartikannya sebagai kesalahan ‎pihak lain. Politik menjadi cermin kalah-menang dan kuat-lemah, bukan suatu ‎‎"permainan kompromi" yang bersumber dari akhlak dan tindakan rasional. ‎
Gejala itu muncul di tengah kekerasan dan konflik horizontal, dan klaim-‎klaim sepihak elite politik di tingkat nasional atau di tingkat daerah tentang ‎fungsi dan hak-haknya. Debat politik seperti tak pernah habis ketika dilakukan ‎tanpa agenda yang jelas dan tujuan terukur. Dinamika politik, konflik dan ‎kekerasan bagai terperangkap dalam suatu lingkaran setan seperti debat anak ‎kecil tentang apa yang paling tinggi di antara langit dan rembulan, apa yang ‎paling dulu ada di antara ayam dan telur. Perilaku politik menjadi sebuah ‎tontonan menarik bagaikan sebuah fragmen ketoprak atau ludruk humor yang ‎sebenarnya berbahaya bagi para penontonnya. ‎
Kelemahan kita yang religius dengan mayoritas penduduk Muslim ini ialah ‎ketidaksediaan melakukan kritik terhadap diri sendiri. Hal ini mungkin berkaitan ‎dengan citra diri dalam kebenaran teologis yang mutlak yang secara otomatis ‎disandang seseorang saat menyatakan diri bertindak atas nama Islam dan atas ‎nama Tuhan. Banyak pihak lalu menjadikan massa sebagai pembenar tindakan ‎dan pengesah kedudukannya yang tak bisa dikritik dan diperdebatkan terbuka. ‎Hal ini menyebabkan kita ini sulit memahami akar penyebab berbagai krisis ‎yang melanda kita sejak beberapa tahun lalu. ‎
Sesudah beberapa tahun reformasi, politik nasional dan keagamaan, ‎memasuki babak baru yang enak ditonton dan diberitakan, namun amat ‎melelahkan. Filsuf bahasa terkemuka, Ludwig Witgenstein menyatakan, ilmu tak ‎lebih sebagai permainan bahasa (language game). Jika permainan bahasa ‎dilakukan dengan aturan dan kriteria jelas, politik di negeri ini sekadar "debat ‎kusir" pembenar diri dan sejumlah konsesi politik (juga ekonomi) yang diklaim ‎sebagai hak sepihak. ‎
Masyarakat pun seperti terpola ke dalam belahan politik yang tak jelas. ‎
Politik yang seharusnya menjadi permainan cantik tentang usaha ‎mencapai kompromi untuk tujuan bersama, berubah menjadi politik adu ‎kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan meyakinkan banyak ‎pihak, berubah menjadi permainan melakukan tirani hukum dan tirani massa. ‎Tanpa keyakinan, politik adalah seni kegagalan mencapai tujuan di suatu ruang ‎waktu, dan seni membuka ruang baru bagi keberhasilan di saat lain, politik akan ‎berubah menjadi adu tinju dan kekerasan atas nama kebenaran sepihak. ‎
Akibatnya sangat mudah ditebak. Perang kekuatan massa menjadi suatu ‎trend tersendiri dalam rangka mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Lalu, ‎dalam menghadapi situasi yang demikian itu, apa yang harus kita kedepankan? ‎
Jawaban terhadap pertanyaan itu sebetulnya mudah, apalagi sebagai ‎Muslim kita memiliki sumber acuan yang mumpuni dan adiluhung. Mengapa kita ‎tidak kembali kepada sumber utama kita yang agung, yakni Al-Qur’an dan As-‎Sunnah?‎
Pertama-tama kita seharusnya seharusnya menjadikan orientasi hidup dan ‎objek pengabdian kita hanyalah kepada Allah SWT semata. Kita telah meyakini ‎dan sepakat bahwa kepada Allah SWT-lah orientasi hidup dan tujuan final dari ‎pengabdian kita semua. Oleh karena itu, politik mesti kita jadikan "sarana" atau ‎‎"instrumen" untuk mencapai tujuan akhir dari hidup ini, yakni Allah SWT.‎

‎"Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali ‎kepada-Nya," begitu bunyi firman Tuhan. Maka, Allah SWT adalah asal dan ‎tujuan hidup dan kehidupan kita, bahkan seluruh makhluk. ‎
Oleh karenanya, kesadaran akan politik yang tiada lain adalah sarana ‎atau instrumen untuk mengabdi kepada Allah, jelas mengandung arti bahwa, ‎politik yang diekspresikan para politisi, lebih-lebih politisi muslim, mesti ‎berangkat dari komitmennya pada tauhid, kepada Allah. Maka, tujuan yang ‎ingin dicapai pun bukanlah “kekuasaan demi kekuasaan”, atau pencapaian ‎target politik tertentu, melainkan sekadar sarana untuk mencapai tujuan politik ‎yang sebenarnya, yakni pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, politik ‎harus ditegakkan di atas prinsip-prinsip tauhid, takwa dan landasan al-‎khuluq al-karim. Karena, politik tiada lain adalah instrumen untuk ‎mengembangkan ketakwaan kepada Allah. ‎
Dari sini, tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim menjadi kata kunci utama ‎dalam aktivitas politik Muslim. Jadi, kalau seseorang (politisi) betul-betul ‎mengikuti etika politik yang bersumber dari ketakwaan kepada Allah SWT ‎‎(takwa), bertauhid tauhid (sikap pasrah akan keesaan Tuhan dalam keseluruhan ‎hidup), dan berlandaskan al-khuluq al-karim, maka akan menghasilkan sikap-‎sikap luhur dalam berperilaku dan dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, ‎dengan menjadikan paradigma agama (tauhid, takwa dan al-khuluq al-karim) ‎sebagai bekal politik, maka akan lahir tipe-tipe politisi yang demokratis, yang ‎selalu menghargai tidak saja kawan tetapi juga lawan, yang selalu toleran, yang ‎selalu mengedepankan etika, yang selalu menjunjung tinggi semangat ‎inklusivisme di tengah pluralitas SARA. ‎
Dalam perjuangan menegakkan demokrasi (sosial, ekonomi, maupun ‎politik) misalnya, politisi ini akan berpijak pada kesadaran diri-spiritual yang ‎transenden (Islam, Allah SWT). Ketika demokrasi di Barat kering dari cahaya ‎spiritual-keagamaan, maka model demokrasi yang hendak dikonstruksi oleh ‎politisi semacam ini, mungkin identik apa yang oleh Sir Muhammad Iqbal ‎dinamakan "demokrasi-spiritual," yakni demokrasi yang dijiwai oleh ‎kesadaran spiritual-transenden manusia.‎
Oleh karena itu, takwa memegang kunci pokok dalam aktivitas ‎politikseorang Muslim. Lalu, bagaimana jiwa dan spirit takwa ini inheren dalam ‎aktivitas politik dan kekuasaan manusia? Prof Dr Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, ‎mengatakan bahwa takwa jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan ‎oleh orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil arti takwa. Maka, ‎Hamka pun menggambarkan aspek yang lebih positif dalam melihat arti takwa. ‎Yakni, dalam takwa itu terkandung sikap-sikap dan perasaan-perasaan positif ‎‎(seperti cinta, kasih, harap-harap cemas, ridla, sabar dan sebagainya) kepada ‎Allah SWT; di mana kita merasakan kehadiran Allah dalam batin kita, sehingga ‎kita pun selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Tuhan terasa begitu dekat dan ‎ada bersama kita, sebagaimana terefleksikan dalam firman-Nya yang sangat ‎populer: ‎ان الله معنا‎ (sesungguhnya Allah bersama kita). ‎
Itu sebabnya, perasaan takwa itu mempunyai efek yang sangat ‎mendalam, baik secara politik, yaitu pengawasan melekat dalam aktivitas politik ‎kita sehari-hari, maupun efek secara psikologis yang membuat kita menyatu, ‎dan menyelami keterkaitan psikologis kita secara langsung dengan Allah SWT ‎melalui hati, jiwa. ‎
Karenanya, dalam aktivitas politik manusia, takwa bisa dimaknai sebagai ‎God's Consciousness (sebagaimana rumusan Muhammad Asad dalam ‎tafsirnya The Message of the Qur'an), yaitu "kesadaran ketuhanan," yang ‎dalam bahasa Arab, sinonim dengan kesadaran rabbaniyyah. Artinya, segala ‎aktivitas individu -termasuk aktivitas politik- disadari sepenuh hati berada dalam ‎bingkai "kesadaran ketuhanan," di mana Tuhan senantiasa mengawasi segala ‎gerak-gerik kita, di mana pun kita berada. Karena, pada dasarnya "Tuhan ‎adalah Maha Hadir" (omnipresent) dalam keseharian hidup kita, termasuk ‎tentu saja "Maha Hadir" dalam aktivitas politik kita. ‎
Maka, tentu kita (lebih-lebih politisi) dituntut untuk berserah diri secara ‎total di bawah cahaya "kesadaran ketuhanan" itu. Sebagaimana terefleksikan ‎dalam firman Tuhan bahwa, ‎
فاينما تولوا فثم وجه الله
‎"... Ke mana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah..." (Q.S. ‎Al-Baqarah:115). ‎
Pada surat lain, Allah SWT juga berfirman, ‎
وهو معكم اينما كنتم والله بما تعملون بصير
‎"Dia (Allah) itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu ‎Maha Periksa akan apa pun yang kamu kerjakan" (Q.S. Al-Hadid:4). ‎
Karenanya, takwa merupakan puncak pengalaman keberagaman, yakni ‎seseorang yang telah menjelma dalam keseharian hidup. Dengan takwa, ‎manusia menyadari bahwa jiwanya perlu dihidupkan kembali dengan ‎pengalaman kehadiran Tuhan. ‎
Dalam Islam, ada yang disebut pesan dasar agama (risalah asasiyah), ‎sebagaimana bunyi Hadits Nabi, al-din al-nashihah. Yakni, agama itu adalah ‎nasihat atau pesan. Pesan dasar agama adalah untuk bertakwa, yakni pesan ‎untuk menghadirkan (kembali) Allah dalam jiwa manusia, yang realisasi ‎konkretnya menjelma dalam aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga, perilaku ‎manusia merupakan refleksi dari cerminan sifat-sifat kebaikan Tuhan, seperti ‎pengampun, pemurah, pengasih, penyayang, pemaaf, dan seterusnya. ‎Masalahnya, bagaimana sifat-sifat kebaikan Tuhan itu bisa kita realisasikan ‎dalam hidup kita sehari-hari, terutama dalam aktivitas politik. ‎
Al-Quran sudah menegaskan bahwa takwa merupakan kriteria paling ‎objektif untuk dasar hubungan antar individu, suku, bangsa, ras, dan agama. ‎Takwa mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan:‎
فاستبقوا الخيرت
‎(Q.S. Al-Baqarah:148). ‎
Ini berarti, politik yang dibekali dan dilandasi "semangat ketuhanan" ‎‎(takwa, tauhid, dan al-khuluq al-karim), akan mendorong politisi untuk ‎berlomba-lomba berbuat keadilan, kebenaran, dan lebih berorientasi kepada ‎kebaikan dan kesejahteraan rakyat luas. ‎
Dalam kehidupan politik sehari-hari, takwa dapat diimplementasikan dan ‎direalisasikan dengan bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan ‎norma-norma akhlak yang baik (al-khuluq al-karim), dengan cara meniru ‎perilaku Rasulullah SAW, para sahabat dan tokoh-tokoh teladan lainnya. Dengan ‎al-khuluq al-karim, kehidupan politik di tingkat nasional maupun di daerah ‎tidak akan centang-perenang, karena masing-masing dari kita terikat dengan ‎norma-norma kebaikan, kesopanan, dan kesantunan; baik yang bersumber dari ‎Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun dari tradisi dan budaya kita.‎

Islam dan Kerukunan Beragama

Pendahuluan
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang ‎agama. Gagasan ini muncul, terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian ‎yang memperlihatkan gejala meruncingnya hubungan antar umat beragama. Gejala ini ‎terlihat kentara pada beberapa waktu yang lalu, misalnya kasus Tasikmalaya, Situbondo, ‎Pandeglang, Ujungpandang dan lain-lain. Atas dasar peristiwa-peristiwa tersebut, serta ‎peristiwa-peristiwa lain yang mendahuluinya di tahun-tahun yang telah lampau, maka ‎dipandang sangat penting untuk membina kerukunan hidup beragama.‎
Gagasan mengenai pentingnya membina kerukunan hidup beragama ini ‎dilontarkan pertama kali pada tahun 1971 oleh Bapak Prof. Dr. Mukti Ali (Menteri ‎Agama pada waktu itu). Pada saat itu beliau melontarkan gagasan dialog pemuka agama, ‎sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu forum ‎percakapan bebas dan terus-terang, di mana masing-masing pihak saling mengemukakan ‎pendapatnya tentang masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Sejak itu ‎kegiatan dialog diprogramkan dan merupakan program utama dari Proyek Kerukunan ‎Hidup Beragama Departemen Agama.‎
Secara umum, kehidupan dan pergaulan umat berbagai agama tampak rukun. ‎Akan tetapi hal ini tidak berarti tidak pernah terjadi ketegangan atau persinggungan satu ‎sama lain. Ketegangan dan persinggungan itu wajar dalam suatu masyarakat yang ‎heterogen. Sebab bagaimanapun juga, dalam masyarakat majemuk mesti terdapat ‎persaingan, dan justru dalam persaingan itu terdapat dinamika.‎
Walaupun ketegangan dan persinggungan itu bisa dianggap wajar, namun suatu ‎ketika bisa terjadi peruncingan yang tak terkendalikan. Kemungkinan peruncingan itu ‎bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, masalah penyebaran agama, warisan ‎penjajahan serta masalah-masalah kompleks mayoritas dan minoritas.‎
Penyebaran agama (dalam Islam dikenal dengan istilah dakwah) adalah hal yang ‎wajar dan semestinya. Bahkan para pemeluknya menanggung kewajiban untuk ‎melakukan penyebaran itu. Oleh karena itu adalah sangat kodrati apabila orang yang ‎beragama merasa terpanggil untuk menyelamatkan orang lain lewat ajakan memeluk ‎agama yang diyakini sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Ini berarti bahwa pada ‎dasarnya penyebaran agama adalah berdasarkan motivasi yang sangat luhur, yakni ‎mengajak orang menuju keselamatan. ‎
Ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama timbul, apabila cara-cara yang ‎dipergunakan dalam penyebaran itu dirasakan sebagai kurang wajar. Adanya penyebaran ‎agama yang mendatangi rumah demi rumah penganut agama lain; ceramah-ceramah dan ‎tulisan-tulisan yang bersifat kecaman terhadap ajaran agama lain; memberikan santunan, ‎berupa beras, mie instant, pakaian dan lain-lain, kepada penganut agama lain; serta cara-‎cara lain yang dipandang kurang wajar, tentu dapat menyebabkan terjadinya ketegangan ‎dan peruncingan kehidupan beragama.‎
Ketegangan hubungan antar umat berbagai agama, khususnya Islam dan Kristen ‎‎(Protestan dan Katolik) amat terasa pada beberapa waktu yang lalu. Hal ini terutama ‎berkisar pada issue pengkristenan (kristenisasi) yang tumbuh di kalangan umat Islam, ‎serta issue-issue lain yang menyebabkan munculnya ketegangan dan peruncingan ‎kehidupan beragama.‎
Menghadapi masalah-masalah di atas, bagaimanakah konsepsi Islam tentang ‎kerukunan hidup beragama? Bagaimana pula sikap Islam terhadap agama-gama lain? ‎Untuk menjawab masalah-masalah tersebut, penulis mencoba membahasnya dalam ‎makalah yang sederhana ini.‎

Konsepsi Islam Tentang Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan hidup beragama adalah suasana di mana manusia secara individu atau ‎secara kelompok yang satu dengan yang lainnya terjalin rasa kebersamaan dan kerukunan ‎tanpa terhalang oleh perbedaan yang bersifat keagamaan. Dalam hal ini, kita mengenal ‎tiga bentuk kerukunan hidup beragama, yaitu Pertama, kerukunan hidup intern umat ‎beragama. Kedua, kerukunan hidup antar umat beragama. Ketiga, Kerukunan hidup antar ‎umat beragama dengan pemerintah.‎
Dalam ajaran Islam, kerukunan hidup intern umat beragama bertujuan untuk ‎membangun dan membina Ukhuwwah Islamiyyah dan kemajuan di segala bidang. ‎Mengenai sikap hidup seorang muslim telah dijelaskan dalam al-Qur'an, di mana antar ‎sesama muslim hendaklah saling sayang-menyayangi dan terhadap orang kafir haruslah ‎bersikap tegas dan konsisten. Firman Allah SWT:‎
محمد رسول الله والذين معه اشداء على الكفار رحماء بينهم ‏
‎"Muhammad itu utusan Allah, dan orang bersama dia adalah keras terhadap orang ‎kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..." (Q.S. Al-Fath : 29).‎
Mengenai kerukunan hidup antar umat beragama, dalam ajaran Islam ditekankan ‎agar ukhuwwah insaniyyah dapat dibangun dan diwujudkan. Hal ini dilandasi oleh suatu ‎komitmen ajaran Islam, tentang larangan pemaksaan dalam menganut suatu agama. ‎Firman Allah SWT:‎
لا اكراه فىالدين
‎"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)" (Q.S. Al-Baqarah : 256).‎
Sedangkan mengenai kerukunan umat beragama dengan pemerintah, bertujuan ‎untuk memudahkan pembangunan di segala bidang dalam rangka pembangunan manusia ‎seutuhnya. Juga untuk menghindari adanya kebijaksanaan atau pembangunan yang dapat ‎merugikan atau tidak sejalan dengan nilai atau ajaran suatu agama. Sabda Rasulullah ‎SAW:‎
صنفان من الناس اذا صلحا صلح الناس واذا فسدا فسد الناس: العلماء ‏والامراء
‎"Dua macam dari manusia apabila mereka kedua itu baik, maka baiklah semua manusia ‎dan apabila mereka kedua itu rusak, maka rusaklah semua manusia, yaitu ulama (ahli ‎agama) dan umara (pejabat pemerintahan)" (H.R. Ibn Abdul Barra').‎
Selain konsep-konsep yang sangat mendasar tersebut, ajaran Islam juga ‎menganjurkan beberapa hal yang berkenaan dengan upaya menciptakan kerukunan hidup ‎beragama, yaitu :‎
Pertama, untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera, ‎maka kerukunan hidup intern umat beragama; antar umat beragama; dan kerukunan antar ‎umat beragama dengan pemerintah perlu diwujudkan.‎
يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا
‎"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, seorang ‎perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu ‎saling kenal mengenal" (Q.S. Al-Hujurat : 13).‎
Kedua, Allah tidak melarang kepada kaum muslimin untuk berbuat baik, ‎mengadakan hubungan persaudaraan dan tolong-menolong kepada orang kafir, selama ‎mereka tidak mempunyai niat menghancurkan umat Islam. Hal ini menandakan adanya ‎sikap toleran dari kaum muslimin terhadap umat beragama lain. Firman Allah :‎
لاينهكم الله عن الذين لم يقتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم ان ‏تبروهم وتقسطوا اليهم ‏
‎"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang ‎yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu" ‎‎(Q.S. Al-Mumtahinah : 8).‎
Bahkan Rasulullah sendiri melarang umat Islam mengganggu ketenteraman orang ‎kafir dzimmy sekalipun. Beliau bersabda :‎
من اذى ذميا فقد اذانى ومن اذانى فقد اذىالله ‏
‎"Barang siapa mengganggu seorang kafir dzimmy, maka suangguh ia telah ‎menggangguku dan barang siapa menggangguku, maka sungguh ia telah mengganggu ‎Allah". (H.R. Thabrany).‎
Ketiga, kerukunan antar umat beragama tidak boleh menyimpang dari ajaran ‎Islam. Sikap toleran dalam Islam telah dijelaskan batasan-batasannya, yaitu antara lain, ‎tidak boleh ada sikap toleran antara orang Islam dengan orang kafir dalam soal iman dan ‎ibadah. Firman Allah :‎
لكم دينكم ولى دين ‏
‎"Untukmulah agamu dan untukkulah agamaku" (Q.S. Al-Kafirun : 6).‎
لنا اعمالنا ولكم اعمالكم
‎"Bagi kami amalan kami, nagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami ‎mengikhlaskan hati". (Q.S. Al-Baqarah : 131).‎
Keempat, kerukunan hidup intern umat beragama atau antar individu demi ‎ukhuwwah Islamiyyah sangat dianjurkan. Firman Allah :‎
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفوقوا
‎"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah. Dan janganlah kamu ‎bercerai-berai" (Q.S. Ali Imran : 103).‎
Kelima, kerukunan hidup antar umat beragama dengan pemerintah, berarti juga ‎adanya saling kerja sama dan saling memberi. Pihak pemerintah memberikan hak dan ‎kewajibannya kepada umat beragama (masyarakat) demikian pula dari masyarakat harus ‎memberikan kewajibannya, berupa taat dan patuh kepada peraturan-peraturan yang ‎ditetapkan pemerintah. Firman Allah :‎
يايها الذين امنوا اطيعواالله واطيعواالرسول واولىالامر منكم ‏
‎"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri ‎‎(pemimpin) di antara kamu" (Q.S. An-Nisa : 59).‎
Kepatuhan umat kepada pemimpin, penguasa atau pemerintah itu diharuskan, ‎selama kebijaksanaan, perintah atau keputusan yang ditetapkannya tidak bertentangan ‎dengan ajaran al-Qur'an. Sabda Nabi :‎
لاطاعة لمخلوق فى معصية الخالق
‎"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiyat ‎kepada Khalik (Allah)" (H.R. Ahmad).‎

Penutup
Dengan terjalinnya kerukunan hidup beragama, maka sekat-sekat sosial yang ‎sering menghambat bahkan meruntuhkan proses pembangunan dapat dihindari. Oleh ‎karena itu, maka kerukunan hidup beragama merupakan modal yang sangat penting ‎dalam membangun masa depan bersama.‎
Sebaliknya, jika ketegangan dan peruncingan kehidupan beragama terus terjadi, ‎maka kesempatan kita untuk membangun akan hilang sia-sia. Bahkan, ketegangan dan ‎peruncingan itu dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai ‎bersama. ‎

Kembali kepada Nilai-nilai Islam

Ketika beberapa waktu yang lampau Bapak Prof. K.H. Ali Yafie (Ketua Umum MUI Pusat ‎waktu itu) berkunjung ke Kabupaten Ciamis dan sempat singgah di Pondok Pesantren ‎Darussalam, beliau merasa sangat yakin bahwa krisis multidimensional yang dialami ‎bangsa Indonesia yang sampai saat ini di awal tahun 2001 masih mendera kita, tiada lain ‎disebabkan dan berawal dari krisis moral dan etika yang melanda negeri ini. Beliau sangat ‎percaya bahwa krisis ekonomi, sosial, dan politik di negeri dengan mayoritas penduduk ‎muslim ini berpangkal dari lunturnya tata nilai moral dan etika yang seharusnya memandu ‎dan menjadi acuan kita dalam bersikap, berperilaku dan bertindak sehari-hari. Akibat dari ‎krisis multidimensional itu, masyarakat kita seolah kehilangan pegangan dan acuan moral ‎dan etik.‎
Para pengamat biasa menyebut bahwa kondisi dan situasi masyarakat kita sedang ‎mengalami periode transisi yang biasa ditandai dengan munculnya gejala anomi-anomi ‎sosial, di mana tata nilai lama semakin ditinggalkan masyarakat, tetapi tata nilai baru yang ‎mereka harapkan belum terbentuk. Maka, banyak di antara anggota masyarakat kita yang ‎kehilangan pegangan dan acuan moral dan etik. Kondisi yang sesungguhnya sudah sangat ‎rawan ini masih diperparah oleh lemahnya upaya penegakkan hukum di tengah ‎masyarakat.‎
Atas dasar itu, barangkali kita sepakat bahwa bangsa ini perlu sesegera mungkin ‎kembali kepada tata nilai yang mampu membimbing, menuntun, memandu dan memberi ‎petunjuk kepada kita semua. Kembali kepada sistem dan tata nilai yang universal, yang ‎tidak dibatasi oleh tempat dan waktu dan yang tidak luntur karena perkembangan zaman.‎
Kita tidak ingin bangsa kita menjadi masyararakat tanpa moral, etik dan akhlak. ‎Sebab, sebuah bangsa tanpa akhlak, moral dan etik, sejatinya bangsa itu telah punah. ‎Sebuah syarir Syauqi Bey (ulama Mesir) menggambarkannya sebagai berikut:‎
إِنَّمَااْلاُمَمُ اْلاَخْلاَقُ مَابَقِيَتْ فَإِنْ هُمُوا ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
‎“Keberadaan suatu bangsa (ditentukan) oleh tegaknya akhlak. Dan jika akhlak telah ‎hilang dari mereka, maka sesungguhnya bangsa itu punah”.‎
‎ Menyadari pentingnya akhlak, moral dan etik bagi eksistensi sebuah bangsa yang ‎didukung oleh keyakinan kuat bahwa krisis multidimensional yang kita alami bermula dari ‎adanya krisis moral, etik dan akhlak, maka kembali kepada tata nilai yang adiluhung ‎menjadi prasyarat kondisi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi (conditio sine qua non). Bagi ‎kita, tata nilai adiluhung yang dimaksud tiada lain adalah tata nilai Islam yang menyeluruh ‎‎(kâffah), sebagai manhaj al-hâyat atau way of life, acuan dan kerangka tata nilai ‎kehidupan kita. Tata nilai Islam yang kâffah tersebut tidak hanya baik untuk dijadikan ‎landasan akhlak, moral dan etik, tetapi juga karena sifatnya yang universal menjadikan tata ‎nilai Islam selalu kondusif dan aplikatif untuk semua masyarakat, bangsa dan zaman. Tata ‎nilai Islam tidak akan pernah lekang oleh terik panas atau lapuk oleh hujan. Dengan tata ‎nilai Islam, masyarakat tidak akan pernah mengalami anomi-anomi, yang bisa ‎menyebabkan masyarakat kehilangan pegangan, acuan dan pedoman hidup. ‎
Hal itu disebabkan karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an, yang juga ‎menjadi akhlak Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, di mana ‎Sa’id ibn Hisyam berkata, “Aku datang menemui ‘Aisyah r.a., lalu bertanya kepadanya ‎mengenai akhlak Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, ‘Apakah engkau membaca Al-Qur’an?’ ‎Aku jawab, ‘Benar, aku membaca Al-Qur’an.’ ‘Aisyah berkata, ‘Akhlak Rasulullah saw ‎adalah Al-Qur’an. Sesunbgguhnya Al-Qur’an mengajarinya adab, seperti firman Allah SWT: ‎Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang baik, dan berpalinglah dari ‎orang-orang yang bodoh (Q.S. Al-A’raf:199), Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) ‎berbuat adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat dan melarang dari ‎perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan (Q.S. An-Nahl:90), Dan bersabarlah terhadap ‎apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan ‎‎(oleh Allah) (Q.S. Luqman:17). Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya”.‎
Karena tata nilai Islam tiada lain adalah Al-Qur’an yang juga menjadi akhlak ‎Rasulullah saw, sedangkan Al-Qur’an selalu dipelihara dan dijaga (oleh Allah) dari segala ‎bentuk penyimpangan dan kerusakan:‎
اِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَاالذِّكْرَ وَاِنَّا لَه لَحفِظُوْنَ
‎“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami ‎benar-benar memeliharanya” (Q.S. Al-Hijr:9).‎
Maka, tata nilai Islam akan selalu eksis, kondusif dan aplikatif sepanjang Al-Qur’an ‎tetap dipedomani sebagai petunjuk dan tuntunan hidup. Bagi mereka yang mau mendalami ‎dan menelaah Al-Qur’an, pastilah akan menemukan berbagai petunjuk dan tuntunan hidup. ‎Petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan hidup yang termaktub dalam Al-Qur’an mencakup ‎berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan ‎Khâliq, hubungan manusia dengan manusia, maupun hubungan manusia dengan alam ‎secara keseluruhan. Lebih-lebih jika kita mau menelaah dan mendalami hadis-hadis ‎Nabawi, kita pun akan menemukan berbagai nasihat dan tauladan mulia dari Rasulullah ‎saw. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Mu’adz ibn Jabal r.a. berkata, “Rasulullah saw ‎berwasiat kepadaku. Beliau bersabda:‎
أُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِدْقِ الْحَدِيْثِ وَالْوَفَاءِ بِالعَهْدِ وَأَدَاءِ اْلأَمَانَةِ وَتَرْكِ ‏الْخِيَانَةِ وَحِفْظِ الْجَارِ وَرَحْمَةِ الْيَتِيْمِ وَلِيْنِ الْكَلاَمِ وَبِدْءِ السَّلاَمِ وَحُسْنِ الْعَمَلِ ‏وَقِصَرِ اْلأَمَلِ وَلُزُوْمِ اْلإِيْمَانِ وَالنَّفَقَةِ فِىالْقُرْآنِ وَحُبِّ اْلاَخِرَةِ وَالْجَزَعِ مِنَ ‏الْحِسَابِ وَخَفْضِ الْجَنَاحِ. وَأَنْهَاكَ اَنْ تَسُبَّ حَكِيْمًا اَوْتُكَذِّبَ صَادِقًا اَوْتُطِيْعَ ‏آثِمًا اَوْتُعْصِى اِمَامًا عَادِلاً اَوْتُفْسِدَ أَرْضًا. وَاُوصِيْكَ بِاتِّقَاءِ اللهِ عِنْدَ كُلِّ حَجَرٍ ‏وَشَجَرٍ وَمَدَرٍ وَاَنْ تُحْدِثَ لِكُلِّ ذَنْبٍ تَوْبَةَ السِّرِّ بِالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةَ بِالْعَلاَنِيَةِ

‎“Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah SWT, berkata benar, ‎menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hubungan ‎baik dengan tetangga, mengasihi anak yatim, berkata lembut, memulai salam, berbuat baik, ‎pendek angan-angan, meneguhkan keimanan, mempelajari Al-Qur’an, mencintai akhirat, ‎merasa gelisah terhadap penghisaban, dan merendahkan hati. Aku melarang kepadamu ‎dari mencaci orang yang bijak, mendustakan orang jujur, menaati pendosa, durhaka kepada ‎pemimpin yang adil, atau membuat kerusakan di muka bumi. Aku wasiatkan kepadamu ‎agar bertakwa kepada Allah pada setiap batu, pohon, dan tanah. Hendaklah pada setiap ‎dosa engkau datangkan tobat, yang rahasia dengan rahasia dan yang terang-terangan ‎dengan terang-terangan”.‎
Tata nilai Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah saw. ‎memiliki ketinggian karakteristik yang mencakup landasan-landasan yang bersifat asasi ‎serta memuat acuan-acuan yang bersifat praktis. Sebagai tata nilai yang bersifat Ilahiyyah, ‎tata nilai Islam memiliki karakteristik-karakteristik yang sekaligus melebihkannya dari tata ‎nilai yang dikonstruksi manusia.‎
Pertama, syari’at Islam adalah tata nilai, aturan dan norma ciptaan Allah SWT, Zat ‎yang mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Tata nilai Islam diciptakan ‎sesuai dan selaras dengan sendi-sendi kemanusiaan, baik manusia sebagai individu ‎maupun manusia sebagai masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mungkin terjadi pertentangan ‎antara tata nilai Islam dengan fitrah kemanusiaan. Firman Allah SWT:‎
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفَا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ ‏الدِّيْنُ الْقَيِّمْ وَلكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
‎“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepda Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah ‎Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah ‎Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Al-‎Rum:30).‎
Kedua, tata nilai Islam diciptakan dengan tujuan untuk kebahagiaan dan ‎kesejahteraan umat manusia, sehingga terpelihara agamanya, dirinya, akalnya, ‎kehormatannya, dan harta bendanya. Tata nilai Islam selalu memuat perintah untuk berbuat ‎yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan yang munkar, menghalalkan yang baik-baik, dan ‎mengharamkan yang buruk-buruk. Firman Allah SWT:‎
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُولَ النَّبِىَّ اْلاُمِىَّ اَلَّذِى يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرَـةِ ‏وَاْلاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْههُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبتِ وَيُحَرِّمُ ‏عَلَيْهِمُ الْخَبئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَاْلاَغْللَ اَلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ امَنُوا بِهِ ‏وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُواالنُّوْرَ اَلَّذِي اَنْزَلَ مَعَهُ اُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
‎“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka ‎dapati tertulis di dalam taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka ‎mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan ‎menghalalkan mereka kepada yang baik dan mengharamkan mereka dari yang buruk dan ‎membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-‎orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang ‎terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung” ‎‎(Q.S. Al-A’raf:157).‎
Ketiga, tata nilai Islam bersifat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia ‎‎(syumûliyah). Ia mencakup seluruh sistem keyakinan, etika, moral, hukum, pemikiran dan ‎ilmu pengetahuan, sistem keluarga, ekonomi, sosial-politik dan lain sebagainya. Tidak ada ‎satu aspek pun dari kehidupan manusia yang luput dari jangkauan tata nilai Islam. Kalaupun ‎tidak diatur secara terperinci, setidaknya terdapat landasan yang bersifat asasi dan prinsipil. ‎Itulah kesempurnaan tata nilai Islam yang tidak tertandingi oleh sistem dan tata nilai mana ‎pun juga.‎
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ لَكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلمَ دِيْنًا
‎“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan ‎untuk kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islami itu jadi agama bagimua” (Q.S. Al-‎Maidah:3).‎
Berdasarkan keunggulan-keunggulan karakteristik tata nilai Islam tersebut ‎dihubungkan dengan kondisi dan situasi bangsa ini, kita berhadapan dengan sebuah ‎realitas masyarakat yang memperihatinkan. Prihatin karena di satu sisi kita memiliki ‎perangkat tata nilai yang luhur dan adiluhung, yaitu tata nilai Islam; tetapi di sisi lain kita ‎berhadapan dengan realitas masyarakat yang hampir-hampir anarkhis, kurang berakhlak, ‎tak peduli pada hukum, dan hampir-hampir menjadi masyarakat biadab.‎
Oleh karena, sebelum masyarakat kita benar-benar menjadi anarkhis, mari kita ‎kembali kepada tata nilai Islam, yaitu tata nilai yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah ‎Rasul yang selalu sesuai dan selaras dengan fitrah manusia dan fitrah masyarakat. ‎

Islam dan Kebebasan Mengemukakan Pendapat

Pada pertemuan yang lalu kita sudah membahas tentang kebebasan menyampaikan kritik ‎‎(hurriyyah al-mu’âradlah atau hurriyyah naqd al-hâkim). Masih berkaitan dengan tema ‎di atas, tulisan ini akan membahas tentang kebebasan mengemukakan pendapat ‎‎(hurriyah al-ra’y).‎
Dalam wacana demokrasi, negara berkewajiban menjamin kehidupan rakyatnya ‎untuk secara bebas mengemukakan pendapatnya. Negara tidak hanya wajib melindungi ‎dan menjamin keamanan dan ketentaraman rakyatnya, melainkan juga harus memberikan ‎jaminan penuh terhadap setiap perbedaan pendapat antar berbagai komponen bangsa. ‎Setiap komponen bangsa harus perpandangan bahwa perbedaan pendapat –setajam apa ‎pun perbedaan itu-- bukanlah sesuatu yang tabu dan terlarang, melainkan sebuah proses ‎demokrasi dan dinamika masyarakat menuju kepada kehidupan yang dicita-citakan. ‎
Dengan demikian, sebagai pelaksana kehidupan ketatanegaraan, pemerintah tidak ‎boleh memonopoli pendapat dan mengingkari pendapat pihak lain. Pemerintah harus ‎mampu berperan sebagai fasilitator terhadap dinamika dan perbedaan yang terjadi di ‎tengah masyarakat. Pemerintah pun harus siap menerima untuk berbeda pendapat dengan ‎komponen-komponen bangsa lain, termasuk di dalamnya menerima kritik sebagai wujud ‎dari dinamika demokrasi. ‎
Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut ‎dengan istilah hurriyyah al-ra’y, yang secara etimologis berarti kebebasan berpendapat ‎yang juga berarti kebebasan berbicara. Penggunaan istilah hurriyah al-ra’y dan bukan ‎hurriyah al-qawl menunjukkan bahwa para ulama dan sarjana muslim telah ‎menempatkan kedudukan yang amat penting dalam tradisi pemikiran dan keilmuan ‎Islam.‎
Istilah ra’yu dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam biasanya dibagi ke dalam ‎tiga jenis, yaitu yang terpuji, tercela, dan diragukan. Kenis ra’yu atau pendapat yang ‎terpuji adalah ra’yu yang dijelaskan dalam al-Qur’an, Sunnah, pendapat para sahabat, ‎ra’yu yang merupakan hasil ijtihad, dan ra’yu yang dicapai melalui proses musyawarah. ‎
Ra’yu yang tercela (al-ra’y al-mazmumah) dikenal dalam tiga jenis ra’yu, yaitu ‎bid’ah (pembaharuan yang merusak dan menyesatkan), hawâ (niat jelek) dan baghy ‎‎(pelanggaran hukum). ‎
Dalam ushul al-fiqh, ra’yu biasanya didefinisikan sebagai pendapat tentang suatu ‎masalah yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ia merupakan pendapat yang ‎dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang mendalam ‎dan dilakukan dengan usaha yang keras dari seseorang.‎
Dengan demikian hurriyyah al-ra’y mensyaratkan adanya pendapat dan pemikiran ‎yang matang, mendalam dan sungguh-sungguh. Setiap orang boleh mengemukakan ‎pendapat sejauh tidak melanggar hukum yang mengandung penghujatan, fitnah serta ‎didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung jawab. Dalam kacamata ‎pemikiran dan keilmuan Islam, ra’yu dibatasi secara nyata oleh wahyu Tuhan (al-Qu’an ‎dan Sunnah). Tetapi jika tersedian aturan dan pedoman dalam wahyu, atau jika kedua ‎sumber tersebut (al-Qur’an dan Sunnah) hanya memuat aturan atau pedoman yang masih ‎memungkinkan untuk ditafsirkan, maka hal tersebut masih terbuka untuk ra’yu.‎
Dalam sejarah pemikiran dan keilmuan Islam, pernah terjadi ketidaksepakatan ‎antara ulama pendukung hadits (Ahl al-Hadîts) dan para ulama pendukung nalar (Ahl al-‎Ra’y). Para ulama pendukung hadits biasa menyebut para ulama pendukung nalar sebagai ‎telah mempraktekkan kebebasan berpikir yang cenderung subjektif, sehingga lahir dan ‎berkembang konotasi negatif terhadap ra’yu. Tetapi, konotasi negatif tentang penggunaan ‎nalar dalam pemikiran dan keilmuan Islam mengalami perubahan bertahap terutama oleh ‎usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Ahl al-Ra’y, terutama oleh para pengikut ‎mazhab Hanafi. Mazhab inilah yang dalam pemikiran fiqh Islam berpandangan bahwa ‎Islam tidak pernah melarang penggunaan nalar dan pendapat pribadi selama tidak ‎melanggar prinsip dan tujuan Islam. Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka ‎mengembangkan suatu metode dan pedoman penggunaan nalar atau ra’yu yang benar ‎dalam bentuk analogi (qiyâs), pilihan yuristik (istihsân), penghalangan (sadd al-darâ’i), ‎dan praduga berkelanjutan (istishhâb). Metode dan pedoman ini dan juga prinsip lainnya, ‎seperti prioritas yang diberikan kepada pendapat para sahabat (fatwa al-shahâbi) di atas ‎pendapat para mujtahid lain, bertujuan untuk mendekatkan identitas ra’yu dengan ‎hukum-hukum serta prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah.‎
Adanya polemik dalam masalah penggunaan nalar atau ra’yu antara Ahlu al-Hadits ‎dengan Ahl al-Ra’y sebenarnya hanya merupakan permasalahan orientasi dari pada ‎penolakan total atas validitas ra’yu. Meskipun demikian ada kelompok yang secara tegas ‎menolak kesahihah atau validitas ra’yu, yaitu kelompok Bathiniyyah atau Ta’limayyah. ‎Dalam menyikapi pandangan Ta’limayyah ini, Al-Ghazali berkata: “Ta’limayyah disebut ‎dengan nama demikian karena doktrin mereka yang melarang penalaran pribadi dalam ‎bentuk ra’yu. Mereka malah menyeru untuk secara total bersandar pada perintah-perintah ‎imam yang maksum, karena menurut mereka satu-satunya jalan untuk mendapatkan ‎pengetahuan adalah melalui perintah, ajaran dan ta’lim”.‎
Tentu saja kita menolak pandangan dan doktrin kelompok Ta’limayyah ini, karena ‎dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai pentunjuk-petunjuk yang mensahkan penggunaan ‎pendapat pribadi. ‎
Firman Allah SWT:‎
والذين استجابوا بربهم واقاموا الصلوة وامرهم شورى بينهم
ومما رزقنهم ينفقون
‎“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan ‎shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, ‎menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. Asy-Syura:38).‎
Ayat di atas membenarkan konsep musyawarah, yang tentu saja menggunakan ‎argumen-argumen yang bersifat nalar atau ra’yu, dalam menyelesaikan urusan antar ‎sesamanya, dan bukan atas urusan-urusan ibadah mahdlah yang telah jelas ketentuannya.‎
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga mengajak manusia untuk menyelidiki dan ‎menyingkap dunia di sekelilingnya dan mengambil kesimpulan yang rasional, dengan ‎tidak meniru apa yang dihasilkan orang lain, melainkan melalui pemikiran yang cerdas. ‎Firman Allah SWT:‎
كذلك يبين الله لكم الايت لعلكم تتفكرون
‎“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu supaya kamu ‎memikirkannya”. (Q.S. Al-Baqarah:266).‎
Dalam memahami ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan ‎penggunaan nalar, Abu Zahrah dalam kitabnya “Tanzhim al-Islam” menegaskan bahwa ‎al-Qur’an menedorong penelitian yang rasional atas dunia di sekeliling kita, dan hal ini ‎tidak akan mungkin tanpa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Al-Qur’an, ‎dengan demikian sangat menghargai upaya-upaya rasional yang disertai dengan ‎ketulusan dalam pencarian kebenaran dan keadilan. Tidak ada penelitian intelektual yang ‎dapat dimulai dengan premis penolakan terhadap kebenaran monoteisme (tauhid) dan ‎pedoman yang jelas melalui wahyu Tuhan. Selama nilai-nilai ditata, penelitian rasional ‎dan pencarian kebenaran harus dipertahankan sekalipun harus berhadapan dengan ‎permusuhan orang banyak.‎
Dalam konteks kehidupan kenegaraan, meskipun ketaatan dan kepatuhan kepada ‎pemerintah yang sah adalah kewajiban Qur’ani, sebagaimana dijelaskan dalam firman ‎Allah SWT:‎
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولىالامرمنكم فان تنزعتم
فى شئ فردوه الى الله والرسول
‎“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di ‎antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan bendapat tentang seuatu, maka ‎kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…). (Q.S. An-Nisa:59)‎
Tetapi kepatuhan dan ketaatan kepada pemerintah tidak mengesampingkan hak ‎rakyat untuk membicarakan persoalan dengan para pemimpinnya. Sebab al-Qur’an tetap ‎men-tolerir perselisihan (jadal) dalam pengertian yang positif. Bahkan suatu perdebatan ‎sekalipun, jika dilakukan secara logis, sopan dan bermanfaat tetap mendapat tempat ‎dalam ajaran Islam.‎

Jihad yang Sesungguhnya

Mukadimah

Selama bertahun-tahun, konsep jihad tidak saja telah mengalami proses penyempitan ‎makna, tetapi juga telah mengalami penyimpangan arti (distorting of meaning). ‎Terjadinya proses penyempitan makna kata jihad, menyebabkan kata tersebut selalu ‎berkonotasi peperangan, terutama memerangi orang-orang kafir dan musyrik. Sementara ‎itu, terjadinya distorsi atau penyimpangan arti kata jihad telah menyebabkan pemahaman ‎kita terhadap konsep jihad keluar dari konteks yang sesungguhnya.‎

Tidak heran apabila kita mendengar kata jihad, yang selalu terbayang dalam benak kita ‎adalah mengangkat senjata untuk memerangi orang-orang kafir atau musyrik tanpa peduli ‎kesalahan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang kafir atau musyrik tersebut. Karena ‎kesalahan dalam memaknai kata jihad, tidak heran pula apabila peristiwa penyerangan ‎atau pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah non-muslim dipandang sebagai suatu ‎perbuatan jihad, yang oleh karenanya akan mendapat pahala dari Allah swt. ‎

Di sisi lain orang-orang non muslim, khususnya kaum orientalis Barat, telah menciptakan ‎suatu citra negatif terhadap Islam dan umatnya dengan memanfaatkan issu jihad yang ‎telah mengalami proses penyempitan makna dan distorsi yang luar biasa. Bagi ‎kebanyakan orang Barat, konsep jihad dalam Islam berarti mengangkat pedang (baca: ‎senjata) dalam rangka dakwah atau menyebarkan ajaran Islam. Meraka tidak saja telah ‎berhasil menciptakan arti (creating of meaning) baru dan mambakukan wacana jihad ‎secara salah, tetapi juga berhasil membuat dan mengembangkan citra negatif terhadap ‎Islam dan umatnya dengan memanfaatkan kesalahpahaman mereka, serta menanamkan ‎kebencian dan ketakutan kepada Islam dan umatnya.‎

Kesalahan dan penyimpangan dalam memaknai konsep jihad pada akhirnya ‎mendatangkan kerugian yang luar biasa bagi umat Islam. Kita tidak saja dicurigai sebagai ‎umat yang gemar dengan kekerasan, peperangan dan terorisme; bahkan selalu ditakuti ‎dan dipandang sebagai ancaman serius bagi peradaban dunia. Ketika Samuel W. ‎Huntington, salah seorang pakar politik internasional dari Amerika Serikat, membuat ‎tesis tentang pertentangan peradaban (the clash of civilization), di mana dia ‎menempatkan peradaban Timur (khususnya peradaban Islam) sebagai sebagai “musuh” ‎baru peradaban Barat setelah berakhirnya Perang Dingin; penulis yakin bahwa tesis ‎Huntington tersebut merupakan salah satu akibat dari kesalahan masyarakat Barat dalam ‎memahami konsep jihad.‎

Anehnya, kesalahpahaman Barat dalam memahami konsep jihad terjadi pula di kalangan ‎umat Islam sendiri. Kita yang sadar sungguh merasa sangat risau dan prihatin, mengapa ‎umat kita selalu menggunakan konsep jihad sebagai alasan dalam kerusuhan bernuansa ‎agama. Mengapa umat Islam yang melakukan pembakaran terhadap gereja, misalnya, ‎selalu mengatakan bahwa itu merupakan bagian dari jihad? Mengapa pula orang-orang ‎non muslim merasa takut bila mendengar kata jihad? Lalu apa sesungguhnya arti dan ‎hakikat jihad dalam Islam?‎

Dengan latar belakang di atas, penulis ingin mencoba meluruskan kembali makna jihad ‎yang sesungguhnya menurut ajaran Islam, dengan harapan mudah-mudahan tidak terjadi ‎lagi kesalahpahaman dalam memaknai konsep jihad.‎

Arti Jihad

Kata jihad yang berasal dari kata jahd mengandung arti “sukar atau letih”. Ada juga yang ‎mengatakan bahwa jihad berasal dari kata juhd yang berarti “kemampuan”. Tetapi ada ‎pula yang mengatakan bahwa arti jihad adalah ujian atau cobaan, terutama bila ‎dihubungkan dengan ungkapan jahida bi al-rajul (seseorang sedang mengalami ‎cobaan/ujian). Namun demikian, secara umum makna bahasa jihad yang berasal dari kata ‎jahada adalah berbuat sesuatu secara sungguh-sungguh atau berjuang secara sungguh-‎sungguh. Jadi secara etimologis, kata jihad bisa berarti berbuat sesuatu dengan sungguh-‎sungguh, sukar atau letih, kemampuan, serta ujian atau cobaan. ‎

Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an, kata jihad dengan berbagai bentuknya ‎tercantum di dalamnya sebanyak empat puluh satu kali. Beberapa ayat al-Qur’an yang ‎berkenaan dengan konsep jihad sesuai dengan arti etimologisnya, di antaranya adalah:‎
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
‎“Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Hajj : ‎‎78).‎
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا ‏فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
‎“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih ‎memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu ‎pengetahuan tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia ‎dengan baik…” (Q.S. Luqman : 15).‎
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّبِرِيْنَ
‎“Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah ‎orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar” (Q.S. ‎Ali Imran : 142).‎
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ ‏جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
‎“Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan ‎sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk ‎disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik ‎menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa ‎yang pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).‎

Secara berurutan, ayat-ayat di atas memiliki kesesuaian dengan makna ijtihad secara ‎bahasa (usaha sungguh-sungguh, letih atau sukar, ujian atau cobaan, dan kemampuan).‎

Sedangkan makna jihad menurut terminologi para ulama adalah mengerahkan segala ‎kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan ‎kebaikan serta menentang segala kebatilan dan kejahatan dengan mengharap ridla Allah ‎swt. Dari pengertian ini maka jelaslah bahwa jihad mengandung arti yang luas dan tidak ‎hanya terbatas pada perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Memang harus diakui ‎bahwa perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata merupakan bagian dari jihad. Tetapi ‎jelas bukan satu-satunya. Lagi pula perjuangan fisik dan perlawanan senjata sebagai ‎bagian dari jihad harus ditempatkan pada konteks yang dapat dibenarkan secara syar’i.‎

Macam-macam Jihad

Pengertian jihad yang telah dijelaskan di atas, baik secara etimologis maupun ‎terminologis, menunjukkan keluasan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan ‎makna yang luas tersebut, maka konsep jihad pun memiliki beberapa macam jenis. Ar-‎Raghib Al-Isfahani dalam bukunya Mu’jam Mufradât Al-Fâzh Al-Qur’an, menjelaskan ‎bahwa jihad adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Sedangkan ‎musuh yang dimaksud di sini meliputi (1) musuh yang nyata secara fisik, (2) musuh ‎dalam bentuk setan, dan (3) musuh dalam bentuk nafsu yang ada pada setiap manusia.‎

‎1.‎ Jihad menghadapi musuh yang nyata

Salah satu bentuk jihad adalah memerangi musuh yang nyata secara fisik. Jenis jihad ‎inilah yang dikenal secara umum oleh umat Islam. Termasuk ke dalam jenis jihad ini ‎adalah berperang mengangkat senjata untuk mempertahankan agama (Islam) dan tanah ‎air. Perang mengangkat senjata untuk mempertahankan agama dan tanah air inilah yang ‎dalam serajah peradaban Islam sering disebut sebagai perang suci. Perang fisik yang ‎dibenarkan adalah untuk keperluan defensif. Kita dibenarkan melakukan jihad fisik dalam ‎rangka mempertahankan agama dan tanah air; melindungi nyawa, kehormatan, dan harta ‎benda. Lagi pula, dalam setiap peristiwa perang fisik, umat Islam diharamkan melakukan ‎perusakan terhadap tempat-tempat ibadah umat lain, dilarang membunuh anak-anak, ‎perempuan, orang tua dan orang-orang sipil lainnya.‎

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perusakan atau pembakaran terhadap tempat-‎tempat ibadah non muslim tidak diperkenankan, baik pada waktu perang apalagi pada ‎saat damai.‎

‎2.‎ Jihad menghadapi setan dan nafsu

Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang ‎memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Dengan kelemahannya itu, tidak jarang ‎manusia tergoda dan terjerumus ke dalam perilaku-perilaku jahat, buruk dan tercela. ‎Dalam sebuah ayat dijelaskan bahwa setan akan selalu merayu dan menggoda manusia ‎agar melenceng dari jalan kebenaran, yaitu melenceng dari jalan Allah swt yang lurus.‎
قاَلَ فَبِماَ أَغْوَيْتَنىِ لاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ ثُمَّ لاتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ ‏وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمنِهِمْ وَعَنْ ثَمَائِلِهِمْ وَلاَتَجِدَ اَكْثَرَهُمْ شكِرِيْنَ
‎“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya akan benar-benar ‎menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi ‎‎(menggoda) mereka dari muka dan belakang, dari kanan dan kiri mereka, dan Engkau ‎tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (Q.S. Al-A’raf : 16-17).‎

Dalam menghadapi segala godaan dan rayuan setan, manusia dituntut untuk memiliki ‎kekuatan dan ketangguhan iman. Manusia diharuskan menyiapkan iklim dan suasana ‎yang sehat untuk menghalangi tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan oleh wabah ‎setan. Termasuk ke dalam jenis jihad adalah memerangi hawa nafsu buruk akibat dari ‎rayuan dan godaan setan. Bahkan memerangi hawa nafsu dan terhindar dari godaan setan ‎adalah termasuk jihad yang lebih berat dan besar. ‎

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Rasulullah bersama para sahabatnya ‎pulang dari suatu medan peperangan, beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Kita ‎sekarang pulang dari melakukan jihad kecil (al-jihad al-asghar) untuk kemudian menuju ‎jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar). Ketika beliau ditanya apa yang dimaksud ‎dengan jihad yang lebih besar, beliau menjawab: “Jihad melawan hawa nafsu”.‎

‎3.‎ Berjihad dengan melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar

Termasuk juga ke dalam bagian jihad adalah menyuruh orang untuk selalu berbuat baik ‎dan mencegah mereka dari segala perbuatan munkar. Jihad dalam pengertian ini berarti ‎melaksanakan dakwah dan pendidikan Islam, yaitu menyebarkan ajaran-ajaran Islam ‎kepada setiap manusia, baik orang tua, pemuda, remaja maupun anak-anak. Jadi jelaslah ‎bahwa kegiatan dakwah Islam dan kegiatan pendidikan tiada lain adalah salah satu dari ‎realisasi jihad di jalan Allah.‎

Ikhtitam

Ajaran Islam sesungguhnya mencintai perdamaian di antara sesama umat manusia dan ‎tidak menghendaki tindakan permusuhan dan kekerasan apalagi peperangan yang dapat ‎merenggut banyak korban. Perdamaian yang dikehendaki oleh Islam bukan hanya di ‎lingkungan umat Islam sendiri, tetapi juga dengan sesama umat manusia yang lain (non-‎muslim). Tetapi dalam kondisi umat Islam diserang, maka umat Islam diwajibkan ‎mempertahankan diri dalam rangka merealisasikan jihad fi sabilillah.‎

Oleh karena itu, mencegah agar perdamaian di tengah masyarakat tidak terganggu oleh ‎para pengacau, juga termasuk ke dalam bagian jihad. Termasuk juga bagian dari jihad ‎adalah mencegah orang untuk tidak merusak atau membakar tempat-tempat ibadah umat ‎lain.‎

Akhirnya, sebagai orang yang memiliki kesadaran, kita harus mengingatkan masyarakat ‎kita agar tidak menggunakan alasan “jihad” untuk tujuan-tujuan yang sesunguhnya ‎bertentangan dengan makna jihad yang sesungguhnya. Melalui kegiatan dakwah dan ‎pendidikan, kita harus menanamkan ajaran Islam secara baik dan benar. Islam harus ‎dipahami sebagai agama yang membawa misi perdamaian, kebaikan, kesejahteraan, dan ‎ketenteraman umat manusia.‎

Tradisi dalam Perpsktif Islam

Sejak kelahiran dan perkembangannya, Islam selalu berhadapan dengan tradisi-‎tradisi, baik Arab, Mesir, Persia, Romawi, India, maupun Hindu-Budha di Indonesia. ‎Islam juga selalu dihadapkan dengan tradisi-tradisi tinggi (high traditions) dan tradisi-‎tradisi rendah (low traditions). Dalam menghadapi tradisi-tradisi ini, Islam dengan ‎Muhammad saw sebagai tokohnya selalu bersikap arif dan bijaksana. Beliau tidak serta-‎merta menentang apalagi menghancurkan tradisi-tradisi tersebut, malah dengan sangat ‎arifnya melarang para pengikutnya mengganggu dan memerangi para penganut suatu ‎tradisi; tetapi juga tidak terhanyut mengikuti tradisi-tradisi, karena beliau sendiri merasa ‎yakin akan kebenaran dan keagungan ajaran dan tradisi (sunnah)-nya sendiri.‎
Perkembangan ajaran Islam, terutama yang menyangkut segi hukum Islam, pada ‎dasarnya selalu merujuk pada dua sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah ‎Rasul.Tetapi beberapa segi dari perkembangan legislasi Islam juga menunjukkan adanya ‎pengakuan terhadap tradisi-tradisi tertentu dan dijadikan sebagai bagian dari legislasi ‎Islam. Itulah sebabnya dalam Ushul Fiqh dikenal adanya kaidah yang berbunyi “ adat itu ‎dihukumkan” (‎العادة محكمة‎) atau “ adat adalah syari’ah yang dihukumkan (‎العادة شريعة محكمة‎).‎
Kedatangan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, memang tidak pernah ‎mengklaim bahwa seluruh tradisi yang hidup di bumi harus dihancur-leburkan dan ‎diganti dengan ajaran-ajaran Islam. Islam tetap mengakui adanya kebenaran-kebenaran ‎dan keagungan-keagungan tertentu dari tradisi bangsa-bangsa. Tak ada suatu petunjuk ‎pun yang mengharuskan umat Islam untuk menghancurkan keseluruhan tradisi. ‎
Bahkan untuk sebagian, seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat unsur-‎unsur dari berbagai tradisi untuk diakui sebagai bagian dari legislasi Islam, sejauh ‎tradisi-tradisi tersebut tidak bertentang dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebaliknya, ‎unsur-unsur dari tradisi atau budaya suatu masyarakat yang bertentangan dengan prinsip-‎prinsip ajaran Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah ‎sesungguhnya yang menjadi makna kehadiran Islam di suatu tempat atau masyarakat. ‎
Islam memandang bahwa setiap tempat, setiap masyarakat, setiap bangsa, dan ‎setiap negeri memiliki masa jahiliyahnya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh ‎masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Masa jahiliyah adalah masa dimana Islam ‎belum datang di suatu tempat, yang di dalamnya berkembang praktek-praktek yang ‎bertentangan dengan tauhid, serta berlawanan dengan prinsip-prinsip universal ajaran ‎Islam yang lain, seperti perilaku syirik, khurafat, takhayul, mitologi, feodalisme, tatanan ‎sosial tanpa hukum (anarkisme), kesewenang-wenangan, krtidakadilan, pengingkaran ‎terhadap prinsip persamaan manusia dan lain sebagainya.‎
Setiap masyarakat yang masih memiliki tradisi-tradisi tersebut di atas adalah ‎masyarakat jahiliyah, yang membawa konsekuensi kewajiban bagi umat Islam untuk ‎meluruskan, menghilangkan dan menggantinya dengan ajaran Islam. Inilah makna dari ‎dakwah Islam yang sesungguhnya. Di sini, Islam tidak berarti anti tradisi dan anti ‎budaya lokal. Islam juga tidak memiliki presenden untuk menghancurkan tradisi-tradisi. ‎Melalui doktrin dakwah-nya, Islam sejatinya bercita-cita untuk melakukan transformasi ‎budaya dan tradisi, dari tradisi yang penuh dengan praktek dan perilaku musyrik, ‎khurafat dan takhayul menuju kepada tradisi tauhid, pengakuan bahwa tiada Tuhan ‎selain Allah, tradisi yang tidak lagi mengakui supremasi dan kekuatan alam lain kecuali ‎Allah SWT. Islam bercita-cita untuk merombak masyarakat feodal, masyarakat tanpa ‎hukum, masyarakat tanpa keadilan menuju kepada terwujudnya sistem sosial yang ‎egaliter, tertib hukum dan berkeadilan.‎
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kehadiran Islam akan selalu membawa ‎konsekuensi adanya perombakan masyarakat atau transformasi sosial menuju kepada ‎kondisi yang lebih baik, tanpa mengacaukan, memotong atau mencerabut masyarakat ‎dari akar tradisinya, melainkan mendorong adanya pemeliharaan terhadap tradisi yang ‎baik dan benar.‎
Lalu bagaimana kita membedakan tradisi baik dan benar dari tradisi yang tidak ‎baik dan salah? Dengan menggunakan prinsip tauhid sebagai pijakan, sesungguhnya ‎bagi kita amat mudah membedakan mana tradisi yang mengandung unsur-unsur syirk ‎dan mana tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. ‎
يُرِيْدُ اللهَ اَنْ يُحِقَّ اْلحَقَّ بِكَلِمتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ اْلكفِرِيْنَ
‎“… dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan ‎memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan ‎membatalkan yang batil (syirk) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak ‎menyukainya”. (QS Al-Anfal:7-8).‎
Menghadapi berbagai tradisi, umat Islam diminta dan diharuskan untuk bersikap ‎kritis, dan tidak dibenarkan hanya bersikap membenarkan semata. Patutlah direnungkan ‎firman Allah berikut:‎
وَكَذلِكَ مَااَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ اِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا اِنَّاوَجَدْنَا ابَاءَنَا عَلَى ‏اُمَّةٍ وَاِنَّا عَلَى اثرِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ اَوَلَوْجِئْتُكُمْ بِاَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ابَاءَكُمْ قَالُوا ‏اِنَّابِمَااُرْسِلْتُمْ بِهِ كفِرِيْنَ
‎“Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum engkau (Muhammad) ‎seorang pun memberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan kaum yang hidup ‎berlebihan (kaya-raya) di negeri itu tentu akan berkata: ‘Sesungguhnya kami telah ‎mendapatkan leluhur kami berjalan di atas suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti ‎jejak mereka’. Dia (Rasul) itu berkata, ‘Apakah sekalipun aku datang kepadamu semua ‎dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan leluhurmu berada di atasnya?!’ ‎Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami menolak apa yang menjadi tugasmu itu” (QS ‎Az-Zukhruf: 23-24).‎
Dari ayat di atas terlihat betapa orang-orang jahiliyah selalu bersikap tanpa ‎reserve dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhurnya, suatu sikap a priori yang selalu ‎memandang tradisinya sendiri paling benar dan baik yang oleh karenanya harus ‎dipertahankan. Padahal Allah SWT melarang umat islam memiliki sikap a priori seperti ‎ini.‎
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَكُلٌّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً
‎“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengerti. Sesungguhnya ‎pendengaran, penglihatan, dan hati nurani itu semuanya akan diminta ‎pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra:36).‎
Memelihara tradisi, apalagi jika tradisi itu benar dan baik adalah suatu kearifan. ‎Tetapi kita tidak perlu bersikap a priori dan menjadi penganut faham tradisionalisme ‎dalam arti enggan mengkritisi tradisi dan budayanya sendiri. ‎
Saat ini, pada saat corak berpikir manusia sudah relatif rasional dan kritis, kita ‎sering dibuat bingung ketika sebagian anggota masyarakat kita malah kembali atau ‎mengalami kemunduran (setback) kepada tradisi-tradisi yang sesungguhnya sulit diakui ‎oleh akal sehat dan sama sekali tidak memiliki landasan teologis (tauhid). Kebingungan ‎tersebut semakin bertambah ketika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin kita ‎memelopori tindakan-tindakan irasional, berindikasi syirk, khurafat dan takahyul dengan ‎mengatasnamakan jargon “supremasi budaya”, dan atas nama “sikap akomodatif ‎terhadap keyakinan sebagian massa”.‎
Akankah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semakin menjauh dari rahmat ‎Allah, karena kemundurannya kepada kehidupan para leluhur dan masa lalunya? ‎Wallahu A’lam:‎
عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يَرْحَمَكُمْ وَاِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكفِرِيْنَ حَصِيْرًا
‎“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(nya) kepadamu, sekiranya kamu ‎kembali kepada (kemusyrikan), niscaya kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan ‎neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS Al-Isra:8).‎
‎ Kita yang sadar dan tetap dikaruniai nikmat untuk selalu menggunakan akal sehat ‎harus berani menegur dan memperingatkan setiap orang yang entah lupa atau disengaja ‎bermain-main dengan doktrin tauhidullah.‎
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوااِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْلهَمُْ مَاقَدْ سَلَفَ وَاِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ اْلاَوَّلِيْنَ
‎“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), ‎niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan ‎jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah ‎terhadap) orang-orang terdahulu” (QS Al-Anfal:38).‎
Akhirnya, kita berharap semoga kita terjauh dari segala bentuk perilaku dan ‎praktek-praktek yang berindikasikan kemusyrikan, khurafat dan takahayul, sebagaimana ‎banyak kita jumpai dalam tradisi leluhur kita.‎
رَبَّنَا اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظلِمُوْنَ
‎“Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari padanya, maka jika kami kembali (kepada ‎kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim” (QS Al-Mu’minun:107).‎