Thursday, June 28, 2007

Inferensi terhadap Koefisien Korelasi

Inferensi Yang Berkaitan Dengan
Koefisien Korelasi
‎(Inferences Involving Correlation Coefficients)‎


A. Pengantar
Dalam statistik, Koefisien Korelasi merupakan gambaran atau indikasi ‎tingkat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ketika seorang ‎peneliti ingin mengetahui keterkaitan antara, misalnya, skor atau nilai ‎kemampuan membaca dengan skor atau nilai matematika siswa, ia dapat ‎melakukannya dengan menghitung koefisien korelasi antara kedua kelompok ‎skor itu, sehingga ditemukan tingkat keterkaitannya; sangat rendah, rendah, ‎sedang, tinggi, sangat tinggi, positif atau negatif.‎
Dalam penelitian bidang pendidikan, koefisien korelasi antara dua atau ‎beberapa variabel adalah jenis uji statistik yang banyak dilakukan, bahkan ‎mungkin termasuk jenis uji statistik yang paling populer digunakan. Beberapa ‎waktu yang lalu, salah seorang senior kita yang meraih gelar Doktor pertama ‎pada Program Studi Pendidikan Islam kita, juga menggunakan jenis uji ini, ‎sehingga ia dapat menentukan pengaruh kepemimpinan kepala, supervisi ‎akademik, dan budaya organisasi (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-‎sama; langsung maupun tidak langsung) terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah ‎di Jawa Barat.‎
Meskipun temuan-temuan penelitian yang digambarkan melalui koefisien ‎korelasi memiliki banyak kekurangan, terutama apabila variabel-variabel yang ‎diuji jumlahnya terbatas, sehingga tidak mampu menggambarkan hubungan ‎antarvariabel secara lebih komprehensif; namun karena berbagai keunggulan ‎yang dimiliki oleh jenis uji ini, khususnya karena waktu yang dibutuhkannya ‎yang relatif tidak terlalu lama, maka jenis uji ini menjadi favorit di kalangan para ‎peneliti dan evaluator pendidikan.‎
Pada bab 11 yang berjudul “Inferences Involving Correlation Coefficients” ‎dari buku “Statistics: A Spectator Sport” karya Richard M. Jaeger ini, penulis ‎buku memberikan contoh bagaimana memahami hasil-hasil kesimpulan ‎penelitian yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi. Dengan ‎menganalisis dua laporan hasil penelitian, Jaeger menyajikan tinjauan kritis ‎terhadap kedua laporan hasil penelitian tersebut.‎
Sebelum mencoba mendeskripsikan perspektif kritis Jaeger terhadap ‎kedua penelitian tersebut, pertama-tama perlu dipahami terlebih dahulu beberapa ‎kata kunci (keywords) yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien ‎korelasi. Pertama, inferensi, secara sederhana dapat dimaknai sebagai menaksir ‎atau menyimpulkan (to infer) tentang parameter populasi dengan menggunakan ‎statistik sampel. Kedua, koefisien korelasi (correlation coefficient) adalah statistik ‎yang menggambarkan derajat hubungan (degree of relationship) antara dua ‎variabel. Ketiga, pengujian hipotesis (hypothesis testing) dimaksudkan sebagai ‎pengujian terhadap hipotesis nol. Keempat, Kekeliruan Tipe I (Type I Error) ‎terjadi ketika peneliti menolak hipotesis nol yang benar. Kelima, Kekeliruan Tipe ‎II (Type II Error) adalah kekeliruan yang terjadi ketika peneliti tidak menolak ‎hipotsis nol yang salah. Keenam, validitas eksternal (external validity) adalah ‎melakukan generalisasi dari suatu kesimpulan yang didasarkan pada sampel ‎tertentu kepada populasi dan konteks yang berbeda dari sampel penelitian.‎
B. Memahami Inferensi yang Berkaitan dengan Koefisien Korelasi
Dalam bab ini Jaeger menggunakan dua contoh penelitian untuk ‎memahami inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi. Kedua penelitian ‎tersebut adalah: Pertama, Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) ‎dengan Faktor-faktor Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah ‎‎(School Factors). Kedua, Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di ‎Kelas.‎
‎1.‎ Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) dengan Faktor-faktor ‎Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah (School Factors)‎
Penelitian yang dilakukan oleh Wrabel (1985) ini berjudul Ego Identity, ‎Cognitive Ability, and Academic Achievement: Variances, Relationships, and ‎Gender Differences Among High School Sophomores. Tujuan penelitian ini adalah ‎untuk menentukan derajat hubungan antara identitas ego siswa kelas II SMA ‎dengan sejumlah faktor-faktor kognitif dan sekolah, yang mencakup Cognitive ‎Verbal Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point ‎Average (GPA), dan Normed Test Achievement (NTA). Melalui penelitian ini, ‎Wrabel juga ingin menemukan konstrak atau konsep yang lebih baik yang dapat ‎digunakan untuk memprediksi identitas ego siswa, yang menurut peneliti ‎penting bagi para guru BP (counselor) dan tenaga kependidikan lainnya.‎
Data penelitian dikumpulkan dari sampel yang berjumlah 202 siswa SMA ‎yang berasal dari SMA di pinggiran kota Cleveland, Ohio, yang berpenduduk ‎‎31,000 orang. Sebetulnya responden yang ditetapkan berjumlah 240 siswa dengan ‎jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang seimbang. Tetapi karena berbagai ‎alasan (ketidakhadiran pada saat data dikumpulkan dan ketiadaan izin orang tua), ‎responden yang berhasil dijaring hanya 202 (84%). ‎
Instrumen pengumpul data untuk variabel-variabel CVA, CQA, dan ‎NTA menggunakan “3-R’s Verbal Abilities, Quantitative Abilities, and ‎Achievement Test: Ohio Version, Form A, Level 15/16”. Instrumen pengukuran ‎variabel Identitas Ego menggunakan “Rasmussen Ego Identity Scale: Revised ‎Short Form”. Sedangkan data untuk variabel GPA berasal dari rata-rata data ‎prestasi siswa. ‎
Setelah data terkumpul, Wrabel melakukan pengujian tiap-tiap pasangan ‎variabel dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment Pearson. ‎Analisis data dilakukan dengan memisahkan dan menggabungkan jenis kelamin ‎responden sebagai variabel moderatornya.‎
Hasil pengujian dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment ‎Pearson dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: ‎
Tabel 1: Interkorelasi antara Variabel-variabel Identitas Ego, Cognitive Verbal ‎Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point Average ‎‎(GPA), dan Normed Test Achievement (NTA) untuk Laki-laki, Perempuan, dan ‎Keseluruhan Subjek
Variabel Identitas ‎Ego Cognitive ‎Verbal ‎Ability Cognitive ‎Quantita-‎tive Ability Normed ‎Test ‎Achieve-‎ment Grade ‎Point ‎Average
Laki-laki
Ego Identity ‎1,00‎
Cognitive Verbal Ability ‎0,19‎ ‎1,00‎
Cognitive Quantitative ‎Ability ‎0,20*‎ ‎0,72***‎ ‎1,00‎
Normed Test ‎Achievement ‎0,14‎ ‎0,82***‎ ‎0,80***‎ ‎1,00‎
Grade Point Average ‎0,19‎ ‎0,38***‎ ‎0,46***‎ ‎0,46***‎ ‎1,00‎
Perempuan
Ego Identity ‎1,00‎
Cognitive Verbal Ability ‎0,16‎ ‎1,00‎
Cognitive Quantitative ‎Ability ‎0,03‎ ‎0,66***‎ ‎1,00‎
Normed Test ‎Achievement ‎0,13‎ ‎0,84***‎ ‎0,78***‎ ‎1,00‎
Grade Point Average ‎0,22‎ ‎0,51***‎ ‎0,49***‎ ‎0,57***‎ ‎1,00‎
Semua Subjek
Ego Identity ‎1,00‎
Cognitive Verbal Ability ‎0,18**‎ ‎1,00‎
Cognitive Quantitative ‎Ability ‎0,12‎ ‎0,69***‎ ‎1,00‎
Normed Test ‎Achievement ‎0,15*‎ ‎0,83***‎ ‎0,82***‎ ‎1,00‎
Grade Point Average ‎0,21**‎ ‎0,44***‎ ‎0,46***‎ ‎0,51***‎ ‎1,00‎
‎***  < 0,001‎
‎ **  < 0,01‎
‎ *  < 0,05‎
Berdasarkan tabel di atas, Wrabel menyimpulkan bahwa terdapat korelasi ‎yang signifikan antara NTA dengan CQA, antara NTA dengan CVA, antara ‎CQA dengan CVA, antara GPA dengan CQA, antara GPA dengan NTA, dan ‎antara GPA dengan CVA bagi kedua kelompok siswa laki-laki dan perempuan. ‎Temuan ini menurut Wrabel sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang ‎dilakukan oleh Cross dan Allen (1970). Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa ‎terdapat hubungan yang bermakna antara kecakapan kognitif dengan prestasi ‎akademik apabila siswa laki-laki dan perempuan dihitung secara terpisah. ‎
Wrabel juga menyimpulkan bahwa antara EI dan CQA berkorelasi secara ‎positif (0,20,  < 0,05) untuk siswa laki-laki, meskipun kekuatan hubungannya ‎lemah. Sebaliknya korelasi positif signifikan terjadi antara EI dengan GPA untuk ‎siswa perempuan (0,22,  < 0,05). Temuan ini menurut Wrabel juga sesuai ‎dengan temuan Hummel dan Roselli (1983).‎
Kesimpulan Wrabel berikutnya berdasarkan tabel data di atas adalah ‎bahwa ketika siswa laki-laki dan perempuan diuji secara bersama-sama, terdapat ‎korelasi yang signifikan antara NTA dengan CVA, NTA dengan CQA, CQA ‎dengan CVA, GPA dengan NTA, GPA dengan CQA, dan GPA dengan CVA. ‎Temuan ini sejalan dengan temuan Chang (1982). Berdasarkan temuan ini, ‎Wrabel menyimpulkan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ‎kecakapan kognitif dengan prestasi akademik ketika subjek laki-laki dan ‎perempuan dikaji secara bersama-sama. ‎
Dengan mencermati tabel di atas, kita menemukan bahwa beberapa ‎koefisien korelasi ada yang tanpa ditandai tanda bintang, ada yang ditandai ‎dengan satu bintang, dua bintang, dan tiga bintang; yang berarti bahwa peneliti ‎melakukan pengujian signfikansi atau probabilitas statistik korelasional. Dengan ‎begitu, untuk setiap koefisien korelasi pada tabel tersebut, Wrabel menguji ‎Hipotesis Nol—dalam hubungannya dengan populasi yang akan ‎digeneralisasikannya—sama dengan nol (H0: =0); sebaliknya Hipotesis ‎Alternatif yang berkaitan dengan koefisien korelasi populasi tidak sama dengan ‎nol (H1: ≠0). ‎
Tanda bintang pada masing-masing koefisien korelasi juga dapat dimaknai ‎bahwa:‎
• Tiadanya tanda bintang berarti koefisien korelasi tidak signifikan pada ‎tingkat signifikansi 0,05.‎
• Tanda bintang satu menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak ‎pada tingkat signifikansi 0,05.‎
• Tanda bintang dua menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak ‎pada tingkat signifikansi 0,01.‎
• Tanda bintang tiga menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak ‎pada tingkat signifikansi 0,001.‎
Dengan demikian, melalui pengujian terhadap sampel sebanyak 202 siswa, ‎Wrabel sekaligus berusaha melakukan inferensi terhadap populasi, sehingga ‎kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari pengujian terhadap sampel statistik ia ‎gunakan untuk menyimpulkan (to infer) koefisien korelasi populasi.‎
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan itu, Jaeger membuat catatan-catatan ‎kritis sebagai berikut:‎
Pertama, kesimpulan Wrabel bahwa penelitiannya menghasilkan temuan ‎tentang adanya korelasi antara identitas ego dengan berbagai kecakapan kognitif ‎siswa (cognitive ability, achievement test score dan grade point average), ‎sesungguhnya akan lebih tepat bila dikatakan bahwa tingkat korelasinya rendah.‎
Kedua, meskipun beberapa koefisien korelasi secara statistik signifikan, ‎tetapi satu-satunya kesimpulan yang mendukung dari temuannya adalah bahwa ‎dalam suatu populasi (kelas II SMA) di mana sampel diambil, angka yang ‎berkaitan dengan korelasi akan selalu berbeda dari nol. Pendeknya, uji korelasi ‎jarang sekali yang menghasilkkan koefisien korelasi sama dengan nol. Dengan ‎demikian, temuan Wrabel sama sekali tidak mendukung suatu keyakinan bahwa ‎identitas ego siswa berkaitan dengan kecakapan kognitif mereka. ‎
Ketiga, seperti juga pada penelitian-penelitian lainnya, inferensi yang ‎berkaitan dengan koefisien korelasi juga berhadapan dengan problem validitas ‎eksternal. Dengan sampel yang diambil dari SMA di pinggiran kota, tentunya ‎belum bisa dikatakan mewakili populasi yang luas, dan dengan demikian ‎kesimpulannya tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi seluruh populasi ‎kelas II SMA.‎
‎2.‎ Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di Kelas
Penelitian ini berjudul Relations between Teacher Attitudes and Teacher ‎Behavior in Ninth-Grade Algebra Classes yang dilakukan oleh McConnel pada ‎tahun 1978. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap ‎guru dan perilaku mereka di dalam kelas.‎
McConnel menetapkan 47 guru aljabar tingkat sembilan sebagai sampel ‎yang diambil secara purposive. Data-data yang berkenaan dengan variabel sikap ‎guru diambil dengan menggunakan kuesioner (self-reported). Sedangkan data ‎tentang perilaku guru dikumpulkan melalui pengamatan yang dilakukan oleh dua ‎orang pengamat dewasa dan juga berasal dari penilaian para siswa terhadap ‎perilaku guru di kelas.‎
Karena laporan penelitian yang dilakukan oleh McConnel memuat banyak ‎data beserta tabelnya, Jaeger hanya fokus pada dua hal penting yang berkenaan ‎dengan inferensi terhadap koefisien korelasi dari hasil penelitian McConnel ini. ‎Pertama, selain untuk mengetahui hubungan antara sikap guru dengan perilaku ‎mereka di kelas, McConnel juga menguji reliabilitas instrumen pengukuran ‎perilaku guru antara skor-skor hasil pengamatan pada kunjungan ketiga dan ‎keempat. Dengan upaya ini McConnel ingin mengetahui apakah instrumen atau ‎pengamatan satu dengan yang lainnya reliabel atau tidak. Kedua, fokus Jaeger ‎pada inti penelitian McConnel, yakni inferensinya terhadap koefisien korelasi ‎antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas. ‎
a. Koefisien Reliabilitas Pengukuran
Berkenaan dengan fokus pertama, McConnel menyajikan data tentang ‎korelasi rata-rata skor dua penilai (rater) antara kunjungan ketiga dan keempat ‎ketika melakukan pengukuran/penilaian terhadap perilaku guru di kelas, ‎sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:‎
Tabel 2: Korelasi antara Skor-skor dalam Lembar Penilaian Kunjungan Kelas ‎Ketiga dan Keempat dalam 43 Kelas
Item r
PR1‎ Clarity ‎0,382*‎
PR2‎ Variability ‎0,375*‎
PR3‎ Enthusiasm ‎0,636**‎
PR4‎ Business-like ‎0,533**‎
PR5‎ Uses Student Ideas ‎0,398**‎
PR6‎ Critism ‎0,565**‎
PR7‎ Structures Lesson ‎0,347*‎
PR8‎ Higher Cognitive Questions ‎0,595**‎
PR9‎ Probing Questions ‎0,332*‎
PR10‎ Difficulty of Lesson ‎-0,147‎
‎ *  < 0,05‎
‎**  < 0,01‎

Dengan koefisien korelasi itu, McConnel menyimpulkan bahwa ‎instrumen (proses penilaian oleh pengamat) untuk aspek Difficulty of Lesson ‎tidak reliabel antara pengamatan pada kunjungan ketiga dengan kunjungan ‎keempat (-0,147), sedangkan penilaian perilaku untuk aspek-aspek lainnya ‎reliabel.‎
McConnel juga menguji Hipotesis Nol (H0) yang berbunyi: “penilaian ‎pengamat terhadap perilaku guru di kelas antara penilaian pada kunjungan ketiga ‎tidak berkorelasi dengan penialaian pada kunjungan keempat”. Jika H0 benar ‎untuk skala tertentu (misalnya aspek “Clarity”), berarti skala penilaian observer ‎terhadap perilaku guru pada kunjungan ketiga dan keempat tidak reliabel. ‎
Pada tabel 2 di atas, McConnel tidak menetapkan tingkat Kekeliruan Tipe ‎I (Type I Error level), tetapi ia hanya melaporkan tingkat signifikansi tiap ‎koefisien korelasi ketika membandingkannya dengan nilai kritis yang sesuai ‎dengan dua tingkat signifikansi ( = 0,05 dan  = 0,01). Dengan begitu, dapat ‎dikatakan bila koefisien korelasi disertai dengan satu tanda bintang, berarti ‎koefisien korelasi itu siginifikan pada taraf signifikansi  = 0,05; jika koefisien ‎korelasi disertai dengan dua lambang bintang, berarti Hipotesis Nol ditolak pada ‎taraf signifikansi  = 0,01.‎
Bagi Jaeger, uji signifikansi seperti yang dilaporkan McConnel pada tabel ‎‎2 di atas adalah sesuatu yang sangat tidak biasa. Korelasi yang menggambarkan ‎reliabilitas pengukuran (koefisien reliabilitas) biasanya dilakukan hanya untuk ‎sampel dan jarang sekali digunakan untuk menguji Hipotesis Nol yang berkaitan ‎dengan parameter populasi. Dengan kata lain, inferensi yang berkaitan dengan ‎koefisien korelasi jarang sekali digunakan dalam pengujian reliabilitas instrumen. ‎Sebab idealnya, sebuah instrumen dikatakan reliabel bila koefisien korelasi antara ‎pengukuran satu dengan lainnya mendekati angka 1; sebaliknya jika koefisien ‎korelasi mendekati angka 0, berarti instrumen atau pengukuran itu kurang atau ‎tidak reliabel.‎
b. Korelasi antara Sikap Guru dengan Perilaku Mereka di Kelas‎
Hasil penelitian McConnel tentang korelasi antara sikap guru dengan ‎perilaku mereka di kelas ditampilkan dalam sebuah tabel yang panjang, sehingga ‎dalam chapter report ini tidak ditampilkan. Berdasarkan hasil penelitiannya, ‎McConnel menyimpulkan bahwa penelitiannya itu berhasil membuktikan bahwa ‎sikap guru berkaitan dengan pola perilaku mereka yang dapat diamati oleh ‎observer. Guru yang lebih menikmati pekerjaannya sebagai profesi dan lebih ‎menyukai mata pelajarannya (dalam hal ini matematika) dinilai lebih “jelas” ‎‎(clearer) dalam penyajiannya, lebih bervariasi dalam penyampaian, lebih antusias, ‎lebih berorientasi pada tugas, lebih dapat menangkap gagasan siswa, lebih tepat ‎dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, dan jarang mendapat ‎kritik dari siswa. Sebaliknya dari itu, guru menjadi kurang jelas dalam ‎penyampaian, kurang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk ‎pembelajaran aljabar, dan kurang menekankan pada logika dan analisis.‎
Meskipun penelitian terbatas pada guru aljabar, tetapi McConnel ‎memperluasnya menjadi guru matematik. Ia juga menggeneralisasikannya pada ‎aspek yang lebih luas, bahwa kesuksesan belajar pada mata pelajaran aljabar juga ‎analog dengan kesuksesan pada mata pelajaran yang lain. ‎
Dalam tabel-tabel laporan penelitian tentang korelasi antara sikap guru ‎dengan perilaku mereka di kelas, McConnel menyajikan nilai koefisien korelasi ‎‎(r) sekaligus dengan tingkat probabilitasnya masing-masing. Misalnya, koefisien ‎korelasi antara “Clarity” dengan “Theoretical Orientation” adalah sebesar 0,26, ‎yang kemudian di sebelah kanannya ada kolom “Sig.” sebesar 0,047. Ini dapat ‎diartikan bahwa Hipotesis Nol (H0) yang menyatakan bahwa: Korelasi populasi ‎antara pengamatan observer terhadap aspek “Clarity” guru dengan orientasi ‎teoretis guru sama dengan 0 (H0: =0) ditolak pada tingkat signifikansi  = ‎‎0,047. Sebaliknya, koefisien korelasi 0,44 antara aspek “Clarity” dengan aspek ‎‎“Involvement in Teaching” signifikan pada level 0,001. Hal ini berarti bahwa H0 ‎yang berkaitan dengan korelasi populasi sama dengan 0 (H0: =0) ditolak, ‎meskipun peneliti hanya menetapkan resiko kekeliruan tipe I-nya sebesar 0,001.‎
Bagi Jaeger, meskipun scara statistik signifikan pada tingkat kepercayaan ‎‎0,05, namun koefisien-koefisien korelasi antara aspek-aspek dalam variabel sikap ‎guru dengan aspek-aspek dalam variabel perilaku mereka di kelas adalah ‎termasuk korelasi sedang. Oleh karena itu, Jaeger memberikan dua catatan kritis ‎kalau ingin menggeneralisasikan temuan McConnel tersebut. Pertama, karena ‎sampel yang digunakan McConnel adalah guru-guru aljabar tingkat sembilan ‎yang berasal dari SMA di 13 pinggiran kota, sehingga untuk membuat ‎generalisasi atau inferensi terhadap populasi yang lebih luas menjadi kurang ‎bermakna.‎
Kedua, fakta bahwa hanya guru-guru aljabar yang dijadikan sebagai ‎sampel, lalu kemudian digeneralisasikan kepada guru-guru lain, mestilah ‎didukung oleh instrumen pengukuran yang reliabel.‎
C. Kesimpulan
Melakukan inferensi tentang koefisien korelasi terhadap populasi yang ‎luas memang akan sangat membantu dalam menemukan kesimpulan-kesimpulan ‎ilmiah yang memiliki cakupan luas. Namun demikian, ada beberapa faktor yang ‎perlu dipertimbangkan oleh peneliti dalam melakukan inferensi suatu penelitian ‎tentang sampel statistik bila akan digeneralisasikan terhadap poulasi.‎
Pertama, sampel yang ditetapkan dalam penelitian mestilah benar-benar ‎representatif, dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak, ‎dengan mempertimbangkan tingkat sampling error sekecil-kecilnya.‎
Kedua, besar kecilnya koefisien korelasi yang diperoleh juga patut ‎dipertimbangkan. Koefisien korelasi yang mendekati angka 1, mungkin akan ‎lebih kuat untuk melakukan inferensi dibandingkan dengan koefisien korelasi ‎yang mendekati angka 0.‎
Ketiga, peneliti juga perlu memperkirakan Tingkat Kekeliruan I dalam ‎menyimpulkan penerimaan atau penolakan hipotesis nol. Tingkat signifikansi ‎‎0,05 memang umum digunakan dalam penelitian bidang pendidikan. Namun ‎dengan tingkat signifikansi sebesar itu, resiko untuk keliru (Type I Error) relatif ‎lebih besar dibandingkan dengan menggunakan tingkat keberartian 0,001.‎
Keempat, inferensi untuk mencapai generalisasi pada populasi yang lebih ‎luas, juga perlu mempertimbangkan validitas dan reliabilitas instrumen ‎pengukuran, baik alat ukurnya, prosesnya, maupun pengolahannya. Betapapun ‎besar dan kuatnya keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dan ‎betatapun kecilnya tingkat Kekeliruan Tipe I yang ditetapkan; kalau instrumen ‎penelitiannya tidak valid dan reliabel, maka hasil analisisnya hanya akan berupa ‎sampah.‎
Kelima, peneliti juag perlu mempertimbangkan untuk membangun ‎kerangka berpikir yang benar-benar dibangun dan didasarkan pada teori-teori ‎yang kuat, sehingga hubungan antarvariabel yang akan diteliti benar-benar ‎menggambarkan hubungan yang logis. Hubungan antara identitas ego dengan ‎kecakapan kognitif, misalnya, mungkin termasuk salah satu jenis hubungan yang ‎secara teoretik kurang logis.‎

Buku Sumber
Jaeger, Richard M. (1991). Statistics: A Spectator Sport. California: Sage ‎Publication, Inc.‎

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji IV

Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-‎Muta’allim Thariqat al-Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, ‎kitab tersebut cenderung memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada ‎semangat dan pesan moral di dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.‎
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu ‎menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. ‎Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ‎ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren.‎
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim ‎al-Muta’allim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang ‎pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.‎
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki ‎kecenderungan sama dengan Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab ‎yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail ‎al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Muta’alim karya Imam al-‎Ghazali (w. 505 H.).‎
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok ‎pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun ‎periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim. ‎Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-‎Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.‎
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak ‎berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu ‎pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) ‎konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis ‎pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.‎
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral ‎yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan ‎dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis. ‎
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid ‎menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu ‎pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur ‎bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, ‎bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara ‎berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.‎
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu ‎kemudian mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan ‎dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah ‎mengemukakan kritiknya terhadap Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa ‎daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah ‎pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di ‎mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji ‎dalam Ta’lim al-Muta’allim.‎
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke ‎dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat ‎itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan ‎disudutkan.‎
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap ‎berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-‎metodologis, dan ekspresi pribadi.‎
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses ‎pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan ‎bermoral.‎
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka ‎patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai ‎teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta ‎kondisi-kondisi yang lain.‎
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi ‎pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ‎ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi ‎cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami ‎sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun ‎pengajar.‎
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam ‎bingkai teladan-moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah ‎pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu ‎diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai ‎motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis ‎dengan yang ada dalam cerita itu.‎
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. ‎Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku ‎dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar ‎semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan ‎apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak ‎memiliki basis moral yang mapan.‎
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam ‎apresiasi. Karya al-Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-‎suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh ‎Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan ‎khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.‎
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: ‎konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan ‎perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu ‎pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya.‎
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan ‎moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi ‎juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi ‎pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201).‎
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-‎Muta’allim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan ‎berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Ta’lim al-‎Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam ‎modern.‎
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang ‎membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, ‎‎1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: ‎‎“Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran ‎Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong ‎masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak ‎benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.‎
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang ‎dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka ‎tumpahnya kepada Ta’lim al-Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim ‎seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional.‎
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah ‎mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali ‎apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‎‎‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu ‎jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".‎
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, ‎mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal ‎itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, ‎terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat.‎
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya ‎mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat ‎kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak ‎sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya.‎
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang ‎seringkali dimuculkan untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek ‎kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri ‎tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian ‎dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.‎
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-‎Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar ‎belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional ‎atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.‎
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi ‎karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi ‎para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.‎
‎1. Anjuran untuk selalu belajar‎
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin ‎Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, ‎karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.‎
Syairnya adalah sebagai berikut:‎
تعلم فان العلم زين لاهــله – وفضل وعنوان لكل المــــحامد‏
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة – من العلم واسبح فى بحور الفــوائد‏
تفقه فان الفقه افضل قــائد – الى البــر والتقوى واعدل قــائد‏
هو العلم الهادى الى سنن الهدى – هو الحصن ينجى من جميع الشدائـد
فان فــقيها واحدا متـورعا – اشد على الشيـطان مـن الف عابد‏

‎"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. ‎
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ‎ilmu yang berguna.‎
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang ‎dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,‎
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan ‎yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari ‎segala keresahan.‎
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi ‎setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-‎‎7)‎

Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan ‎melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan ‎pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, ‎kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.‎
‎2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela‎
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat ‎mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang ‎terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah ‎hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.‎
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:‎
وكذلك فى سائر الاخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والاسراف والتقتير وغيرها
‎"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang ‎terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, ‎congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."‎
‎3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan‎
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu ‎nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu ‎agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, ‎karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).‎
Ia mengatakan:‎
وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرام لانه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن ‏
‎"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan ‎penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, ‎karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).‎
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang ‎didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain ‎yang bermanfaat.‎
‎4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para ‎pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan ‎belajar.‎
Ia mengatakan:‎
لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. اذا النية هي الاصل فى جميع الاحوال
‎"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok ‎dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).‎
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait ‎dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:‎
a.‎ Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;‎
b.‎ Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;‎
c.‎ Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di ‎masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan ‎nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan ‎bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. ‎‎(Al-Zarnuji, 1995:12-14).‎
‎5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak ‎tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib ‎berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:‎
ان التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى الى المعالى يرتقى‏
ومن االعجائب عجب من هو جاهل – فى حاله اهو السعيد ام الشقى‏
‎"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat ‎tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya ‎menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang ‎beruntung dengan orang yang celaka." (Al-Zarnuji, 1995:16).‎
‎6. Cara memilih guru‎
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari ‎guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, ‎sebagaimana dikatakannya:‎
واما اختيار الاستاذ فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسن
‎"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang ‎lebih tua". (Al-Zarnuji, 1995:18-19).‎
‎7. Cara memilih jenis ilmu‎
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan ‎sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan ‎penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan ‎dalam mencari ilmu.‎
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama ‎yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid ‎mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah ‎berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang ‎taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji, 1995:18).‎
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk ‎mempelajari ilmunya para ulama Salaf.‎
‎8. Nasihat kepada para pelajar‎
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan ‎moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.‎
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, ‎Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah ‎dengan pelajar atau orang lain.‎
Ia mengatakan:‎
وطلب العلم من اعلى الامور واصعبها فكان المشاورة فيه اهم واوجب
‎"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka ‎bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". ‎‎(Al-Zarnuji, 1995:21).‎
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan ‎tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:‎
واعلم ان الصبر والثبات اصل كبير فى جميع الامور
‎"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala ‎urusan" (Al-Zarnuji, 1995:22).‎
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang ‎mengatakan:‎
الالاتـنال العـلم الا بسـتة – سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وارشاد استاذ وطول الزمان‏
‎"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; ‎sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, ‎bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, ‎‎1995:23).‎
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk ‎memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan ‎dan penderitaan. Ia mengatakan:‎
الشجاعة صبر ساعة
‎"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-‎Zarnuji, 1995:22).‎
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa ‎nafsu. Ia mengatakan:‎
وينبغى ان يصبر عما تريد نفسه
‎"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-‎Zarnuji, 1995:23).‎
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan ‎orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:‎
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
‎"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang ‎faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, ‎suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).‎
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh ‎setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.‎
Ia berkata:‎
اعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به الا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
‎"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya ‎tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan ‎menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26).‎
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan ‎nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di ‎tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-‎Zarnuji, 1995:27).‎
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak ‎banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-‎Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren ‎mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di ‎hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam ‎berdiskusi.‎
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti ‎hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-‎Zarnuji, 1995:30).‎
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan ‎cita-cita (al-himmah), Al-Zarnuji mengatakan:‎
ثم لابد من الجد والمواظبة واالهمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولجز ‏
‎"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa ‎bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja ‎yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).‎
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji ‎mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan ‎oleh guru. Ia mengatakan:‎
وينبغى ان يجتهد فى الفهم من الاستاذ
‎"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh ‎gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55).‎
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. ‎demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-‎Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:‎
وينبغى ان يجتهد ويدعو الله تعالى
‎"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a ‎kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55).‎
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa ‎dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji ‎menganjurkannya. Ia berkata:‎
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة. وينبغى ان يكون بالانصاف والتأن ويتحرز عن الشغب
‎"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), ‎dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, ‎tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).‎
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur ‎kepada Allah. Ia berkata:‎
ينبغى لطالب العلم ان يستغل بالشكر من اللسان والجنان والاركان والمال
‎"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, ‎hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).‎
l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-‎sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak ‎rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar ‎setiap pelajar tidak mudah patah semangat.‎
وينبغى ان يكون لطالب العلم فترة وتحير فانها آفة
‎"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa ‎berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69).‎
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, ‎setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.‎
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لامر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
‎"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas ‎soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, ‎‎1995:71).‎
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi ‎antar sesama. Ia berkata:‎
وينبغى ان يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
‎"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-‎dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77).‎
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki ‎prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan:‎
واياك وان تظن بالمؤمن سوءا فانه منشأ العداوة ولا يحل ذلك‏
‎"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber ‎permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).‎
p. Anjuran bersikap wara'‎
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau ‎menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ‎ini maka:‎
فمهما كان طالب العلم اورع كان علمه انفع والتعلمه له ايسروفوائده اكثر
‎"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih ‎muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).‎
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri ‎kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat ‎mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji ‎menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat. ‎
وينبغى ان يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فان ذلك عون له على التحصيل والتعلم
‎"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya ‎melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu ‎keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91).‎
E. Kesimpulan
‎1.‎ Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-‎Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan ‎akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-‎mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari ‎akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. ‎Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, ‎cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada ‎para penuntut ilmu.‎
‎2.‎ Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat ‎diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, ‎tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak ‎mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran ‎menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) ‎anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil ‎berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; ‎‎(12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa ‎tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak ‎berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak ‎shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak ‎semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman ‎sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan ‎berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran ‎modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan ‎pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain ‎sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang ‎dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan ‎dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian ‎anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji ‎agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, memelihara ‎sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.‎

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 1991. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk ‎Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.‎
Al-Zarnuji, Syekh, 1985. Terjemah Ta'lim al-Muta'allim. Mutiara ilmu, Surabaya.‎
Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.‎
Asmaran, AS. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.‎
Bruinessen, Martin Van, 1996. Kitab Kuning dan Perkembangan Thariqat di ‎Indonesia. Mizan, Bandung‎
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Buku IA Filsafat Ilmu, Universitas ‎Terbuka, Jakarta.‎
Dhofier, Zamakhsyari, 1995. Tradisi Pesantren: Studi atas Perilaku Kiai. LP3ES, ‎Jakarta.‎
Fudyartanta, 1974, Etika. Yogyakarta: Warawidyani Cetakan Keempat‎
Ghazali, Said, 2000. Kontekstuaalisasi Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Makalah Serminar, ‎tidak diterbitkan.‎
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, ‎Cetakan keenam.‎
Haricahyono. 1995. Etika Pergaulan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka ‎Utama.‎
Hourani, George F. 1986, Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: ‎Cambridge University Press. ‎
Husain, Muhammad, 2001. Kitab Kuning: Sejarah dan Pertumbuhannya. LkiS, ‎Yogyakarta
Moleong, Lexy.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja ‎Rosdakarya.‎
Rakhmat, Jalauddin, 2004.Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung.‎
Soelaeman. 1994. Pengembangan Etika di Lingkungan Lembaga Pendidikan. Jakarta: ‎Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.‎
Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM ‎Yogyakarta.‎
Surajiyo, 2004. Perspektif Filsafat Ilmu tentang Etika Profesi. Ciamis: Jurnal Ilmiah ‎Tajdid.‎
Suseno, Frans Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.‎
Taylor, Paul W., 1985. Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson ‎Publishing Compant Inc..,‎
Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta:CV. Rajawali.‎

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji III

‎2. Etika dan Akhlak‎
Kata etika dalam prakteknya sering disamaartikan dengan akhlak. Oleh karena ‎itu, penting untuk mengetahui kaitan antara etika dan akhlak ini. Secara terminologis, ‎akhlak adalah sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat ‎pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. (Ahmadi ‎dan Salimi, 1991:1999).‎
Kitab Al-Mu'jam al-Wâsit (Asmaran AS, 1992:2) mendefinisikan akhlak sebagai ‎berikut:‎
الخلق حال للنفس راسخة تصدر عنها الأعمال من خير او شر من غير حاجة الى فكر ورؤية ‏
Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-‎macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan ‎pertimbangan. ‎
Senada dengan definisi tersebut, Imam Gazali (Asmaran AS, 1992:2) ‎mengartikan akhlak sebagai berikut:‎
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر الانفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر ورؤية ‏

AI-Khulq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menumbulkan macam-‎macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan ‎pertimbangan. ‎
Oleh karena itu, pada hakikatnya khulq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu ‎kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari ‎situ muncullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa ‎dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul ‎kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari'at dan akal pikiran, maka ia ‎dinamakan budi pekerti mulia (al-akhlâq al-mahmûdah) dan sebaliknya apabila yang ‎lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela (al-akhlâq al-‎mazmûmah). Al-khulq disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dan ‎terpatri dalam jiwa, karena seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya ‎dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajat dan secara tiba-tiba, maka ‎bukanlah orang yang demikian ini disebut orang yang dermawan sebagai pantulan dari ‎kepribadiannya. Juga disyaratkan, suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya ‎perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran. ‎Sebab seandainya ada orang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya ‎atau memaksa hatinya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan ‎kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir lebih ‎dulu, maka bukanlah orang yang semacam ini disebut sebagai orang dermawan.‎
Di dunia pendidikan Islam juga dikenal istilah ilmu akhlak. Dengan melihat ‎pengertian ilmu, yaitu mengenal sesuatu sesuai dengan esensinyaa, dan pengertian ‎khulq, yaitu budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seperti yang tersebut di ‎atas, maka ilmu akhlak, dilihat dari sudut etimologi, ialah upaya untuk mengenal budi ‎pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seseorang sesuai dengan esensinya.‎
Kamus Al-Kautsar, mengartikan ilmu akhlak sebagai ilmu tata krama. (Asmaran ‎AS, 1992:3) Jadi, ilmu akhlak ialah ilmu yang berusaha untuk mengenal tingkah-laku ‎manusia kemudian memberi hukum/nilai kepada perbuatan itu bahwa ia baik atau ‎buruk sesuai dengan norma-norma akhlak dan tata susila.‎
Sedangkan secara terminologi, di dalam Dâ'irat al-Ma'ârif dikatakan:‎
علم الاخلاق هو علم بالفضائل وكيفية اقتنائها لتتحلى النفس بها وبالرذائل وكيفية توقيها لتتخلى عنها ‏
Ilmu akhlak ialah ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya ‎hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa ‎kosong daripadanya. (Asmaran AS, 1992:4).‎
Sementara itu Al-Mu'jam al-Wâsith memberikan definisi ilmu akhlak dengan :‎
علم الاخلاق علم موضوعه احكام قيمته تتعلق بالاعمال التى توصف بالحسن والقبح ‏

llmu akhlak ialah ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang ‎berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk. ‎‎(Asmaran AS, 1992:4)‎
Menurut Ahmad Amin ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan ‎buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada ‎orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan ‎mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apaapa yang harus diperbuat. ‎‎(Asmaran AS, 1992:5)‎
Sedangkan Hamzah Ya'qub mengemukakan pengertian ilmu akhlak dengan ‎mengatakannya sebagai berikut: "Adapun pengertian sepanjang terminologi yang ‎dikemukaJcan oleh ulama akhlak antara lain: (a) ilmu akhlak adalah ilmu yang ‎menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang ‎perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin; dan (b) ilmu akhlak adalah ilmu ‎pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang ‎mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari ‎seluruh usaha dan pekerjaan mereka. (Asmaran AS, 1992:5)‎
The Encyclopaedia of Islam merumuskan: It is the science of virtues and the way ‎how to acquire them, of vices and the way how to quard against them (Asmaran AS, ‎‎1992:5), (ilmu akhlak ialah ilmu tentang kebaikan dan cara mengikutinya, tentang ‎kejahatan dan cara untuk menghindarinya).‎
Dari pengertian di atas kiranya dapat dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu ‎yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus ‎dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan ‎Tuhan, manusia dan makhluk (alam) sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari ‎sesuai dengan nilai-nilai moral.‎
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. ‎Dalam pelajaran filsafat, etika merupakan bagian dari padanya. Di dalam Ensiklopedi ‎Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, tentang kesusilaan, ‎tentang baik dan buruk. Kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia merupakan juga ‎pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Asmaran AS, 1992:6) Di dalam Kamus ‎Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang ‎mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk). (Asmaran AS, 1992:6)‎
Ada beberapa istilah etika secara terminologi. New Masters Pictorial ‎Encyclopaedia mendefinisikan etika sebagai berikut: Ethics is the science of moral ‎philosophy concerned not with fact, but with values; not with the character of but the ‎ideal of human conduct. (Asmaran AS, 1992:7). (Etika ialah ilmu tentang filsafat ‎moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan ‎manusia, tetapi tentang idenya).‎
Dictionary of Education mengartikan etika sebagai the study of human behavior ‎not only to find the truth of things as they are but also to enquire into the worth or ‎goodness of human actions. (Asmaran AS, 1992:6). (Etika ialah studi tentang tingkah-‎laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga ‎menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia).‎
Dalam kamus yang sama juga dikatakan: The science of human conduct, ‎concerned with judgment of obligation (rightness or wrongness oughtness) and judgment ‎of value (goodness and badness). (Asmaran AS, 1992:7) (Ilmu tentang tingkah-laku ‎manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban (kebenaran atau ‎kesalahan kepatutan) dan ketentuan tentang nilai (kebaikan dan keburukan).‎
Dari berbagai definisi tentang etika dapat diklasifikasikan 3 jenis definisi: (a) ‎yang menekankan pada aspek historis; (b) yang menekankan secara deskriptif; dan ‎‎(c) yang menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak ‎kefilsafatan.‎
Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus ‎membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. Jenis yang kedua, ‎etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik buruknya ‎perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat ‎kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan ‎tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. ‎Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, ‎evaluatif, yang hanya memberikan nilai i~aik buruk terhadap perilaku manusia. ‎Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, ‎menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar jenis definisi yang terakhir ini etika ‎digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direktif dan reflektif.‎
Penilaian bukan moral memainkan peranan terbesar dalam hidup sehari-hari; dan ‎terus-menerus mengarahkan tindakan seseorang kepada yang dinilai baik, ‎menyenangkan, berguna, adil, menarik, dan sebagainya. Nilai-nilai itu diselidiki oleh ‎filsafat nilai atau aksiologi. Tetapi dalam etika, penilaian bukan moral hanya perlu ‎diperhatikan sejauh ada kewajiban untuk melaksanakannya. Begitu pula pembahasan ‎penilaian moral mengandaikan analisa pernyataan kewajiban terlebih dulu. Nilai moral ‎direalisasikan dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kewajiban. Orang dinilai ‎sebagai jujur, misalnya, karena tidak melakukan korupsi. Tentu saja penilaian itu ‎hanya masuk akal, karena telah diandaikan bahwa korupsi itu sesuatu yang tidak ‎boleh. Macam dan dalamnya nilai moral—apakah itu kesetiaan, kebesaran hati, ‎kesucian, apakah orang itu sangat setia, atau sekali ini setia—tergantung baik dari ‎kekhususan kewajiban moral maupun dari kekhususan situasi saat kewajiban itu ‎dilakukan. Memberi makan kepada anak kecil dan menyelamatkannya dari rumah ‎yang sedang dimakan api, sama-sama berarti melakukan kewajiban, tetapi nilai moral ‎tindakan yang satunya lebih tinggi.‎
Inti etika adalah analisa pernyataan kewajiban. Penilaian bukan moral disinggung ‎sejauh diperlukan dalam rangka pembicaraan pernyataan kewajiban. Dari bidang nilai-‎nilai moral dibicarakan kebebasan dan tanggung jawab. ‎
Sebagai cabang dari filsafat, etika mempelajari tingkah-laku manusia untuk ‎menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk ‎menentukan nilai itu adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, dengan akallah orang ‎dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal ‎menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk.‎
Oleh karena itu, Hamzah Ya'qub menyimpulkan merumuskan: "Etika ialah ilmu ‎yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal ‎perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran".(Asmaran AS, ‎‎1992:7)‎
Meskipun pemakaian istilah etika sering disamakan dengan pengertian ilmu ‎akhlak, namun apabila diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya ‎mempunyai segi-segi perbedaan di samping juga ada persamaannya. Persamaannya ‎antara lain terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik-buruk ‎tingkah laku manusia. Sedang perbedaannya, etika menentukan buruk-baik perbuatan ‎manusia dengan tolok ukur akal pikiran. Sedangkan ilmu akhlak menentukannya ‎dengan tolok ukur ajaran agama (al-Qur'an dan al-Hadits).‎
Dalam kajian keilmuan, kata akhlak memiliki padanan makna dengan etika. ‎Menurut Ahmad Amin, (1993:3), etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik ‎dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia ‎kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan ‎mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.‎
Menurut Achmad Charris Zubair (1990:13) etika adalah suatu istilah yang ‎berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti watak kesusilaan atau adat istiadat. ‎Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum ‎tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral ‎menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, ‎sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan ‎di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu ‎profesi. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat ‎moral sebab dalam banyak hal filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-‎prinsip etika (Haricahyono,1995:221-222). ‎
Dalam kaitannya dengan norma sekolah, sekolah mempunyai dua fungsi utama ‎‎(Darmodiharjo, 1981:19) yakni fungsi psikologis dan fungsi sosial. Dengan demikian, ‎maka sekolah memiliki fungsi membimbing perkembangan kondisi psikologis dan ‎membantu mempersiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat bagi kehidupan ‎masyarakat mendatang. ‎
Dengan demikian, sekolah mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi ‎perkembangan anak. Sekolah juga merupakan organisasi yang memiliki beberapa ‎tujuan dalam mempersiapkan manusia, dalam arti sebagai tujuan untuk ‎mengembangkan kualitas pribadi, termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma, ‎dan berorientasi pada norma-norma tertentu (Soelaeman, 1994 :86).‎
C. Metode Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data tertulis. Sedangkan sumber data yang ‎digunakan adalah kitab Ta'lim al-Muta'allim. Kitab ini merupakan sumber utama ‎‎(sumber primer), sedangkan sumber sekunder dilengkapi dengan buku-buku lain ‎yang membahas etika. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content ‎analysis), yaitu suatu metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan dari ‎suatu isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang atau bahasa (Rakhmat, ‎‎2004:89). Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan ‎menggunakan teknik studi kepustakaan atau dokumentasi.‎

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji II

B. Landasan Teori
‎1. Hakikat Etika‎
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti watak ‎kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang ‎membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-‎bu-ruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut ‎per-buatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan ‎motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang ‎dikerjakan dengan kesa-daran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan ‎dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. (Surajiyo, 2004:355).‎
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu ‎pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk ‎berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha ‎dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang ‎baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ‎ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang ‎konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, ‎diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ‎ethos. (Taylor, 1985:3).‎
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua, yakni ‎obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai ‎kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu ‎sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. ‎Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang ‎melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata ‎keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh ‎utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant.‎
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan ‎disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. ‎Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa ‎saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, ‎sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. (Hourani, 1986:25).‎
Menurut Sunoto (1982:45) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika ‎normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa ‎adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya ‎berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian ‎yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat ‎dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-‎prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan ‎sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika ‎pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.‎
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara ‎hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit ‎perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, ‎sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno ‎‎(1987:56) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, ‎wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang ‎bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. ‎Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang ‎berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan ‎tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau ‎pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah ‎sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di ‎tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika ‎melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana ‎kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ‎ajaran moral.‎
Norma ialah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segi tiga. Kemudian ‎norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah ‎atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum ‎yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. ‎
Leibniz seorang filsuf pada jaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah ‎hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah ‎yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran ‎kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena aktivitas jiwa sendiri. Segala ‎perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki ‎telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap (Hadiwijono, ‎‎1990:189). Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan ‎perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan ‎batin manusia.‎
Akibat pandangan itu ialah bahwa orang hanya dapat berbicara tentang ‎kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak itu ‎mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas ‎dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang ‎tidak jelas.‎
Menurut filosof Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara ‎bangsa-bangsa yang bermacam-macam itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-‎beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang ‎pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan karena ‎kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu bukan didasarkan atas perampasan ‎dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. (Hadiwijono, 1990:190)‎
Fudyartanta (1974:94) memberi arti kesusilaan adalah keseluruhan nilai atau ‎norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laku manusia di dalam ‎masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Tegasnya moral atau ‎kesusilaan adalah keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laku ‎manusia di dalam masyarakat untuk selalu melakukan atau melaksanakannya ‎perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang secara obyektif dan hakiki baik.‎
Dari beberapa pengertian kesusilaan tersebut dapat dirumuskan bahwa ‎kesusilaan yang berasal dari kata susila mendapat awalan ke dan akhiran an yang ‎berarti membentuk kata benda yang abstrak. Kesusilaan adalah sifatnya dari dalam ‎bukan dari luar, artinya kesusilaan ini dekat dengan keakuan.‎

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji I

A. Pendahuluan
Etika merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta ‎didik, khususnya kompetensi di bidang kepribadian Pencapaian kemampuan kognitif ‎dan psikomotorik tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila tidak diikuti ‎dengan kompetensi di bidang etika dan kepribadian. Kemampuan lulusan suatu ‎jenjang pendidikan bisa baik, bila lulusan itu memiliki etika atau akhlak yang baik, di ‎samping memiliki pengetahuan kognitif dan keterampilan psikomotorik. ‎
Etika seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagiamana ia berbuat atau ‎keinginan berbuat. Etika atau akhlak yang terkait dengan keyakinan, sikap, aktivitas ‎atau perasaan atas sesuatu akan menentukan tindakan dan perilakunya sehari-hari. ‎Oleh karena itu, pendidikan akhlak atau etika menempati kedudukan yang amat ‎penting dalam pembelajaran di sekolah.‎
Tujuan etika adalah untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia ‎yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia ‎yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu ‎masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak ‎dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. ‎
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya ‎peningkatan pendidikan etika atau akhlak pada jalur pendidikan formal. Namun ‎demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan ‎dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar ‎menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan akhlak atau etika yang ‎dikembangkan di negara-negara barat, seperti pendekatan perkembangan moral ‎kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain ‎menyarankan penggunaan pendekatan keagamaan, yakni melalui penanaman etika ‎atau akhlak yang berasal dari ajaran atau pemikiran-pemikiran keagamaan.‎
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu akan sangat ‎baik apabila pendidikan etika dan akhlak bagi siswa digali dari etika atau akhlak yang ‎bersumber dari ajaran Islam atau pemikiran para ulama Islam.‎
Terkait dengan etika anak didik, baik terhadap dirinya, orang tuanya, gurunya, ‎teman-temannya, sesungguhnya dalam tradisi ilmu-ilmu Islam klasik, terdapat sebuah ‎kitab yang patut dikaji dan diteliti.‎
‎1.‎ Kitab dimaksud adalah Kitab Ta'lim al-Muta'allim, yang selama ‎puluhan tahun dijadikan sebagai salah satu kitab yang diajarkan di pondok-‎pondok pesantren di Indonesia. Kitab ini berisi di antaranya bagaimana etika, ‎akhlak dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang siswa, pelajar, atau ‎mereka yang sedang menuntut ilmu. Atas dasar itu, maka masalah utama ‎dalam penelitian ini adalah ingin menjawab bagaimana etika siswa menurut ‎Imam Al-Zarnuji?‎

Dirasah Islamiyah di Perguruan Tinggi

A. Muqaddimah
Salah satu masalah yang cukup memperihatinkan dalam ‎bidang kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di berbagai ‎Perguruan Tinggi di negeri ini adalah rendahnya tingkat ‎efektivitas dan efisiensi penyerapan materi-materi ‎pembelajarannya, serta efek (atsar)-nya dalam sikap dan ‎perlikau sehari-hari mahasiswa. Kalau saja kegiatan ‎kemahasiswaan tidak dibarengi dengan aktivitas dakwah ‎kampus—yang biasanya berpusat pada masjid-masjid ‎kampus—maka hampir-hampir materi perkuliahan Dirâsah ‎Islâmiyah tidak memberikan atsar pada sikap, perilaku, dan ‎aktivitas mahasiswa sehari-hari. Beruntunglah, mahasiswa ‎Muslim yang menempuh pendidikan di berbagai Perguruan ‎Tinggi di Tanah Air masih memiliki minat besar untuk aktif ‎dalam berbagai halaqah, kajian, dan pendalaman materi-‎materi ke-Islam-an di berbagai sudut kampus. Tanpa ‎keterlibatan aktif mahasiswa seperti itu, maka materi ‎perkuliahan Dirâsah Islâmiyah, tidak lebih dari hanya mata ‎kuliah formal, layaknya Pendidikan Pancasila yang pernah ‎menjadi mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi kita.‎
B. Struktur Kelimuan Dirâsah Islâmiyah
Problem seperti itu, saya kira, dapat ditelusuri dari ‎struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah sekaligus metodologi ‎dan pendekatan pembelajarannya. Penelusuran terhadap ‎struktur keilmuan dan metodologi pendekatan kajian ‎Dirâsah Islâmiyah penting dilakukan, sebab dalam dunia ‎akademis setiap disiplin ilmu akan selalu mengalami proses ‎dekonstruksi atau pembongkaran melalui berbagai kegiatan ‎akademik. Padahal Dirâsah Islâmiyah, yang biasanya meliputi ‎materi Tauhîd, Fiqh Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Hadîts, dan ‎Akhlâq, lebih banyak memuat aspek-aspek normatif. Dengan ‎kata lain, proses akademik tidak pernah kosong dari upaya ‎‎“mempertanyakan kembali” berbagai asumsi dasar ilmu, ‎termasuk ilmu-ilmu yang dianggap “telah mapan” sekali pun. ‎
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bersama, umat ‎Islam pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, ‎îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (yang merupakan ‎unsur-unsur utama Dirâsah Islâmiyah) harus dipercayai ‎begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Itulah struktur ‎fundamen dari apa yang disebut sebagai "agama", yang ‎biasanya dikembangkan dengan menggunakan pola pikir atau ‎logika deduktif (deductive) yang amat bergantung pada teks ‎atau nash-nash kitab suci. Salah seorang pemikir Islam ‎kontemporer, Mohammed Abid al-Jabiri menyebut pola ‎pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan ‎‎“`irfaniyyun”, dan bukan pula “burhaniyyun”. ‎
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif ‎adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato. Plato ‎pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat ‎diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang ‎tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak ‎awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, ‎menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman ‎historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan ‎yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal ‎mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan ‎yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.‎
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu ‎pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan ‎dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas ‎alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan ‎pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, ‎maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak ‎meyakinkan. Sampai sekarang, disiplin ilmu-ilmu Islam yang ‎sebagiannya membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah ‎Islâmiyah di berbagai PT kita, dikembangkan dengan ‎menggunakan model penalaran deduktif ala Plato itu. Para ‎ulama klasik, telah berhasil dengan gemilang dalam ‎mengembangkan pola penalaran deduksi dengan merujuk ‎kepada teks-teks kitab suci (al-Qur’an dan Sunnah Nabi). ‎
Namun demikian, pola pemikiran deduktif juga ‎mendapat tantangan dari pola penalaran yang lain, khususnya ‎pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu ‎pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. ‎Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ‎ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini ‎kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi berbagai ‎konsep, kontruks, generalisasi, teori, dalil-dalil yang disusun ‎sendiri oleh akal pikiran. ‎
Tetapi, dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ‎‎(history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif ‎kemudian dikombinasikan, sehingga menghasilkan apa yang ‎disebut dengan metode ilmiah (scientific method). Dengan ‎demikian, ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang dan ‎dikaji di berbagai PT kita merupakan buah dari kombinasi ‎penalaran deduktif dan induktif tersebut.‎
Dari dua pola logika berpikir tersebut, Dirâsah ‎Islâmiyah ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya ‎saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir ‎logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ‎ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa ‎rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif ‎keagamaan nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ‎ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata ‎karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh Dirâsah ‎Islâmiyah adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. ‎Dengan demikian, produk pemikiran Dirâsah Islâmiyah pada ‎umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qâbilin li al-‎taghyîr.‎
Karena watak dasar Dirâsah Islâmiyah yang seperti ‎itulah, yang kemudian menjadikan kajian Islam (Dirâsah ‎Islâmiyah) di Perguruan Tinggi menjadi dilematis. Di satu ‎sisi, dunia akademik dilandasi oleh semangat penemuan, ‎pengembangan, pembongkaran, penggantian, dan penemuan ‎kembali ilmu; tetapi di sisi lain tubuh pengetahuan yang ‎menyusun Dirâsah Islâmiyah lebih bersifat ghayru qâbilin li ‎al-taghyîr. Kalau metode ilmiah dipaksakan untuk mendekati ‎tubuh pengetahuan (body of knowledge) Dirâsah Islâmiyah, ‎apakah kita tidak akan kembali terjebak pada perdebatan ‎yang tiada akhir seperti yang menimpa “Ilmu Kalam” ‎beberapa abad yang lampau? ‎
Tentu kita tidak ingin mengulang kembali perdebatan ‎ilmu kalam yang melelahkan dan menguras energi dan ‎pemikiran para pendahulu kita. Mungkin yang dapat ‎dilakukan adalah membuat semacam “peta” disiplin ilmu-‎ilmu Islam yang membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah ‎Islâmiyah, dengan cara memilah mana aspek-aspek Dirâsah ‎Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr dan mana ‎aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat qâbilin li al-‎taghyîr.‎
Inilah yang menjadi tugas para sarjana dan cendekiawan ‎Muslim, termasuk Bapak-bapak dan Saudara-saudara sivitas ‎akademika S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ‎Bandung yang hadir di majelis ini. Memang tidak mudah ‎merumuskan peta kajian Dirâsah Islâmiyah yang ‎memungkinkan kita menetapkan mana aspek-aspek Islam ‎yang dapat dikaji, dikritisi, ditafsir ulang dan dikembangkan; ‎serta aspek-aspek mana yang “tinggal diterima” sebagaimana ‎adanya dan tidak memerlukan tafsir ulang.‎
C. Masalah Metodologi dan Pendekatan
Setelah struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah dipetakan ‎dan dirumuskan secara akademis, mana wilayah akademis ‎‎(dalam arti sesungguhnya) dan mana wilayah yang bersifat ‎permanen, tetap, dan tidak berubah; selanjutnya menjadi ‎tugas para sarjana dan cendeiawan Muslim—khususnya di ‎bidang pendidikan dan pembelajaran—untuk memilih ‎pendekatan dan metode yang tepat, sehingga tujuan Dirâsah ‎Islâmiyah dapat benar-benar tercapai.‎
Sebagai sumbang saran, saya ingin mengungkapkan ‎beberapa metode dan pendekatan pembelajaran, khususnya ‎yang berkenaan dengan wilayah Dirâsah Islâmiyah yang ‎bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr, khususnya materi tauhid.‎
Pertama-tama perlau saya sampaikan bahwa “tauhid” ‎adalah disiplin Islam yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah, ‎sudah jadi, dan final. Kita akan mengalami kesulitan apabila ‎‎“tauhid” sebagai salah satu unsur Dirâsah Islâmiyah di PT ‎kita, dikaji dan didekati dengan menggunakan pendekatan ‎ilmiah “murni”. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan ‎kita adalah bagaimana ajaran tauhid dan nilai-nilainya dapat ‎dipahami dan diterima oleh mahasiswa sebagai inti ajaran ‎Islam yang tidak akan pernah berubah, sehingga tauhid dan ‎nilai-nilainya menyerap dan terinternaslisasi ke dalam jiwa ‎dan kalbu para mahasiswa? ‎
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat meminjam ‎pendekatan pendidikan nilai (value education) yang selama ‎ini digunakan oleh dunia pendidikan Barat untuk ‎menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada peserta ‎didik. Pilihan pendekatan pendidikan nilai (value education) ‎yang berkembang di Barat ini sama sekali bukan berarti kita ‎dan para pendahulu kita tidak memiliki pendekatan dan ‎metode untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada ‎para mahasiswa, melainkan semata-mata karena yang hadir di ‎tengah-tengah kita saat ini adalah kaum cerdik pandai yang ‎sehari-hari bergelut dengan dunia akademik dan dunia ilmu.‎
Dalam teori pendidikan nilai (value education) dikenal ‎beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk ‎menanamkan nilai-nilai. Setidaknya ada lima pendekatan ‎yang populer, yang dapat kita kaji tingkat efektivitas dan ‎efisiensinya dalam menanamkan nilai. Kelima pendekatan itu ‎adalah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation ‎approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif ‎‎(cognitive moral development approach), (3) pendekatan ‎analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan ‎klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) ‎pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).‎
Kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut ‎dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, ‎sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull dalam ‎bukunya Moral Judgement from Chilhood to Adolescence, ‎yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang ‎dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai ‎baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, ‎tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial yang ‎dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, ‎tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-‎tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap ‎otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata ‎hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan lingkungannya. ‎
Dari kelima model pendekatan pendidikan nilai ‎tersebut, di sini hanya akan dikupas salah satunya, yakni ‎pendekatan penanaman nilai. Saya yakin hadirin di sini, ‎terutama yang mengambil Konsentrasi Pendidikan Umum ‎pada Program Pascasarjana UPI Bandung, lebih memahami ‎berbagai model pendekatan pendidikan nilai tersebut.‎
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) ‎adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada ‎penanaman nilai-nilai dalam diri siswa/mahasiswa. Tujuan ‎pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, ‎diterimanya nilai-nilai tertentu oleh siswa/mahasiswa; ‎Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa/mahasiswa yang tidak ‎sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kalau ajaran tauhid ‎dan nilai-nilainya ingin ditanamkan dengan menggunakan ‎pendekatan ini, maka tujuan yang ingin kita capai adalah: ‎Pertama, penerimaan mahasiswa terhadap tauhid beserta ‎nilai-nilai tauhid, seperti ikhlas, adil, ridla, dan lain-lain. ‎Kedua, nilai-nilai tauhid memiliki atsar dalam praktek ‎kehidupan mahasiswa sehari-hari.‎
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran ‎menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan ‎positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-‎lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan ‎tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur Barat yang ‎ditujukan kepada pendekatan ini. Betapa pun pendekatan ini ‎dipandang indoktrinatif dan tidak sesuai dengan ‎perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin ‎demokratis, tetapi pendekatan ini, setidaknya menusur saya, ‎lebih sesuai untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya ‎kepada mahasiswa. ‎
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai ‎dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung ‎tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, ‎disadari atau tidak disadari, pendekatan ini digunakan secara ‎meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam ‎penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para ‎penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk ‎menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-‎program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, ‎agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang ‎bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai ‎itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses ‎pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai ‎tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-‎batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan ‎harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek ‎kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini ‎kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan ‎merupakan dasar penting dalam pendidikan agama. ‎
D. Beberapa Pemikiran tentang Content/Materi ‎
‎ Dirâsah Islâmiyah
Berkenaan dengan isi atau materi pembelajaran Dirâsah ‎Islâmiyah, sesungguhnya kita dapat menelusuri dan ‎menggalinya dari khazanah intelektual Islam, baik klasik ‎maupun kontemporer. Dalam kesempatan ini, saya ingin ‎memberikan beberapa penekanan pada beberapa aspek ‎Dirâsah Islâmiyah.‎
Pertama, berbagai gejala dan tantangan yang muncul ‎akibat globalisasi komunikasi dan informasi menuntut agar ‎para mahasiswa kita dibekali dengan pengertian Syari’at ‎Islam secara lebih mendalam. Ini perlu dilakukan supaya para ‎mahasiswa kita tidak mudah terjebak pada gaya hidup serba ‎bebas, tetapi juga tidak terjebak pada sikap keberagamaan ‎yang radikal dan eksklusif.‎
Kedua, kita meyakini bahwa akidah Ahlu al-Sunnah wa ‎al-Jamaah adalah yang terbaik di antara berbagai aliran ilmu ‎kalam yang pernah berkembang di dunia Islam. Berkenaan ‎dengan ini, ajaran dan nilai akidah ini perlu ditanamkan dan ‎diinternalisasikan ke dalam kalbu para mahasiswa kita.‎
Ketiga, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada ‎sebagian generasi muda kita yang memahami Islam secara ‎sempit dan parsial. Konsep jihad, misalnya, mereka pahami ‎secara sempit dan semata-mata bersifat fisik dan kekerasan. ‎Oleh karena itu, kita perlu memperhalus kalbu generasi ‎muda dengan kelembutan Islam, yang dapat mendorong ‎berkembangnya pemikiran yang matang. Bersamaan dengan ‎itu, kita juga perlu membekali mahasiswa kita dengan ‎kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan ‎yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia ‎internasional.‎
Keempat, pemahaman terhadap Islam secara kaffah dan ‎universal disertai dengan kemampuan menganalisis berbagai ‎masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, ‎dan dunia internasional tersebut pada akhirnya bertujuan ‎untuk membentuk generasi muda yang memiliki iman yang ‎kuat, mental yang stabil, jiwa yang kokoh, hati yang suci, ‎akhlak yang mulia. ‎
Generasi muda seperti itulah yang akan mampu ‎merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik.‎
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ‏وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ ‏وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk ‎manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari ‎yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli ‎Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara ‎mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah ‎orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110).‎
Kelima, merealisasikan “khairu ummah” dalam ‎kehidupan yang penuh tantangan ini, memang amat ‎membutuhkan jiwa-jiwa muwahhid, mujahid, mujtahid, dan ‎mujaddid.‎
Muwahhid adalah seseorang yang jiwa dan raganya ‎penuh dengan tauhid, siap dan sanggup melaksanakan titah ‎Allah dengan penuh ketaatan hati, kata, dan perbuatan, ‎bukan hanya sekadar hafal di luar kepala sifat-sifat Allah ‎semata. Firman Allah SWT:‎
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي ‏زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا ‏شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي ‏اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ‏
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. ‎Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang ‎yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu ‎di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang ‎bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak ‎dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun ‎yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula ‎di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir ‎menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas ‎cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-‎Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat ‎perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha ‎Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Nur:35).‎
Pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:‎
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ ‏وَالْآَصَال. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ ‏الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.‏‎ ‎لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا ‏عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah ‎diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di ‎dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang ‎tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual ‎beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan ‎sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut ‎kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan ‎menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) ‎supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan ‎balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, ‎dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. ‎Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-‎Nya tanpa batas. (Q.S. Al-Nur: 36-38).‎
Mujahid adalah generasi muda yang bersedia untuk ‎berkorban demi agamanya, negaranya, masyarakatnya, dan ‎keluarganya karena hanya semata-mata mengharap ridha ‎Allah. Firman Allah SWT:‎
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-‎benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).‎
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا ‏فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-‎sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan ‎Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan ‎tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di ‎dunia dengan baik… (Q.S. Luqman : 15).‎
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ ‏الصّبِرِيْنَ
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga ‎padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara ‎kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (Q.S. Ali ‎Imran : 142).‎
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ ‏جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin ‎yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga ‎orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk ‎disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. ‎Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan ‎membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang ‎pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).‎
Mujtahid adalah sosok sarjana, ilmuwan, atau apa pun ‎namanya yang memiliki kesanggupan menyingkap berbagai ‎ilmu-ilmu Allah, baik yang terkandung dalam ayat-ayat ‎qauliyah (al-Qur’an dan hadits Nabi) maupun ayat-ayat ‎kauniyah (alam raya beserta isinya). Membangun sosok ‎mujtahid seperti itulah, yang menjadi salah satu tugas ‎Perguruan Tinggi.‎
Kalau mujtahid lebih terkait dengan upaya ‎penyingkapan ayat-ayat Allah, maka sosok mujaddid lebih ‎tepat dimaknai sebagai sosok yang mampu memperbaharui ‎dan memperbaiki kondisi umat dalam berbagai bidang ‎kehidupan. ‎
Demikian empat sosok generasi muda Islam, yang ‎setiap saat kita dambakan, dan kita akan selalu optimis, ‎bahwa lembaga pendidikan kita, insya Allah akan mampu ‎membangun dan mengembangkan sosok generasi muda ‎Islam yang muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.‎
Semoga



DAFTAR BACAAN

Al-Ghazali, Muhammad. 1989. al-Sunnah al-Nabawiyyah: ‎Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadists. Beirut: Dar al-‎Syuruq
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1990. Bunyah al-Aql al-Araby: ‎Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-‎Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah. Beirut: Markaz ‎Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah.‎
Al-Jauzy, Abu al-Faraj. 1993. Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr ‎al-Tafsir.‎
Al-Khazin, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ‎ibn Umar al-Syaikhy. 1988. Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-‎Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr.‎
Al-Razy, Fachr al-Dîn. 1995. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr ‎al-Fikr.‎
Al-Suyûthi, Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn. ‎‎1989. Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. ‎Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah.‎
Arkoun, Muhammad. 1990. Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa ‎Ijtihad. Mesir: Dar al-Saqi.‎
Bull, Norman J. 1969. Moral Judgement from Chilhood to ‎Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul.‎
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. ‎Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.‎

Model Dakwah dan Pendidikan Nabi

Hampir setiap hari umat Islam selalu menjadikan pendidikan dan dakwah sebagai bahan ‎perbincangan dan diskusi. Pendidikan dan dakwah tidak saja telah menjadi istilah yang ‎amat populer di kalangan bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya. Kedua ‎konsep di atas tidak saja dijadikan sebagai bahan perbincangan, diskusi, seminar dan ‎forum ilmiah lainnya, tetapi juga sering dijadikan “kambing hitam”. Tidak sedikit para ‎analis yang menyatakan bahwa kemunduran umat Islam diakibatkan oleh kesalahan dan ‎kekacauan yang ada pada pola atau sistem pendidikan dan dakwah di kalangan umat ‎Islam.‎
Tudingan semacam itu, memang tidak sepenuhnya salah atau bahkan untuk ‎sebagian besarnya benar. Itulah sebabnya, mau tidak mau kita harus kembali menelaah ‎dan mengkaji model atau pola pendidikan dan dakwah yang dikembangkan oleh ‎Rasulullah SAW. Penelaahan dan kajian terhadap model pendidikan dan dakwah Rasul ‎ini bukan berarti umat Islam harus bersikap a priori dan anti terhadap sistem pendidikan ‎dan dakwah yang ada sekarang ini. Penelaahan dan kajian ini dimaksudkan untuk ‎mengambil hikmah, dan jika ditemukan segi-segi yang relevan dengan kehidupan ‎sekarang ini, maka kita dapat mengembangkannya dengan tetap memperhatikan kondisi ‎dan dinamika masyarakat modern.‎
Dalam menyebarkan agama Allah (Islam) serta dalam mendidik umatnya, ‎Rasulullah SAW selalu menggunakan sistem dan metode dakwah dan pendidikan yang ‎khas dan berbeda dengan kebanyakan sistem dan metode yang digunakan oleh tokoh-‎tokoh agama lain yang mendahuluinya.‎
Sistem dan metode dakwah Rasulullah SAW serta sistem dan metode pendidikan ‎Nabi SAW (‎مدرسة النبوة‎) didasarkan pada sistem dan metode dakwah Al-Qur’an. ‎Konsep dakwah (‎دعوة‎) dimaksudkan sebagai upaya menyeru dan mengajak orang untuk ‎memeluk Islam; sedangkan konsep pendidikan (‎تربـية ‏‎ atau ‎تأديب‎) dimaksudkan untuk ‎memberikan pengertian, pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang ajaran dan ‎nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya.‎
Kedua sistem dan metode ini didasarkan pada firman Allah SWT:‎
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى احسن
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam serta ‎dalam membangun umat dalam jangka waktu 32 tahun itu tidak bisa dilepaskan dari ‎sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang beliau lakukan. ‎
Dalam menyeru dan mengajak orang untuk memasuki dan memeluk agama Allah ‎‎(Islam) beliau melakukannya dengan cara-cara yang penuh dengan kebijakan (‎دعوة ‏بالحكمة‎). Beliau tidak pernah memaksa, mengancam atau mengintimidasi seseorang agar ‎bersedia menjadi pemeluk Islam. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para ‎kaisar di Romawi yang memaksa warganya untuk memeluk agama tertentu. Dalam ‎menyebarkan agama yang sesuai dengan agama sang Kaisar, tidak jarang mereka ‎melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Bahkan ‎tidak jarang seseorang yang tidak mau mengikuti agama sang Kaisar, berakhir dengan ‎kematian di tiang gantungan atau mati dengan cara yang sangat memilukan di tengah ‎arena yang penuh dengan binatang singa yang amat ganas. Rasulullah SAW juga tidak ‎mengikuti pola penyebaran agama yang menggunakan kekuasaan dan harta sebagai ‎iming-iming yang menggiurkan. ‎
Beliau menyampaikan kebenaran Ilahy kepada setiap orang dan membebaskan ‎mereka untuk memilih; menerima atau menolak dan mengikuti atau memalingkan diri. ‎Tidak pernah sekalipun dalam sejarah perjuangannya, Rasulullah memaksa orang untuk ‎memasuki ajaran Islam. Kalau pun ada tuduhan para sarjana Barat yang mengatakan ‎bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang (kekerasan dan peperangan), hal itu semata-‎mata karena kebencian para sarjana Barat, serta perasaan takut yang berlebihan terhadap ‎kejayaan Islam dan umatnya. Sebab tidak sedikit para sarjana Barat yang netral dan ‎bersimpati terhadap umat Islam, yang menentang pendapat dan pemikiran tentang ‎kekerasan dan peperangan sebagai metode penyiaran agama Islam.‎
Sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ‎adalah pemberian tauladan yang baik (‎موعظة الحسنة‎). Sistem dan metode ini terutama ‎sekali beliau terapkan dalam mendidik para pengikut dan sahabatnya. Dengan sistem dan ‎metode ini, beliau tidak pernah menyuruh atau meminta seseorang kecuali beliau sendiri ‎juga mengerjakannya. Tidak seperti para pemimpin yang berlagak seorang raja, yang ‎bisanya hanya main tunjuk semata; Rasulullah SAW selalu ikut serta bersama para ‎sahabatnya bahu-membahu berjuang menegakkan syi’ar Ilahy. Bahkan tatkala ‎membangun masjid untuk pertama kalinya di kota Madinah, beliau ikut serta bekerja ‎dalam menyediakan batu-batu dan tanah yang diperlukan. Demikian pula ketika ‎penduduk kota Madinah membangun sistem pertahanan parit (khandaq) dalam ‎menghadapi ancaman serangan kaum kafir Quraisy, beliau bersama-sama dengan para ‎penduduk ikut menggali dan mengangkut tanah galian.‎
Sistem dan metode dakwah ini juga selalu beliau terapkan setiap kali beliau ‎menyampaikan butir-butir wahyu Ilahy kepada para sahabatnya. Hampir semua ayat-ayat ‎al-Qur’an yang khitab-nya ditujukan kepada umat manusia pada umumnya dan orang-‎orang yang beriman pada khususnya, juga mencakup pribadi Rasulullah SAW. Kalau ‎orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu, seperti shalat, puasa, ‎zakat, haji, menegakkan keadilan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang ‎munkar; maka kewajiban tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW. Demikian pula jika ‎orang-orang yang beriman dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut juga ‎berlaku bagi Rasulullah SAW.‎
Sedangkan sistem dan metode dakwah serta pendidikan ketiga adalah melakukan ‎dialog dengan cara yang lebih baik (‎مجادلة بالتى هى احسن‎). Metode ini selalu beliau ‎gunakan dalam melakukan dakwah, terutama jika menghadapi kaum yang beliau pandang ‎memiliki pengetahuan yang lebih baik.‎
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah pada setiap musim haji mengunjungi kemah-‎kemah jemaah membicarakan masalah agama. Meskipun sebagian mereka tidak ‎menghiraukan pembicaraannya, atau bahkan sebagian lagi menolaknya dengan tegas. ‎Tetapi ada juga dukungan dari suatu kelompok yang tidak diduga-duga sebelumnya. ‎Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa suatu saat beliau mengunjungi suatu kemah yang ‎terdiri dari enam atau tujuh orang, yang rupanya berasal dari kota Yatsrib, “Dari suku ‎mana kalian?” tanya Nabi. “Kami dari Khajraj”, jawab mereka. “Sahabat orang-orang ‎Yahudi?” “Ya”. “Kalau begitu, mengapa kalian tidak duduk sebentar, agar aku dapat ‎berbicara dengan kalian?” “Tentu saja!”, sahut mereka. Mereka pun duduk bersama ‎Nabi di mana beliau menjelaskan kepada mereka tentang Tuhan yang sebenarnya dan ‎tentang Islam serta membacakan beberapa ayat al-Qur’an.‎
Demikianlah Tuhan memberi inayah kepada Islam, bahwa di Yatsrib tinggal orang-‎orang Yahudi yang memiliki Kitab (Taurat) dan kebijaksanaan, sedang orang-orang ‎Khajraj sendiri masih menganut agama berhala. Sering kali orang-orang Yahudi ‎berperang dengan mereka. Orang-orang Yahudi selalu mengatakan kepada mereka bahwa ‎‎“Tidak lama lagi akan datang seorang Rasul, kami akan mengikutinya, dan kami akan ‎menang, sedang kamu akan binasa seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”. Dan kini ‎Rasul Tuhan itu sedang berada dan berbicara di hadapan mereka, menyeru mereka ‎mempercayai Tuhan, maka mereka pun berkata satu sama lain: “Ketahuilah, ‎sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut oleh orang Yahudi itu. Untuk apa kita ‎membuang-buang waktu lagi. Mari kita menggabungkan diri sebelum didahului oleh ‎orang-orang Yahudi”. Begitulah lalu mereka masuk Islam dan berkata kepada Rasul: ‎‎“Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, tetapi kini kiranya Tuhan akan ‎mempersatukannya dengan perantaraan Anda dan ajaran-ajaran yang kami terima dari ‎Anda”. ‎
Masuknya beberapa orang Khajraj ini jelas sekali merupakan jerih payah beliau ‎untuk selalu mengajak orang melakukan dialog atau diskusi. Dengan memberikan ‎pengertian, pemahaman dan menjawab segala pertanyaan dan keraguan mereka yang ‎diajak dialog, maka keinginan dan simpati akan mengikuti dengan sendirinya. Lebih-‎lebih jika metode dialog atau diskusi ini dilakukan pada momen-momen yang tepat, ‎seperti yang terjadi dalam dialog antara Rasulullah dengan kaum Khajraj di atas.‎
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini agaknya sangat ‎tepat untuk kita renungkan bersama, sekaligus mengambil hikmah dan pelajaran-‎pelajaran penting dari kisah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan ‎nilai-nilai Islam, serta dalam membangun masyarakat madani (civil society) di kota ‎Madinah. ‎
Dengan demikian, kalau cita-cita kita bersama untuk mewujudkan masyarakat ‎madani (civil society) di Indonesia ingin berhasil, maka acuan kita tiada lain adalah ‎model dan pola perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat di kota ‎Madinah.‎
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin kembali mengingatkan kembali pernyataan Imam ‎Malik bin Anas, ulama pendiri mazhab Maliki, sebagai berikut:‎
لا تصلح هذه الامة الا بما صلح به اولها
‎“Umat ini tidak akan mencapai kemaslahatan, kecuali dengan sesuatu yang telah ‎memaslahatkan umat terdahulu”.‎