Inferensi Yang Berkaitan Dengan
Koefisien Korelasi
(Inferences Involving Correlation Coefficients)
A. Pengantar
Dalam statistik, Koefisien Korelasi merupakan gambaran atau indikasi tingkat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ketika seorang peneliti ingin mengetahui keterkaitan antara, misalnya, skor atau nilai kemampuan membaca dengan skor atau nilai matematika siswa, ia dapat melakukannya dengan menghitung koefisien korelasi antara kedua kelompok skor itu, sehingga ditemukan tingkat keterkaitannya; sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi, positif atau negatif.
Dalam penelitian bidang pendidikan, koefisien korelasi antara dua atau beberapa variabel adalah jenis uji statistik yang banyak dilakukan, bahkan mungkin termasuk jenis uji statistik yang paling populer digunakan. Beberapa waktu yang lalu, salah seorang senior kita yang meraih gelar Doktor pertama pada Program Studi Pendidikan Islam kita, juga menggunakan jenis uji ini, sehingga ia dapat menentukan pengaruh kepemimpinan kepala, supervisi akademik, dan budaya organisasi (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama; langsung maupun tidak langsung) terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah di Jawa Barat.
Meskipun temuan-temuan penelitian yang digambarkan melalui koefisien korelasi memiliki banyak kekurangan, terutama apabila variabel-variabel yang diuji jumlahnya terbatas, sehingga tidak mampu menggambarkan hubungan antarvariabel secara lebih komprehensif; namun karena berbagai keunggulan yang dimiliki oleh jenis uji ini, khususnya karena waktu yang dibutuhkannya yang relatif tidak terlalu lama, maka jenis uji ini menjadi favorit di kalangan para peneliti dan evaluator pendidikan.
Pada bab 11 yang berjudul “Inferences Involving Correlation Coefficients” dari buku “Statistics: A Spectator Sport” karya Richard M. Jaeger ini, penulis buku memberikan contoh bagaimana memahami hasil-hasil kesimpulan penelitian yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi. Dengan menganalisis dua laporan hasil penelitian, Jaeger menyajikan tinjauan kritis terhadap kedua laporan hasil penelitian tersebut.
Sebelum mencoba mendeskripsikan perspektif kritis Jaeger terhadap kedua penelitian tersebut, pertama-tama perlu dipahami terlebih dahulu beberapa kata kunci (keywords) yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi. Pertama, inferensi, secara sederhana dapat dimaknai sebagai menaksir atau menyimpulkan (to infer) tentang parameter populasi dengan menggunakan statistik sampel. Kedua, koefisien korelasi (correlation coefficient) adalah statistik yang menggambarkan derajat hubungan (degree of relationship) antara dua variabel. Ketiga, pengujian hipotesis (hypothesis testing) dimaksudkan sebagai pengujian terhadap hipotesis nol. Keempat, Kekeliruan Tipe I (Type I Error) terjadi ketika peneliti menolak hipotesis nol yang benar. Kelima, Kekeliruan Tipe II (Type II Error) adalah kekeliruan yang terjadi ketika peneliti tidak menolak hipotsis nol yang salah. Keenam, validitas eksternal (external validity) adalah melakukan generalisasi dari suatu kesimpulan yang didasarkan pada sampel tertentu kepada populasi dan konteks yang berbeda dari sampel penelitian.
B. Memahami Inferensi yang Berkaitan dengan Koefisien Korelasi
Dalam bab ini Jaeger menggunakan dua contoh penelitian untuk memahami inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi. Kedua penelitian tersebut adalah: Pertama, Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) dengan Faktor-faktor Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah (School Factors). Kedua, Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di Kelas.
1. Keterkaitan antara Identitas Ego (Ego Identities) dengan Faktor-faktor Kognitif (Cognitive Factors) dan Faktor-faktor Sekolah (School Factors)
Penelitian yang dilakukan oleh Wrabel (1985) ini berjudul Ego Identity, Cognitive Ability, and Academic Achievement: Variances, Relationships, and Gender Differences Among High School Sophomores. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan derajat hubungan antara identitas ego siswa kelas II SMA dengan sejumlah faktor-faktor kognitif dan sekolah, yang mencakup Cognitive Verbal Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point Average (GPA), dan Normed Test Achievement (NTA). Melalui penelitian ini, Wrabel juga ingin menemukan konstrak atau konsep yang lebih baik yang dapat digunakan untuk memprediksi identitas ego siswa, yang menurut peneliti penting bagi para guru BP (counselor) dan tenaga kependidikan lainnya.
Data penelitian dikumpulkan dari sampel yang berjumlah 202 siswa SMA yang berasal dari SMA di pinggiran kota Cleveland, Ohio, yang berpenduduk 31,000 orang. Sebetulnya responden yang ditetapkan berjumlah 240 siswa dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang seimbang. Tetapi karena berbagai alasan (ketidakhadiran pada saat data dikumpulkan dan ketiadaan izin orang tua), responden yang berhasil dijaring hanya 202 (84%).
Instrumen pengumpul data untuk variabel-variabel CVA, CQA, dan NTA menggunakan “3-R’s Verbal Abilities, Quantitative Abilities, and Achievement Test: Ohio Version, Form A, Level 15/16”. Instrumen pengukuran variabel Identitas Ego menggunakan “Rasmussen Ego Identity Scale: Revised Short Form”. Sedangkan data untuk variabel GPA berasal dari rata-rata data prestasi siswa.
Setelah data terkumpul, Wrabel melakukan pengujian tiap-tiap pasangan variabel dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment Pearson. Analisis data dilakukan dengan memisahkan dan menggabungkan jenis kelamin responden sebagai variabel moderatornya.
Hasil pengujian dengan menggunakan teknik Korelasi Product-Moment Pearson dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1: Interkorelasi antara Variabel-variabel Identitas Ego, Cognitive Verbal Ability (CVA), Cognitive Quantitative Ability (CQA), Grade Point Average (GPA), dan Normed Test Achievement (NTA) untuk Laki-laki, Perempuan, dan Keseluruhan Subjek
Variabel Identitas Ego Cognitive Verbal Ability Cognitive Quantita-tive Ability Normed Test Achieve-ment Grade Point Average
Laki-laki
Ego Identity 1,00
Cognitive Verbal Ability 0,19 1,00
Cognitive Quantitative Ability 0,20* 0,72*** 1,00
Normed Test Achievement 0,14 0,82*** 0,80*** 1,00
Grade Point Average 0,19 0,38*** 0,46*** 0,46*** 1,00
Perempuan
Ego Identity 1,00
Cognitive Verbal Ability 0,16 1,00
Cognitive Quantitative Ability 0,03 0,66*** 1,00
Normed Test Achievement 0,13 0,84*** 0,78*** 1,00
Grade Point Average 0,22 0,51*** 0,49*** 0,57*** 1,00
Semua Subjek
Ego Identity 1,00
Cognitive Verbal Ability 0,18** 1,00
Cognitive Quantitative Ability 0,12 0,69*** 1,00
Normed Test Achievement 0,15* 0,83*** 0,82*** 1,00
Grade Point Average 0,21** 0,44*** 0,46*** 0,51*** 1,00
*** < 0,001
** < 0,01
* < 0,05
Berdasarkan tabel di atas, Wrabel menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara NTA dengan CQA, antara NTA dengan CVA, antara CQA dengan CVA, antara GPA dengan CQA, antara GPA dengan NTA, dan antara GPA dengan CVA bagi kedua kelompok siswa laki-laki dan perempuan. Temuan ini menurut Wrabel sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cross dan Allen (1970). Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecakapan kognitif dengan prestasi akademik apabila siswa laki-laki dan perempuan dihitung secara terpisah.
Wrabel juga menyimpulkan bahwa antara EI dan CQA berkorelasi secara positif (0,20, < 0,05) untuk siswa laki-laki, meskipun kekuatan hubungannya lemah. Sebaliknya korelasi positif signifikan terjadi antara EI dengan GPA untuk siswa perempuan (0,22, < 0,05). Temuan ini menurut Wrabel juga sesuai dengan temuan Hummel dan Roselli (1983).
Kesimpulan Wrabel berikutnya berdasarkan tabel data di atas adalah bahwa ketika siswa laki-laki dan perempuan diuji secara bersama-sama, terdapat korelasi yang signifikan antara NTA dengan CVA, NTA dengan CQA, CQA dengan CVA, GPA dengan NTA, GPA dengan CQA, dan GPA dengan CVA. Temuan ini sejalan dengan temuan Chang (1982). Berdasarkan temuan ini, Wrabel menyimpulkan pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecakapan kognitif dengan prestasi akademik ketika subjek laki-laki dan perempuan dikaji secara bersama-sama.
Dengan mencermati tabel di atas, kita menemukan bahwa beberapa koefisien korelasi ada yang tanpa ditandai tanda bintang, ada yang ditandai dengan satu bintang, dua bintang, dan tiga bintang; yang berarti bahwa peneliti melakukan pengujian signfikansi atau probabilitas statistik korelasional. Dengan begitu, untuk setiap koefisien korelasi pada tabel tersebut, Wrabel menguji Hipotesis Nol—dalam hubungannya dengan populasi yang akan digeneralisasikannya—sama dengan nol (H0: =0); sebaliknya Hipotesis Alternatif yang berkaitan dengan koefisien korelasi populasi tidak sama dengan nol (H1: ≠0).
Tanda bintang pada masing-masing koefisien korelasi juga dapat dimaknai bahwa:
• Tiadanya tanda bintang berarti koefisien korelasi tidak signifikan pada tingkat signifikansi 0,05.
• Tanda bintang satu menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak pada tingkat signifikansi 0,05.
• Tanda bintang dua menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak pada tingkat signifikansi 0,01.
• Tanda bintang tiga menujukkan bahwa Hipotesis Nol (H0) ditolak pada tingkat signifikansi 0,001.
Dengan demikian, melalui pengujian terhadap sampel sebanyak 202 siswa, Wrabel sekaligus berusaha melakukan inferensi terhadap populasi, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari pengujian terhadap sampel statistik ia gunakan untuk menyimpulkan (to infer) koefisien korelasi populasi.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan itu, Jaeger membuat catatan-catatan kritis sebagai berikut:
Pertama, kesimpulan Wrabel bahwa penelitiannya menghasilkan temuan tentang adanya korelasi antara identitas ego dengan berbagai kecakapan kognitif siswa (cognitive ability, achievement test score dan grade point average), sesungguhnya akan lebih tepat bila dikatakan bahwa tingkat korelasinya rendah.
Kedua, meskipun beberapa koefisien korelasi secara statistik signifikan, tetapi satu-satunya kesimpulan yang mendukung dari temuannya adalah bahwa dalam suatu populasi (kelas II SMA) di mana sampel diambil, angka yang berkaitan dengan korelasi akan selalu berbeda dari nol. Pendeknya, uji korelasi jarang sekali yang menghasilkkan koefisien korelasi sama dengan nol. Dengan demikian, temuan Wrabel sama sekali tidak mendukung suatu keyakinan bahwa identitas ego siswa berkaitan dengan kecakapan kognitif mereka.
Ketiga, seperti juga pada penelitian-penelitian lainnya, inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi juga berhadapan dengan problem validitas eksternal. Dengan sampel yang diambil dari SMA di pinggiran kota, tentunya belum bisa dikatakan mewakili populasi yang luas, dan dengan demikian kesimpulannya tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi seluruh populasi kelas II SMA.
2. Hubungan antara Sikap Guru dengan Perilakunya di Kelas
Penelitian ini berjudul Relations between Teacher Attitudes and Teacher Behavior in Ninth-Grade Algebra Classes yang dilakukan oleh McConnel pada tahun 1978. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap guru dan perilaku mereka di dalam kelas.
McConnel menetapkan 47 guru aljabar tingkat sembilan sebagai sampel yang diambil secara purposive. Data-data yang berkenaan dengan variabel sikap guru diambil dengan menggunakan kuesioner (self-reported). Sedangkan data tentang perilaku guru dikumpulkan melalui pengamatan yang dilakukan oleh dua orang pengamat dewasa dan juga berasal dari penilaian para siswa terhadap perilaku guru di kelas.
Karena laporan penelitian yang dilakukan oleh McConnel memuat banyak data beserta tabelnya, Jaeger hanya fokus pada dua hal penting yang berkenaan dengan inferensi terhadap koefisien korelasi dari hasil penelitian McConnel ini. Pertama, selain untuk mengetahui hubungan antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas, McConnel juga menguji reliabilitas instrumen pengukuran perilaku guru antara skor-skor hasil pengamatan pada kunjungan ketiga dan keempat. Dengan upaya ini McConnel ingin mengetahui apakah instrumen atau pengamatan satu dengan yang lainnya reliabel atau tidak. Kedua, fokus Jaeger pada inti penelitian McConnel, yakni inferensinya terhadap koefisien korelasi antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas.
a. Koefisien Reliabilitas Pengukuran
Berkenaan dengan fokus pertama, McConnel menyajikan data tentang korelasi rata-rata skor dua penilai (rater) antara kunjungan ketiga dan keempat ketika melakukan pengukuran/penilaian terhadap perilaku guru di kelas, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2: Korelasi antara Skor-skor dalam Lembar Penilaian Kunjungan Kelas Ketiga dan Keempat dalam 43 Kelas
Item r
PR1 Clarity 0,382*
PR2 Variability 0,375*
PR3 Enthusiasm 0,636**
PR4 Business-like 0,533**
PR5 Uses Student Ideas 0,398**
PR6 Critism 0,565**
PR7 Structures Lesson 0,347*
PR8 Higher Cognitive Questions 0,595**
PR9 Probing Questions 0,332*
PR10 Difficulty of Lesson -0,147
* < 0,05
** < 0,01
Dengan koefisien korelasi itu, McConnel menyimpulkan bahwa instrumen (proses penilaian oleh pengamat) untuk aspek Difficulty of Lesson tidak reliabel antara pengamatan pada kunjungan ketiga dengan kunjungan keempat (-0,147), sedangkan penilaian perilaku untuk aspek-aspek lainnya reliabel.
McConnel juga menguji Hipotesis Nol (H0) yang berbunyi: “penilaian pengamat terhadap perilaku guru di kelas antara penilaian pada kunjungan ketiga tidak berkorelasi dengan penialaian pada kunjungan keempat”. Jika H0 benar untuk skala tertentu (misalnya aspek “Clarity”), berarti skala penilaian observer terhadap perilaku guru pada kunjungan ketiga dan keempat tidak reliabel.
Pada tabel 2 di atas, McConnel tidak menetapkan tingkat Kekeliruan Tipe I (Type I Error level), tetapi ia hanya melaporkan tingkat signifikansi tiap koefisien korelasi ketika membandingkannya dengan nilai kritis yang sesuai dengan dua tingkat signifikansi ( = 0,05 dan = 0,01). Dengan begitu, dapat dikatakan bila koefisien korelasi disertai dengan satu tanda bintang, berarti koefisien korelasi itu siginifikan pada taraf signifikansi = 0,05; jika koefisien korelasi disertai dengan dua lambang bintang, berarti Hipotesis Nol ditolak pada taraf signifikansi = 0,01.
Bagi Jaeger, uji signifikansi seperti yang dilaporkan McConnel pada tabel 2 di atas adalah sesuatu yang sangat tidak biasa. Korelasi yang menggambarkan reliabilitas pengukuran (koefisien reliabilitas) biasanya dilakukan hanya untuk sampel dan jarang sekali digunakan untuk menguji Hipotesis Nol yang berkaitan dengan parameter populasi. Dengan kata lain, inferensi yang berkaitan dengan koefisien korelasi jarang sekali digunakan dalam pengujian reliabilitas instrumen. Sebab idealnya, sebuah instrumen dikatakan reliabel bila koefisien korelasi antara pengukuran satu dengan lainnya mendekati angka 1; sebaliknya jika koefisien korelasi mendekati angka 0, berarti instrumen atau pengukuran itu kurang atau tidak reliabel.
b. Korelasi antara Sikap Guru dengan Perilaku Mereka di Kelas
Hasil penelitian McConnel tentang korelasi antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas ditampilkan dalam sebuah tabel yang panjang, sehingga dalam chapter report ini tidak ditampilkan. Berdasarkan hasil penelitiannya, McConnel menyimpulkan bahwa penelitiannya itu berhasil membuktikan bahwa sikap guru berkaitan dengan pola perilaku mereka yang dapat diamati oleh observer. Guru yang lebih menikmati pekerjaannya sebagai profesi dan lebih menyukai mata pelajarannya (dalam hal ini matematika) dinilai lebih “jelas” (clearer) dalam penyajiannya, lebih bervariasi dalam penyampaian, lebih antusias, lebih berorientasi pada tugas, lebih dapat menangkap gagasan siswa, lebih tepat dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, dan jarang mendapat kritik dari siswa. Sebaliknya dari itu, guru menjadi kurang jelas dalam penyampaian, kurang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk pembelajaran aljabar, dan kurang menekankan pada logika dan analisis.
Meskipun penelitian terbatas pada guru aljabar, tetapi McConnel memperluasnya menjadi guru matematik. Ia juga menggeneralisasikannya pada aspek yang lebih luas, bahwa kesuksesan belajar pada mata pelajaran aljabar juga analog dengan kesuksesan pada mata pelajaran yang lain.
Dalam tabel-tabel laporan penelitian tentang korelasi antara sikap guru dengan perilaku mereka di kelas, McConnel menyajikan nilai koefisien korelasi (r) sekaligus dengan tingkat probabilitasnya masing-masing. Misalnya, koefisien korelasi antara “Clarity” dengan “Theoretical Orientation” adalah sebesar 0,26, yang kemudian di sebelah kanannya ada kolom “Sig.” sebesar 0,047. Ini dapat diartikan bahwa Hipotesis Nol (H0) yang menyatakan bahwa: Korelasi populasi antara pengamatan observer terhadap aspek “Clarity” guru dengan orientasi teoretis guru sama dengan 0 (H0: =0) ditolak pada tingkat signifikansi = 0,047. Sebaliknya, koefisien korelasi 0,44 antara aspek “Clarity” dengan aspek “Involvement in Teaching” signifikan pada level 0,001. Hal ini berarti bahwa H0 yang berkaitan dengan korelasi populasi sama dengan 0 (H0: =0) ditolak, meskipun peneliti hanya menetapkan resiko kekeliruan tipe I-nya sebesar 0,001.
Bagi Jaeger, meskipun scara statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05, namun koefisien-koefisien korelasi antara aspek-aspek dalam variabel sikap guru dengan aspek-aspek dalam variabel perilaku mereka di kelas adalah termasuk korelasi sedang. Oleh karena itu, Jaeger memberikan dua catatan kritis kalau ingin menggeneralisasikan temuan McConnel tersebut. Pertama, karena sampel yang digunakan McConnel adalah guru-guru aljabar tingkat sembilan yang berasal dari SMA di 13 pinggiran kota, sehingga untuk membuat generalisasi atau inferensi terhadap populasi yang lebih luas menjadi kurang bermakna.
Kedua, fakta bahwa hanya guru-guru aljabar yang dijadikan sebagai sampel, lalu kemudian digeneralisasikan kepada guru-guru lain, mestilah didukung oleh instrumen pengukuran yang reliabel.
C. Kesimpulan
Melakukan inferensi tentang koefisien korelasi terhadap populasi yang luas memang akan sangat membantu dalam menemukan kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang memiliki cakupan luas. Namun demikian, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti dalam melakukan inferensi suatu penelitian tentang sampel statistik bila akan digeneralisasikan terhadap poulasi.
Pertama, sampel yang ditetapkan dalam penelitian mestilah benar-benar representatif, dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak, dengan mempertimbangkan tingkat sampling error sekecil-kecilnya.
Kedua, besar kecilnya koefisien korelasi yang diperoleh juga patut dipertimbangkan. Koefisien korelasi yang mendekati angka 1, mungkin akan lebih kuat untuk melakukan inferensi dibandingkan dengan koefisien korelasi yang mendekati angka 0.
Ketiga, peneliti juga perlu memperkirakan Tingkat Kekeliruan I dalam menyimpulkan penerimaan atau penolakan hipotesis nol. Tingkat signifikansi 0,05 memang umum digunakan dalam penelitian bidang pendidikan. Namun dengan tingkat signifikansi sebesar itu, resiko untuk keliru (Type I Error) relatif lebih besar dibandingkan dengan menggunakan tingkat keberartian 0,001.
Keempat, inferensi untuk mencapai generalisasi pada populasi yang lebih luas, juga perlu mempertimbangkan validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran, baik alat ukurnya, prosesnya, maupun pengolahannya. Betapapun besar dan kuatnya keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dan betatapun kecilnya tingkat Kekeliruan Tipe I yang ditetapkan; kalau instrumen penelitiannya tidak valid dan reliabel, maka hasil analisisnya hanya akan berupa sampah.
Kelima, peneliti juag perlu mempertimbangkan untuk membangun kerangka berpikir yang benar-benar dibangun dan didasarkan pada teori-teori yang kuat, sehingga hubungan antarvariabel yang akan diteliti benar-benar menggambarkan hubungan yang logis. Hubungan antara identitas ego dengan kecakapan kognitif, misalnya, mungkin termasuk salah satu jenis hubungan yang secara teoretik kurang logis.
Buku Sumber
Jaeger, Richard M. (1991). Statistics: A Spectator Sport. California: Sage Publication, Inc.
Thursday, June 28, 2007
Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji IV
Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-Muta’allim Thariqat al-Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, kitab tersebut cenderung memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada semangat dan pesan moral di dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren.
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim al-Muta’allim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Muta’alim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.).
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis.
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan.
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi.
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral.
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain.
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun pengajar.
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam bingkai teladan-moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu.
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan.
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya al-Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201).
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-Muta’allim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam modern.
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: “Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Ta’lim al-Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional.
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat.
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.
1. Anjuran untuk selalu belajar
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Syairnya adalah sebagai berikut:
تعلم فان العلم زين لاهــله – وفضل وعنوان لكل المــــحامد
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة – من العلم واسبح فى بحور الفــوائد
تفقه فان الفقه افضل قــائد – الى البــر والتقوى واعدل قــائد
هو العلم الهادى الى سنن الهدى – هو الحصن ينجى من جميع الشدائـد
فان فــقيها واحدا متـورعا – اشد على الشيـطان مـن الف عابد
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)
Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.
2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:
وكذلك فى سائر الاخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والاسراف والتقتير وغيرها
"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."
3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).
Ia mengatakan:
وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرام لانه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.
Ia mengatakan:
لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. اذا النية هي الاصل فى جميع الاحوال
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:
a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;
b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;
c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14).
5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:
ان التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى الى المعالى يرتقى
ومن االعجائب عجب من هو جاهل – فى حاله اهو السعيد ام الشقى
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (Al-Zarnuji, 1995:16).
6. Cara memilih guru
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:
واما اختيار الاستاذ فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسن
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (Al-Zarnuji, 1995:18-19).
7. Cara memilih jenis ilmu
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji, 1995:18).
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf.
8. Nasihat kepada para pelajar
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain.
Ia mengatakan:
وطلب العلم من اعلى الامور واصعبها فكان المشاورة فيه اهم واوجب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21).
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
واعلم ان الصبر والثبات اصل كبير فى جميع الامور
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (Al-Zarnuji, 1995:22).
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
الالاتـنال العـلم الا بسـتة – سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وارشاد استاذ وطول الزمان
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23).
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
الشجاعة صبر ساعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22).
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia mengatakan:
وينبغى ان يصبر عما تريد نفسه
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23).
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.
Ia berkata:
اعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به الا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26).
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27).
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi.
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30).
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-himmah), Al-Zarnuji mengatakan:
ثم لابد من الجد والمواظبة واالهمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولجز
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:
وينبغى ان يجتهد فى الفهم من الاستاذ
"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55).
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:
وينبغى ان يجتهد ويدعو الله تعالى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55).
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة. وينبغى ان يكون بالانصاف والتأن ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia berkata:
ينبغى لطالب العلم ان يستغل بالشكر من اللسان والجنان والاركان والمال
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).
l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.
وينبغى ان يكون لطالب العلم فترة وتحير فانها آفة
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69).
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لامر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71).
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata:
وينبغى ان يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77).
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan:
واياك وان تظن بالمؤمن سوءا فانه منشأ العداوة ولا يحل ذلك
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).
p. Anjuran bersikap wara'
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka:
فمهما كان طالب العلم اورع كان علمه انفع والتعلمه له ايسروفوائده اكثر
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat.
وينبغى ان يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فان ذلك عون له على التحصيل والتعلم
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91).
E. Kesimpulan
1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu.
2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 1991. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Zarnuji, Syekh, 1985. Terjemah Ta'lim al-Muta'allim. Mutiara ilmu, Surabaya.
Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
Asmaran, AS. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bruinessen, Martin Van, 1996. Kitab Kuning dan Perkembangan Thariqat di Indonesia. Mizan, Bandung
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Buku IA Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari, 1995. Tradisi Pesantren: Studi atas Perilaku Kiai. LP3ES, Jakarta.
Fudyartanta, 1974, Etika. Yogyakarta: Warawidyani Cetakan Keempat
Ghazali, Said, 2000. Kontekstuaalisasi Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Makalah Serminar, tidak diterbitkan.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, Cetakan keenam.
Haricahyono. 1995. Etika Pergaulan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hourani, George F. 1986, Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Husain, Muhammad, 2001. Kitab Kuning: Sejarah dan Pertumbuhannya. LkiS, Yogyakarta
Moleong, Lexy.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalauddin, 2004.Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung.
Soelaeman. 1994. Pengembangan Etika di Lingkungan Lembaga Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Surajiyo, 2004. Perspektif Filsafat Ilmu tentang Etika Profesi. Ciamis: Jurnal Ilmiah Tajdid.
Suseno, Frans Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
Taylor, Paul W., 1985. Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson Publishing Compant Inc..,
Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta:CV. Rajawali.
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren.
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim al-Muta’allim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Muta’alim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.).
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis.
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan.
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi.
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral.
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain.
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun pengajar.
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam bingkai teladan-moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu.
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan.
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya al-Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201).
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-Muta’allim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam modern.
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: “Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Ta’lim al-Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional.
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat.
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.
1. Anjuran untuk selalu belajar
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Syairnya adalah sebagai berikut:
تعلم فان العلم زين لاهــله – وفضل وعنوان لكل المــــحامد
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة – من العلم واسبح فى بحور الفــوائد
تفقه فان الفقه افضل قــائد – الى البــر والتقوى واعدل قــائد
هو العلم الهادى الى سنن الهدى – هو الحصن ينجى من جميع الشدائـد
فان فــقيها واحدا متـورعا – اشد على الشيـطان مـن الف عابد
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)
Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.
2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:
وكذلك فى سائر الاخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والاسراف والتقتير وغيرها
"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."
3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).
Ia mengatakan:
وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرام لانه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.
Ia mengatakan:
لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. اذا النية هي الاصل فى جميع الاحوال
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:
a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;
b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;
c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14).
5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:
ان التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى الى المعالى يرتقى
ومن االعجائب عجب من هو جاهل – فى حاله اهو السعيد ام الشقى
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (Al-Zarnuji, 1995:16).
6. Cara memilih guru
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:
واما اختيار الاستاذ فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسن
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (Al-Zarnuji, 1995:18-19).
7. Cara memilih jenis ilmu
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji, 1995:18).
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf.
8. Nasihat kepada para pelajar
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain.
Ia mengatakan:
وطلب العلم من اعلى الامور واصعبها فكان المشاورة فيه اهم واوجب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21).
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
واعلم ان الصبر والثبات اصل كبير فى جميع الامور
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (Al-Zarnuji, 1995:22).
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
الالاتـنال العـلم الا بسـتة – سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وارشاد استاذ وطول الزمان
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23).
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
الشجاعة صبر ساعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22).
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia mengatakan:
وينبغى ان يصبر عما تريد نفسه
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23).
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.
Ia berkata:
اعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به الا بتعظيم العلم واهله وتعظيم الاستاذ وتوقيره
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26).
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27).
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi.
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30).
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-himmah), Al-Zarnuji mengatakan:
ثم لابد من الجد والمواظبة واالهمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولجز
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:
وينبغى ان يجتهد فى الفهم من الاستاذ
"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55).
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:
وينبغى ان يجتهد ويدعو الله تعالى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55).
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة. وينبغى ان يكون بالانصاف والتأن ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia berkata:
ينبغى لطالب العلم ان يستغل بالشكر من اللسان والجنان والاركان والمال
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).
l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.
وينبغى ان يكون لطالب العلم فترة وتحير فانها آفة
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69).
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لامر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71).
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata:
وينبغى ان يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77).
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan:
واياك وان تظن بالمؤمن سوءا فانه منشأ العداوة ولا يحل ذلك
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).
p. Anjuran bersikap wara'
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka:
فمهما كان طالب العلم اورع كان علمه انفع والتعلمه له ايسروفوائده اكثر
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat.
وينبغى ان يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فان ذلك عون له على التحصيل والتعلم
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91).
E. Kesimpulan
1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu.
2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor. 1991. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
Al-Zarnuji, Syekh, 1985. Terjemah Ta'lim al-Muta'allim. Mutiara ilmu, Surabaya.
Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
Asmaran, AS. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bruinessen, Martin Van, 1996. Kitab Kuning dan Perkembangan Thariqat di Indonesia. Mizan, Bandung
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Buku IA Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari, 1995. Tradisi Pesantren: Studi atas Perilaku Kiai. LP3ES, Jakarta.
Fudyartanta, 1974, Etika. Yogyakarta: Warawidyani Cetakan Keempat
Ghazali, Said, 2000. Kontekstuaalisasi Kitab Ta'lim al-Muta'allim. Makalah Serminar, tidak diterbitkan.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, Cetakan keenam.
Haricahyono. 1995. Etika Pergaulan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hourani, George F. 1986, Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Husain, Muhammad, 2001. Kitab Kuning: Sejarah dan Pertumbuhannya. LkiS, Yogyakarta
Moleong, Lexy.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalauddin, 2004.Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung.
Soelaeman. 1994. Pengembangan Etika di Lingkungan Lembaga Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Surajiyo, 2004. Perspektif Filsafat Ilmu tentang Etika Profesi. Ciamis: Jurnal Ilmiah Tajdid.
Suseno, Frans Magnis, 1987. Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
Taylor, Paul W., 1985. Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson Publishing Compant Inc..,
Zubair, Achmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta:CV. Rajawali.
Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji III
2. Etika dan Akhlak
Kata etika dalam prakteknya sering disamaartikan dengan akhlak. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kaitan antara etika dan akhlak ini. Secara terminologis, akhlak adalah sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. (Ahmadi dan Salimi, 1991:1999).
Kitab Al-Mu'jam al-Wâsit (Asmaran AS, 1992:2) mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
الخلق حال للنفس راسخة تصدر عنها الأعمال من خير او شر من غير حاجة الى فكر ورؤية
Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Senada dengan definisi tersebut, Imam Gazali (Asmaran AS, 1992:2) mengartikan akhlak sebagai berikut:
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر الانفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر ورؤية
AI-Khulq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menumbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Oleh karena itu, pada hakikatnya khulq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ muncullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari'at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia (al-akhlâq al-mahmûdah) dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela (al-akhlâq al-mazmûmah). Al-khulq disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa, karena seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajat dan secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang demikian ini disebut orang yang dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya. Juga disyaratkan, suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran. Sebab seandainya ada orang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksa hatinya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir lebih dulu, maka bukanlah orang yang semacam ini disebut sebagai orang dermawan.
Di dunia pendidikan Islam juga dikenal istilah ilmu akhlak. Dengan melihat pengertian ilmu, yaitu mengenal sesuatu sesuai dengan esensinyaa, dan pengertian khulq, yaitu budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seperti yang tersebut di atas, maka ilmu akhlak, dilihat dari sudut etimologi, ialah upaya untuk mengenal budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seseorang sesuai dengan esensinya.
Kamus Al-Kautsar, mengartikan ilmu akhlak sebagai ilmu tata krama. (Asmaran AS, 1992:3) Jadi, ilmu akhlak ialah ilmu yang berusaha untuk mengenal tingkah-laku manusia kemudian memberi hukum/nilai kepada perbuatan itu bahwa ia baik atau buruk sesuai dengan norma-norma akhlak dan tata susila.
Sedangkan secara terminologi, di dalam Dâ'irat al-Ma'ârif dikatakan:
علم الاخلاق هو علم بالفضائل وكيفية اقتنائها لتتحلى النفس بها وبالرذائل وكيفية توقيها لتتخلى عنها
Ilmu akhlak ialah ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong daripadanya. (Asmaran AS, 1992:4).
Sementara itu Al-Mu'jam al-Wâsith memberikan definisi ilmu akhlak dengan :
علم الاخلاق علم موضوعه احكام قيمته تتعلق بالاعمال التى توصف بالحسن والقبح
llmu akhlak ialah ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk. (Asmaran AS, 1992:4)
Menurut Ahmad Amin ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apaapa yang harus diperbuat. (Asmaran AS, 1992:5)
Sedangkan Hamzah Ya'qub mengemukakan pengertian ilmu akhlak dengan mengatakannya sebagai berikut: "Adapun pengertian sepanjang terminologi yang dikemukaJcan oleh ulama akhlak antara lain: (a) ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin; dan (b) ilmu akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka. (Asmaran AS, 1992:5)
The Encyclopaedia of Islam merumuskan: It is the science of virtues and the way how to acquire them, of vices and the way how to quard against them (Asmaran AS, 1992:5), (ilmu akhlak ialah ilmu tentang kebaikan dan cara mengikutinya, tentang kejahatan dan cara untuk menghindarinya).
Dari pengertian di atas kiranya dapat dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk (alam) sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral.
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika merupakan bagian dari padanya. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, tentang kesusilaan, tentang baik dan buruk. Kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Asmaran AS, 1992:6) Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk). (Asmaran AS, 1992:6)
Ada beberapa istilah etika secara terminologi. New Masters Pictorial Encyclopaedia mendefinisikan etika sebagai berikut: Ethics is the science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with the character of but the ideal of human conduct. (Asmaran AS, 1992:7). (Etika ialah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya).
Dictionary of Education mengartikan etika sebagai the study of human behavior not only to find the truth of things as they are but also to enquire into the worth or goodness of human actions. (Asmaran AS, 1992:6). (Etika ialah studi tentang tingkah-laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia).
Dalam kamus yang sama juga dikatakan: The science of human conduct, concerned with judgment of obligation (rightness or wrongness oughtness) and judgment of value (goodness and badness). (Asmaran AS, 1992:7) (Ilmu tentang tingkah-laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban (kebenaran atau kesalahan kepatutan) dan ketentuan tentang nilai (kebaikan dan keburukan).
Dari berbagai definisi tentang etika dapat diklasifikasikan 3 jenis definisi: (a) yang menekankan pada aspek historis; (b) yang menekankan secara deskriptif; dan (c) yang menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak kefilsafatan.
Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. Jenis yang kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang hanya memberikan nilai i~aik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar jenis definisi yang terakhir ini etika digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direktif dan reflektif.
Penilaian bukan moral memainkan peranan terbesar dalam hidup sehari-hari; dan terus-menerus mengarahkan tindakan seseorang kepada yang dinilai baik, menyenangkan, berguna, adil, menarik, dan sebagainya. Nilai-nilai itu diselidiki oleh filsafat nilai atau aksiologi. Tetapi dalam etika, penilaian bukan moral hanya perlu diperhatikan sejauh ada kewajiban untuk melaksanakannya. Begitu pula pembahasan penilaian moral mengandaikan analisa pernyataan kewajiban terlebih dulu. Nilai moral direalisasikan dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kewajiban. Orang dinilai sebagai jujur, misalnya, karena tidak melakukan korupsi. Tentu saja penilaian itu hanya masuk akal, karena telah diandaikan bahwa korupsi itu sesuatu yang tidak boleh. Macam dan dalamnya nilai moral—apakah itu kesetiaan, kebesaran hati, kesucian, apakah orang itu sangat setia, atau sekali ini setia—tergantung baik dari kekhususan kewajiban moral maupun dari kekhususan situasi saat kewajiban itu dilakukan. Memberi makan kepada anak kecil dan menyelamatkannya dari rumah yang sedang dimakan api, sama-sama berarti melakukan kewajiban, tetapi nilai moral tindakan yang satunya lebih tinggi.
Inti etika adalah analisa pernyataan kewajiban. Penilaian bukan moral disinggung sejauh diperlukan dalam rangka pembicaraan pernyataan kewajiban. Dari bidang nilai-nilai moral dibicarakan kebebasan dan tanggung jawab.
Sebagai cabang dari filsafat, etika mempelajari tingkah-laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk.
Oleh karena itu, Hamzah Ya'qub menyimpulkan merumuskan: "Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran".(Asmaran AS, 1992:7)
Meskipun pemakaian istilah etika sering disamakan dengan pengertian ilmu akhlak, namun apabila diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan di samping juga ada persamaannya. Persamaannya antara lain terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik-buruk tingkah laku manusia. Sedang perbedaannya, etika menentukan buruk-baik perbuatan manusia dengan tolok ukur akal pikiran. Sedangkan ilmu akhlak menentukannya dengan tolok ukur ajaran agama (al-Qur'an dan al-Hadits).
Dalam kajian keilmuan, kata akhlak memiliki padanan makna dengan etika. Menurut Ahmad Amin, (1993:3), etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Menurut Achmad Charris Zubair (1990:13) etika adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti watak kesusilaan atau adat istiadat. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika (Haricahyono,1995:221-222).
Dalam kaitannya dengan norma sekolah, sekolah mempunyai dua fungsi utama (Darmodiharjo, 1981:19) yakni fungsi psikologis dan fungsi sosial. Dengan demikian, maka sekolah memiliki fungsi membimbing perkembangan kondisi psikologis dan membantu mempersiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat bagi kehidupan masyarakat mendatang.
Dengan demikian, sekolah mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah juga merupakan organisasi yang memiliki beberapa tujuan dalam mempersiapkan manusia, dalam arti sebagai tujuan untuk mengembangkan kualitas pribadi, termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma, dan berorientasi pada norma-norma tertentu (Soelaeman, 1994 :86).
C. Metode Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data tertulis. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah kitab Ta'lim al-Muta'allim. Kitab ini merupakan sumber utama (sumber primer), sedangkan sumber sekunder dilengkapi dengan buku-buku lain yang membahas etika. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu suatu metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan dari suatu isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang atau bahasa (Rakhmat, 2004:89). Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan atau dokumentasi.
Kata etika dalam prakteknya sering disamaartikan dengan akhlak. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kaitan antara etika dan akhlak ini. Secara terminologis, akhlak adalah sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. (Ahmadi dan Salimi, 1991:1999).
Kitab Al-Mu'jam al-Wâsit (Asmaran AS, 1992:2) mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
الخلق حال للنفس راسخة تصدر عنها الأعمال من خير او شر من غير حاجة الى فكر ورؤية
Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Senada dengan definisi tersebut, Imam Gazali (Asmaran AS, 1992:2) mengartikan akhlak sebagai berikut:
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر الانفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر ورؤية
AI-Khulq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menumbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Oleh karena itu, pada hakikatnya khulq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ muncullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari'at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia (al-akhlâq al-mahmûdah) dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela (al-akhlâq al-mazmûmah). Al-khulq disebut sebagai kondisi atau sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa, karena seandainya ada seseorang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk suatu hajat dan secara tiba-tiba, maka bukanlah orang yang demikian ini disebut orang yang dermawan sebagai pantulan dari kepribadiannya. Juga disyaratkan, suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran. Sebab seandainya ada orang yang memaksakan dirinya untuk mendermakan hartanya atau memaksa hatinya untuk berdiam di waktu timbul sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan hal itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir lebih dulu, maka bukanlah orang yang semacam ini disebut sebagai orang dermawan.
Di dunia pendidikan Islam juga dikenal istilah ilmu akhlak. Dengan melihat pengertian ilmu, yaitu mengenal sesuatu sesuai dengan esensinyaa, dan pengertian khulq, yaitu budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seperti yang tersebut di atas, maka ilmu akhlak, dilihat dari sudut etimologi, ialah upaya untuk mengenal budi pekerti, perangai, tingkah-laku atau tabiat seseorang sesuai dengan esensinya.
Kamus Al-Kautsar, mengartikan ilmu akhlak sebagai ilmu tata krama. (Asmaran AS, 1992:3) Jadi, ilmu akhlak ialah ilmu yang berusaha untuk mengenal tingkah-laku manusia kemudian memberi hukum/nilai kepada perbuatan itu bahwa ia baik atau buruk sesuai dengan norma-norma akhlak dan tata susila.
Sedangkan secara terminologi, di dalam Dâ'irat al-Ma'ârif dikatakan:
علم الاخلاق هو علم بالفضائل وكيفية اقتنائها لتتحلى النفس بها وبالرذائل وكيفية توقيها لتتخلى عنها
Ilmu akhlak ialah ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong daripadanya. (Asmaran AS, 1992:4).
Sementara itu Al-Mu'jam al-Wâsith memberikan definisi ilmu akhlak dengan :
علم الاخلاق علم موضوعه احكام قيمته تتعلق بالاعمال التى توصف بالحسن والقبح
llmu akhlak ialah ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk. (Asmaran AS, 1992:4)
Menurut Ahmad Amin ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apaapa yang harus diperbuat. (Asmaran AS, 1992:5)
Sedangkan Hamzah Ya'qub mengemukakan pengertian ilmu akhlak dengan mengatakannya sebagai berikut: "Adapun pengertian sepanjang terminologi yang dikemukaJcan oleh ulama akhlak antara lain: (a) ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin; dan (b) ilmu akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka. (Asmaran AS, 1992:5)
The Encyclopaedia of Islam merumuskan: It is the science of virtues and the way how to acquire them, of vices and the way how to quard against them (Asmaran AS, 1992:5), (ilmu akhlak ialah ilmu tentang kebaikan dan cara mengikutinya, tentang kejahatan dan cara untuk menghindarinya).
Dari pengertian di atas kiranya dapat dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk (alam) sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral.
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika merupakan bagian dari padanya. Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, tentang kesusilaan, tentang baik dan buruk. Kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Asmaran AS, 1992:6) Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk). (Asmaran AS, 1992:6)
Ada beberapa istilah etika secara terminologi. New Masters Pictorial Encyclopaedia mendefinisikan etika sebagai berikut: Ethics is the science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with the character of but the ideal of human conduct. (Asmaran AS, 1992:7). (Etika ialah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya).
Dictionary of Education mengartikan etika sebagai the study of human behavior not only to find the truth of things as they are but also to enquire into the worth or goodness of human actions. (Asmaran AS, 1992:6). (Etika ialah studi tentang tingkah-laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia).
Dalam kamus yang sama juga dikatakan: The science of human conduct, concerned with judgment of obligation (rightness or wrongness oughtness) and judgment of value (goodness and badness). (Asmaran AS, 1992:7) (Ilmu tentang tingkah-laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban (kebenaran atau kesalahan kepatutan) dan ketentuan tentang nilai (kebaikan dan keburukan).
Dari berbagai definisi tentang etika dapat diklasifikasikan 3 jenis definisi: (a) yang menekankan pada aspek historis; (b) yang menekankan secara deskriptif; dan (c) yang menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak kefilsafatan.
Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. Jenis yang kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang hanya memberikan nilai i~aik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar jenis definisi yang terakhir ini etika digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direktif dan reflektif.
Penilaian bukan moral memainkan peranan terbesar dalam hidup sehari-hari; dan terus-menerus mengarahkan tindakan seseorang kepada yang dinilai baik, menyenangkan, berguna, adil, menarik, dan sebagainya. Nilai-nilai itu diselidiki oleh filsafat nilai atau aksiologi. Tetapi dalam etika, penilaian bukan moral hanya perlu diperhatikan sejauh ada kewajiban untuk melaksanakannya. Begitu pula pembahasan penilaian moral mengandaikan analisa pernyataan kewajiban terlebih dulu. Nilai moral direalisasikan dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kewajiban. Orang dinilai sebagai jujur, misalnya, karena tidak melakukan korupsi. Tentu saja penilaian itu hanya masuk akal, karena telah diandaikan bahwa korupsi itu sesuatu yang tidak boleh. Macam dan dalamnya nilai moral—apakah itu kesetiaan, kebesaran hati, kesucian, apakah orang itu sangat setia, atau sekali ini setia—tergantung baik dari kekhususan kewajiban moral maupun dari kekhususan situasi saat kewajiban itu dilakukan. Memberi makan kepada anak kecil dan menyelamatkannya dari rumah yang sedang dimakan api, sama-sama berarti melakukan kewajiban, tetapi nilai moral tindakan yang satunya lebih tinggi.
Inti etika adalah analisa pernyataan kewajiban. Penilaian bukan moral disinggung sejauh diperlukan dalam rangka pembicaraan pernyataan kewajiban. Dari bidang nilai-nilai moral dibicarakan kebebasan dan tanggung jawab.
Sebagai cabang dari filsafat, etika mempelajari tingkah-laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk.
Oleh karena itu, Hamzah Ya'qub menyimpulkan merumuskan: "Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran".(Asmaran AS, 1992:7)
Meskipun pemakaian istilah etika sering disamakan dengan pengertian ilmu akhlak, namun apabila diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan di samping juga ada persamaannya. Persamaannya antara lain terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik-buruk tingkah laku manusia. Sedang perbedaannya, etika menentukan buruk-baik perbuatan manusia dengan tolok ukur akal pikiran. Sedangkan ilmu akhlak menentukannya dengan tolok ukur ajaran agama (al-Qur'an dan al-Hadits).
Dalam kajian keilmuan, kata akhlak memiliki padanan makna dengan etika. Menurut Ahmad Amin, (1993:3), etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Menurut Achmad Charris Zubair (1990:13) etika adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti watak kesusilaan atau adat istiadat. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika (Haricahyono,1995:221-222).
Dalam kaitannya dengan norma sekolah, sekolah mempunyai dua fungsi utama (Darmodiharjo, 1981:19) yakni fungsi psikologis dan fungsi sosial. Dengan demikian, maka sekolah memiliki fungsi membimbing perkembangan kondisi psikologis dan membantu mempersiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat bagi kehidupan masyarakat mendatang.
Dengan demikian, sekolah mempunyai peluang besar dalam mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah juga merupakan organisasi yang memiliki beberapa tujuan dalam mempersiapkan manusia, dalam arti sebagai tujuan untuk mengembangkan kualitas pribadi, termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma, dan berorientasi pada norma-norma tertentu (Soelaeman, 1994 :86).
C. Metode Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data tertulis. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah kitab Ta'lim al-Muta'allim. Kitab ini merupakan sumber utama (sumber primer), sedangkan sumber sekunder dilengkapi dengan buku-buku lain yang membahas etika. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu suatu metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan dari suatu isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang atau bahasa (Rakhmat, 2004:89). Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan atau dokumentasi.
Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji II
B. Landasan Teori
1. Hakikat Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-bu-ruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut per-buatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesa-daran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. (Surajiyo, 2004:355).
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. (Taylor, 1985:3).
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua, yakni obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. (Hourani, 1986:25).
Menurut Sunoto (1982:45) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno (1987:56) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Norma ialah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segi tiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Leibniz seorang filsuf pada jaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap (Hadiwijono, 1990:189). Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin manusia.
Akibat pandangan itu ialah bahwa orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak itu mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas.
Menurut filosof Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa-bangsa yang bermacam-macam itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan karena kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. (Hadiwijono, 1990:190)
Fudyartanta (1974:94) memberi arti kesusilaan adalah keseluruhan nilai atau norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Tegasnya moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk selalu melakukan atau melaksanakannya perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang secara obyektif dan hakiki baik.
Dari beberapa pengertian kesusilaan tersebut dapat dirumuskan bahwa kesusilaan yang berasal dari kata susila mendapat awalan ke dan akhiran an yang berarti membentuk kata benda yang abstrak. Kesusilaan adalah sifatnya dari dalam bukan dari luar, artinya kesusilaan ini dekat dengan keakuan.
1. Hakikat Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-bu-ruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut per-buatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesa-daran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk. (Surajiyo, 2004:355).
Dalam tradisi filsafat, istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. (Taylor, 1985:3).
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua, yakni obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. (Hourani, 1986:25).
Menurut Sunoto (1982:45) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Frans Magnis Suseno (1987:56) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.
Norma ialah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segi tiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Leibniz seorang filsuf pada jaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan karena aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap (Hadiwijono, 1990:189). Oleh karena itu tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin manusia.
Akibat pandangan itu ialah bahwa orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak itu mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan aktual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas.
Menurut filosof Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa-bangsa yang bermacam-macam itu pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada zaman negara industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan karena kemakmuran yang dialami pada zaman industri itu bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi. (Hadiwijono, 1990:190)
Fudyartanta (1974:94) memberi arti kesusilaan adalah keseluruhan nilai atau norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Tegasnya moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laku manusia di dalam masyarakat untuk selalu melakukan atau melaksanakannya perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang secara obyektif dan hakiki baik.
Dari beberapa pengertian kesusilaan tersebut dapat dirumuskan bahwa kesusilaan yang berasal dari kata susila mendapat awalan ke dan akhiran an yang berarti membentuk kata benda yang abstrak. Kesusilaan adalah sifatnya dari dalam bukan dari luar, artinya kesusilaan ini dekat dengan keakuan.
Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji I
A. Pendahuluan
Etika merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik, khususnya kompetensi di bidang kepribadian Pencapaian kemampuan kognitif dan psikomotorik tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila tidak diikuti dengan kompetensi di bidang etika dan kepribadian. Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan bisa baik, bila lulusan itu memiliki etika atau akhlak yang baik, di samping memiliki pengetahuan kognitif dan keterampilan psikomotorik.
Etika seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagiamana ia berbuat atau keinginan berbuat. Etika atau akhlak yang terkait dengan keyakinan, sikap, aktivitas atau perasaan atas sesuatu akan menentukan tindakan dan perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan akhlak atau etika menempati kedudukan yang amat penting dalam pembelajaran di sekolah.
Tujuan etika adalah untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan etika atau akhlak pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan akhlak atau etika yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan keagamaan, yakni melalui penanaman etika atau akhlak yang berasal dari ajaran atau pemikiran-pemikiran keagamaan.
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu akan sangat baik apabila pendidikan etika dan akhlak bagi siswa digali dari etika atau akhlak yang bersumber dari ajaran Islam atau pemikiran para ulama Islam.
Terkait dengan etika anak didik, baik terhadap dirinya, orang tuanya, gurunya, teman-temannya, sesungguhnya dalam tradisi ilmu-ilmu Islam klasik, terdapat sebuah kitab yang patut dikaji dan diteliti.
1. Kitab dimaksud adalah Kitab Ta'lim al-Muta'allim, yang selama puluhan tahun dijadikan sebagai salah satu kitab yang diajarkan di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Kitab ini berisi di antaranya bagaimana etika, akhlak dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang siswa, pelajar, atau mereka yang sedang menuntut ilmu. Atas dasar itu, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah ingin menjawab bagaimana etika siswa menurut Imam Al-Zarnuji?
Etika merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik, khususnya kompetensi di bidang kepribadian Pencapaian kemampuan kognitif dan psikomotorik tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila tidak diikuti dengan kompetensi di bidang etika dan kepribadian. Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan bisa baik, bila lulusan itu memiliki etika atau akhlak yang baik, di samping memiliki pengetahuan kognitif dan keterampilan psikomotorik.
Etika seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagiamana ia berbuat atau keinginan berbuat. Etika atau akhlak yang terkait dengan keyakinan, sikap, aktivitas atau perasaan atas sesuatu akan menentukan tindakan dan perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan akhlak atau etika menempati kedudukan yang amat penting dalam pembelajaran di sekolah.
Tujuan etika adalah untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan etika atau akhlak pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan akhlak atau etika yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan keagamaan, yakni melalui penanaman etika atau akhlak yang berasal dari ajaran atau pemikiran-pemikiran keagamaan.
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu akan sangat baik apabila pendidikan etika dan akhlak bagi siswa digali dari etika atau akhlak yang bersumber dari ajaran Islam atau pemikiran para ulama Islam.
Terkait dengan etika anak didik, baik terhadap dirinya, orang tuanya, gurunya, teman-temannya, sesungguhnya dalam tradisi ilmu-ilmu Islam klasik, terdapat sebuah kitab yang patut dikaji dan diteliti.
1. Kitab dimaksud adalah Kitab Ta'lim al-Muta'allim, yang selama puluhan tahun dijadikan sebagai salah satu kitab yang diajarkan di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Kitab ini berisi di antaranya bagaimana etika, akhlak dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang siswa, pelajar, atau mereka yang sedang menuntut ilmu. Atas dasar itu, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah ingin menjawab bagaimana etika siswa menurut Imam Al-Zarnuji?
Dirasah Islamiyah di Perguruan Tinggi
A. Muqaddimah
Salah satu masalah yang cukup memperihatinkan dalam bidang kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di berbagai Perguruan Tinggi di negeri ini adalah rendahnya tingkat efektivitas dan efisiensi penyerapan materi-materi pembelajarannya, serta efek (atsar)-nya dalam sikap dan perlikau sehari-hari mahasiswa. Kalau saja kegiatan kemahasiswaan tidak dibarengi dengan aktivitas dakwah kampus—yang biasanya berpusat pada masjid-masjid kampus—maka hampir-hampir materi perkuliahan Dirâsah Islâmiyah tidak memberikan atsar pada sikap, perilaku, dan aktivitas mahasiswa sehari-hari. Beruntunglah, mahasiswa Muslim yang menempuh pendidikan di berbagai Perguruan Tinggi di Tanah Air masih memiliki minat besar untuk aktif dalam berbagai halaqah, kajian, dan pendalaman materi-materi ke-Islam-an di berbagai sudut kampus. Tanpa keterlibatan aktif mahasiswa seperti itu, maka materi perkuliahan Dirâsah Islâmiyah, tidak lebih dari hanya mata kuliah formal, layaknya Pendidikan Pancasila yang pernah menjadi mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi kita.
B. Struktur Kelimuan Dirâsah Islâmiyah
Problem seperti itu, saya kira, dapat ditelusuri dari struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah sekaligus metodologi dan pendekatan pembelajarannya. Penelusuran terhadap struktur keilmuan dan metodologi pendekatan kajian Dirâsah Islâmiyah penting dilakukan, sebab dalam dunia akademis setiap disiplin ilmu akan selalu mengalami proses dekonstruksi atau pembongkaran melalui berbagai kegiatan akademik. Padahal Dirâsah Islâmiyah, yang biasanya meliputi materi Tauhîd, Fiqh Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Hadîts, dan Akhlâq, lebih banyak memuat aspek-aspek normatif. Dengan kata lain, proses akademik tidak pernah kosong dari upaya “mempertanyakan kembali” berbagai asumsi dasar ilmu, termasuk ilmu-ilmu yang dianggap “telah mapan” sekali pun.
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bersama, umat Islam pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (yang merupakan unsur-unsur utama Dirâsah Islâmiyah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Itulah struktur fundamen dari apa yang disebut sebagai "agama", yang biasanya dikembangkan dengan menggunakan pola pikir atau logika deduktif (deductive) yang amat bergantung pada teks atau nash-nash kitab suci. Salah seorang pemikir Islam kontemporer, Mohammed Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan “`irfaniyyun”, dan bukan pula “burhaniyyun”.
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Sampai sekarang, disiplin ilmu-ilmu Islam yang sebagiannya membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah di berbagai PT kita, dikembangkan dengan menggunakan model penalaran deduktif ala Plato itu. Para ulama klasik, telah berhasil dengan gemilang dalam mengembangkan pola penalaran deduksi dengan merujuk kepada teks-teks kitab suci (al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Namun demikian, pola pemikiran deduktif juga mendapat tantangan dari pola penalaran yang lain, khususnya pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi berbagai konsep, kontruks, generalisasi, teori, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran.
Tetapi, dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif kemudian dikombinasikan, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan metode ilmiah (scientific method). Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang dan dikaji di berbagai PT kita merupakan buah dari kombinasi penalaran deduktif dan induktif tersebut.
Dari dua pola logika berpikir tersebut, Dirâsah Islâmiyah ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh Dirâsah Islâmiyah adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran Dirâsah Islâmiyah pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qâbilin li al-taghyîr.
Karena watak dasar Dirâsah Islâmiyah yang seperti itulah, yang kemudian menjadikan kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di Perguruan Tinggi menjadi dilematis. Di satu sisi, dunia akademik dilandasi oleh semangat penemuan, pengembangan, pembongkaran, penggantian, dan penemuan kembali ilmu; tetapi di sisi lain tubuh pengetahuan yang menyusun Dirâsah Islâmiyah lebih bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr. Kalau metode ilmiah dipaksakan untuk mendekati tubuh pengetahuan (body of knowledge) Dirâsah Islâmiyah, apakah kita tidak akan kembali terjebak pada perdebatan yang tiada akhir seperti yang menimpa “Ilmu Kalam” beberapa abad yang lampau?
Tentu kita tidak ingin mengulang kembali perdebatan ilmu kalam yang melelahkan dan menguras energi dan pemikiran para pendahulu kita. Mungkin yang dapat dilakukan adalah membuat semacam “peta” disiplin ilmu-ilmu Islam yang membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah, dengan cara memilah mana aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr dan mana aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat qâbilin li al-taghyîr.
Inilah yang menjadi tugas para sarjana dan cendekiawan Muslim, termasuk Bapak-bapak dan Saudara-saudara sivitas akademika S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang hadir di majelis ini. Memang tidak mudah merumuskan peta kajian Dirâsah Islâmiyah yang memungkinkan kita menetapkan mana aspek-aspek Islam yang dapat dikaji, dikritisi, ditafsir ulang dan dikembangkan; serta aspek-aspek mana yang “tinggal diterima” sebagaimana adanya dan tidak memerlukan tafsir ulang.
C. Masalah Metodologi dan Pendekatan
Setelah struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah dipetakan dan dirumuskan secara akademis, mana wilayah akademis (dalam arti sesungguhnya) dan mana wilayah yang bersifat permanen, tetap, dan tidak berubah; selanjutnya menjadi tugas para sarjana dan cendeiawan Muslim—khususnya di bidang pendidikan dan pembelajaran—untuk memilih pendekatan dan metode yang tepat, sehingga tujuan Dirâsah Islâmiyah dapat benar-benar tercapai.
Sebagai sumbang saran, saya ingin mengungkapkan beberapa metode dan pendekatan pembelajaran, khususnya yang berkenaan dengan wilayah Dirâsah Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr, khususnya materi tauhid.
Pertama-tama perlau saya sampaikan bahwa “tauhid” adalah disiplin Islam yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah, sudah jadi, dan final. Kita akan mengalami kesulitan apabila “tauhid” sebagai salah satu unsur Dirâsah Islâmiyah di PT kita, dikaji dan didekati dengan menggunakan pendekatan ilmiah “murni”. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana ajaran tauhid dan nilai-nilainya dapat dipahami dan diterima oleh mahasiswa sebagai inti ajaran Islam yang tidak akan pernah berubah, sehingga tauhid dan nilai-nilainya menyerap dan terinternaslisasi ke dalam jiwa dan kalbu para mahasiswa?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat meminjam pendekatan pendidikan nilai (value education) yang selama ini digunakan oleh dunia pendidikan Barat untuk menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada peserta didik. Pilihan pendekatan pendidikan nilai (value education) yang berkembang di Barat ini sama sekali bukan berarti kita dan para pendahulu kita tidak memiliki pendekatan dan metode untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada para mahasiswa, melainkan semata-mata karena yang hadir di tengah-tengah kita saat ini adalah kaum cerdik pandai yang sehari-hari bergelut dengan dunia akademik dan dunia ilmu.
Dalam teori pendidikan nilai (value education) dikenal beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai. Setidaknya ada lima pendekatan yang populer, yang dapat kita kaji tingkat efektivitas dan efisiensinya dalam menanamkan nilai. Kelima pendekatan itu adalah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull dalam bukunya Moral Judgement from Chilhood to Adolescence, yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial yang dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan lingkungannya.
Dari kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut, di sini hanya akan dikupas salah satunya, yakni pendekatan penanaman nilai. Saya yakin hadirin di sini, terutama yang mengambil Konsentrasi Pendidikan Umum pada Program Pascasarjana UPI Bandung, lebih memahami berbagai model pendekatan pendidikan nilai tersebut.
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa/mahasiswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai tertentu oleh siswa/mahasiswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa/mahasiswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kalau ajaran tauhid dan nilai-nilainya ingin ditanamkan dengan menggunakan pendekatan ini, maka tujuan yang ingin kita capai adalah: Pertama, penerimaan mahasiswa terhadap tauhid beserta nilai-nilai tauhid, seperti ikhlas, adil, ridla, dan lain-lain. Kedua, nilai-nilai tauhid memiliki atsar dalam praktek kehidupan mahasiswa sehari-hari.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur Barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Betapa pun pendekatan ini dipandang indoktrinatif dan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin demokratis, tetapi pendekatan ini, setidaknya menusur saya, lebih sesuai untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada mahasiswa.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, disadari atau tidak disadari, pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
D. Beberapa Pemikiran tentang Content/Materi
Dirâsah Islâmiyah
Berkenaan dengan isi atau materi pembelajaran Dirâsah Islâmiyah, sesungguhnya kita dapat menelusuri dan menggalinya dari khazanah intelektual Islam, baik klasik maupun kontemporer. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan beberapa penekanan pada beberapa aspek Dirâsah Islâmiyah.
Pertama, berbagai gejala dan tantangan yang muncul akibat globalisasi komunikasi dan informasi menuntut agar para mahasiswa kita dibekali dengan pengertian Syari’at Islam secara lebih mendalam. Ini perlu dilakukan supaya para mahasiswa kita tidak mudah terjebak pada gaya hidup serba bebas, tetapi juga tidak terjebak pada sikap keberagamaan yang radikal dan eksklusif.
Kedua, kita meyakini bahwa akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah adalah yang terbaik di antara berbagai aliran ilmu kalam yang pernah berkembang di dunia Islam. Berkenaan dengan ini, ajaran dan nilai akidah ini perlu ditanamkan dan diinternalisasikan ke dalam kalbu para mahasiswa kita.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada sebagian generasi muda kita yang memahami Islam secara sempit dan parsial. Konsep jihad, misalnya, mereka pahami secara sempit dan semata-mata bersifat fisik dan kekerasan. Oleh karena itu, kita perlu memperhalus kalbu generasi muda dengan kelembutan Islam, yang dapat mendorong berkembangnya pemikiran yang matang. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu membekali mahasiswa kita dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia internasional.
Keempat, pemahaman terhadap Islam secara kaffah dan universal disertai dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia internasional tersebut pada akhirnya bertujuan untuk membentuk generasi muda yang memiliki iman yang kuat, mental yang stabil, jiwa yang kokoh, hati yang suci, akhlak yang mulia.
Generasi muda seperti itulah yang akan mampu merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110).
Kelima, merealisasikan “khairu ummah” dalam kehidupan yang penuh tantangan ini, memang amat membutuhkan jiwa-jiwa muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.
Muwahhid adalah seseorang yang jiwa dan raganya penuh dengan tauhid, siap dan sanggup melaksanakan titah Allah dengan penuh ketaatan hati, kata, dan perbuatan, bukan hanya sekadar hafal di luar kepala sifat-sifat Allah semata. Firman Allah SWT:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Nur:35).
Pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَال. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Q.S. Al-Nur: 36-38).
Mujahid adalah generasi muda yang bersedia untuk berkorban demi agamanya, negaranya, masyarakatnya, dan keluarganya karena hanya semata-mata mengharap ridha Allah. Firman Allah SWT:
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik… (Q.S. Luqman : 15).
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّبِرِيْنَ
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (Q.S. Ali Imran : 142).
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).
Mujtahid adalah sosok sarjana, ilmuwan, atau apa pun namanya yang memiliki kesanggupan menyingkap berbagai ilmu-ilmu Allah, baik yang terkandung dalam ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an dan hadits Nabi) maupun ayat-ayat kauniyah (alam raya beserta isinya). Membangun sosok mujtahid seperti itulah, yang menjadi salah satu tugas Perguruan Tinggi.
Kalau mujtahid lebih terkait dengan upaya penyingkapan ayat-ayat Allah, maka sosok mujaddid lebih tepat dimaknai sebagai sosok yang mampu memperbaharui dan memperbaiki kondisi umat dalam berbagai bidang kehidupan.
Demikian empat sosok generasi muda Islam, yang setiap saat kita dambakan, dan kita akan selalu optimis, bahwa lembaga pendidikan kita, insya Allah akan mampu membangun dan mengembangkan sosok generasi muda Islam yang muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.
Semoga
DAFTAR BACAAN
Al-Ghazali, Muhammad. 1989. al-Sunnah al-Nabawiyyah: Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadists. Beirut: Dar al-Syuruq
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1990. Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah. Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah.
Al-Jauzy, Abu al-Faraj. 1993. Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr al-Tafsir.
Al-Khazin, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ibn Umar al-Syaikhy. 1988. Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Razy, Fachr al-Dîn. 1995. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Suyûthi, Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn. 1989. Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah.
Arkoun, Muhammad. 1990. Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad. Mesir: Dar al-Saqi.
Bull, Norman J. 1969. Moral Judgement from Chilhood to Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Salah satu masalah yang cukup memperihatinkan dalam bidang kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di berbagai Perguruan Tinggi di negeri ini adalah rendahnya tingkat efektivitas dan efisiensi penyerapan materi-materi pembelajarannya, serta efek (atsar)-nya dalam sikap dan perlikau sehari-hari mahasiswa. Kalau saja kegiatan kemahasiswaan tidak dibarengi dengan aktivitas dakwah kampus—yang biasanya berpusat pada masjid-masjid kampus—maka hampir-hampir materi perkuliahan Dirâsah Islâmiyah tidak memberikan atsar pada sikap, perilaku, dan aktivitas mahasiswa sehari-hari. Beruntunglah, mahasiswa Muslim yang menempuh pendidikan di berbagai Perguruan Tinggi di Tanah Air masih memiliki minat besar untuk aktif dalam berbagai halaqah, kajian, dan pendalaman materi-materi ke-Islam-an di berbagai sudut kampus. Tanpa keterlibatan aktif mahasiswa seperti itu, maka materi perkuliahan Dirâsah Islâmiyah, tidak lebih dari hanya mata kuliah formal, layaknya Pendidikan Pancasila yang pernah menjadi mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi kita.
B. Struktur Kelimuan Dirâsah Islâmiyah
Problem seperti itu, saya kira, dapat ditelusuri dari struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah sekaligus metodologi dan pendekatan pembelajarannya. Penelusuran terhadap struktur keilmuan dan metodologi pendekatan kajian Dirâsah Islâmiyah penting dilakukan, sebab dalam dunia akademis setiap disiplin ilmu akan selalu mengalami proses dekonstruksi atau pembongkaran melalui berbagai kegiatan akademik. Padahal Dirâsah Islâmiyah, yang biasanya meliputi materi Tauhîd, Fiqh Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Hadîts, dan Akhlâq, lebih banyak memuat aspek-aspek normatif. Dengan kata lain, proses akademik tidak pernah kosong dari upaya “mempertanyakan kembali” berbagai asumsi dasar ilmu, termasuk ilmu-ilmu yang dianggap “telah mapan” sekali pun.
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bersama, umat Islam pada umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief, îmân, credo, kepercayaan, atau akidah (yang merupakan unsur-unsur utama Dirâsah Islâmiyah) harus dipercayai begitu saja adanya oleh para pemeluknya. Itulah struktur fundamen dari apa yang disebut sebagai "agama", yang biasanya dikembangkan dengan menggunakan pola pikir atau logika deduktif (deductive) yang amat bergantung pada teks atau nash-nash kitab suci. Salah seorang pemikir Islam kontemporer, Mohammed Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai pola pikir "bayaniyyun" dan bukan “`irfaniyyun”, dan bukan pula “burhaniyyun”.
Pola logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia berasal dari "idea", yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan" atau "keadilan" misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif, tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.
Plato tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan. Sampai sekarang, disiplin ilmu-ilmu Islam yang sebagiannya membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah di berbagai PT kita, dikembangkan dengan menggunakan model penalaran deduktif ala Plato itu. Para ulama klasik, telah berhasil dengan gemilang dalam mengembangkan pola penalaran deduksi dengan merujuk kepada teks-teks kitab suci (al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Namun demikian, pola pemikiran deduktif juga mendapat tantangan dari pola penalaran yang lain, khususnya pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini, ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi berbagai konsep, kontruks, generalisasi, teori, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran.
Tetapi, dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science), pola pemikiran deduktif dan induktif kemudian dikombinasikan, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan metode ilmiah (scientific method). Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang dan dikaji di berbagai PT kita merupakan buah dari kombinasi penalaran deduktif dan induktif tersebut.
Dari dua pola logika berpikir tersebut, Dirâsah Islâmiyah ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir logika deduktif keagamaan nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan oleh Dirâsah Islâmiyah adalah ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran Dirâsah Islâmiyah pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, ghayru qâbilin li al-taghyîr.
Karena watak dasar Dirâsah Islâmiyah yang seperti itulah, yang kemudian menjadikan kajian Islam (Dirâsah Islâmiyah) di Perguruan Tinggi menjadi dilematis. Di satu sisi, dunia akademik dilandasi oleh semangat penemuan, pengembangan, pembongkaran, penggantian, dan penemuan kembali ilmu; tetapi di sisi lain tubuh pengetahuan yang menyusun Dirâsah Islâmiyah lebih bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr. Kalau metode ilmiah dipaksakan untuk mendekati tubuh pengetahuan (body of knowledge) Dirâsah Islâmiyah, apakah kita tidak akan kembali terjebak pada perdebatan yang tiada akhir seperti yang menimpa “Ilmu Kalam” beberapa abad yang lampau?
Tentu kita tidak ingin mengulang kembali perdebatan ilmu kalam yang melelahkan dan menguras energi dan pemikiran para pendahulu kita. Mungkin yang dapat dilakukan adalah membuat semacam “peta” disiplin ilmu-ilmu Islam yang membentuk tubuh pengetahuan Dirâsah Islâmiyah, dengan cara memilah mana aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr dan mana aspek-aspek Dirâsah Islâmiyah yang bersifat qâbilin li al-taghyîr.
Inilah yang menjadi tugas para sarjana dan cendekiawan Muslim, termasuk Bapak-bapak dan Saudara-saudara sivitas akademika S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang hadir di majelis ini. Memang tidak mudah merumuskan peta kajian Dirâsah Islâmiyah yang memungkinkan kita menetapkan mana aspek-aspek Islam yang dapat dikaji, dikritisi, ditafsir ulang dan dikembangkan; serta aspek-aspek mana yang “tinggal diterima” sebagaimana adanya dan tidak memerlukan tafsir ulang.
C. Masalah Metodologi dan Pendekatan
Setelah struktur keilmuan Dirâsah Islâmiyah dipetakan dan dirumuskan secara akademis, mana wilayah akademis (dalam arti sesungguhnya) dan mana wilayah yang bersifat permanen, tetap, dan tidak berubah; selanjutnya menjadi tugas para sarjana dan cendeiawan Muslim—khususnya di bidang pendidikan dan pembelajaran—untuk memilih pendekatan dan metode yang tepat, sehingga tujuan Dirâsah Islâmiyah dapat benar-benar tercapai.
Sebagai sumbang saran, saya ingin mengungkapkan beberapa metode dan pendekatan pembelajaran, khususnya yang berkenaan dengan wilayah Dirâsah Islâmiyah yang bersifat ghayru qâbilin li al-taghyîr, khususnya materi tauhid.
Pertama-tama perlau saya sampaikan bahwa “tauhid” adalah disiplin Islam yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah, sudah jadi, dan final. Kita akan mengalami kesulitan apabila “tauhid” sebagai salah satu unsur Dirâsah Islâmiyah di PT kita, dikaji dan didekati dengan menggunakan pendekatan ilmiah “murni”. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana ajaran tauhid dan nilai-nilainya dapat dipahami dan diterima oleh mahasiswa sebagai inti ajaran Islam yang tidak akan pernah berubah, sehingga tauhid dan nilai-nilainya menyerap dan terinternaslisasi ke dalam jiwa dan kalbu para mahasiswa?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat meminjam pendekatan pendidikan nilai (value education) yang selama ini digunakan oleh dunia pendidikan Barat untuk menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada peserta didik. Pilihan pendekatan pendidikan nilai (value education) yang berkembang di Barat ini sama sekali bukan berarti kita dan para pendahulu kita tidak memiliki pendekatan dan metode untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada para mahasiswa, melainkan semata-mata karena yang hadir di tengah-tengah kita saat ini adalah kaum cerdik pandai yang sehari-hari bergelut dengan dunia akademik dan dunia ilmu.
Dalam teori pendidikan nilai (value education) dikenal beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai. Setidaknya ada lima pendekatan yang populer, yang dapat kita kaji tingkat efektivitas dan efisiensinya dalam menanamkan nilai. Kelima pendekatan itu adalah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull dalam bukunya Moral Judgement from Chilhood to Adolescence, yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang dilalui seseorang. Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomi yaitu tahap nilai berpotensial yang dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa tekanan lingkungannya.
Dari kelima model pendekatan pendidikan nilai tersebut, di sini hanya akan dikupas salah satunya, yakni pendekatan penanaman nilai. Saya yakin hadirin di sini, terutama yang mengambil Konsentrasi Pendidikan Umum pada Program Pascasarjana UPI Bandung, lebih memahami berbagai model pendekatan pendidikan nilai tersebut.
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa/mahasiswa. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai tertentu oleh siswa/mahasiswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa/mahasiswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kalau ajaran tauhid dan nilai-nilainya ingin ditanamkan dengan menggunakan pendekatan ini, maka tujuan yang ingin kita capai adalah: Pertama, penerimaan mahasiswa terhadap tauhid beserta nilai-nilai tauhid, seperti ikhlas, adil, ridla, dan lain-lain. Kedua, nilai-nilai tauhid memiliki atsar dalam praktek kehidupan mahasiswa sehari-hari.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur Barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Betapa pun pendekatan ini dipandang indoktrinatif dan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin demokratis, tetapi pendekatan ini, setidaknya menusur saya, lebih sesuai untuk menanamkan tauhid dan nilai-nilainya kepada mahasiswa.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, disadari atau tidak disadari, pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
D. Beberapa Pemikiran tentang Content/Materi
Dirâsah Islâmiyah
Berkenaan dengan isi atau materi pembelajaran Dirâsah Islâmiyah, sesungguhnya kita dapat menelusuri dan menggalinya dari khazanah intelektual Islam, baik klasik maupun kontemporer. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan beberapa penekanan pada beberapa aspek Dirâsah Islâmiyah.
Pertama, berbagai gejala dan tantangan yang muncul akibat globalisasi komunikasi dan informasi menuntut agar para mahasiswa kita dibekali dengan pengertian Syari’at Islam secara lebih mendalam. Ini perlu dilakukan supaya para mahasiswa kita tidak mudah terjebak pada gaya hidup serba bebas, tetapi juga tidak terjebak pada sikap keberagamaan yang radikal dan eksklusif.
Kedua, kita meyakini bahwa akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah adalah yang terbaik di antara berbagai aliran ilmu kalam yang pernah berkembang di dunia Islam. Berkenaan dengan ini, ajaran dan nilai akidah ini perlu ditanamkan dan diinternalisasikan ke dalam kalbu para mahasiswa kita.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada sebagian generasi muda kita yang memahami Islam secara sempit dan parsial. Konsep jihad, misalnya, mereka pahami secara sempit dan semata-mata bersifat fisik dan kekerasan. Oleh karena itu, kita perlu memperhalus kalbu generasi muda dengan kelembutan Islam, yang dapat mendorong berkembangnya pemikiran yang matang. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu membekali mahasiswa kita dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia internasional.
Keempat, pemahaman terhadap Islam secara kaffah dan universal disertai dengan kemampuan menganalisis berbagai masalah dan tantangan yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan dunia internasional tersebut pada akhirnya bertujuan untuk membentuk generasi muda yang memiliki iman yang kuat, mental yang stabil, jiwa yang kokoh, hati yang suci, akhlak yang mulia.
Generasi muda seperti itulah yang akan mampu merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110).
Kelima, merealisasikan “khairu ummah” dalam kehidupan yang penuh tantangan ini, memang amat membutuhkan jiwa-jiwa muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.
Muwahhid adalah seseorang yang jiwa dan raganya penuh dengan tauhid, siap dan sanggup melaksanakan titah Allah dengan penuh ketaatan hati, kata, dan perbuatan, bukan hanya sekadar hafal di luar kepala sifat-sifat Allah semata. Firman Allah SWT:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Nur:35).
Pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَال. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Q.S. Al-Nur: 36-38).
Mujahid adalah generasi muda yang bersedia untuk berkorban demi agamanya, negaranya, masyarakatnya, dan keluarganya karena hanya semata-mata mengharap ridha Allah. Firman Allah SWT:
وَجَاهِدُوا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Hajj : 78).
وَاِنْ جهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِى مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu, jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik… (Q.S. Luqman : 15).
اَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّبِرِيْنَ
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (Q.S. Ali Imran : 142).
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ المُطَوِّعِيْنَ مِنَ المؤُْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقتِ وَالَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ اِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسَخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Orang-orang munafik mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih” (Q.S. At-Taubah : 79).
Mujtahid adalah sosok sarjana, ilmuwan, atau apa pun namanya yang memiliki kesanggupan menyingkap berbagai ilmu-ilmu Allah, baik yang terkandung dalam ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an dan hadits Nabi) maupun ayat-ayat kauniyah (alam raya beserta isinya). Membangun sosok mujtahid seperti itulah, yang menjadi salah satu tugas Perguruan Tinggi.
Kalau mujtahid lebih terkait dengan upaya penyingkapan ayat-ayat Allah, maka sosok mujaddid lebih tepat dimaknai sebagai sosok yang mampu memperbaharui dan memperbaiki kondisi umat dalam berbagai bidang kehidupan.
Demikian empat sosok generasi muda Islam, yang setiap saat kita dambakan, dan kita akan selalu optimis, bahwa lembaga pendidikan kita, insya Allah akan mampu membangun dan mengembangkan sosok generasi muda Islam yang muwahhid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid.
Semoga
DAFTAR BACAAN
Al-Ghazali, Muhammad. 1989. al-Sunnah al-Nabawiyyah: Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadists. Beirut: Dar al-Syuruq
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1990. Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah. Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah.
Al-Jauzy, Abu al-Faraj. 1993. Tafsîr Zâd al-Masîr. Kairo: Dâr al-Tafsir.
Al-Khazin, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad ibn Ibrahîm ibn Umar al-Syaikhy. 1988. Lubâb Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Razy, Fachr al-Dîn. 1995. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Suyûthi, Abdu al-Rahmân ibn Abi Bakr Jalâl al-Dîn. 1989. Al-Durr al-Mantsûr fî Ta’wîli bi al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Mu’assasah.
Arkoun, Muhammad. 1990. Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad. Mesir: Dar al-Saqi.
Bull, Norman J. 1969. Moral Judgement from Chilhood to Adolescence. London: Routledge & Kegan Paul.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Model Dakwah dan Pendidikan Nabi
Hampir setiap hari umat Islam selalu menjadikan pendidikan dan dakwah sebagai bahan perbincangan dan diskusi. Pendidikan dan dakwah tidak saja telah menjadi istilah yang amat populer di kalangan bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya. Kedua konsep di atas tidak saja dijadikan sebagai bahan perbincangan, diskusi, seminar dan forum ilmiah lainnya, tetapi juga sering dijadikan “kambing hitam”. Tidak sedikit para analis yang menyatakan bahwa kemunduran umat Islam diakibatkan oleh kesalahan dan kekacauan yang ada pada pola atau sistem pendidikan dan dakwah di kalangan umat Islam.
Tudingan semacam itu, memang tidak sepenuhnya salah atau bahkan untuk sebagian besarnya benar. Itulah sebabnya, mau tidak mau kita harus kembali menelaah dan mengkaji model atau pola pendidikan dan dakwah yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW. Penelaahan dan kajian terhadap model pendidikan dan dakwah Rasul ini bukan berarti umat Islam harus bersikap a priori dan anti terhadap sistem pendidikan dan dakwah yang ada sekarang ini. Penelaahan dan kajian ini dimaksudkan untuk mengambil hikmah, dan jika ditemukan segi-segi yang relevan dengan kehidupan sekarang ini, maka kita dapat mengembangkannya dengan tetap memperhatikan kondisi dan dinamika masyarakat modern.
Dalam menyebarkan agama Allah (Islam) serta dalam mendidik umatnya, Rasulullah SAW selalu menggunakan sistem dan metode dakwah dan pendidikan yang khas dan berbeda dengan kebanyakan sistem dan metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh agama lain yang mendahuluinya.
Sistem dan metode dakwah Rasulullah SAW serta sistem dan metode pendidikan Nabi SAW (مدرسة النبوة) didasarkan pada sistem dan metode dakwah Al-Qur’an. Konsep dakwah (دعوة) dimaksudkan sebagai upaya menyeru dan mengajak orang untuk memeluk Islam; sedangkan konsep pendidikan (تربـية atau تأديب) dimaksudkan untuk memberikan pengertian, pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang ajaran dan nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya.
Kedua sistem dan metode ini didasarkan pada firman Allah SWT:
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى احسن
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam serta dalam membangun umat dalam jangka waktu 32 tahun itu tidak bisa dilepaskan dari sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang beliau lakukan.
Dalam menyeru dan mengajak orang untuk memasuki dan memeluk agama Allah (Islam) beliau melakukannya dengan cara-cara yang penuh dengan kebijakan (دعوة بالحكمة). Beliau tidak pernah memaksa, mengancam atau mengintimidasi seseorang agar bersedia menjadi pemeluk Islam. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para kaisar di Romawi yang memaksa warganya untuk memeluk agama tertentu. Dalam menyebarkan agama yang sesuai dengan agama sang Kaisar, tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Bahkan tidak jarang seseorang yang tidak mau mengikuti agama sang Kaisar, berakhir dengan kematian di tiang gantungan atau mati dengan cara yang sangat memilukan di tengah arena yang penuh dengan binatang singa yang amat ganas. Rasulullah SAW juga tidak mengikuti pola penyebaran agama yang menggunakan kekuasaan dan harta sebagai iming-iming yang menggiurkan.
Beliau menyampaikan kebenaran Ilahy kepada setiap orang dan membebaskan mereka untuk memilih; menerima atau menolak dan mengikuti atau memalingkan diri. Tidak pernah sekalipun dalam sejarah perjuangannya, Rasulullah memaksa orang untuk memasuki ajaran Islam. Kalau pun ada tuduhan para sarjana Barat yang mengatakan bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang (kekerasan dan peperangan), hal itu semata-mata karena kebencian para sarjana Barat, serta perasaan takut yang berlebihan terhadap kejayaan Islam dan umatnya. Sebab tidak sedikit para sarjana Barat yang netral dan bersimpati terhadap umat Islam, yang menentang pendapat dan pemikiran tentang kekerasan dan peperangan sebagai metode penyiaran agama Islam.
Sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah pemberian tauladan yang baik (موعظة الحسنة). Sistem dan metode ini terutama sekali beliau terapkan dalam mendidik para pengikut dan sahabatnya. Dengan sistem dan metode ini, beliau tidak pernah menyuruh atau meminta seseorang kecuali beliau sendiri juga mengerjakannya. Tidak seperti para pemimpin yang berlagak seorang raja, yang bisanya hanya main tunjuk semata; Rasulullah SAW selalu ikut serta bersama para sahabatnya bahu-membahu berjuang menegakkan syi’ar Ilahy. Bahkan tatkala membangun masjid untuk pertama kalinya di kota Madinah, beliau ikut serta bekerja dalam menyediakan batu-batu dan tanah yang diperlukan. Demikian pula ketika penduduk kota Madinah membangun sistem pertahanan parit (khandaq) dalam menghadapi ancaman serangan kaum kafir Quraisy, beliau bersama-sama dengan para penduduk ikut menggali dan mengangkut tanah galian.
Sistem dan metode dakwah ini juga selalu beliau terapkan setiap kali beliau menyampaikan butir-butir wahyu Ilahy kepada para sahabatnya. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an yang khitab-nya ditujukan kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang yang beriman pada khususnya, juga mencakup pribadi Rasulullah SAW. Kalau orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu, seperti shalat, puasa, zakat, haji, menegakkan keadilan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; maka kewajiban tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW. Demikian pula jika orang-orang yang beriman dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW.
Sedangkan sistem dan metode dakwah serta pendidikan ketiga adalah melakukan dialog dengan cara yang lebih baik (مجادلة بالتى هى احسن). Metode ini selalu beliau gunakan dalam melakukan dakwah, terutama jika menghadapi kaum yang beliau pandang memiliki pengetahuan yang lebih baik.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah pada setiap musim haji mengunjungi kemah-kemah jemaah membicarakan masalah agama. Meskipun sebagian mereka tidak menghiraukan pembicaraannya, atau bahkan sebagian lagi menolaknya dengan tegas. Tetapi ada juga dukungan dari suatu kelompok yang tidak diduga-duga sebelumnya. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa suatu saat beliau mengunjungi suatu kemah yang terdiri dari enam atau tujuh orang, yang rupanya berasal dari kota Yatsrib, “Dari suku mana kalian?” tanya Nabi. “Kami dari Khajraj”, jawab mereka. “Sahabat orang-orang Yahudi?” “Ya”. “Kalau begitu, mengapa kalian tidak duduk sebentar, agar aku dapat berbicara dengan kalian?” “Tentu saja!”, sahut mereka. Mereka pun duduk bersama Nabi di mana beliau menjelaskan kepada mereka tentang Tuhan yang sebenarnya dan tentang Islam serta membacakan beberapa ayat al-Qur’an.
Demikianlah Tuhan memberi inayah kepada Islam, bahwa di Yatsrib tinggal orang-orang Yahudi yang memiliki Kitab (Taurat) dan kebijaksanaan, sedang orang-orang Khajraj sendiri masih menganut agama berhala. Sering kali orang-orang Yahudi berperang dengan mereka. Orang-orang Yahudi selalu mengatakan kepada mereka bahwa “Tidak lama lagi akan datang seorang Rasul, kami akan mengikutinya, dan kami akan menang, sedang kamu akan binasa seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”. Dan kini Rasul Tuhan itu sedang berada dan berbicara di hadapan mereka, menyeru mereka mempercayai Tuhan, maka mereka pun berkata satu sama lain: “Ketahuilah, sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut oleh orang Yahudi itu. Untuk apa kita membuang-buang waktu lagi. Mari kita menggabungkan diri sebelum didahului oleh orang-orang Yahudi”. Begitulah lalu mereka masuk Islam dan berkata kepada Rasul: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, tetapi kini kiranya Tuhan akan mempersatukannya dengan perantaraan Anda dan ajaran-ajaran yang kami terima dari Anda”.
Masuknya beberapa orang Khajraj ini jelas sekali merupakan jerih payah beliau untuk selalu mengajak orang melakukan dialog atau diskusi. Dengan memberikan pengertian, pemahaman dan menjawab segala pertanyaan dan keraguan mereka yang diajak dialog, maka keinginan dan simpati akan mengikuti dengan sendirinya. Lebih-lebih jika metode dialog atau diskusi ini dilakukan pada momen-momen yang tepat, seperti yang terjadi dalam dialog antara Rasulullah dengan kaum Khajraj di atas.
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini agaknya sangat tepat untuk kita renungkan bersama, sekaligus mengambil hikmah dan pelajaran-pelajaran penting dari kisah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam, serta dalam membangun masyarakat madani (civil society) di kota Madinah.
Dengan demikian, kalau cita-cita kita bersama untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) di Indonesia ingin berhasil, maka acuan kita tiada lain adalah model dan pola perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat di kota Madinah.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin kembali mengingatkan kembali pernyataan Imam Malik bin Anas, ulama pendiri mazhab Maliki, sebagai berikut:
لا تصلح هذه الامة الا بما صلح به اولها
“Umat ini tidak akan mencapai kemaslahatan, kecuali dengan sesuatu yang telah memaslahatkan umat terdahulu”.
Tudingan semacam itu, memang tidak sepenuhnya salah atau bahkan untuk sebagian besarnya benar. Itulah sebabnya, mau tidak mau kita harus kembali menelaah dan mengkaji model atau pola pendidikan dan dakwah yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW. Penelaahan dan kajian terhadap model pendidikan dan dakwah Rasul ini bukan berarti umat Islam harus bersikap a priori dan anti terhadap sistem pendidikan dan dakwah yang ada sekarang ini. Penelaahan dan kajian ini dimaksudkan untuk mengambil hikmah, dan jika ditemukan segi-segi yang relevan dengan kehidupan sekarang ini, maka kita dapat mengembangkannya dengan tetap memperhatikan kondisi dan dinamika masyarakat modern.
Dalam menyebarkan agama Allah (Islam) serta dalam mendidik umatnya, Rasulullah SAW selalu menggunakan sistem dan metode dakwah dan pendidikan yang khas dan berbeda dengan kebanyakan sistem dan metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh agama lain yang mendahuluinya.
Sistem dan metode dakwah Rasulullah SAW serta sistem dan metode pendidikan Nabi SAW (مدرسة النبوة) didasarkan pada sistem dan metode dakwah Al-Qur’an. Konsep dakwah (دعوة) dimaksudkan sebagai upaya menyeru dan mengajak orang untuk memeluk Islam; sedangkan konsep pendidikan (تربـية atau تأديب) dimaksudkan untuk memberikan pengertian, pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang ajaran dan nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya.
Kedua sistem dan metode ini didasarkan pada firman Allah SWT:
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى احسن
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam serta dalam membangun umat dalam jangka waktu 32 tahun itu tidak bisa dilepaskan dari sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang beliau lakukan.
Dalam menyeru dan mengajak orang untuk memasuki dan memeluk agama Allah (Islam) beliau melakukannya dengan cara-cara yang penuh dengan kebijakan (دعوة بالحكمة). Beliau tidak pernah memaksa, mengancam atau mengintimidasi seseorang agar bersedia menjadi pemeluk Islam. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para kaisar di Romawi yang memaksa warganya untuk memeluk agama tertentu. Dalam menyebarkan agama yang sesuai dengan agama sang Kaisar, tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pemaksaan, ancaman dan intimidasi. Bahkan tidak jarang seseorang yang tidak mau mengikuti agama sang Kaisar, berakhir dengan kematian di tiang gantungan atau mati dengan cara yang sangat memilukan di tengah arena yang penuh dengan binatang singa yang amat ganas. Rasulullah SAW juga tidak mengikuti pola penyebaran agama yang menggunakan kekuasaan dan harta sebagai iming-iming yang menggiurkan.
Beliau menyampaikan kebenaran Ilahy kepada setiap orang dan membebaskan mereka untuk memilih; menerima atau menolak dan mengikuti atau memalingkan diri. Tidak pernah sekalipun dalam sejarah perjuangannya, Rasulullah memaksa orang untuk memasuki ajaran Islam. Kalau pun ada tuduhan para sarjana Barat yang mengatakan bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang (kekerasan dan peperangan), hal itu semata-mata karena kebencian para sarjana Barat, serta perasaan takut yang berlebihan terhadap kejayaan Islam dan umatnya. Sebab tidak sedikit para sarjana Barat yang netral dan bersimpati terhadap umat Islam, yang menentang pendapat dan pemikiran tentang kekerasan dan peperangan sebagai metode penyiaran agama Islam.
Sistem dan metode dakwah serta pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah pemberian tauladan yang baik (موعظة الحسنة). Sistem dan metode ini terutama sekali beliau terapkan dalam mendidik para pengikut dan sahabatnya. Dengan sistem dan metode ini, beliau tidak pernah menyuruh atau meminta seseorang kecuali beliau sendiri juga mengerjakannya. Tidak seperti para pemimpin yang berlagak seorang raja, yang bisanya hanya main tunjuk semata; Rasulullah SAW selalu ikut serta bersama para sahabatnya bahu-membahu berjuang menegakkan syi’ar Ilahy. Bahkan tatkala membangun masjid untuk pertama kalinya di kota Madinah, beliau ikut serta bekerja dalam menyediakan batu-batu dan tanah yang diperlukan. Demikian pula ketika penduduk kota Madinah membangun sistem pertahanan parit (khandaq) dalam menghadapi ancaman serangan kaum kafir Quraisy, beliau bersama-sama dengan para penduduk ikut menggali dan mengangkut tanah galian.
Sistem dan metode dakwah ini juga selalu beliau terapkan setiap kali beliau menyampaikan butir-butir wahyu Ilahy kepada para sahabatnya. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an yang khitab-nya ditujukan kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang yang beriman pada khususnya, juga mencakup pribadi Rasulullah SAW. Kalau orang-orang yang beriman diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu, seperti shalat, puasa, zakat, haji, menegakkan keadilan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; maka kewajiban tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW. Demikian pula jika orang-orang yang beriman dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut juga berlaku bagi Rasulullah SAW.
Sedangkan sistem dan metode dakwah serta pendidikan ketiga adalah melakukan dialog dengan cara yang lebih baik (مجادلة بالتى هى احسن). Metode ini selalu beliau gunakan dalam melakukan dakwah, terutama jika menghadapi kaum yang beliau pandang memiliki pengetahuan yang lebih baik.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah pada setiap musim haji mengunjungi kemah-kemah jemaah membicarakan masalah agama. Meskipun sebagian mereka tidak menghiraukan pembicaraannya, atau bahkan sebagian lagi menolaknya dengan tegas. Tetapi ada juga dukungan dari suatu kelompok yang tidak diduga-duga sebelumnya. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa suatu saat beliau mengunjungi suatu kemah yang terdiri dari enam atau tujuh orang, yang rupanya berasal dari kota Yatsrib, “Dari suku mana kalian?” tanya Nabi. “Kami dari Khajraj”, jawab mereka. “Sahabat orang-orang Yahudi?” “Ya”. “Kalau begitu, mengapa kalian tidak duduk sebentar, agar aku dapat berbicara dengan kalian?” “Tentu saja!”, sahut mereka. Mereka pun duduk bersama Nabi di mana beliau menjelaskan kepada mereka tentang Tuhan yang sebenarnya dan tentang Islam serta membacakan beberapa ayat al-Qur’an.
Demikianlah Tuhan memberi inayah kepada Islam, bahwa di Yatsrib tinggal orang-orang Yahudi yang memiliki Kitab (Taurat) dan kebijaksanaan, sedang orang-orang Khajraj sendiri masih menganut agama berhala. Sering kali orang-orang Yahudi berperang dengan mereka. Orang-orang Yahudi selalu mengatakan kepada mereka bahwa “Tidak lama lagi akan datang seorang Rasul, kami akan mengikutinya, dan kami akan menang, sedang kamu akan binasa seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”. Dan kini Rasul Tuhan itu sedang berada dan berbicara di hadapan mereka, menyeru mereka mempercayai Tuhan, maka mereka pun berkata satu sama lain: “Ketahuilah, sesungguhnya inilah Rasul yang disebut-sebut oleh orang Yahudi itu. Untuk apa kita membuang-buang waktu lagi. Mari kita menggabungkan diri sebelum didahului oleh orang-orang Yahudi”. Begitulah lalu mereka masuk Islam dan berkata kepada Rasul: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, tetapi kini kiranya Tuhan akan mempersatukannya dengan perantaraan Anda dan ajaran-ajaran yang kami terima dari Anda”.
Masuknya beberapa orang Khajraj ini jelas sekali merupakan jerih payah beliau untuk selalu mengajak orang melakukan dialog atau diskusi. Dengan memberikan pengertian, pemahaman dan menjawab segala pertanyaan dan keraguan mereka yang diajak dialog, maka keinginan dan simpati akan mengikuti dengan sendirinya. Lebih-lebih jika metode dialog atau diskusi ini dilakukan pada momen-momen yang tepat, seperti yang terjadi dalam dialog antara Rasulullah dengan kaum Khajraj di atas.
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini agaknya sangat tepat untuk kita renungkan bersama, sekaligus mengambil hikmah dan pelajaran-pelajaran penting dari kisah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam, serta dalam membangun masyarakat madani (civil society) di kota Madinah.
Dengan demikian, kalau cita-cita kita bersama untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) di Indonesia ingin berhasil, maka acuan kita tiada lain adalah model dan pola perjuangan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat di kota Madinah.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin kembali mengingatkan kembali pernyataan Imam Malik bin Anas, ulama pendiri mazhab Maliki, sebagai berikut:
لا تصلح هذه الامة الا بما صلح به اولها
“Umat ini tidak akan mencapai kemaslahatan, kecuali dengan sesuatu yang telah memaslahatkan umat terdahulu”.
Subscribe to:
Posts (Atom)